“Tiada hal yang sama persis, semua selalu berubah, menjadi baru.” (Nietzche)
Rekan-rekan pengajar, praktisi, dan mahasiswa yang saya hormati,
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Saya tersanjung dan merasa terhormat telah diikutsertakan dalam seminar Industri Versus Pendidikan [?]. Terus terang, ada sifat paradoksikal dengan judul seminar di atas, sehingga saya agak ragu ketika pertama kali mendekatinya. Saya mohon maklum sebelumnya, apabila ada sesuatu yang salah dalam penulisan yang persiapannya singkat ini.
Sebelum saya masuk ke materi, saya ucapkan selamat kepada FSRD UNTAR dalam memperingati Dies Natalis ke-XIII. Semoga FSRD UNTAR terus maju mencetak desainer yang mampu menjawab tantangan masa depannya.
Lebih dari tiga bulan lalu saya kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi S-2 dengan banyak harapan terhadap desain grafis Indonesia. Selama tiga bulan tersebut saya mengalami banyak hal yang sukar dijelaskan lewat kata. Dalam kesempatan ini, saya akan coba utarakan secara umum dan singkat dalam sesuai dengan konteks permasalahan yang di atas.
Seringkali simtom debat pendidikan versus industri bagai dua ujung tombak yang arahnya melaju dengan arah berlawanan, sehingga terkesan tidak akan bertemu. Anggapan umumnya demikian. Dalam anggapan umum tersebut, dalam lajunya—walau berlawanan—terjadi argumentasi hebat, malah persaingan agar salah satu kubunya unggul. Apakah ini yang disebut polaritas? Saya menganggap nosi perdebatan atau polaritas antara pendidikan dan industri tidak perlu terjadi. Dalam hal ini kita perlu telaah lagi karena banyak reciprocity, atau sifat “saling membutuhkan” antara industri dan pendidikan—malah suatu keterikatan yang saling membangun. Namun, mari kita coba telusuri bagaimana pandangan pertentangan polar ini terjadi agar dapat memfungsikannya ke perdebatan yang kini. Dengan sedikit menyeberang ke perdebatan lain yang klasik, saya berharap dapat menemukan konstelasi yang beresonansi dengan permasalahan rekan-rekan.
Simtom masyarakat modern adalah berpikir secara polar yang biner, yaitu yang pola pemikiran yang bila tidak positif, pasti negatif. Ini adalah turunan epistemologi barat yang juga dijajah kepada bangsa kita—yang hingga kini masih kita rasakan residunya. Padahal, kondisi masyarakat kontemporer Indonesia begitu kompleks dan majemuk, tidak lagi hanya terdiri atas komponen yang bertolak belakang dari dua sisi. Sehingga, pemikiran biner ini tidak mungkin diterapkan dengan mudah di konteks Indonesia. Dalam perjalanan dan perkembangan waktu, pembedaan biner ini tidak menemukan titik temu yang membangun, melainkan makin tajam berlawanan arah. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh Homi Bhabha, dalam polaritas biner, unsur budaya yang saling bertolak-belakang seringkali saling membutuhkan (Bhabha 1994, 28-56). Celakanya, kini polaritas biner ini makin mempercepat perdebatan yang sengit dan mengarah ke karakter destruktif. Polaritas yang sering kita alami saat ini dipacu oleh media massa dan tutur verbal antar masyarakat. Pemberitaan dan komunikasi massa sering menggunakan dikotomi seperti “pemerintah vs. rakyat,” “kaya vs. miskin,” “benar vs. salah,” “jujur vs. bohong,” dan sebagainya. Padahal kehidupan kita—apalagi masyarakat Indonesia—tidak terdiri atas dua sisi saja, tetapi multi-sisi. Seringkali kita mengalami suatu sisi abu-abu yang tidak bias terhadap salah satu kubu saja, malah dua-duanya. Di dunia pendidikan dan industri, polaritas yang biner ini direpresentasikan oleh perdebatan antara teori dan praktik, khususnya di pendidikan desain grafis, yaitu bagaimana “desain grafis dianggap sebagai kegiatan praktitk sehingga ditakdirkan untuk melawan teori.” (Blauvelt 1998, 71)
