ABSTRACT
Television is a medium that delivers meaning through various type of text television conveys information that promotes moral responsibility and social solidarity. In spite of the fact that television is one of capitalism product, its programs can generate social commitment and solidarity reflecting human moral values.
Keyword: Television, Fetisme
PENDAHULUAN
Sejak diketemukannya rumus gelombang elektromagnetis oleh James Maxwell yang diteruskan oleh Heinrich Hertz maka cikal bakal komunikasi elektromagnetis sebagai dasar siaran televisi sebagai media komunikasi massa mulai dimunculkan. Pesawat televisi mulai dirintis pembuatannya oleh Vladimir Zworykin yang dilanjutkan oleh Philo Famsworth dengan membuat pesawat televisi khusus untuk rumah dan mulai dicoba untuk diadakan siaran televisi pertama pada tahun 1933. Siaran televisi komersial pertama sendiri mulai berlangsung pada tahun 1941, hingga pada perkembangan selanjutnya televisi saat ini telah menjadi media yang adidaya, dimiliki oleh hampir seluruh segmen masyarakat dan menjadi media informasi yang sukses menguasai semua jenis informasi dari informasi yang serius, propaganda, iklan, hiburan sampai reality show dan interaktif. Televisi sendiri telah menjadi media massa yang aktif menerpa jaring semantik pemirsa, di mana jam tayangnya hampir pasti 24 jam nonstop. Belum lagi televisi adalah media yang unik karena dapat menayangkan siaran dari beberapa broadcast sekaligus tanpa ada duplikasi sinyal siaran, sehingga pemirsa dengan semakin mudah memilih jenis informasi yang dibutuhkannya.
Dengan hampir meratanya masyarakat memiliki televisi, maka televisi semakin kuat memposisikan diri sebagai media informasi yang memiliki reach serta frekuensi yang tinggi, dan dengan televisi pula masyarakat dapat mencari berita atau informasi, bukannya membeli berita. Dengan demikian medium informasi ini sangatlah menguntungkan jika dilihat dari segi finansial, bayangkan jika kita harus membeli berita seumur hidup.
Di dalam tulisan ini yang akan dibicarakan bukanlah televisi sebagai realitas kuantitas akan tetapi pada nilai kualitasnya dari sisi moralitas, di mana televisi sering menjadi ‘korban’ dari wacana-wacana kultur dari para pemikir serta pemerhati yang yang berkecimpung dalam diskursus sosial terutama culture studies. Didalam tulisan ini pula, tidaklah ingin menjadikan suatu pemikiran yang semakin melegemitasikan bahwa media, khususnya televisi adalah agen sosial yang ikut bertanggung jawab atas imoralitas yang selama ini didengungkan sebagai media yang mendukung dan menggerus nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang sering diwacanakan oleh para pemikir mazhab Frankfurt bahwa televisi sering dianggap sebagai media informasi yang melemahkan nilai-nilai kemanusiaaan secara cultural. Theodor Adorno dan Horkheimer sendiri menyatakan, bahwa dalam industri budaya, khususnya tentang keberadaan media massa telah membuat masyarakat menjadi semakin rendah, tidak lagi personal, melainkan dianggap mempunyai karakterisasi yang sama. Masyarakat diarahkan untuk mempunyai tingkat persepsi yang sama terhadap suatu realitas, entah tentang nilai selera, kebutuhan sampai dengan harkat hidup. Masyarakat dianggap sebagai makhluk yang pasif, bisa diarahkan dan dibentuk oleh teks teks yang monolog, seolah olah budaya mereka lebih rendah. Bukannya berdialog, media bahkan tidak melakukan apa-apa selain monolog yang membuat individu tetap berada dalam keadaan audien yang terasing dalam pengertian moral dan sosial. (Keith Teister : 2009 : 87) Bahkan menurut tokoh-tokoh kritis dalam mazhab Frankfurt ini, memandang bahwa media masa termasuk televisi telah mendorong terciptanya kaptalisme lanjut yang semakin memperkuat eksistensi kapitalisme dimana kecenderungan ini telah membuyarkan ramalan Marx bahwa kaptalisme akan hilang dengan sendirinya pada abad 20. Rasio instrumental yang digunakan dalam kaptalisme lanjut lebih banyak melemahkan kesadaran dan eksistensi sebagai manusia yang otonom, mereka diarahkan untuk menjadi manusia yang pasif dan terbuai dengan kesadaran-kesadaran palsu, kebutuhan-kebutuhan palsu serta mempunyai ilusi-ilusi yang semakin melemahkan kesadaran manusia. Iklan iklan dalam televisi sering dituding sebagai representasi yang mewakili eksistensi kapitalisme lanjut, dimana rekayasa kebutuhan fisiologis maupun psikologis ini sering dianalogikan sebagai sebuah informasi yang mewakili realita kebutuhan manusia.
