Nilai Kreatif vs Nilai Ekonomi

Sejak sekitar tiga tahun yang lalu ekonomi kreatif mulai mendapat perhatian pemerintah. Seingat saya dalam suatu diskusi kecil di Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2008, yang membicarakan tentang persiapan Biennale Jakarta yang ke 13, Yudi Surjoatmodjo, yang waktu itu masih bekerja untuk British Council, menjelaskan tentang pentingnya industri kreatif. Sejak itu gencar diadakan diskusi, seminar dan sebagainya tentang industri kreatif. Bahkan setiap tahun British Council menyelenggarakan International Young Creative Enterpreneur Awards, dimana pengusaha muda di bidang kreatif industri seluruh dunia menjadi pesertanya dan beberapa kali pengusaha muda Indonesia menjadi pemenang.

Dari fenomena di atas saya mencoba menarik kesimpulan bahwa isu industri kreatif mulai digemakan oleh pemerintah Inggris yang diwakili oleh British Council. Gaung ini disambut oleh pemerintah, karena pemerintah melihat seni mempunyai potensi ekonomi yang menyokong masuknya devisa negara. Gejala ini sebenarnya bisa dilihat ketika kebudayaan ditempatkan dibawah Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ini adalah upaya pemerintah untuk menggerakkan kesenian agar bisa menjadi penyokong devisa negara.

 

Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif

Alvin Toffler membagi peradaban manusia dalam tiga gelombang yaitu, abad pertanian, abad industri dan abad informasi. Peradaban manusia ternyata berlanjut pada peradaban baru yaitu gelombang ke empat, yang disebut sebagai ekonomi yang berlandaskan pada kreativitas manusia. Ekonomi yang berorientasi pada kreativitas manusia saat ini tengah mendapat perhatian di negara-negara maju dan kesadaran ini mulai ditularkan pada negara berkembang. Ekonomi kreatif ini ternyata mampu menyumbangkan devisa yang cukup besar bagi negara-negara maju. Sebagai contoh, sektor industri kreatif di Amerika memberikan pemasukan devisa sebesar 7,75% pada tahun 2001; Inggris 7,9%, tahun 2001 dan Australia sebesar 3,3%, tahun 2000.

Saya tidak ingin terjebak dalam definisi ekonomi kreatif yang masih belum jelas, di mana masing-masing departemen yang berhubungan dengan persoalan industri mempunyai batasan sendiri-sendiri. Saya juga tidak melihat cetak biru yang komprehensif yang bisa dipakai sebagai acuan. Bahkan saya kawatir pembuatan cetak biru yang tidak komprehensif justru akan membatasi kreativitas, yang pada kenyataannya kreativitas akan selalu melampaui semua undang-undang maupun sistem pendidikan. Namun agar pembicaraan saya tidak bias, maka saya hanya akan memakai batasan sederhana:

Ekonomi adalah sistem yang berhubungan dengan kegiatan manusia dalam memproduksi, mendistribusikan, pertukaran atau perdagangan, dan mengkonsumsi benda dan jasa yang diciptakannya.

Kreatif berhubungan dengan kegiatan manusia yang dilandasi oleh sikap mental yang selalu ingin menghasilkan ide-ide baru yang didasari oleh konsep keindahan. Untuk bisa menghasilkan ide baru dan mempunyai nilai keindahan, maka diperlukan manusia yang mempunyai keahlian dan rasa keindahan yang melebihi kemampuan manusia rata-rata. Jadi ekonomi kreatif adalah semua sistem yang berhubungan dengan kegiatan manusia dalam memproduksi, mendistribusikan, pertukaran atau perdagangan, dan mengkonsumsi benda dan jasa yang dilandasi oleh keahlian dan kreativitas manusia

Sengaja saya tempatkan kata nilai keindahan –yang tidak pernah disinggung dalam definisi yang ada, juga dalam wacana– karena semua produk kreatif dikonsumsi dengan pertimbangan unsur keindahan yang terdapat pada produk tersebut selain nilai fungsionalnya.

 

Harapan dan Kenyataan

Optimisme terhadap industri kreatif bukanlah hal yang berlebihan, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia mewarisi talenta seni yang bersifat turun-temurun. Kelebihan ini menjadi ciri khas hampir pada sebagian besar etnis di Indonesia. Demikian juga dengan program pemerintah dalam mendukung perkembangan sektor industri yang berbasis kreativitas manusia Indonesia tentulah sangat menggembirakan. Apalagi dengan ditempatkannya ekonomi kreatif menjadi bagian dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai bukti sambutan yang luar biasa dari pemerintah—kalau tidak bisa dibilang berlebihan—karena ekonomi kreatif dibedakan dan diberi tempat yang nampak istimewa dibanding dengan sektor-sektor industri lainnya.