Dalam buku yang dikompilasi Steven Heller “The Education of a Graphic Designer,” Andrew Blauvelt – seorang pengajar dan penulis desain dari Amerika Serikat – mengutarakan bahwa ada kekhawatiran dari dua kubu – profesi/industri dan pendidikan – bahwa, penolakan desain grafis terhadap teori akan membodohkan tingkat intelektualitas di kalangan profesinya sendiri. Sementara di sisi lain, profesi/industri khawatir bahwa teori sangat tidak jelas dan terlalu abstrak untuk dapat berguna bagi profesi desain grafis. Sehingga Blauvelt menganjurkan bagaimana “merancang ulang teori khusus untuk praktik.” Tentu mengajar teori khusus untuk praktik bukanlah hal yang baru, sehingga kita perlu teliti apa yang dimaksud Blauvelt dengan “teori khusus untuk praktik.” Blauvelt lanjut menjelaskan bahwa sempat terjadi ketakutan di kalangan profesi desain grafis dengan berkembangnya kepemilikan komputer pribadi – semua pemilik komputer pribadi berpeluang untuk menjadi pengusaha ‘desktop publishing’. Ketakutan ini hampir mendekati kenyataan di kondisi kini, contohnya kita sering menjumpai bahwa desain grafis pun dapat dihasilkan oleh siswa SMA atau masyarakat non-profesi yang memiliki komputer pribadi dan telah membaca buku panduan grafis komputer yang mudah diperoleh dari toko buku, atau mengikuti kursus singkat yang lengkap dengan sertifikasinya. Perangkat teknologi makin memasyarakat, demokratis, makin ekonomis, demikian pula ilmu praktik grafis. Sehingga, muncul kekhawatiran penumpulan makna dalam profesi desain grafis sebagai garda terdepan penghasil komunikasi massal. Yang menarik tentu, ketika desain grafis dihadapi pada dilemma yang mengancam keabsahan profesinya, ia justru melirik ke dunia pendidikan agar mengatur dan mampu menciptakan derajat kualitas lulusannya, sehingga di masyarakat, terutama di industri dan di antara ‘pemakai jasa desain grafis’ atau klien, dapat membedakan yang mana ‘profesional’ dan yang mana ‘amatiran’. Dan tidak kalah penting juga, industri menekankan bagaimana pendidikan dapat mempertahankan profesi desain grafis sebagai kekuatan sosial dan budaya.
Ini yang dimaksud Blauvelt dengan “teori khusus untuk praktik,” yaitu bagaimana memberi “added value” ke pendidikan praktik desain grafis sehingga tidak hanya mempertajam skill atau memahami kecantikan, tetapi juga “makna” yang terkandung di dalamnya. “Makna” dalam hal ini hanya dapat disadari lewat pemahaman terhadap sejarah, kondisi politik, sosial, budaya kini dan masa lalu. Sebagai penyelesaian dilemma ini, pendidikan desain grafis Amerika Serikat menyiasati dengan menyuntik ‘teori’ ke materi ajaran-ajarannya, dengan harapan bahwa “added value” di atas dapat menjawab permasalahan-permasalahan industri.
“Theory provides the basis with which to ask questions not only about work, but also through work. And if nothing else, what design lacks in terms of interesting work these days is not necessarily more visual variety, but rather more provocative questions and polemical answers.” (Blauvelt 1998, 74)
Jan Van Toorn pernah menganjurkan peran desainer grafis sebagai “practical intellectual.” Blauvelt, dalam hal ini setuju karena teori berperan secara integral dalam proses pembuatan karya desain grafis. Ini senada dengan yang saya alami bersama rekan-rekan desainer sewaktu bekerja, yaitu ada kesulitan dalam proses penciptaan desain yang meloncat, instan, tidak menjawab permasalahan dari klien, intuitif dan semaunya mereka/kita, sehingga akhirnya secara konsep tidak ‘nyambung’, ada kesenjangan dengan visual yang diakhirkan. Padahal kelancaran menyambungkan konsep dan visual untuk menyampaikan komunikasi desain grafis bukan ke klien saja tetapi juga ke pengguna akhir desain itu. Seringkali desainer lupa bahwa ada metodologi yang dipakai untuk menjawab permasalahan, malah sewaktu kuliah desainer diajar metodologi yang dipakai untuk mengindentifikasi dan memahami permasalahan. Kelemahan-kelemahan ini perlu diramu ulang pendidikan agar teori dan metodologi juga praktis terpakai oleh mahasiswa desain grafis setelah lulus.
