Kuliah Perdana Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia di Yogyakarta Selasa, 13 September 2011
Ketika seorang budayawan berjalan-jalan dengan sahabatnya yang ilmuwan di sebuah pantai pada senja hari, dia berkata kepada sobatnya itu, “Sayang sekali, Anda seorang ilmuwan yang tidak dapat menikmati indahnya matahari di ujung cakrawala sana”.
Jawab si ilmuwan, “Memangnya kamu melihat matahari saat ini? Yang kamu saksikan adalah matahari tadi yang sudah lewat. Hitung saja jarak antara bumi dan matahari, dan kecepatan cahaya. Jadi matahari yang kamu lihat sebenarnya sudah lewat, sedangkan yang sekarang belum kamu lihat”.
I. PERSOALAN OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS DI DALAM SENI
Di dalam epistemologi, yaitu filsafat pengetahuan, persoalan utama adalah bagaimana subjek dapat mengetahui objek sebagaimana adanya? Pengandaian umum adalah bahwa ada jarak yang memisahkan subjek dan objek. Sementara subjek berada di sini, objek berada di sana. Di dalam filsafat modern, persoalan itu menimbulkan pemisahan yang sangat kental antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Sementara empirisisme yakin bahwa inderalah yang menjadi sumber pengetahuan, di luar indera kita tidak mempunyai pengalaman. Jadi baginya, yang ada hanyalah pengalaman inderawi. Kalau kita menggunakan ide atau gagasan, maka ide dan gagasan itu pun bermula dari pengalaman inderawi. Kita hanya dapat mengatakan mengenai sesuatu setelah akal kita mempunya ide yang dicetak oleh pengalaman inderawi. Kalau ada pengalaman lain yang berada di luar pengalaman inderawi, maka kita tidak dapat mengatakan apa pun mengenai hal itu secara bermakna. Kaum empirisis ditokohi oleh John Locke, George Berkeley, dan David Hume.
Sejauh mana yang ditangkap oleh indera itu benar-benar sama dengan yang ada di dalam objek? Apakah yang ditangkap indera itu objektif? Bagaimana dengan tipuan-tipuan kesan yang kita alami? Mata kita melihat bahwa tongkat yang sebagiannya kita masukkan ke dalam air menjadi bengkok; rel kereta api semakin jauh semakin menyempit. Padahal kalau tongkat itu kita raba jelas tetap lurus, dan kalau kita telusuri rel kereta api itu juga tidak menyempit. Apakah kesaksian indera kita menyesatkan? Lebih seru lagi, rasa gula di lidah kita terasa manis dalam kondisi sehat, tetapi menjadi pahit kalau kita sedang sakit. Kalau begitu di manakah letak rasa manis, dalam gula atau pada lidah kita? Bahkan lebih jauh dapat ditanyakan, kalau ada sebuah pohon besar tumbang di hutan tetapi tidak ada telinga yang mendengarnya, apakah suara gemuruh terjadi atau tidak? Jadi suara gemuruh itu ada di telinga atau ada pada pohon yang roboh? Artinya, kenyataan itu berada di dalam subjek (yang mempunyai indera) ataukah di dalam objek (yang diinderai)? Dengan kata lain, pengetahuan kita itu bersifat subjektif (tergantung subjek) ataukah objektif (tergantung objeknya)?
Persoalan ini pun menjadi relevan kalau kita berbicara mengenai epistemologi seni. Di dalam ilmu-ilmu modern, objektivitas menjadi tolok ukurnya yang utama. Sesuatu pengetahuan itu dapat disebut ilmiah sejauh kebenarannya dapat dijamin secara objektif, artinya yang kita ketahui benar-benar objek, bukan wishful thinking kita. Kalau dikaitkan dengan seni, apakah objektivitas juga menjadi hal yang penting di dalamnya? Atau justru sebaliknya? Apakah seni benar-benar merupakan hal yang seutuhnya bersifat subjektif? Ada ungkapan yang mengatakan: “Beauty lies in the eyes of the beholder“, yang artinya keindahan berada di mata orang yang melihatnya. Benarkah demikian? Kalau seni seutuhnya bersifat objektif, tentu menimbulkan gugatan sejauh manakah pendidikan seni menjadi relevan? Bukankah untuk mengembangkan rasa atau sentuhan artistik, orang perlu memahami norma-norma objektif yang mendasarinya?
