Dari ujian terbuka sidang Disertasi Prayanto Widyo Harsanto,
“Gaya Visual Fotografi Dalam Iklan Cetak Di Surat Kabar Kompas 1965-2009″, Program Pascasarjana ISI Yogyakarta dalam bidang Pengkajian Seni, pada 21 Maret 2014, di Auditorium ISI Yogyakarta.
Iklan: Cermin Dinamika Politik, Sosial, Dan Budaya
Iklan sebagai produk sebuah budaya mencerminkan dinamika politik sosial budaya yang tengah terjadi dalam masyarakat di mana iklan tersebut muncul. Iklan bukan hanya soal visual, tetapi juga mengenai sesuatu dibaliknya, yaitu sebuah makna sosial yang juga perlu menjadi perhatian dalam setiap pembacaan iklan. Fungsi iklan sesungguhnya adalah sebagai pemberi identitas pembeda satu produk dengan produk lainnya di hadapan masyarakat sebagai pembelinya. Iklanlah yang bertugas menciptakan hasrat akan suatu produk dalam diri konsumen akan sebuah kehidupan yang ideal di tengah masyarakat.
Fotografi
Kemajuan fotografi memungkinan para pembuat iklan untuk meraih tujuannya. Foto mampu memberi kesan bahwa suatu peristiwa benar-benar terjadi atau pernah ada. Foto membuka jalan bagi pesan universal yang menengahi perbedaan bahasa dan menjadi alat komunikasi yang efektif serta informatif. Foto mampu menumbuhkan kepercayaan bagi khalayak, dan karenanya ia memberi alternatif sebagai ilustrasi dalam iklan. Pembuat iklan menyadari hal ini. Faktanya, menurut sebuah riset di tahun 2002, 98% iklan cetak menggunakan teknik fotografi. Fotografi membawa estetika tersendiri yang bukan hanya soal keindahan (atau kesenirupaan), tapi juga menyentuh pengalaman akan rasa dan etika. Selama ini wacana tentang iklan adalah soal daya tarik dan persuasi, atau bagaimana agar iklan bisa membujuk orang untuk membeli produk yang diiklankan. Padahal iklan juga mengandung konteks sosial budaya.
Surat Kabar Harian Kompas
Terbit pertama kali pada 28 Juni 1965, Kompas telah mencatat sejarah panjang perjalanan Indonesia melewati dua rezim kekuasaan (Orde lama dan Orde Baru) serta era reformasi. Sebagai salah satu surat kabar terbesar di Indonesia, dengan tiras mencapai 500.000 eksemplar setiap terbitnya sejak 1985, Kompas dibaca kalangan kelas menengah atas berpendidikan tinggi (setidaknya setingkat SLTA), dan oleh sebab itu Kompas menyerap lebih banyak belanja iklan dibanding surat kabar lain. Iklan-iklan di Kompas memberi gambaran dan menjadi pemimpin tampilan sebuah iklan baik secara verbal terlebih lagi secara visual. Iklan-iklan cetak yang hadir di Kompas dalam rentang 1965 hingga 2009 telah memberi warna pada wacana estetika mengenai iklan di Indonesia.
Pada awalnya iklan cetak dalam surat kabar disajikan sederhana. Sederhana dalam arti hanya menghadirkan deretan teks atau yang sekarang dikenal dengan iklan baris. Ilustrasi pun kemudian ditambahkan bersamaan dengan teks, sehingga dikenal istilah iklan display. Ilustrasi ketika itu masih dikerjakan secara manual (digambar dengan tangan). Fotografi berbarengan dengan teknologi cetak mampu menggeser cara seseorang dalam memandang karya seni, terutama keistimewaannnya yang membuatnya dapat direproduksi secara tidak terbatas (massal) sesuai dengan tuntutan prinsip generalisasi dari pasar itu sendiri. Artinya fotografi menjelma menjadi komoditas demi kebutuhan pragmatis dalam memengaruhi konsumen. Fotografi pun mulai merambah ilustrasi iklan display di surat kabar.
Temuan Penelitian
Dalam penelitian yang dikerjakan oleh Prayanto Widyo Harsanto, terdapat 437 iklan display Kompas selama kurun waktu 1965-2009. Sebanyak 62% merupakan iklan barang tahan lama (durable goods); Tata letak iklan pola tersusun sebanyak 89%; 52% menggunakan model perempuan; 55% diantaranya mengambil figur setengah badan; bahasa tubuh hadap serong (kanan/kiri) sebanyak 86%; 89% penggunaan cahaya adalah artifisial/studio; 56% model merupakan etnis pribumi; Persuasi dengan pendekatan intelektual-faktual mencapai 40%.
