ABSTRACT
Dutch colonial culture that come to enrich the culture of Indonesia, it joined the growing culture of modern Indonesia, it can be observed through the lifestyles of people and uptake of aesthetic value. Graphic design style developed in the colonial Indies Dutch East Indies and had peaks in the artistic developments of the 1930s. The design style developed by Dutch graphic designer is a blend of modern design style that flourished in Europe early 20th-century art with a product of local culture. The combination has created a style of indie that became a source of inspiration for creativity designer graphic design of the future. Advertising colonial period in Indonesia, developed along with the progress of knowledge, especially in the fields of economy and industry, idiom – idioms unsure that are tailored to its target audience. In the context of social phenomena and the idea of ??modern advertising in Indonesia now, of course, inseparable from the history of the Dutch East Indies colonialism itself.
Keyword: Advertising colonial period, westernization, a zeitgeist
Pengoemoeman !!!
Dag Inlander,….. Hajoo Oerang Melajoe,….
Kowe Mahoe Kerdja???
Governement Nederlandsch Indie Perloe Kowe
Oentoek Djadi Boedak
Ataoe Tjentenk Di Perkeboenan – Perkeboenan
Onderneming
Kepoenjaan Governement
Nederlandsch Indie
Djika Kowe Poenya Sjarat Dan Njali
(Batavia 31 Maart 1889 Niet Laat te Zijn Hoor. Onder de naam van Nederlandsch Indie Governor Generaal H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij)
PENDAHULUAN
Iklan mempunyai nilai kredibilitas yang tinggi sebagai data dalam suatu rekonstruksi sejarah (Garraghan, 1957: 252). Sebagai sebuah medium, iklan adalah relik yang dapat digunakan sebagai bukti rujukan infersential evidence bagi sejarawan (Sjamsuddin, 2007: 113). Oleh karena itu, melalui iklan dapat dipelajari sejarah peradaban suatu masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Selain itu, melalui hasil pengamatan terhadap iklan-iklan pada masa kolonial, jelas sekali mencerminkan suatu identitas, melalui pendekatan bahasa visual, iklan berperan sebagai elemen yang mampu merekfleksikan zeitgeist pada temponya.
Akhir tahun 1929 menandai berakhirnya satu periode sejarah Hindia Belanda, untuk masuk ke periode baru yang lebih baik (Vlekke, 2008:433). Periode 1930-1942 merupakan awal perekonomian masa kolonial Hindia Belanda pulih dari pengaruh depresi ekonomi dunia, biro reklame tumbuh dan kembali bergairah (Setiyono, 2004: 42). Dengan diberlakukannya kebijakan liberalisasi dan swastanisasi perekonomian masa kolonial, secara umum telah mengakibatkan terjadinya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk di pulau Jawa, yang memasuki kemapanannya pada masa pemberlakuan politik etis dan puncaknya pada tahun 1930an (Riyanto, 2000: 3). Politik Etis adalah suatu pemikiran yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus). Kalangan industrialis Belanda yang berfikiran liberal, menyambut baik keputusan ini karena mengharapkan ekspansi pasar mereka sebagai akibat dari meningkatnya kesejahteraan kaum sosialis dan konservatif di Belanda, yang memandang ideologi liberal dengan ketidakpercayaan secara kritis (Wertheim, 1999:70).
Iklan masa kolonial di Indonesia, berkembang seiring dengan kemajuan pengetahuan terutama di bidang ekonomi dan industri. Tahun 1893 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan percetakan negara di Jakarta (Zoo, 1995: 165), yang mau tidak mau kedatangannya membawa pengetahuan cetak-mencetak dari daratan Eropa. Beberapa produk cetak kuno, seperti etiket/label, sampul buku/majalah, iklan koran dan iklan yang dicetak pada enamel, beberapa artefaknya masih dapat dilihat sekarang ini, hal ini membuktikan bahwa sejak lama di Nusantara telah mengenal produk grafis.