Kendati televisi sering dijadikan sasaran dari para pengkritisi media, beberapa pemikir seperti Richard Rorty menyatakan bahwa medium tersebut tidaklah semata menjadikan dehumanisasi. Bagaimanapun juga televisi adalah media yang berisikan program yang sarat dengan permainan teks dan makna. Televisi dapat berfungsi untuk penyaluran informasi yang dapat menaikkan tanggung jawab moral dan solidaritas sosial. Meskipun televisi merupakan cermin dari produk kapitalisme, dalam ruang lingkup yang sempit, tayangan televisi dapat menggerakkan adanya keterikatan sosial, solidaritas yang merefleksikan nilai moral, bahwa kita adalah manusia. Berita tentang bencana, kemiskinan, kelaparan dan lain sebagainya diyakini dapat memainkan makna teks yang menstimuli nilainilai kemanusiaan untuk merasa ikut bertanggung jawab. Rorty juga menegaskan bahwa media (televisi) merupakan saluran yang memungkinkan kita untuk menyadari persoalan moral, memahami tanggung jawab dan kewajiban moral. Dia memberikan contoh pada film televisi atau program televisi, secara gradual tapi pasti dapat menggantikan risalah khotbah keagamaan, atau syiar-syiar yang bersifat normatif.
TELEVISI
Pada teori Kerucut Pengalaman (The Cone Experiences), Edgar Dale memberikan ilustrasi bahwa televisi dapat menjadi jembatan antara pengalaman abstrak dan konkret. Televisi dapat menjadi perpanjangan indera manusia seakan-akan menjadi jendela untuk melihat dunia luar. Bahkan Mc Luhan menegaskan bahwa televisi telah menjadi realitas dunia semu (pseudoworld) yang dapat menggantikan pengalaman-pengalaman manusia untuk merasakan realita dunia, mempersingkat jarak dan berinteraksi dengan ragam manusia beserta atribut yang menyertainya. Televisi telah menjelma menjadi media massa yang merobah cara berkomunikasi manusia menjadi terbuka. Segala bentuk informasi yang bersifat umum sampai dengan yang menyentuh privasi, semakin transparan, sehingga dunia menjadi semakin rata, dan cenderung tidak ada lagi parsialitas budaya. Kita dapat menikmati bagaimana peradaban dan budaya diluar dengan representasi-representasi yang direkontruksi melalui program-program acara televisi.
Dengan kemampuan yang jangkauan penetrasi siaran yang sangat luas, televisi pada akhirnya menjadi sumber pemberitaan yang beraneka ragam. Program-program pemberitaan telah disusun sedemikian rupa oleh para produser siaran yang diarahkan untuk menggaet audience sebanyak-banyaknya sehingga meningkatkan rating penyiaran yang ujung-ujungnya menjadi daya tarik para kapital untuk membeli atau menyewa ruang pemberitaan demi kepentingan pemasaran. Di Indonesia, keberadaan televisi memang tidak melewati proses jaman seperti di eropa, di mana televisi lahir dari arus revolusi industri dan berbagai kepentingan siaran pemerintah untuk propaganda. Televisi hadir di Indonesia pada tahun 1962 ketika Negara ini sudah merdeka dan mulai menata serta mengisi kemerdekaan ini dengan kepentingan siaran pembangunan. TVRI menjadi simbol media massa yang mempersatukan wilayah kesatuan Republik Indonesia dengan program-program acara yang sarat dengan misi pembangunan, bahkan untuk memposisikan sebagai media informasi pemerintah TVRI tidak menyiarkan siaran iklan pada tahun 1981 meskipun biaya pengoperasian siaran sangatlah mahal. Barulah seiring dengan kemajuan perekonomian di Indonesia, pada tahun 1989 munculah stasium penyiaran televisi swasta sebagai bentuk penyeimbang siaran yang berisikan bisnis dan hiburan (RCTI dan SCTV). Hingga saat ini di Indonesia sudah banyak stasiun televisi swasta yang meramaikan jalur informasi elegtromagnetis sebagai bagian dari arus industri informasi, hiburan dan bisnis. Bahkan periklanan menjadi agenda siaran yang penting dan mendasar untuk kelangsungan hidup televisi. Jika kita melihat siaran televisi, maka tiap