Kesulitan praktis banyak dialami desainer yang baru lulus. Salah satunya adalah beradaptasi dengan pacu roda industri yang menuntut kinerja cepat, terkadang jauh lebih cepat ketimbang masa kuliah. Kesulitan skill komputer, kurangnya pemahaman teknik cetak, gagapnya pengetahuan umum atau terhadap hal-hal yang sedang tren dalam desain. Adapun kesulitan desainer menyampaikan gagasan dan konsep dengan lugas, dengan percaya diri. Walau ini perkara-perkara teknis lapangan, tetapi bukankah hal ini selayaknya dilatih dalam pendidikan?
Apakah kesulitan-kesulitan ini termasuk paradigma “siap pakai” yang diwanti-wanti oleh industri? Atau ‘siap pakai’ sekedar penguasaan skill komputer belaka. Kita juga harus memahami permintaan kualifikasi apa yang diperlukan oleh industri. Definisi siap pakai itu apa buat industri maupun pendidikan? Namun industri juga harus bertanya pada dirinya, apakah integritas seorang desainer grafis, pengiklan, desainer multimedia, dan sebagainya terbatas di produksi visual untuk seorang patron saja, dan lebih parah untuk tujuan profit? Saya sering ngeri karena jawaban sebagian besar profesi “tentu untuk uang, bila untuk desain saja kita tidak akan maju.” Saya tidak sependapat atas jawaban ini. Dalam usaha desain, esensi kita sebagai manusia perlu dipertanyakan kembali, karena tujuan awal adanya desain sebagai applied arts adalah untuk memajukan kehidupan manusia. Profesi sering terbuai oleh kapital yang ia buru sehingga patron/klien-lah yang ia tuju untuk memuaskan, padahal si penggunalah yang harusnya desainer tuju. Bila hanya untuk uang, mendingan tidak perlu berusaha desain, melainkan menjadi komunikator marketing. Terkadang profesi lupa bahwa posisi mereka vital, menjadi penghubung industri dan masyarakat.
Ok, dan bila hanya memuaskan sang klien, apakah karya desain cukup dengan penguasaan komputer yang apik, cantik, sehingga secara kinerja produksi visual cepat, dan efesien. Ada bahaya yang sering dialami dalam industri desain grafis, yaitu bahayanya terjerumus ke ‘kompleks pabrik’ yaitu industri grafis yang bersifat seperti pabrik (atau lebih parah “sweat shop”), desainer berperan sebagai mesin produksi visual yang harus memenuhi kuota sehingga mendatangkan profit bagi atasannya. Kondisi inilah yang terjadi sehingga desainer-desainer muda alergi dan trauma terhadap “kerja,” padahal pengalaman ini penting untuk mempertajam pemahaman industri. Bagaimanapun bekerja untuk orang lain, selain mencari pengalaman adalah mencari nafkah. Sering desainer muda kita menjadi mesin yang dieksploitasi secara maksimal sehingga tidak daya kerja yang dikeluarkannya tidak setimpal dengan kompensasinya. Eksploitasi ini adalah dosa kapitalisme yang penting kita kritik bersama. Di sisi lain, bila persaingan antar desainer grafis yang main “murah-murahan” terus berlanjut, industri akan memanfaatkan, mengekspoitasi demi margin profit mereka sendiri. Bila ini terjadi, eksploitasi di dlaam profesi desain dalam wujud kompensasi yang tidak adil akan kerap terjadi. Tentu ini gambaran yang general, tetapi mengandung sedikit kebenaran.
Dalam rangkumannya, Andrew Blauvelt kembali (refleksi) kepada dirinya sebagai seorang pendidik desain grafis, yaitu sikap apa yang harus diambil dalam mengajarkan teori kepada mahasiswanya. Kesepakatan sikap dan pandangan harus diambil oleh para pengajar, tutur Blauvelt, yaitu sikap: “graphic design does not begin nor end in the objects it makes.” (Blauvelt 1998, 76) Sehingga model teori yang kini diajarkan ke mahasiswa desain grafis tidak hanya teori tentang produksi visual, tetapi juga teori, misalnya sejarah dan kebudayaan kontemporer yang dialami secara kotekstual (sesuai dengan batasan-batasan kondisi sosial) oleh mahasiswanya, yaitu produksi budaya dan konsumtifisme kapitalisme. Sejarah yang kontekstual jarang diajarkan oleh pendidikan kita. Yang saya alami sekarang justru pengajaran sejarah warisan sistem otoriter yang memusatkan ilmu pada dosennya, yang ilmunya hanya berupa tanggalan-tanggalan peristiwa kronologis serta sifat-sifat gaya grafis yang dijumpai saat itu. Banyak elemen yang terlewati dari pembelajaran sejarah yang justru sangat menggema, seperti keadaan politik, sosial dan budaya saat peristiwa itu terjadi sehingga mempengaruhi gaya grafis. Keilmuan sejarah kini berada di luar konteks mahasiswa sehingga mereka tidak dapat memfungsikan sejarah secara praktik. Sejarah tidak ada relevansi dengan kepentingan mereka sendiri.