Berdasarkan penelitian Prayanto Widyo Harsanto tentang estetika fotografi dalam iklan, berikut ini tiga kategorisasi iklan di Surat Kabar Harian Kompas tersebut.
1. Periode Pertama (1965-1970-an): Gaya Informasi Produk
Gaya fotografi iklan di periode pertama lebih berorientasi produk dan bersifat infomatif. Inti pesannya adalah mengumumkan atau menginformasikan kelebihan dan manfaat suatu produk sekaligus menyediakan solusi bagi masalah konsumsi kepada masyarakat. Foto yang dihadirkan membantu pendeskripsian produk oleh naskah. Pada umumnya foto menampilkan produk secara utuh atau disusun bersama objek lain. Cara ini diharapkan ampuh menyampaikan cari-ciri produk (bentuk, warna, ukuran, hingga harga) untuk meningkatkan kesadaran/awareness masyarakat. Hal ini terkait keadaan sosial politik warisan Orde Lama dengan kebijakan nasionalisasi yang melarang impor dan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia sehingga membuat sektor industri dalam negeri mati. Situasi ini berimbas ke Orde Baru, membuat banyak produk tidak mudah tersedia di tengah masyarakat. Karena itu pembelilah yang mencari barang. Mereka ini yang dijadikan sasaran iklan.
Teknik pengaplikasian foto pada desain pun masih menggunakan potong-tempel/cut-paste atau montase yang sudah dikenal dalam desain poster, yang biasanya masih dikerjakan secara manual (dengan cutter). Ada dua cara dalam penyusunan foto dalam iklan. Pertama dengan menghilangkan seluruh latar belakang baru kemudian ditambahkan teks, atau yang kedua, teks langsung dipadukan pada latar belakang foto. Iklan saat itu juga masih dihiasi batas/border dengan ornamen tertentu.
Akhir tahun 1970-an adalah masa transisi, dari iklan yang didominasi teknik gambar tangan/hand drawing ke arah fotografi, baik untuk produknya maupun model iklannya. Perkembangan teknologi reproduksi dari cetak tinggi/press printing ke cetak offset juga kian meningkatkan kualitas gambar. Gambar berwarna pun mulai muncul dalam iklan display. Ukuran ruang yang digunakan juga meningkat hingga seperempat sampai setengah halaman. Penggunaan sosok selebritas sebagai bintang iklan belum menonjol. Bintang iklan umumnya berasal dari luar negeri, karena memang iklannya dibuat di luar (misalnya produk-produk Unilever yang berpusat di Belanda). Model iklan yang muncul kebanyakan adalah seorang dengan profesi khusus, misalnya: Rudi Hartono (pebulutangkis), Beng Soeswanto (pebalap motor), Olan Sitompul (penyiar radio). Sementara yang berasal dari kalangan bintang film masih sangat jarang, diantaranya Mila Karmila, Rosalina Dewi, dan Umi Kalsum. Pose yang ditampilkan juga terkesan santun dengan pakaian gaya Eropa dengan jas, kemeja, dan dasi untuk model pria, dan gaun, rok, blouse untuk model wanita, meskipun ada model wanita yang memakai busana tradisional.
2. Periode Kedua (1980-1990-an): Gaya Simbol Pencitraan
Fotografi iklan dengan simbol-simbol pencitraan sesungguhnya sudah muncul sejak 1978-1979. Para bintang film dan selebritas dalam negeri mulai dimanfaatkan sebagai bintang iklan. Yang dimaksud simbol pencitraan dalam foto di sini adalah adanya bentuk kiasan/metafora yang membangun identitas atau reputasi produk, perusahaan, dan tokoh dalam benak konsumen.
Secara teknis, foto yang ditampilkan sudah mampu menciptakan suasana gambar (mood) dengan pencahayaan kontemporer/contemporary lighting. Tampilan foto pada iklan display periode kedua, khususnya di awal 1980-an masih didominasi foto hitam-putih, dengan sejumlah iklan tampil memakai dua warna/duotone. Meskipun mesin offset sudah tersedia, namun pada masa itu cetak warna membutuhkan biaya tinggi serta waktu yang relatif lama, sehingga iklan berwarna penuh masih jarang dijumpai. Pada awal 1990-an teknologi fotografi analog mencapai puncaknya, yang otomatis mendorong kreativitas fotografi iklan. Ditambah lagi perkembangan teknologi cetak dan komputer sehingga kualitas iklan display makin meningkat. Pada pertengahan tahun 1990-an iklan display Kompas mulai tampil berwarna, dan ukurannya pun ada yang mencapai 1 halaman surat kabar.