Upaya pemerintah untuk mendukung ekonomi kreatif tentu tidak bisa dilepaskan dalam konteks perjalanan kebudayaan bangsa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia terdiri dari etnis-etnis yang secara alamiah mempunyai talenta kesenian yang luar biasa. Akan tetapi tak boleh dilupakan bahwa sejak pemerintahan Orde Baru kebudayaan tidak mendapat perhatian dan pembinaan dengan baik. Bahkan setelah tahun 1965 secara sistematis kesenian tradisional dimatikan secara perlahan-lahan. Hampir semua kesenian diawasi ruang geraknya agar tidak menjadi alat politik praktis dari kelompok manapun kecuali politik pemerintah Orde Baru. Secara administratif seluruh kesenian tradisional di data dan diawasi, sedangkan biaya pendataan dibebankan kepada kelompok kesenian di daerah-daerah, padahal pemerintah tahu bahwa komunitas seni tradisional tidak mempunyai pendapatan. Artinya kebijaksanaan itu akan membunuh kesenian tradisional.

Catatan sejarah membuktikan bahwa pembangunan bangsa Indonesia tidak pernah menempatkan kebudayaan sebagai bagian penting. Kebudayaan telah dipolitisir menjadi alat untuk membungkam kegiatan kreatif yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan politik pemerintah. Hal ini terus berlanjut hingga sekarang. Seluruh permasalahan sejarah kebudayaan masa lalu bukan hanya berhenti sebagai catatan merah bagi perjalanan bangsa Indonesia, tetapi juga mengakibatkan talenta masyarakat dalam kesenian ikut hancur. Akibat lain adalah pemerintah Orde Baru melahirkan generasi buta kebudayaan, generasi tak paham kebudayaan dan mereka saat ini telah menjadi bagian dari para pemimpin negara ini. Maka beberapa waktu yang lalu isu dicaploknya kesenian Indonesia seperti angklung, reog, batik dan lagu-lagu Indonesia oleh Malaysia adalah bukti nyata ketidak pahaman dan ketidak pedulian pemerintah terhadap kebudayaan Indonesia.

Akibat dari sejarah ini juga bisa kita lihat saat ini, diantaranya, ketidak pahaman pemerintah terhadap pengembangan kesenian di daerah-daerah. Hal ini bisa dilhat dari tidak berfungsinya lembaga kebudayan pemerintah seperti Taman Budaya di daerah-daerah. Tidak adanya pembinaan terhadap sentra-sentra kerajinan dan para pengrajin dengan baik. Tidak adanya lembaga pendidikan yang menyediakan jurusan Art Management, Art Marketing. Maka bisa dikatakan bahwa upaya pengembangan ekonomi kreatif ternyata tanpa pemahaman terhadap kesenian dan kebudayaan dengan baik, juga tanpa infrastruktur yang memadai.

Pemerintahan yang baru saja melakukan pengubahan kabinet dengan menempatkan kebudayaan dan ekonomi kreatif dalam dua departemen yang berbeda, juga merupakan bukti ketidak pahaman pemerintah terhadap kebudayaan. Dimana proses produksi karya seni, konsumsi dan apresiasi yang seharusnya merupakan bagian yang tak terpisahkan kini diberi garis batas oleh pembagian kegiatan seni sebagai bagian dari budaya dan bagian dari ekonomi praktis. Proses penciptaan atau proses produksi yang didukung oleh nilai-nilai ideal yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat, wacana yang menumbuhkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai ideal dan nilai-nilai lainnya telah dipisahkan dengan nilai-nilai fungsional yang berhubungan dengan pasar. Nilai ideal dan pembinaan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara pasar di tempatkan pada Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebuah kesenian tidak akan berkualitas tanpa mempunyai nilai ideal, sebaliknya nilai ideal harus disosialisasikan, diapresiasi oleh publik dan dikonsumsi. Kini kesenian telah dimutilasi, dimana nilai-nilai ideal dipisahkan dengan hal-hal yang praktis dan ekonomis.

 

Anak Tiri Ekonomi Kreatif

Jelas bahwa seluruh tatanan dan sistem dalam pelaksanaan ekonomi kreatif berjalan di atas logika pasar, yaitu supply and demand. Hanya seni yang bisa diserap oleh pasar dan bersifat industri yang dikategorikan dalam industri kreatif. Sedangkan seni yang dianggap kurang mampu mendongkrak pemasukan devisa negara tidak akan mendapat perhatian. Hal ini bisa dilihat dalam “Instruksi Presiden RI No 6 Th 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif”, karya seni yang tidak memenuhi logika pasar tidak termasuk dalam pengkategorian apa itu ekonomi kreatif. Saya melihat pengkategorian ini merupakan terjemahan Creative Industries dari Wikipedia. Perbedaannya adalah pada kategori Arts and Antique markets” diterjemahkan menjadi “Pasar seni dan Antik”.