Pengajaran teori perlu senada dan dekat dengan mahasiswa, relevan dengan kondisi yang dialami mahasiswa sendiri, juga dinamis dan siklikal (artinya berputar sesuai perkembangan jaman), mengajarkan mereka untuk jeli melihat dan mempertanyakan apa yang ada di luar produksi dan hasil akhir visual, bahwa ada “makna” di dalam karyanya, bahwa ada interaksi antara produk dan pengguna (bukan hanya relasi dengan klien), sehingga mahasiswa perlu memahami psikolgi pengguna bukan sekedar mencari dan menetapkan psikografi dan demografi saja.
“Added value” ini tentu sinambung dengan perkembangan teknologi yang sangat relevan dengan praktik desain grafis. Kita harus memahami dan mengakui juga bahwa klien mengharapkan yang terbaik dari desainer. Dengan memakai jasa desainer, klien mengharapkan pengetahuan dan pengalaman yang dapat membantu mengembangkan produk mereka. Desainer harus menganggap klien sebagai mitra yang intelek, walau perspektifnya terhadap “value” komunikasi produknya berbeda dengan pandangan desain. Justru inilah yang perlu ditanggapi oleh desainer sebagai tugas, tugas agar klien memahami perspektif desain yang bermanfaat untuk mengembangkan produknya secara efektif. Tugas jatuh kepada profesi, didukung sebelumnya oleh pendidikan, untuk membuka mata klien terhadap “value” lain di dalam desain, di luar produk akhir. Kehausan akan konsep saya sering rasakan di antara klien yang intelek, yang justru menolak produksi visual yang intuitif dan saya sebut dangkal. Penyakit profesi adalah menggeneralisasikan sifat klien: selalu untuk profit semata. Padahal klien, seperti juga desainer grafis, majemuk, kompleks, dan intelek, tergantung dari pemahaman latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi. Pemahaman ini yang hanya dapat diajar oleh pendidikan lewat psikologi sosial dan perilaku konsumen.
Saya menyambut baik tema seminar ini, yaitu “mengembangkan profesi desain grafis menuju terbangunnya ‘sinerji’ antara industri dan dunia pendidikan.” Sinerji adalah satu kata yang menarik untuk kita simak. Dalam hibriditas yang dikemukakan Homi Bhabha, ia menjelaskan bahwa sebuah hibrida adalah perkawinan silang, antara dua mahluk yang bertolak belakang secara jenis dan sifat, namun memiliki ketergantungan satu dan lainnya (reciprocality), sehingga menghasilkan anak yang memiliki dan tidak memiliki kedua sifat-sifat orang tuanya; neither the one nor the other (Bhabha 1994, 37). Anak ini adalah hibrid, mahluk jenis baru yang unik dan mampu mencairkan perbedaan polar yang dimiliki orang tuanya. Hibrida yang dicari oleh Bhabha disebut ruang ke-tiga (Bhabha 1994, 54). Di antara perdebatan polar, Bhaba menganjurkan hibrida yang diwakili ruang yang dapat menampung sekaligus mengakui perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga manusia dapat melihat secara jelas dan esensial perdebatan yang terjadi tanpa “bias” sehingga mencairkannya ke dalam “hasil” atau sinergi pemirian yang lebih kaya dan kompleks. Saya setuju dengan kalimat Bhabha: lebih baik negosiasi daripada negasi (Bhabha 1994, 37). Sinergi bagi saya adalah hibrida. Di dunia desain grafis Indonesia ada banyak entitas/institusi yang mampu mencairkan perdebatan pendidikan dan industri yaitu asosiasi dan forum keprofesian yang kini diwaliki oleh, antara lain, ADGI, FDGI, GODOTE Forum, dan sebagainya. ADGI bersifat mewakili industri karena anggotanya sebagian besar berasal dari kalangan industri, sementara FDGI bersifat mewakili pendidikan karena fondasinya dari para pendidik desain grafis. GODOTE mewakili praktisi muda dan mahasiswa yang haus dengan industri yang sesuai dengan jaman mereka. Institusi-institusi tersebut memiliki visi untuk menjadi jembatan bagi industri dan pendidikan. Tentu perdebatan ini dapat diselesaikan dengan kerjasama antara dua pihak yang berdebat, namun perlu pihak-pihak ke-tiga untuk mewadahi dan mencairkan perdebatan tadi agar menjadi hibrida, ruang permasalahan baru yang manfaatnya terasa maju. Saya rasa institusi-institusi di atas tepat mewakili ruang ketiga yang Bhaba maksud.