beberapa menit kita disuguhi oleh sederet visualisasi iklan yang berlomba-lomba untuk dilihat, dimaknai sebagai bagian dari kebutuhan sampai dengan gaya hidup manusia. Dari sini fungsi siaran televisi swasta menjadi identik sebagai siaran komersial dimana tayangan informasi selalu dibumbui dengan tayangan iklan ataupun dihubungkan dengan pesan sponsor. Meskipun demikian televisi swasta ini menjadi semakin kuat dan diminati sebagai sumber pemberitaan. Jika dibandingkan dengan TVRI maka televisi swasta di Indonesia cukup diminati sebagai alternatif kebutuhan informasi. Terlepas dari sikap kritis masyarakat atau kualitas program siaran dari dua jenis stasiun televisi ini, realitas siaran televisi adalah realitas tentang refleksi peradaban manusia, dimana programprogram siaran yang dibangun merupakan cermin dari kualitas budaya manusia. Siaran televisi tak pelak menjadi ajang transformasi kepentingan sampai dengan ideologi.
Adapun realitas media termasuk televisi pada dasarnya mempunyai dimensi ideologi tersendiri. Esensi dari media massa adalah merupakan sarana komunikasi yang seharusnya menjadi bagian dari penyampaian berita yang mengandung nilai-nilai kebenaran, selektif dan mempunyai sifat prososial. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri sangat ditentukan oleh banyak kepentingan ideologis. Di lain sisi keberadaan atau kelangsungan hidup dari media massa itu sendiri tergantung dari kepentingan perusahaan ataupun pengaruh politis di luar perusahaan. Kepentingan ideologis pada media massa muncul ketika keberadaan media massa dihadapkan pada realitas kebenaran itu sendiri. Apakah media massa sesungguhnya merupakan cermin atau refleksi dari realitas, atau hanya sebagian dari realitas, atau bahkan hanya kedok dari realitas lain, dan hanya menjadi sarana legimitasi? Apakah media massa hanya menjadi wahana dari distorsi realita dan cukup mencerminkan realitas sosial? Apakah media massa hanya sebagai sarana transformasi berita dan bukan pencipta berita atau opini atau bahkan pencipta realitas? Masih banyak lagi persoalan ideologis dihadapkan pada media massa dikaitkan dengan realitas dan kenyataan sosial. Diskursus tentang media massa akan senantiasa hadir ketika masyarakat mempertanyakan dimensi ideologis di dalamnya. Akan tetapi di balik itu semua, yang paling menentukan adalah kepentingan survival media itu sendiri baik dalam pengertian bisnis dan politis. Di sinilah realitas media massa menjadi relatif dan tergantung dari sudut mana kita akan berpijak.
Mengkaji televisi sebagai media massa memang cukup pelik, dimana terdapat tumpang tindih kualitas antara realitas media dan makna siaran dalam berbagai kepentingan. Di sisi lain dengan makin kreatif dan lihainya para produser siaran televisi, maka seakan-akan segala jenis program siaran telah menjadi komoditas berita. Semua berita adalah sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Hal ini tentu sejalan dengan gagasan tentang komodifikasi sebagai perluasan logika marxis yang menyatakan bahwa berbagai program televisi, termasuk berita, film, dan hiburan lain, mempunyai nilai material yang dapat dijual. Graeme Burton bahkan berpendapat tentang gagasan komodifikasi ini sebagai akibat dari realitas televisi sebagai sebuah medium yang pada dasarnya mencerminkan masyarakat yang materialis. Segala materi program tidaklah dilihat dari sisi kualitas maknanya, akan tetapi memang didorong oleh televisi sebagai program yang dapat dijual. Dari hiburan, film sampai dengan ceramah agama akan tersirat apakah memang layak dijual, apakah da’i atau pengkhotbah dalam acara yang bernuansa religi ini memang layak dijual? Atau televisi dengan sengaja menciptakan tokoh-tokoh yang dapat dipopulerkan sehingga dapat dijual pada suatu saat ketika harus ‘dibeli’ oleh stasiun televisi?
Untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang televisi memang dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, seperti institusi, produk, dan khalayak atau masyarakat penerimanya. Dari sudut institusi jelaslah para kapitalis menciptakan siaran televisi karena terdapat peluang bisnis di dalamnya. Mereka melihat bahwa media massa telah menjadi basis industri komunikasi yang penting sebagai institusi yang memainkan peranan ekonomi sampai dengan politik. Dalam wacana demokratisasi di Indonesia, televisi swasta bahkan mempunyai andil yang sangat besar untuk dapat menciptakan opini publik atau membentuk persepsi tentang penyelenggaraaan Negara. Bahkan situasi politik menjadi sasaran program televisi karena dapat dijadikan komoditas. Mereka berlomba-lomba menciptakan program acara tentang ‘carut marut’ politik (atau sengaja dibuat carut marut) dan mengemas pemberitaan agar program ini mempunyai nilai jual yang tinggi. Dalam sudut pandang ini akan muncul pertanyaan apakah televisi cermin dari realitas atau televisi sengaja menciptakan realitas?. Sudut pandang ke dua adalah pada produk. Produk televisi adalah program siaran, sebuah program siaran yang sangat beragam dari bisnis, hiburan, berita, sampai dengan reality show. Semua itu sebenarnya mempunyai dimensi kultural. Materi berita pada televisi pada hakekatnya adalah refleksi dari simbol kultural yang secara ideologis dipandang sebagai sesuatu yang natural, umum, dan biasa, atau dapat dikatakan sebagai realitas. Apa yang disuguhkan dari televisi adalah fakta dari simbol kultural dari masyarakatnya. Materi pesan dari televisi sebenarnya merupakan permainan teks yang menyiratkan makna kultural. Bagaimanapun iklan televisi menjual produknya agar diterima sebagai sebuah pemuas kebutuhan manusia, tak jarang iklan-iklan tersebut mencerminkan tentang artefak kultur yang mempunyai nilai-nilai ideologis. Refleksi ideologi tentang gender, cara pandang sosial, sampai dengan fethisisme (Fethisisme dalam buku Marx, berarti mendewakan benda. Dalam kapitalisme diartikan sebagai pemujaan terhadap uang, hak milik, dan komoditi-komoditi yang pada dasarnya merupakan sihir bagi penganut kapitalis. (Rius, Marx untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2006. Hal., 146), tak jarang dijadikan ilustrasi yang seolah-olah inilah realitas kulturalnya. Pemberitaan jurnalistik sendiri meskipun menyampaikan berita tentang suatu peristiwa atau kejadian, dapat dilihat sebagai pemberitaan yang bersifat polisemik sekaligus mencerminkan nilai kulturalnya. Penggusuran bangunan, demonstrasi, kampanye, kehidupan malam, sampai kriminalitas, bisa ditangkap sebagai berita yang mempunyai makna beragam (polisemi). Di samping kasus yang terdapat dalam berita, dia juga menyiratkan bagaimana refleksi budaya masyarakatnya. Bahkan dengan banyaknya berita-berita penggusuran atau demonstrasi, tentu dapat melemahkan kultur tentang keramahtamahan atau tatanan nilai sosial yang sangat tinggi dalam kultur masyarakat Indonesia, atau inikah kultur masyarakat Indonesia yang semakin mudah terprovokasi, bertindak brutal, atau memang kultur pemerintah sendiri yang memang arogan dan pro terhadap kapitalisme sebagai bentuk era pembangunan atau demokrasi? Belum lagi sinetron-sinetron yang ditayangkan di televisi, meskipun berkiblat dengan roman cinta, akan tetapi kode-kode budayanya senantiasa hadir dan sengaja direkonstruksikan sebagai kemasan cerita yang mencerminkan realitas sosial yang menyiratkan adanya makna-makna kultural.