Seni rupa tidak terdapat dalam kategori ekonomi kreatif secara independen, kemungkinan seni rupa dimasukkan dalam kategori “Pasar seni dan Antik”, maka hanya seni rupa yang bisa terserap oleh pasar saja yang mendapat perhatian. Sedangkan seni rupa yang memakai media-media baru dan media alternatif yang sangat eksperimentatif yang sulit diserap oleh pasar tidak akan mendapat perhatian. Padahal eksperimentasi, eksplorasi estetis adalah cara untuk menemukan ide-ide baru dalam seni rupa. Sedangkan seni teater dan seni tari kemungkinan dimasukkan kedalam kategori “Seni pertunjukan”. Seni musik dicantumkan tersendiri, meski seni musik juga termasuk dalam seni pertunjukan, tetapi mungkin karena sifat industrialisasinya yang sangat kuat, maka seni musik dicantumkan tersendiri. Sedangkan seni sastra saya asumsikan termasuk di dalam kategori “Penerbitan dan Percetakan”, meski seni sastra tidak selalu diterbitkan dalam bentuk buku. Lantas bagaimana dengan sastra lisan? Bagaimana dengan sastra yang diterbitkan secara online?

Batasan antara industri dan proses penciptaan yang bersifat individual tidak dijelaskan secara rinci. Apakah batasan industri yang menghasilkan produk seni yang bersifat massal dan terorganisir dalam suatu lembaga saja yang bisa dianggap sebagai industri. Lantas apakah seni yang bersifat individual serta tidak memenuhi kriteria sebagai industri dianggap sebagai kegiatan non industri? Demikian juga lembaga-lembaga independen dan komunitas seni alternatif yang mempunyai program-program kerja non komersial, tetapi membelanjakan dana yang cukup besar untuk kegiatannya akan dianggap bukan menjadi bagian dari ekonomi kreatif.

Kaburnya kriteria semacam ini akan menempatkan beberapa bentuk kesenian sebagai anak tiri. Persoalannya, kriteria yang tidak jelas akan mengaburkan perhatian dan penilaian yang proporsional terhadap aktivitas seni tertentu. Sebagai contoh, seni rupa kontemporer Indonesia yang tidak mendapat perhatian sebagaimana industri seni lainnya yang banyak mendapat publikasi. Pada kenyataannya pasar seni rupa kontemporer Indonesia menempati posisi ke empat setelah Korea Selatan. Demikian juga seni rupa kontemporer Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini mendapat perhatian besar dari berbagai art fair di Asia, Eropa dan Amerika. Beberapa galeri besar di Paris, Milan, Berlin, Amsterdam, London, Roma, Sydney dan beberapa kota besar di Eropa. Mereka menggalang hubungan dengan perupa Indonesia. Belum lagi sekitar sepuluh perupa Indonesia yang setiap tahun terlibat dengan kegiatan seni rupa yang berskala besar seperti biennale-biennale penting di dunia. Tidak adanya support dan perhatian pemerintah terhadap seni rupa menciptakan sikap apatis para perupa terhadap program ekonomi kreatif. Tanpa ekonomi kreatif seni rupa juga bisa berkembang dengan baik dan mampu mengangkat citra Indonesia di mata internasional.

 

Pasar vs Kreativitas

Antara pasar dan kreativitas seringkali dipertentangkan. Yang lebih mementingkan kreativitas sulit untuk diterima pasar sebaliknya yang laku di pasar tidak terlalu mementingkan kreativitas. Pandangan semacam ini tidak selalu benar. Persoalan yang seringkali terjadi adalah ketika sebuah industri lebih berorientasi pada market, maka logika pasar akan lebih diutamakan. Hal ini dikarenakan benda seni diproduksi hanya untuk memenuhi peluang pasar dan harus bisa memenuhi selera pasar. Sementara art marketing yang benar adalah pemasaran yang berorientasi pada produk. Artinya produk seni yang dihasilkan oleh seniman kemudian dicari pasarnya. Kalau ternyata pasar belum ada, maka tugas dari bagian pemasaran adalah menciptakan pasar dan membinanya agar pasar terbentuk.