Sebagaimana umum diketahui, filsafat sering kali memperumit permasalahan yang oleh orang lain dianggap sederhana. Di situlah kebajikan filsafat, yaitu merefleksikan pengalaman hingga tuntas sampai pada hal-hal yang hakiki. Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak untuk dijalani, kata Socrates, kakeknya filsafat Barat. Tetapi awal dari refleksi adalah pertanyaan. Pertanyaan merupakan rumah dari keberadaan manusia, kata Heidegger. Pertanyaan dimaksudkan untuk mengejar jawaban. Tetapi biasanya jawaban tidak sesubur pertanyaan yang dimunculkannya. Dengan demikian, hal itu sering kali membuat orang tidak tahan di dalam kegelisahan eksistensial. “Begitu saja kok dipersoalkan”, kata orang yang kapok untuk bertanya, karena sudah nyaman dengan kesesatannya.
Maka pada kesempatan ini, meskipun mungkin kita tidak sampai tuntas pada jawabannya, kita akan mencoba mengangkat pertanyaan-pertanyaan terkait dengan epistemologi seni. Semoga kalau hal ini tidak menambah wawasan, sekurang-kurangnya menyadarkan akan pertanyaan dan persoalan yang sebenarnya menggelayuti permasalahan seni.
II. PERSOALAN INTERNAL SENI
John Hospers 1) secara komprehensif membahas permasalahan-permasalahan filosofis yang ada terkait dengan estetika, termasuk filsafat seni. Sewaktu dia membahas mengenai filsafat seni, dia langsung terbentur pada permasalahan pokok, yaitu pertanyaan mengenai “Apa itu seni?”. Dalam usahanya untuk memahami seni, ternyata dia tidak dapat maju terlalu jauh. Baginya, secara negatif, yang tidak dapat dikatakan sebagai karya seni adalah semua hal yang sifatnya alami. Sedangkan dalam arti luas, seni dapat dimengerti sebagai segala sesuatu yang dihasilkan manusia. Maka satu-satunya hal yang tidak bersifat alami di dunia ini adalah karya seni. Namun hanya itu menurutnya yang jelas. Penjelasan-penjelasan lebih jauh dibahasnya sebagai yang bersifat kontroversial. Meskipun begitu, menurutnya mengidentifikasi sesuatu itu karya seni atau bukan jauh lebih sederhana dibandingkan dengan rumusan atau definisi dari seni.
Terkait dengan karya seni, dia mengajukan postulat mengenai apa yang disebut fine art (seni halus?), yang diciptakan melulu untuk dinikmati (dilihat, dibaca, atau didengar) secara estetis. Tetapi, dia menyadari bahwa pembedaan berdasarkan maksud pencipta dianggapnya berbahaya, sebab seringkali terjadi justru penikmat mempunyai minat yang berbeda daripada penciptanya. Misalnya, kuil-kuil Mesir yang dibuat untuk menghormati dewa Isis, namun banyak orang datang untuk menikmati keindahannya bukan untuk menghormati dewa Isis itu.
Maka prioritasnya dapat digeser, bukan lagi apa yang dimaksudkan oleh penciptanya, tetapi bagaimana karya itu berperan di dalam pengalaman kita. Karya-karya musik tidak punya fungsi lain kecuali untuk dinikmati dengan mendengarkannya. Dengan kata lain, karya musik berfungsi menghasilkan tanggapan estetis di pihak pendengarnya. Jadi karya seni halus adalah hasil karya manusia yang berfungsi, baik seutuhnya atau terutama, secata estetis di dalam pengalaman manusia.