Menyinggung perbedaan, desain sebagai perangkat komunikasi antara industri dan pemakai akan mengalami interseksi dari berbagai disiplin ilmu yang mengandalkan desain grafis mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka. Komunikasi berarti interseksi antar disiplin perlu terjadi, dengan catatan harus secara kritis (selektif) dan secara konstelatif. Jurusan desain grafis dalam lingkungan universitas sebagai fondasi pembangun pendidikan grafis jangan sampai terhalang oleh tembok eksklusifitas. Justru posisi keilmuan kreatifitas perlu dimanfaatkan sebagai penyambung/komunikator disiplin lain, serta juga memperkaya kelilmuan bidang desain grafis. Di dalam elemen-elemen biner tadi juga perlu terjadi sinergi. Pendidikan desain grafis perlu memanfaatkan system universitas yang multidisipliner. Tentu ini harus didukung oleh kebijakan agar pendidikan desain grafis terbuka dan bebas menyerap ilmu, berkolaborasi dengan keilmuan lain. Jurusan lain demikian juga perlu membuka diri untuk bekerja sama dengan keilmuan lain.
Teori dalam pendidikan desain grafis bertujuan untuk menciptakan desainer grafis praktikal yang kritis. Ini berarti pendidikan grafis tidak sekedar mencetak desainer grafis yang siap pakai oleh industri sebagai buruh atau lelucon yang sering dilontarkan rekan-rekan arsitek kita “drafter” melainkan desainer yang mampu mempertanyakan produksi dan konsekuensi karyanya. Desainer yang perlu diciptakan oleh pendidikan adalah desainer yang kritis memberi makna kepada karyanya, sadar bahwa karyanya berkontribusi memajukan budaya dan peradaban masyarakatnya. Sehingga kita perlu, bersama-sama, meredefini istilah “siap pakai.” Apakah kegunaan “siap pakai” yang dimaksud industri juga sinergis dengan yang dimaksud pendidikan? Menurut saya iya, harus sinergis, kedua-duanya harus bisa diaplikasikan ke desainer grafis kontemporer di Indonesia. Kita harus mengingat bahwa tren kini adalah kewirausahaan desain grafis yang tidak lagi mengandalkan penyerapan tenaga oleh industri. Desainer grafis yang dicetak oleh perguruan tinggi mayoritasnya mendirikan usaha sendiri atau berkumpul dengan teman-temannya untuk berusaha. Kenyataan ini harus dipahami dan diantisipasi oleh industri maupun pendidikan.
Akhir kata, Blauvelt menyebut bahwa “In a problem-posing education (bukan problem-solving), students must be able to critically examine their world and their role in it.” (Blauvelt 1998, 76). Desainer grafis yang mandiri adalah mereka yang peka terhadap dunianya dan perannya di dunia itu. Mari kita sebagai pendidik dan profesional menyikapi pernyataan tersebut dalam konteks dunia kita yang makin rumit dan berpeluang.
Sekali lagi saya mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan. Apabila tulisan ini terasa belum luas dan hanya mencakup satu sisi saja, saya berharap sisi yang saya lontarkan akut, sehingga dapat dirajut ke konteks permasalahan yang cukup luas ini dan menggema dalam konstelasi yang menyeluruh.
Terima kasih, selamat berdiskusi!
Pustaka Rujukan
Bhabha, Homi K. The Location of Culture. New York: Routledge, 1994.
Blauvelt, Andrew. “Remaking Theory, Rethinking Practice,” dalam The Education of a Graphic Designer, suntingan Steven Heller. New York: Allworth Press, 1998.
Makin banyak manfaat, makin sedikit dampak, makin baiklah desain itu