Gagasan citra produk terlihat pada iklan pesawat televisi Grundig yang menampilkan penyanyi dan bintang film Adi Bing Slamet dengan pose mengangkat kedua jempol tangannya. Pesan yang ingin disampaikan adalah kehebatan merk televisi ini. Simbol jempol juga diperagakan oleh penyanyi dan bintang film Benjamin Sueb dalam iklan kopi Kapal Api. Di akhir 1980-an, gagasan yang ditampilkan adalah kepuasan diri konsumen (secara psikologis) bukan hanya kualitas produk. Hal ini bisa dilihat pada iklan sabun Lux yang bintangi Widyawati. Gagasan simbolis tampak dari foto menara Eiffel di Paris yang adalah simbol pusat fashion dan kecantikan dunia sebagai latar belakangnya. Sedangkan Widyawati yang merupakan selebritas Indonesia pertama yang digunakan oleh Lux, menjadi simbol kecantikan baru bagi masyarakat Indonesia. Figur publik seperti Widyawati punya daya tarik sendiri bagi konsumen, karena dengan memakai sabun Lux, berarti mereka telah menyamai idola mereka.
Berbeda dengan periode sebelumnya, menjelang 1980-an model iklan mulai dikuasai oleh bintang film dan penyanyi seperti: Ida Royani, Kris Biantoro, Roy Marten, Yati Octavia, Eva Arnaz, dll. Mereka dipilih karena telah dikenal luas oleh masyarakat. Sikap/pose dalam iklan tampak lebih santai dan bebas, tanpa terbebani norma-norma yang ketat sebagai orang timur.
3. Periode Ketiga (2000-an): Gaya Ekspresi Pengalaman
Penampilan fotografi pada iklan tahun 2000-an mengarah ke ekspresi pengalaman (atau experiential). Tujuannya adalah tidak hanya memberi informasi produk, tetapi juga mengelola kepuasan konsumen melalui proses pertukaran pengalaman atas peristiwa pribadi yang terjadi sebagai tanggapan atau stimulus. Experiental merujuk suatu pengalaman tertentu pada seseorang yang dapat memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional yang menggantikan nilai fungsional.
Gaya fotografi pada periode ini ditandai dengan narasi yang didramatisasi (baik situasi, headline, penggunaan produk, dll). Selain itu terdapat tema-tema tertentu seperti: lingkungan hidup, tokoh, kebangsaan, solidaritas, dll. Secara teknis, gaya fotografi yang digunakan kental dengan pengaruh digital, sehingga banyak foto yang penuh imajinasi, deformasi, dan stilisasi secara berlebihan, namun waktu penggarapannya jauh lebih cepat dan efisien. Di era digital pemotretan bisa dilakukan terpisah (indoor dan outdoor), lalu disatukan dengan perangkat lunak grafis macam Photoshop. Proses ini dikenal dengan sebutan digital imaging. Misalnya: ilustrasi manusia yang terbang di angkasa. Visualisasi seperti ini bertujuan menggugah pikiran dan emosi audiens agar pesan dalam iklan hadir sebagai pengalaman. Pada periode ini juga terdapat perkembangan ruang iklan display hingga dua halaman penuh. Letaknya pun bisa berada di halaman tengah, bahkan satu halaman depan surat kabar Kompas.
Pada periode ketiga ini, mulai terlihat adanya upaya pengakuan terhadap etnis minoritas Tionghoa dengan menampilkan mereka sebagai bintang iklan, diantaranya: Agnes Monica, Joshua, Olga Lydia, dll. Terutama semenjak pergantian rezim pada 1998. Pose dari para bintang iklan juga sangat bebas, happy & fun, juga ekspresif.
Peran Politik Ekonomi Sosial Budaya dan Teknologi
Kebijakan pemerintah memegang peranan terhadap seperti apa sebuah iklan disajikan. Masing-masing periode rezim meninggalkan jejaknya. Pada masa Orde baru, kestabilan politik dan ekonomi begitu diperhatikan. Segala aktivitas dikendalikan oleh penguasa. Mulai dari penggunaan bahasa dalam iklan, pembatasan ruang iklan pada surat kabar, masuknya biro iklan asing, hingga membuat UU pelarangan iklan yang memuat pengonsumsian rokok pada 1997, serta kewajiban pemasangan label bahaya merokok, yang ironisnya justru menjadi indikasi kuat di mata masyarakat bahwa itu adalah iklan rokok. Di sisi lain Kompas sendiri sejak 1976 ikut membatasi pemuatan iklan rokok dan minuman beralkohol.