MASA KOLONIAL
Di Indonesia sendiri perjalanan dunia periklanan tentunya tidak lepas dari sejarah kolonialis Belanda, yakni suatu masa ketika bangsa Indonesia berada di bawah kontrol penjajah Belanda. Masa penjajahan dihitung sejak pertamakalinya Belanda membentuk pemerintahan di Nusantara yang pada waktu itu disebut Nederland Indie, tepatnya pada tanggal 12 Maret 1619 di Batavia (Ricklefs, 2008: 78), setelah sebelumnya sekelompok anggota garnisun kecil VOC menghancurkan “kota pribumi” di Jayakarta yang ada disekitar loji dan membangun sebuah benteng kecil (Lombard, 2007: 61), dan berakhir hingga Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara pendudukan Jepang pada tanggal 12 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Era kolonialisme adalah masa pembaratan budaya feodal agraris tradisional, dengan agent of change para bangsawan kraton dan para priyayi profesional, pejabat birokrasi kolonial yang dididik sekolah-sekolah modern Belanda, dan pribumisasi kebudayaan barat modern masyarakat elit kulit putih terutama di Jawa (Riyanto, 2005: 134-143). Selanjutnya, penerapan sistem pendidikan Barat yang telah merebak di perkotaan semakin mempercepat lajunya proses modernisasi yang merubah secara struktural lapisan sosial tertentu di masyarakat Jawa awal abad ke-20, tentu saja hal ini membawa implikasi secara tidak langsung pada gaya hidup, termasuk perubahan perilaku seksualitas. Kenyataannya rangkaian proses perubahan-perubahan yang berkembang telah mereduksi struktur masyarakat agraris, feodalisme, tradisional menuju masyarakat perkotaan yang bersifat modern (kasuma, 2006). Hal ini tentu saja telah membawa dampak pada budaya visual jaman itu. Sosok wanita pada dekade ini juga banyak menghiasi tampilan visual iklan pada produk yang tidak di konsumsi wanita sekalipun, misalnya rokok, minuman bir dan anggur.
HINDIA BELANDA ERA 1930 AN
Secara sosiohistoris (Kartodirdjo, 1993:157) pada abad ke 17 dan 18, Kolonial Belanda telah menumbuhkan sistem status sosial yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa. Di Batavia, pegawai kompeni Belanda menempati lapisan sosial teratas, kemudian di bawahnya adalah warga merdeka (bebas), yang terdiri dari Belanda, mestizo, dan budak-budak Kristen yang diberi hak suara. Setelah itu lapisan atas orang Cina, penduduk Indonesia, sebagian besar adalah orang rendahan, menempati urutan paling bawah. Sistem status ini membentuk titik awal bagi masyarakat kolonial di Jawa pada abad sembilan belas (Wertheim, 1999: 107). Sartono Kartodirdjo membagi stratifikasi masyarakat Hindia Belanda menjadi: elit birokrasi yang tediri dari Pangreh Praja Eropa ( Europees Binnenland Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi. Kemudian Priyayi Birokrasi termasuk priyayi ningrat, priyayi profesional (priyayi gedhe dan priyayi cilik). Kemudian golongan Belanda dan Indo yang secara formal masuk status Eropa, dan yang terakhir ialah Orang Kecil (Wong Cilik) yang tinggal di kampung (Kartodirdjo, 2005). Selo Sumardjan menambahkan satu kelompok priyayi lagi yaitu mereka yang berasal dari kalangan swasta, Van Miert menyebut mereka sebagai kaum muda yang tidak mau mengikuti jejak orang tuanya. Mereka memilih jabatan yang merdeka sebagai dokter praktek, guru sekolah, swasta, pengacara, atau wartawan (Miert, 2003: 3). Di samping struktur yang tebentuk akibat posisi resmi dalam kepegawaian pemerintah terdapat kelompok masyarakat lain yang terbentuk karena orientasi agamanya yaitu kaum Muslim. Sodagar Kauman, istilah ini ditujukan masyarakat Jawa yang biasanya berprofesi sebagai pedagang yang taat menjalankan syariat Islam (Surjomohardjo, 2008:40).
Sesudah tahun 1920 pertumbuhan penduduk di Hindia Belanda berlangsung dengan cepat. Antara tahun 1920 dan 1930 pertumbuhan penduduk pulau Jawa sekitar 17,6 per seribu jiwa. Ketika sensus tahun 1930 diadakan, penduduk Indonesia telah berjumlah 60,7 juta jiwa. Dari jumlah itu 41,7 juta jiwa berdiam di Pulau Jawa. Berdasarkan perhitungan pertumbuhan penduduk di Indonesia sekitar 79,4 juta jiwa. Di Jawa jumlah penduduknya sekitar 48,4 juta jiwa, sedangkan di daerah luar Jawa jumlah penduduknya sekitar 22 juta Jiwa (www.indonbiu.com). Penerimaan pajak cukup besar, menurut Lance Castles dalam bukunya berjudul “Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus”, pajak tembakau saja, pada tahun 1938 mencapai Rp 1.790.000, atau 6,2 persen dari total pemasukan pajak dan bea (Noertjahyo, 2009). Era dasawarsa ini merek pabrikan besar mulai membangun tempat perakitan di Hindia Belanda sebagai contoh pabrik lampu Philips, bir dan limun, industri logam seperti Lindeteves - Stokvis yang menghasilkan lampu petromaks, alat pertanian dan perkebunan, dan suku cadang untuk pabrik gula. Pada tahun-tahun itu terjadi pergeseran dari industri pertanian ke arah industri dagang yang mengarah pada sistem industri moderen (Sachari, 2007: 70).