Kebalikan dari fine art secara historis disebut useful art. Barang-barang yang dihasilkan oleh useful art dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup selain dinikmati secara estetis. Misalnya, mobil, macam-macam kerajinan, vas, peralatan rumah tangga, dst. Namun ada hal-hal yang tidak dengan mudah ditentukan. Misalnya, arsitektur. Ada yang mengatakan arsitektur pertama-tama dan terutama merupakan fine art, yang menghasilkan bangunan yang terutama merupakan karya estetis dan hanya kebetulan saja karena bentuknya menyebabkan dapat digunakan untuk tinggal atau tempat ibadah.
Berdasar klasifikasi karya seni, dia membedakan seni auditory yang menyangkut semua seni bunyi (musik); seni visual terutama dinikmati melalui mata (lukis, patung, arsitektur); sastera yang sulit diklasifikasi (bukan seni auditory dan bukan pula seni visual) sering disebut seni simbolis; dan seni campuran dari semua kelompok itu (drama, tari, film). Karena medianya berbeda-beda, konsep-konsep yang digunakan pun tidak selalu dapat diterapkan untuk semua jenis karya seni. Istilah subject matter (permasalahan), tema, representasi, arti, hanya dapat dikenakan pada karya seni tertentu, tetapi tidak berlaku umum untuk semua karya seni.
Meskipun begitu, Hospers mengajukan beberapa jenis nilai yang perlu diperhatikan di dalam karya seni. Yang pertama adalah nilai-nilai rasa (sensuous values). Nilai-nilai ini ditangkap oleh pengamat estetis ketika dia menikmati sifat-sifat dari objek fenomenal (inderawi). Kita menemukan nilai rasa di dalam sebuah karya seni ketika kita menikmati tekstur, warna, dan suaranya. Bukan benda fisiknya yang kita nikmati, tetapi sifat-sifat inderawinya (fenomena). Yang kedua adalah nilai formalnya. Yang dimaksud dengan formal di sini tidak ada kaitannya dengan bentuk (form), tetapi lebih pada organisasi keterkaitan seluruh unsurnya.
Berhubungan dengan organisasi keseluruhan ini ada beberapa prinsip sebagai kriteria untuk menilai karya seni: umumnya disepakati kesatuan sebagai kriteria utama, atau sering disebut kesatuan organik. Kesatuan ini menunjukkan bagaimana unsur-unsur yang ada disatukan, dikaitkan satu sama lain, sehingga membentuk satu keutuhan tanpa ada yang berlebihan. Lawan dari kesatuan adalah kekacauan, tidak adanya harmoni. Maka, kesatuan berarti “memuat banyak unsur yang berbeda, yang masing-masingnya dengan caranya sendiri menyumbang pada integrasi total dari keseluruhan yang menyatu, sehingga tidak ada kekacauan meskipun unsur-unsurnya berbeda-beda†(hal. 43). Semua unsur yang penting ada di sana, dan tidak ada tambahan unsur yang tidak penting. Sedangkan istilah organik menunjukkan pada interaksi antarunsur, sehingga tidak ada unsur yang lepas bebas dari yang lainnya. Memang, kesatuan bukanlah satu-satunya kriteria, namun kriteria yang lain tidak mendapat kesepatan dalam satu kata antarpara kritikus karya seni.