Kebijakan pemerintahan Orde Baru lainnya adalah melarang pengembangan budaya China di Indonesia, seperti kesenian barongsai dan perayaan Imlek. Karena itu konsep fotografi pun beralih ke budaya Barat yang lebih dapat diterima secara luas. Namun ketika Orde Baru runtuh, visualisasi terkait atribut dan budaya China bermunculan dalam iklan.
Elemen-elemen yang muncul dalam iklan mewakili realitas dan pergeseran nilai sosial budaya dalam masyarakat. Fotografi dalam iklan kerap menjadikan budaya barat (Eropa dan Amerika Serikat) sebagai kiblat modernitas. Belakangan budaya Asia (Korea dan Jepang) turut pula menjadi acuan dalam iklan. Buktinya, masih banyak ikon dalam iklan yang ada atau berasal dari luar negeri. Entah itu, cara berpakaian, suasana, gaya rambut, bahasa, perilaku, dan pose tubuh. Sesuatu yang berasal dari luar negeri masih dianggap lebih tinggi dan cocok untuk ditiru di Indonesia. Gagasan ini dipengaruhi oleh maraknya tayangan hiburan, khususnya film di bioskop dan televisi. Begitu kuat pengaruh budaya massa ini sehingga nyaris seluruh atribut para bintang film luar negeri yang tengah berada di puncak popularitas dijadikan acuan bagi bintang iklan dalam negeri. Misalnya: gaya rambut Widyawati dalam iklan sabun Lux yang meniru Marilyn Monroe atau penampilan Roy Marten dalam iklan Frienship (1987) yang meniru karakter film James Bond.
Pemerintah Orde Baru kemudian mencoba menangkal hal tersebut dengan mengimbau agar kebudayaan bangsa Indonesia kembali diangkat. Sejumlah pengiklan menanggapinya lewat iklan bertema budaya daerah. Satu diantaranya adalah iklan obat flu Inza yang dibintangi dalang Ki Timbul Hadiprayitno (7 November 1986).
Teknologi fotografi dan percetakan ikut berperan dalam penyajian iklan display Kompas. Pasca berakhirnya kekuasaan Soekarno dengan kebijakan nasionalisasinya. Indonesia tidak siap menghadapi modernisasi, sehingga kreativitas iklan terkendala oleh teknologi. Di masa Orde Baru, para investor asing masuk membawa teknologi baru yang langsung memberi dampak pada kreativitas tampilan iklan. Bahkan masa awal pemerintahan Soeharto disebut sebagai lahirnya periklanan modern. Di masa ini biro iklan bermunculan, tumbuh, dan berkembang. Terlebih setelah era fotografi analog digantikan oleh fotografi digital yang meningkatkan efisiensi dan kemudahan dalam dunia iklan.
Kesimpulan
Fotografi dalam iklan secara umum dimanfaatkan untuk mendukung tampilan iklan sebagai salah satu wujud pendekatan persuasi visual. Fotografi iklan lebih kompleks, karena melibatkan berbagai disiplin dari fotografi itu sendiri, teori iklan, media massa, desain dan seni rupa, serta estetika. Fotografi dalam iklan menunjukkan adanya kode-kode visual dan juga beragam faktor dalam proses kreatifnya. Dalam perjalanannya, iklan display di Kompas selain sebagai artefak sejarah juga mengungkap konstruksi identitas keindonesiaan yang dinegosiasikan sesuai kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan tentunya tuntutan zaman. Salah satunya adalah wacana gagasan lokal dan gagasan asing yang mampu mencapai pemahaman tentang sifat keindonesiaan melalui fotografi dalam iklan.
Restu Ismoyo Aji
Mahasiswa Program Studi Disain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta angkatan 2009 (tansfer), lulus sidang ujian tugas akhir pada Januari 2014 dengan skripsi berjudul “Imajinasi Heroisme pada Sampul Novel Epos Berlatar Kerajaan Majapahit 2004-2012“, sebuah kajian semotika (hubungan tanda simbolik, paradigmatik, sintagmatik).
Prayanto Widyo Harsanto, M.Sn.
Staf pengajar di Program Studi Disain Komunikasi Visual. Beliau mendapat Gelar Doktor (S3) di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta dalam bidang Pengkajian Seni dengan judul disertasi “Gaya Visual Fotografi Dalam Iklan Cetak Di Surat Kabar Kompas 1965-2009” pada 21 Maret 2014.
Ketik, pilih font, dan presentasikan sebagai ‘desain’… nggak salah tuh!?