IKLAN AWAL DI MASA KOLONIAL
Iklan pertama kali diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Hindia Belanda tahun 1619 hingga 1629, Ia juga penerbit Bataviasche Nouvelle, isi iklan ialah informasi tentang teritorial wilayah dagang VOC, semacam iklan korporat sekarang ini, dan pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah (Setiyono: 3). Iklan susu bubuk sudah ada di Betawi lebih dari seabad silam. Importirnya adalah Firma L. Platon, perusahaan besar penjual makanan dan minuman Belanda yang terkenal di Betawi. Salah satu iklannya dapat dilhat di koran “Bintang Barat” tanggal 12 Januari 1887 dengan lingua franca bahasa Melayu sebagai pengantar: “Pastinja soesoe jang toelen, dibikin boeboek dari paberik soesoe Switzerland, Si Gallen”. Selanjutnya terdapat petunjuk cara pembuatan antara lain: “Soesoe dengen goela teboe, dalem tjamboel 160 gram, tjampoer 1 liter aer panas, dapet 1 liter soesoe toelen, Soeda dipereksa sama dokter“. Adapun yang dimaksud dengan “tjamboel” ialah kaleng (Betawi Blogger).
Tahun dasawarsa tiga-puluhan merupakan era keemasan dan kejayaan periklanan di Indonesia era penjajahan. Hampir semua barang kebutuhan rumah tangga tersedia dan dipasarkan di kota-kota besar, iklan yang beredar waktu itu : iklan rokok, minuman, susu, obat-obatan, tembakau, pasta gigi, sabun, radio, lampu, sepeda sampai mobil dan perjalaan wisata (Hermanu, 2006: 15). Menjelang memasuki tahun empat puluhan, dua majalah mode masing-masing “de Mode Revue” 1939 dengan penerbit N.V. Boekhandel en Drukkerij v/h H. Van Ingen-Soerabaia, memuat iklan yang berisi artikel-artikel berkaitan dengan mode dan juga foto-foto serta sketsa aneka mode untuk wanita dewasa maupun anak-anak. Beberapa artikel umum lainnya, misalnya tentang makanan, perawatan tubuh, profil orang, dan lain-lain. Semua artikelnya ditulis dalam bahasa Belanda. Kondisi ini menunjukan bahwa di Hindia Belanda pada waktu itu selain telah terjadi perubahan sosial juga telah terjadi adanya perubahan estetis di masyarakat pribumi.
Menurut data dari Handboek of the Netherlands East Indies 1930 jumlah makananmakanan kaleng yang diimpor dari luar negeri memiliki nilai cukup besar. Selain makanan kaleng ada pula iklan peternakan sapi di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Misalnya Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar serta terletak di Petamboeran, Paalmerah. Ada pula toko FROSCHER’S di Batavia-Centrum yang menyediakan roti dan kue. Selain yang segar ada pula susu dalam kaleng seperti iklan NESTLE’S MELK CO di Batavi a -Cent rum yang menyediakan susu kalengan seperti yang kita nikmati sekarang (Sangkelana Blogg). Masuknya produk industri modern ke Hindia Belanda sekaligus membawa iklan sebagai penunjang kegiatan promosi, oleh karenanya idiom yang dihadirkan sangat terasa nuansa budaya Eropanya (Kompas, 2007).
DESAINER DAN BIRO IKLAN MASA KOLONIAL
Jejak “Politik Etis” sangat kuat mewarnai bahasa iklan, terutama di majalah Kadjawen periode 1930-1940. Sejumlah iklan tak hanya menginformasikan produk tertentu, tetapi juga berusaha “mendidik” dan mengubah kebiasaan rakyat di tanah jajahan yang belum mengadopsi cara hidup modern. Pendirian industri yang melibatkan pengusaha pribumi sebagai pemilik perusahaan bermunculan, bahkan beberapa diantaranya mengiklankan produk mereka dengan iklan yang menggunakan idiom khas lokal.