Dalam sudut pandang penerima pesan bisa dilihat pada kenyataan bahwa ruang publik siaran televisi adalah masyarakat yang sangat heterogen di mana mereka bisa dipandang sebagai individu yang berbeda, mempunya internalisasi ideologi yang berbeda dan mempunyai norma sosial yang beragam; atau di sisi lain bisa dilihat bahwa masyarakat penerima siaran televisi adalah objek yang akan dijadikan pasar, sasaran berita yang sekaligus akan dilihat dan dinilai untuk kepentingan rating, agar menguntungkan dari sisi bisnis pertelevisian. Dua sudut pandang ini senantiasa dilematis, bahwa untuk kepentingan bisnis, maka tak jarang program acara televisi menisbikan moralitas bahwa sebenarnya ada kelompok sosial anak-anak, remaja, dewasa atau orang tua, yang mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap makna teks pada informasi televisi. Para produser membiarkan masyarakat memilih program yang dibutuhkan atau disenanginya. Para produser hanyalah melihat bahwa materi siaran yang dibuat hendaknya mempunyai daya tarik dan dapat dijual. Masyarakat dibentuk sebagai kelompok yang opurtunis, membiarkan mereka memilih berita seakan-akan kita melihat Yellow Pages, tanpa memperhatikan bahwa sebuah teks dapat menimbulkan makna dan citra yang berbeda dalam jaring semantik pemirsa. Bisa jadi dengan semakin banyaknya aksi demonstrasi, masyarakat melihat bahwa untuk menyalurkan suatu aspirasi, maka demonstrasilah yang terbaik. Produser mungkin lupa (atau melupakan) bahwa teks dalam berita bisa bersifat polisemi dan mempunyai nilai imitative, suatu gambaran yang seakan-akan mencerminkan nilai kultural.
Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa betapa manusia berusaha memanusiakan diri dengan kemajuan teknologi informasi, dampak yang ditimbulkan dari informasi itu sendiri telah ikut menentukan bagaimana eksistensi manusia akan terbentuk. Televisi menjadi dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi dia adalah media yang seharusnya menjadi kritik sosial, cermin sosial dan penyampai kebenaran, di sisi lain dia adalah media yang kapitalistik, mengemas berita dengan taruhan rating, laku atau tidak laku, dapat dijual atau sebagai selingan. Pada akhirnya masih banyak kajian pada televisi ini dapat dilakukan, dan hal ini tergantung dari sisi mana kita hendak melihat.
TELEVISI SEBAGAI TONTONAN
Sebuah tayangan Moto GP atau sepakbola ternyata telah menyedot ribuan pemirsa untuk terpaku di depan layar televisi, dan mereka akan berteriak histeris kegirangan atau mengumpat manakala terjadi sesuatu yang menstimuli sensor inderawi dan cara berpikirnya. Dan ini akan sangat berbeda ketika pemirsa televisi melihat sebuah pemberitaan tentang sekolah yang digusur. Terdapat pola pemaknaan teks yang berbeda dalam dua jenis program siaran ini, dimana nilai kepuasan terhadap kesenangan ternyata menjadi kunci adanya dialogis antara pemirsa dan berita. Lalu bagaimana dengan berita pembom-an hotel-hotel asing di Indonesia yang menewaskan banyak warga sipil; atau tayangan polisi yang memberondong rumah teroris, di mana ke dua berita tadi ditayangkan berulang-ulang selama sepekan sebagai sebuah headlines yang terus menerus menempati program acara yang layak diberitakan (dijual). Masyarakat akan disuguhi realitas, sepertinya kedua peristiwa tadi adalah sebuah tontonan, sebuah pemuasan tentang kesenangan yang bisa didapatkan dari sebuah berita.
Analisis Baudrillard tentang fenomena ini cukup menarik untuk dijadikan kajian, bahwa bahwa terdapat kecenderungan gagalnya dialog yang mempersatukan jaringan relasi sosial akibat pemberitaan televisi hendaknya dipahami sebagai konflik politik. Konflik politik di sini bukanlah dipahami sebagai adanya perjuangan atas hegemoni atau perjuangan dari kelompok yang tertindas, melainkan politik dimana massa menolak untuk bertanggung jawab terhadap perjuangan untuk memaksakan makna yang berusaha dibebankan kepada mereka (masyarakat).