Nilai yang ketiga adalah nilai kehidupan. Nilai-nilai rasa dan nilai keduanya berkaitan dengan medianya: mereka berhubungan dengan apa yang termuat oleh karya seni di dalam medianya yaitu warna dan bentuk, nada dan jedahm dan kata-kata di dalam sebuah puisi dan susunannya. Tetapi ada nilai lain yang dimasukkan dari hidup di luar seni, dan nilai-nilai ini tidak termuat di dalam media tetapi disampaikan lewat media tersebut. Misalnya karya yang bersifat representatif (seperti lukisan wayang Bima Sakti tidak dapat dimengerti kecuali kita mempunyai sejumlah pengetahuan mengenai kehidupan di luar seni)
Hospers juga membahas permasalahan epistemologis dengan subjudul Seni dan Kebenaran. Pertimbangan estetis tidak menyangkut baik atau buruknya sesuatu dalam arti moral, dan juga bukan pertimbangan mengenai kebenaran atau kesalahan pernyataan. Sebuah karya sastera tidak dinilai lebih baik atau lebih buruk secara estetis karena berdasar pada peristiwa historis, atau karena memuat gambaran yang tepat mengenai masalah-masalah geologis atau astronomis. Namun, karya seni khususnya karya sastra mempunyai hubungan dengan kebenaran.
Pengelompokan secara tradisional ke dalam teori subjektivis dan teori objektivis mengenai nilai estetik merupakan hal yang wajar.
Menurut aliran subjektivis, keindahan merupakan hal yang bersifat subjektif. Menurut aliran ini tidak ada sifat-sifat atau hal-hal yang terkandung di dalam objek estetik yang menyebabkannya menjadi indah. Yang ada hanyalah berbagai tanggapan terhadap objek-objek estetik tersebut. Keindahan berarti untuk orang tertentu, anda atau saya. Artinya adalah hubungan antara subjek dan objek estetik, yaitu senang atau menikmati secara estetis. Tetapi, menurut Hospers, reaksi itu bukanlah merupakan pertimbangan estetik, tetapi hanyalah pernyataan senang atau pilihan. Maka keberatan yang pertama terhadap subjektivisme adalah bahwa penganut ini tidak dapat membuat pernyataan dengan pertimbangan estetis. Pernyataan “Aku menyukainya” dan “Menurut pendapatku karya ini secara estetis bagus” merupakan dua pernyataan yang berbeda. Dapat terjadi, orang menganggap karya itu secara estetis bagus, tetapi tidak menyukainya, dan sebaliknya.
Keberatan yang kedua, subjektivisme memustahilkan ketidaksepahaman mengenai hal-hal estetis. Ketidaksepahaman terjadi bila ada dua pendapat yang bertentangan, di mana yang satu benar, yang lain salah. Tetapi pernyataan subjektif A: “Aku menyukai karya itu” dan pernyataan B: “Aku tidak menyukai karya itu” bukanlah ketidaksepahaman mengenai objek estetik. Keduanya dapat benar dalam arti mengatakan yang sesungguhnya ada di dalam hatinya, tetapi tidak mengatakan apa pun mengenai objek estetiknya.
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di atas, mungkin ada usaha untuk menggunakan pandangan sosiologis bahwa “X secara estetis bagus” yang berarti bahwa kebanyakan orang menyukainya. Tetapi mayoritas tidak menentukan keadaan objek senyatanya, mayoritas tidak menjamin kebenaran. Apalagi ini menyangkut suka dan tidak suka. Tetap saja ada orang yang berhak untuk berbeda dengan mayoritas.
Jalan keluar yang mungkin diusulkan adalah bahwa mayoritas tersebut adalah mayoritas di antara para kritikus seni yang terandalkan. Tetapi kualifikasi yang dimiliki oleh para kritikus tersebut adalah kualifikasi kritikus seni daripada kualifikasi karya seni. Tidak mustahil suatu karya seni di jamannya mendapat kritikan negatif dari mayoritas kritikus seni, tetapi di jaman berikutnya justru mendapat pujian dari mayoritas kritikus seni (lukisan-lukisan El Greco?).
Sebaliknya, aliran objektivis berpendapat bahwa ketika kita menyebut suatu karya seni mempunyai nilai estetis, kita menyatakan bahwa karya itulah yang mempunyai nilai estetis. Kalau kebanyakan pengamat menyukainya, hal itu merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya itu mempunyai nilai estetis.