Iklan majalah Kadjawen tercatat sebagai salah satu majalah dengan pemuatan iklan paling besar dibanding majalah lain. Antara lain mempromosikan teknologi modern, seperti listrik dan mobil-otomotif (Mrazek, 2006: 115). Teks-teks iklan dalam majalah Kadjawen sebagian besar menggunakan bahasa Jawa (dengan huruf Jawa dan Latin) dan bahasa Belanda. Teks berbahasa Melayu (Indonesia) digunakan pada produk yang merupakan keperluan sehari-hari, seperti sabun mandi Lux, arloji Titus dan atau obat-obatan. Majalah Kadjawen juga berisi berbagai informasi praktis, termasuk iklan produk yang mengkampanyekan cara-cara hidup modern bagi rakyat jajahan atau “kaum bumiputra. (Pokok-Pokok Pikiran Budi Irwanto, disampaikan dalam Diskusi bertajuk “Jejak Iklan dan Imaji Konsumsi” yang diselenggarakan oleh TeMBI Yogyakarta, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni “Anjani”, Universitas Sanata Dharma, Ruang Seminar FISIPOL UGM, Yogyakarta, 4 Juni 2007.” )
Buku dan majalah telah dicetak dengan sampul berwarna, beberapa diantaranya diterbitkan oleh percetakan besar pada waktu itu antara lain Kolf dan Balai Pustaka. Adapun produknya meliputi buku bacaan anak, buku pelajaran, majalah budaya, dan majalah wanita. Selain itu muncul pula grafis untuk sampul majalah “Penghidoepan” bertahun 1931, Kemudian majalah yang lain ialah “Kawroeh” pada tahun 1932.
Iklan-iklan yang bermunculan dibarengi dengan mulai berdirinya biro iklan. Bentuk pribumisasi dalam desain grafis iklan surat kabar dimulai sejak abad ke 20 yakni dengan tampilnya rancangan iklan yang mengangkat khazanah visual kehidupan masyarakat lokal. Pengaruh perupaan barat, yakni gaya art noveau atau art deco juga mulai tampak (Setiyono, 2004: 8). Salah satu desainer advertensi yang terkenal ialah Jan Lavies (1902-2005), pemuda Belanda yang datang ke Hindia Belanda setelah menyelesaikan studinya di Royal Academy, Belanda. Hampir semua perusahaan besar yang mengiklankan produknya di surat kabar Indonesia, mulai dari “Soerabaiaasch Handelsblad” sampai “D’Orient” , memakai jasa keahlian Lavies.
Art Deco adalah gayanya yang khas dalam menciptakan kreasinya. Art Deco sendiri adalah sebuah gerakan desain yang populer dari 1920 hingga 1939, Lavies tidak tanggung-tanggung, mulai dari poster pertunjukan teater sampai iklan pelayaran mendapatkan sentuhan artistiknya. Ia bisa disebut raja promosi dunia perhotelan. Logo Hotel Des Indes Batavia, Oranje Hotel Soerabaia, Hotel Nongkodjadjar Lawang, Hotel Homann, Grand Hotel Garoet, Hotel Toegoe Djokdja, Hotel Tjandi Semarang, Hotel De Burr di Deli dan masih banyak lagi.
Karya klasiknya, Fly to Java, menampilkan gambar sebuah pesawat melayang di atas Borobudur. Langit kuning, sementara stupa-stupa Borobudur berwarna biru. Rancangan Lavies era 30an yang bergaya naturalisme mooi indie – Indonesia nan Indah sangat terasa mencolok pada desain rancangan Lavies, sehingga dianggap sebagai the spirit of modern advertising (Kompas, 2002).
Desainer advertensi yang lain ialah M. Van Meeteren Brouwer (1882-1974), Brouwer membuat seri promosi tembakau merk Van Nelle, dengan motto sama: Tembaco Van Nelle njang Paling Baik tapi dengan gambar beda-beda (Tempo, 2002), dengan seting penduduk pribumi dengan warna iklannya yang khas bernuansa sephia. Selain itu masih ada seniman reklame profesional seperti Besten Pieter den (1894-1972), dengan karyanya yang terkenal Van Nelle Koffie Thee dan Jongert Jac. (1883-1942) dengan visualisasi iklan rokoknya yang berjudul Van Nelle’s lichte shag met de Jiffy sigarettenmachine.