Dalam hal ini massa selalu dijadikan tameng atau aktor yang penting bahwa masyarakat adalah pengendali atau penentu untuk menilai suatu konflik atau suatu peristiwa, sementara forum dialogis tidak pernah terjadi. Masyarakat selalu dicekoki oleh konflik atau wacana seolaholah peristiwa atau situasi ini adalah tanggung jawab masyarakat, atau bahkan terdapat panggung wacana yang mengatasnamakan rakyat. Menurut Baudrillard, dalam usaha yang sudah putus asa untuk mengkomunikasikan makna, media memperesentasikan politik dalam konvensi pertunjukan permainan sehingga massa memperlakukan politik seolah-olah juga penting sebagaimana halnya permainan yang ditampilkan televisi, Untuk saat ini permainan yang menggunakan pilihan-pilihan yang ditampilkan dalam permainan di televisi sudah sangat biasa dalam kesadaran penonton. Akibatnya massa yang selalu dijadikan sebagai alasan dan sebagai cadangan dalam panggung politik, membalas dendam dengan memperlakukan peristiwa politik dan aktornya sebagai penampilan teater. Pernyataan Baudrillard yang sebenarnya bertitik tolak dari kajian budaya ini adalah didalam komunikasi massa (televisi), komunikasi makna ini sudah runtuh, relasi sosial tidak lagi menjadi dasar komunikasi. Makna yang dihadapkan kepada massa ditolak oleh massa, sebaliknya massa hanya peduli dengan tontonan. Masyarakat melihat bahwa apa yang disampaikan lewat televisi adalah masalah mereka sendiri (televisi), bukan masalah masyarakat. Masyarakat lebih peduli dengan realitas tontonannya, bukan tanggung jawab moralnya, karena masyarakat sendiri cenderung menolak bahwa teks berita bukan tanggung jawab mereka. Masyarakat melihat teks berita sebagai realitas berita yang monologis, suatu berita yang disusun oleh produser hanya untuk dinilai bukan dipahami sebagai teks yang seharusnya menjadi tanggung jawab masyarakat secara moralitas. Meskipun pandangan Baudrillard terhadap kajian media ini mempunyai konteks budaya masyarakat eropa, akan tetapi hal ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk melihat realitas masyarakat di Indonesia, bahwa dalam iklim demokrasi seperti saat ini, media turut menentukan bagaimana realitas akan dibentuk.
POPULARITAS
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam budaya konsumsi, televisi telah ikut membentuk popularitas, suatu bentuk pengidentifikasian yang dijalankan secara massa oleh media secara terus menerus. Kendati popularitas tidak selalu berada dalam determinasi media, akan tetapi dalam sifat kapitalisme, televisi menjadi media yang dapat menciptakan popularitas, disebabkan oleh karakteristik media dan ideologi yang tersembunyi di dalamnya. Popularitas sengaja diciptakan untuk memenuhi hasrat konsumtif dengan melihat masyarakat penerima secara massif. Terjadi suatu penyeragaman interprestasi, rasa, selera, kebutuhan sampai dengan penyeragaman kognisi dengan mengedepankan balutan estetis yang kuat. Dalam budaya konsumsi, televisi menjadi media yang sering dikritisi karena menjadi sarana yang ikut memberi dampak terciptanya massifikasi massa yang dianggap sudah kehilangan sifat kohesi dan ideologi dengan menciptakan bentuk-bentuk popularitas.
Dalam budaya konsumsi, masyarakat dipandang sebagai subyek yang distandarisasi, diberikan ilusi dan sensasi, diseragamkan pada level-level tertentu dan dilemahkan daya kritisnya agar jauh dari kontrol rasio dan moral serta menjadi subyek individual, jauh dari ikatan sosial dan batas-batas tradisionalnya untuk mengikuti bentuk bentuk populer. Iklan televisi sampai dengan reality show menjadi alat membentuk popularitas secara instan. Bagaimanapun juga korban bencana alam lebih banyak dibantu oleh produk-produk mie instan, karena komoditas inilah yang cukup popular sebagai makanan pengganti beras. Terlebih lagi dalam metode periklanan, bahwa merk adalah segala-galanya untuk mengemas komoditas menjadi produk yang diarahkan agar populer di masyarakat. Bentuk komunikasinya begitu persuasif dan seolah menjadi bagian dari kesadaran berkehidupan, kebutuhan dan dapat memuaskan system saraf manusia. Permainan teks semacam ini menjadi ciri kapitalisme dimana mereka senantiasa melihat bahwa segala sesuatu dapat dikomodifikasikan. Rasa atau cara menginteprestasi telah dibuat sama sebagai suatu ikatan sosial dan ideologi, kendati pada dasarnya terdapat norma, adat dan ideologi sosial lain di masyarakat. Barang atau produk telah difetiskan menjadi komoditi yang dapat membentuk