Pertanyaannya, apakah ada sifat atau serangkaian sifat yang membentuk nilai estetis? Artinya, ada atau tidak adanya sifat (sifat-sifat) tersebut menentukan nilai estetisnya. Umumnya, jawaban terhadap pertanyaan ini dijawab dengan keindahan. Tetapi, tetap saja ada pertanyaan, apa yang menyebabkan sesuatu itu indah? Ada yang mengatakan bahwa keindahan itu hanya dapat ditangkap secara intuitif seperti halnya bentuk. Tetapi masalah bentuk ada tes objektifnya untuk menyatakan pendapat yang benar di dalam sebuah silang pendapat. Sedangkan tes objektif bagi keindahan? Hospers mengambil pendapat Monroe Beardsley yang membedakan antara specific canons (norma khusus) dan general canons (norma umum) sebagai jawaban terbaik terhadap permasalah tersebut. Norma khusus diterapkan pada media seni tertentu atau jenis karya tertentu dalam medium yang sama. Norma itu berbeda dari satu medium ke medium lain, bahkan dari satu genre ke genre yang lain. Sedangkan norma umum berlaku untuk karya-karya estetis. Terdapat tiga norma umum: 1. Kesatuan; 2. Kompleksitas; 3. Intensitas.
Terhadap kriteria objektif ini, Hospers tidak memberikan banyak komentar. Tetapi pandangan objektivis seperti ini selalu menjadi sasaran bagi kritik Thomas Kuhn di dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution. Kuhn sendiri membahas dalam kaitan klaim saintis akan tingkat ilmiah sebuah teori yang dijamin oleh objektivitas di dalam ilmu-ilmu modern. Terhadap klaim ini Kuhn mengajak melihat kriteria mana yang digunakan untuk menyatakan teori yang baik. Yang sering kali dipakai adalah koherensi internal dari ide-ide dalam teori, kesederhanaan rumusan teori tersebut, dan produktivitasnya dalam menjelaskan dan memprediksi suatu masalah. Kuhn menyatakan teori mana yang lebih baik kalau teori A lebih koheren, sama sederhananya, dan kurang produktif dibanding teori B?
Dengan gaya Kuhn kita juga dapat mempertanyakan karya seni mana yang lebih baik kalau yang satu lebih kental kesatuannya, sama kompleksnya, dan kurang intensif dibanding dengan karya yang lain? Tentu jawabnya akan terserah kepada penikmatnya. Nah kalau demikian berarti objektivisme murni tidak dapat jalan pula.
III. KOMENTAR EDWARD S. CASEY ATAU MIKEL DUFRENNE 2)
Edward S. Casey adalah salah seorang anggota tim penerjemah dari Northwestern University Press, yang menerjemahkan buku Phénoménologie d’expérience esthétique, karangan Mikel Dufrenne ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Phenomenology of Aesthetic Experience. Dia memberikan prakata untuk terjemahan itu. Di dalam prakata dia membeberkan isi pokok buku tersebut dan memberi komentarnya. Berikut ini adalah gagasan pokok yang ditulisnya.
Buku ini terutama membahas gerakan yang mulai dari pemikiran mengenai objek estetik ke teori terkait dengan persepsi atas objek tersebut. Perlu diingat bahwa objek estetik dan persepsi estetik tidak terpisahkan. Keduanya saling tergantung dan mengandaikan. Buku ini diakhiri dengan serangkaian refleksi yang bersifat transendental dan ontologis yang mengatasi dialektika subjek-objek. Hal ini menunjukkan bahwa struktur internal karya ini bersifat tripartit, yang melibatkan objek estetik, subjek yang mempersepsi, dan pendamaian subjek dan objek.