Dekade itu muncul pula biro iklan Reclamebedrijt di Batavia, dan merupakan perusahaan iklan yang sangat maju. Bukan hanya karena ditunjang peralatan memadai, namun juga tenaga-tenaga reklame dari Eropa. Tenaga-tenaga artisitk periklanan yang menonjol antara lain: F. Van Bemmel, Is. Van mens dan Cor van Deutekom (Hannykardinata, 2009). Adapun klien mereka umumnya perusahaan besar seperti BPM (Bataafche Petroleum Maatschappij) di Surabaya, serta General Motor dan KPM (Koninklijke Pekevaart Maatschappi) di Batavia waktu itu. Iklan dari Reclamebedrijt menyebar di berbagai surat kabar di luar Batavia, seperti Soerabaiasch Handelsblad di Surabaya dan Semarang (Maters, 2003: 198).
Fenomena depresi ekonomi tahun 1930-an merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia di masa kolonial. Krisis keuangan dunia pada awalnya sangat memukul industri di wilayah Hindia Belanda, terlebih akibat membanjirnya barangbarang impor yang harganya jauh lebih murah (Wahid, 2009: 184). Segera saja industri reklame pada waktu itu menyambut dengan tangan terbuka, untuk membantu penyebaran produk impor dengan serangkaian promosi iklannya. Di antaranya ialah produk sabun mandi bayi Aunty Mays, cerutu lisong buatan Holland bermerek Karel I, dan sepeda impor berbagai merek dari Belanda untuk kaum pria dan wanita.
Penggunaan permesinan dalam industri tekstil di Hindia Belanda waktu itu berkembang pesat sejak tahun 1930an atau yang dikenal dengan era penggunaan mesin tenun. Gaya estetik modern di masa pemerintahan Hindia Belanda secara umum merupakan serapan gaya estetik Eropa yang diimplementasikan melalui gaya hidup, terutama pilihan benda. Meskipun masih terbatas di lingkungan kota-kota besar, fenomena tersebut menunjukkan adanya keterbukaan budaya masyarakat di wilayah Nusantara untuk menyerap tren kebudayaan baru serta adanya kecenderungan menyerap citra moderen (Sachari, 2007: 70, 138).
KESIMPULAN
Iklan masa kolonial era tahun 1930an, telah memberi kesempatan kepada pribumi di Nusantara melihat dunia baru tentang produk barat dan budayanya. Penggambaran figur pribumi dan idiom visual budaya Indonesia, dimanfaatkan sebagai obyek yang menjadi daya tarik eksotik pariwisata atau pendekatan visual dalam menawarkan produk. Dari visualisasi relik yang ada, secara ideologis kolonial Belanda menggunakan parameter barat, sehingga visualisasi iklan tidak jarang menimbulkan kontradiksi terhadap budaya timur yang memunculkan pergeseran baik etik maupun estetik. Hal ini berakibat pada penampilan masyarakat lokal yang mulai mengadopsi nilai-nilai barat ke dalam kehidupannya sehari-hari dalam berbudaya. Gaya desain atau style yang ada, mensiratkan pada semangat jamannya, hal ini dapat dilihat dari tema, teknik dan medianya atau produk dalam sajian iklan yang dibuat.
Kebudayaan kolonial Belanda yang datang memperkaya kebudayaan Indonesia, hal itu ikut menumbuhkan kebudayaan moderen di Indonesia, ini dapat dicermati melalui gaya hidup masyarakat dan serapan nilai estetiknya (Soekiman, 2000: 73). Gaya desain grafis Indies berkembang di masa kolonial Hindia Belanda dan mengalami puncak perkembangan artistiknya di tahun 1930-an. Gaya Desain yang dikembangkan para perancang grafis Belanda merupakan perpaduan antara gaya desain modern yang berkembang di Eropa awal abad ke- 20 dengan seni rupa yang merupakan produk budaya lokal. Perpaduan itu membentuk suatu gaya indies yang menjadi sumber inspirasi bagi kreativitas perancang desain grafis masa selanjutnya. Iklan masa kolonial di Indonesia, berkembang seiring dengan kemajuan pengetahuan terutama di bidang perekonomian dan industri, berunsur idiom – idiom yang disesuaikan dengan target pasarnya. Dalam konteks fenomena sosial dan gagasan tentang kemoderenan iklan di Indonesia kini, tentunya tak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme Hindia Belanda itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Wahid, Abdul. 2009. Bertahan di Tengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930, Depok : Penerbit Komunitas Bambu.
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia, Jakarta, Penerbit Erlangga.
Riyanto, Bedjo. 2000. Iklan Surat Kabar, dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial 1870-1915. Yogyakarta : Penerbit Terawang.