ideologi baru. Dalam tulisan ini, pengertian popular ini memang didudukkan dalam sudut pandang budaya konsumsi, dimana media telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari determinasi ekonomi sesuai dengan ideologi kapitalis. Dengan demikian maka pengertian popular di sini berkaitan dengan kehendak media. Media telah mengatur gagasan dan perasaan manusia. Kita telah memanusiakan diri kita melalui realitas media. Mungkin benar apa yang dikatakan Mc. Luhan bahwa media adalah pesan. Media telah mempunyai realita sebagai komunikator yang memandang manusia secara massif. Program acara pada televisi telah diatur sedemikian rupa agar menjadi pesan yang layak dijual, menarik, menaikkan rating dan akhirnya menjadi popular. Belum lagi iklan-iklan yang bersliweran tiap beberapa detik agar produk yang ditawarkan menjadi popular. Realitas media dalam budaya konsumsi ini memang sangat dahsyat sebagai media yang turut serta menciptakan perubahan perilaku, cara pandang, atau memanusiakan dirinya. Jika televisi terlalu sering mempertontonkan demonstrasi yang anarkis tanpa memberi keseimbangan moral, maka dikhawatirkan inilah cara yang terbaik untuk beraspirasi. Cara berdemo seperti ini telah menjadi suatu cara yang popular karena sering diperlihatkan oleh media. Stereotype bahwa mahasiswa adalah sekelompok masyarakat yang berdedikasi dan bermartabat serta idealis, akan hilang dalam sekejap tergantikan bahwa mahasiswa adalah sekelompok orang pembuat onar, pembuat macet jalan karena sering ditayangkan oleh televisi ketika bertindak anarkis di jalan ketika berdemo. Televisi tidak hanya sebagai media perpanjangan pesan, atau realitas, tetapi juga menciptakan popularitas dari realitas. Manusia manusia cebol dikemas sebagai tontonan yang bisa dijual. Orang-orang miskin bisa dijual melalui reality show, bahkan sampai dengan keong racun pun dengan cepat menjadi ikon dua wanita yang sangat popular.
KESIMPULAN
Televisi tak pelak telah menjadi bagian kehidupan berkomunikasi manusia, di mana dia bahkan menjadi agen komunikator yang ikut mewarnai cara pandang masyarakat, persepsi masyarakat tentang realitas. Televisi sebagai media komunikasi tak lagi menjadi medium prososial, lebih daripada itu dia merepresentasikan kepentingan ideology tertentu, merefleksikan realitas dan membentuk realitas. Berbagai kritikan pedas bahkan dialamatkan pada medium tersebut sebagai media yang menjerumuskan masyarakat kedalam pola hidup konsumtif, liberal dan menggiring masyarakat untuk tak lagi memperdulikan nilai-nilai kehidupan tradisional. Masih banyak lagi persoalan ideologis dihadapkan pada media massa dikaitkan dengan realitas dan kenyataan sosial. Diskursus tentang media massa akan senantiasa hadir ketika masyarakat mempertanyakan dimensi ideologis di dalamnya. Akan tetapi di balik itu semua, yang paling menentukan adalah kepentingan survival media itu sendiri baik dalam pengertian bisnis dan politis.
DAFTAR PUSTAKA
Keith Tester, Imor(t)alitas Media, Juxtapose, Yogyakarta, 2009.
Rius, Marx Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2005.
Arief Agung Suwasono, Drs, MSn
Lahir di Probolinggo, 16 Nopember 1967, dosen Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Aktif mengikuti berbagai kegiatan workshop dan seminar bidang animasi dan audiovisual. Pendidikan S-1 Bidang Studi Disain Komunikasi Visual Program Studi Disain Komunikasi Visual, Jurusan Disain Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan S-2 Bidang Studi Disain Program Magister Seni Rupa dan Disain Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Teknologi Bandung. Email: ariefagungsuwasono@gmail.com
Jurnal dekave diterbitkan oleh Program studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa FSR, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan Nomor ISSN: 2087-9709, sebagai media publikasi ilmiah berupa karya penelitian maupun rancangan dalam bidang komunikasi visual, yang mencakup: bahasa rupa, budaya visual, desain grafis, multi media, dan lain-lain. Jurnal dekave diharapkan dapat memberi kontribusi dan menumbuh-kembangkan keilmuan serta dunia praksis komunikasi visual di tanah air. Redaksi Jurnal dekave membuka peran segenap pihak: perguruan tinggi, penulis, desainer, budayawan, mahasiswa, dan pembaca umumnya untuk terlibat aktif dalam mengisi berbagai artikel, maupun memberi masukan dalam jurnal ini.
Make your interactions with people transformational, not just transactional.