Objek estetik
Objek estetik dibedakan dari karya seni. Karya seni adalah dasar strutural permanen bagi objek estetik. Dia berada baik dipersepsi atau tidak, sementara objek estetik hanya berada sebagai tampilan, hanya sebagai yang dialami oleh penikmat. Karya seni yang dipersepsi secara estetik menjadi objek seni. Pendeknya, di dalam mempersepsi karya seni secara estetis kita tidak berurusan dengan bahannya sendiri, tetapi dengan apa yang oleh Dufrenne disebut rasa (the sensuous, le sensible). Jadi objek estetik merupakan tampilan rasa di dalam keagungannya. Namun, rasa estetik objek estetik mempunyai sifat yang menuntut dan memaksa, meminta penikmat untuk memberi hormat pada kehadirannya yang tidak terelakkan dan elok sekali.
Meskipun begitu, rasa bukanlah satu-satunya komponen dari objek estetis. Unsur pembentuk lainnya adalah meknanya. Objek estetis bukanlah objek tanpa makna, tetapi justru penuh makna. Di dalam pengalaman estetik, berbeda dari konteks pengetahuan atau tindakan, makna mempunyai peran yang berbeda. Makna dalam pengalaman estetik mematok kita pada rasa sendiri, yang menunjukkan struktur internalnya. Maka makna di dalam seni berisfat imanen di dalam rasa, menjadi organisasinya sendiri, bukannya tidak eksis atau transenden. Oleh karenanya, estetik objek berubah menjadi quasi subjek, yang mampu memuat hubungan spasio-temporal internal dalam dirinya sendiri. Hubungan-hubungan ini membentuk dunia objek estetik. Dunia objek estetik ini mempunyai sifat afektif dan bermuatan kompleks dan koheren. Karena objek estetik mencakup dasar rasa dan dunia inheren, dia memiliki kombinasi dari objek di dalam dirinya sendiri dan objek bagi dirinya sendiri.
Subjek yang mempersepsi
Objek estetik ada untuk dipersepsi oleh kita sebagai penikmat. Dia adalah benda rasa yang hanya terwujud di dalam persepsi. Dia berada bagi kita bukan karena dirancang untuk menyenangkan kita tetapi karena membutuhkan kita agar mempersepsinya. Kita sebagai penikmat merupakan saksi penting, yang diundang untuk menegaskannya di dalam otonominya. Keberadaan objek estetik hanya terjadi di dalam kesadaran penikmatnya. Untuk itu, kita tidak dapat tetap diam secara pasif: seni bukanlah kontemplasi murni. Kita harus secara aktif terlibat di dalam objeknya sendiri, bahkan sampai pada titik di mana kita hilang atau teralienasi di dalamnya.
Tetapi keterlibatan penikmat hanya terbatas pada persepsi. Menurut Dufrenne persepsi berkembang dalam tiga tahap:
Perasaan ini selalu menjadi perasaan seseorang, yaitu ekspresi kedalaman manusia sebagai subjek. Maka, melalui perasaan sajalah, manusia sebagai subjek menjadi hadir di dalam objek estetik. Kehadiran khusus ini terjadi dalam dua cara:
Subjek dan objek berpadu
Kutub subjektif dan kutub objektif di dalam analisis Dufrenne tidaklah seutuhnya terpisah, ini jelas dalam klaimnya bahwa unsur rasa di dalam seni merupakan sesuatu yang melibatkan penikmat maupun objek estetik. Rasa merupakan kegiatan yang menyangkut orang yang merasakannya dan apa yang dirasakan. Jadi rasa merupakan tertium quid (pihak ketiga) bagi kedalaman dunia eskspresi dan kedalaman penikmat dunia itu. Rasa bukan hanya puncak dari persepsi estetika tetapi merupakan titik temu yang menyatukan subjek dan objek di dalam pengalaman estetik.