Setiyono, Budi (ed). 2004. Reka Reklame, Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984, Yogyakarta, Penerbit Galang Pres.
Setiyono, Budi (ed). 2004. Cakap Kecap (1972-2003). Yogyakarta : Penerbit Galang Press.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis, dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad X, Yogyakarta : Penerbit Bentang.
Garraghan, Gilbert J., SJ, , 1957. A Guide to Historical Method. New York : Fordham University Press.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Hermanu. 2006. Pikat Pameran Iklan Cetak Generasi ke 2. Yogyakarta : Penerbit Bentara Budaya.
Lombard, Denys. 2007. Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Miert, Hans van. 2003. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Jakarta : Penerbit Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu.
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, Alihbahasa Hermojo. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Maters, Mirjam. 2003. Dari Perintah Halus ke Tindakan kekerasan, Pers Zaman Kolonial antara kebebasan dan Pemberangusan 1906-1942. Jakarta : Penerbit Hasta Mitra-Pustaka Utan kayu.
Ricklefs, M.C., 2008. Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. Jakarta : Penerbit Serambi.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Kategori Sejarah pada Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Vlekke, Bernard H. M., 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta : Penerbit Gramedia.
W.F, Wertheim. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana.
[Z]oo Produkties. 1995. “Nederland Indonesia, 1945-1995, Suatu Pertalian Budaya “. Den Haag.
PENERBITAN KHUSUS
Riyanto, Bedjo. Juli 2005. “Gaya Indies: Gaya Desain Grafis Indonesia Tempo Doeloe”, Jurnal NIRMANA, UK Petra, Vol.7, No. 2.
Kasuma, S.S, M.Hum, Gayung. Dari Privacy ke Vulgar: Perilaku Seks di Jawa Awal Abad ke-20.
Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-17, November 2006 di Hotel Millenium, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono. 2005. “Sejak Indische Sampai Indonesia”. Jakarta : Kompas.
Noertjahyo, J.A. 18 June 2009. “Sigaret Kretek, Tonggak Bangsa”. Kompas edisi Milenium.
Nota Forum Betawi Blogger: “Cerite Soal Iklan Di Betawi Jaman Duluuu Banget”.
Sangkelana. Desember 2006. “Djongos Kassie Kartoe Makan!”: Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Jawa Disajikan dalam Seminar Hasil Penelitian Departemen Sejarah FIB UI.
Irwanto, Budi. 4 Juni 2007. “Jejak Iklan dan Imaji Konsumsi” yang diselenggarakan oleh TeMBI Yogyakarta, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni “Anjani”. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma, Ruang Seminar FISIPOL UGM.
Jumat, 19 Januari 2007. “Mesin Waktu Itu Bernama Enamel”. Kompas.
16 November 2002. “Menengok Seni Poster Jan Laves”. Kompas.
Kardinata, Hanny. Senin, 19 Januari 2009. Desain grafis dalam sejarah, Napak Tilas Desain Grafis Indonesia, Bulletin Desain.
11 November 2002. “Reklame-Reklame ‘Meneer’ Lavies”. Tempo, 37/XXXI.
“Perkembangan Ekonomi Dan Demografi Di Indonesia Pada Masa Kolonial”. www.idonbiu.com.
Baskoro Suryo Banindro, Drs, MSn
Lahir di Magelang, 22 Mei 1965, mengajar di almamater sejak tahun 1992. Menyelesaikan studi sarjana di ISI Yogyakarta tahun 1990 bidang studi Disain Komunikasi Visual dan studi pascasarjana di ISI Yogyakarta tahun 2010 bidang Pengkajian Seni, minat utama Disain Komunikasi Visual. Email: banindro@yahoo.com
Jurnal dekave diterbitkan oleh Program studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa FSR, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan Nomor ISSN: 2087-9709, sebagai media publikasi ilmiah berupa karya penelitian maupun rancangan dalam bidang komunikasi visual, yang mencakup: bahasa rupa, budaya visual, desain grafis, multi media, dan lain-lain. Jurnal dekave diharapkan dapat memberi kontribusi dan menumbuh-kembangkan keilmuan serta dunia praksis komunikasi visual di tanah air. Redaksi jurnal dekave membuka peran segenap pihak: perguruan tinggi, penulis, desainer, budayawan, mahasiswa, dan pembaca umumnya untuk terlibat aktif dalam mengisi berbagai artikel, maupun memberi masukan dalam jurnal ini.
“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”