Perpaduan subjek dan objek di dalam pengalaman estetik lebih lanjut diungkapkan dalam dimensi transendental pengalaman. Sifat affektif objek estetik tidak hanya mewarnai tetapi membentuk dunia ekspresinya, bertindak sebagai prinsip pemandunya. Ini berarti objek estetik mempunyai status a priori kosmologis yang berfungsi untuk menata dunia ekspresi. Sebaliknya, subjek yang mempersepsi juga menampilkan aspek a priori. Subjek ini tidak dapat menangkap struktur a priori dari dunia ekspresi kalau subjek itu tidak mempunyai kategori-kategori affektif yang memungkinkannya mengenali sifat affektif sebagai kualitas tertentu seperti tragis, agung, atau yang lain. Dengan begitu pada tingkat a priori subjek dan objek mewujudkan perpaduan yang mendalam.
Di balik perpaduan itu adalah kesatuan. Dan kesatuan ini berada pada tingkat ontologis yang menyatukan yang eksistensial dan yang kosmologis manusia dan dunia. Inilah dasar teori kebenaran Dufrenne. Seni dapat benar karena baik seni maupun kenyataan sendiri hanyalah aspek dari ada yang mencakup semuanya. Seni justru mencerahi kenyataan. Tetapi itu hanya terjadi melalui rasa. Jadi seni mencapai kebenaran bukan dengan representasi atau imitasi kenyataan, tetapi dengan menyampaikan dan mengungkapkan essensi affektif di dalam dirinya.
Kritik Utama Casey
Casey menjelaskan isi buku Dufrenne sampai pada penjelasan lebih rinci mengenai kebenaran. Tetapi yang pokok di sini adalah kritiknya bahwa banyak persoalan yang dimunculkan oleh buku ini yang tidak terselesaikan. Soal pokok yang diutarakannya adalah “apakah estetik murni, yaitu sistem kategori estetik yang lengkap, dapat disusun?” Dan Dufrenne tidak memberi ketegasan mengenai hal ini. Menurut analisis Casey justru di situlah menariknya buku Dufrenne, menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak terjawab, sehingga masih banyak ruang untuk mengembangkannya.
IV. TAWARAN A.N. WHITEHEAD
Titik tolak utama untuk memahami pemikiran atau filsafat proses Alfred North Whitehead boleh diringkas sebagaimana bagan di bawah ini, di mana dia menjelaskan empat tahap pembentukan diri dari pengada aktual (actual entity). Kenyataan merupakan pertistiwa. Peristiwa berintikan sebuah proses. Dan proses yang intensif dalam suatu peristiwa termuat di dalam sesuatu yang disebut ENTITAS AKTUAL. Yang terjadi dalam proses munculnya suatu peristiwa/ entitas aktual:
Penjelasan mengenai proses ini diharapkan dapat menjawab persoalan subjek-objek, subjektivisme objektivisme.
1) John Hospers. Problems of Aesthetics dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 1, editor utama Paul Edward, New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, 1967, hal. 35-56
2) Dufrenne Mikel. The Phenomenology of Aesthetic Experience. Evanston: Northwestern University Press, 1973
Daftar Pustaka
Dufrenne, Mikel, The Phenomenology of Aesthetic Experience, Evanston: Northwestern University Press, 1973
Hospers, John, “Problems of Aesthetics†dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 1, editor utama Paul Edward, New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, 1967, hal. 35-56
Hardono Hadi, Dr. P., Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 1996 Whitehead, Alfred North, Adventures of Ideas, New York: The Free Prss, 1967
————–, An enquire concerning the Principle of Natural Knowledge, New York: Dover Publications, Inc., 1982
————–, Modes of Thought, New York: The Free Press, 1968
————–, Process and Reality, Corrected Edition, edited by David Ray Griffin and Donald W. Sherburne, New York: The Free Press, 1979
————–, Religion in the Making, New York: New American Library, 1974
————–, Science and Modern World, New York: The Free Press, 1967
————–, The Function of Reason, Boston: Beacon Press, 1958
Sumber: ISI Jogja
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life