Contoh yang menarik adalah pengalaman seorang pemilik galeri di Jakarta. Beliau mengamati bahwa pemasaran seni patung belum tergarap baik di Indonesia. Pemilik galeri ini melihat peluang pasar yang belum tergarap dengan baik, dengan indikasi bahwa pertumbuhan gedung bertingkat dan rumah-rumah besar semakin banyak. Tetapi pemilik gedung, rumah dan kolektor muda belum mempunyai kesadaran untuk mengisi ruang-ruang yang ada dalam gedung bertingkat dan rumah mereka dengan objek tiga demensi. Lantas pemilik galeri ini membuat pameran-pameran patung. Pameran digelar dalam sebuah mal yang banyak dikunjungi oleh orang kaya. Kegiatan ini dilakukan dalam waktu satu tahun lebih nyaris dengan penjualan yang tidak memadai. Tetapi Bapak ini tetap melakukan kagiatan dengan intensif dan berbicara dengan para kolektor, yang artinya beliau mendidik para kolektor. Pembinaan yang intensif terhadap pasar ini akhirnya menciptakan pasar baru bagi karya patung. Kini setiap orang yang ingin membeli karya seni tiga demensi selalu mencari galeri tersebut. Ini sebuah contoh pemasaran yang berorientasi pada produk atau prodcuct oriented.

Cara pemasaran yang salah berdampak pada sistem produksi. Pemasaran yang berorientasi pada pasar akan lebih mementingkan persaingan harga untuk mendapatkan keuntungan. Kegiatan untuk mendapatkan kualitas yang baik dari sebuah produk seperti eksplorasi kreatif dalam desain, riset, dan pengembangan produk akan disederhanakan atau bahkan dihilangkan. Sebagai contoh, persaingan pada pasar batik saat ini berakibat penurunan kualitas dan pembohongan dalam hal teknik kepada konsumen yang tidak paham teknik batik. Mereka tidak paham perbedaan batik tulis, batik cap, batik kombinasi cap dan tulis, batik printing dan batik sablon dengan teknik membuat pola dengan mencanting malam pada screen sablon. Kita bisa melihat turunnya kepercayaan konsumen terhadap batik Pekalongan yang mana sebelumnya batik Pekalongan berkualitas sangat baik. Hal ini dikarenakan banyaknya pemalsuan dan pembohongan teknik kepada konsumen dan juga berakibat menurunnya kualitas. Sebaliknya batik Lasem saat ini justru mendapat kepercayaan dari konsumen dan meningkatkan penjualannya karena peningkatan kualitas produk.

Persoalan sistem pemasaran produk seni ini tidak pernah disinggung dalam diskusi-diskusi di situs ekonomi kreatif bahkan juga pada Keppres tentang ekonomi kreatif.

 

Pendidikan dan Infrastruktur

Tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam mewujudkan suksesnya ekonomi kreatif. Saat ini tidak tersedia tenaga kerja dalam bidang ekonomi dan manajemen yang bisa mendampingi berkembangnya industri kreatif, padahal tenaga ini sangat dibutuhkan terutama untuk mengembangkan insdustri perumahan di sentra industri kreatif di Indonesia. Seorang seniman, desainer atau pengrajin tidak selalu bisa memasarkan sendiri produk yang mereka buat. Di dalam sistem pemasaran yang berorientasi pada produk sebaiknya seorang desainer atau pengrajin tidak langsung berhubungan dengan pasar. Seorang desainer, seniman atau pengrajin sebaiknya lebih fokus pada penciptaan produk dan eksplorasi produk.

Pendidikan seni yang masih menganut sistem pendidikan modern sudah tertinggal. Kepercayaan terhadap tradisi penciptaan bahwa karya seni adalah olah rasa bukan olah pikir harus ditinggalkan. Sistem pendidikan tidak memberikan metoda pengajaran agar seluruh mata pelajaran terintegrasi satu sama lain dan lebih penting lagi agar pendidikan terintegrasi dengan kehidupan. Terputusnya sistem pendidikan dengan realitas kehidupan lebih diperparah lagi dengan adanya sistem pendidikan seni yang tidak memberikan peluang bagi para praktisi seni untuk bisa mengajar. Hal ini dikarenakan persyaratan administratif yang tidak memungkinkan para praktisi yang tidak punya status kelulusan sebagai persyaratan mengajar.

Pendidikan sudah menjadi industri dan mengadopsi sistem yang salah ini. Lembaga pendidikan hanya menyediakan fasilitas dan sistem pengajaran yang praktis untuk menarik minat siswa baru yang dianggap sebagai konsumen. Ilmu untuk memahami perkembangan kebudayaan tidak dianggap perlu. Alhasil pendidikan hanya menciptakan tukang yang ahli tetapi tidak mampu memahami perkembangan kebudayaa. Akibat tanpa pembekalan teori kebudayaan dan kemampuan untuk membaca perkembangan zaman, maka kreativitas akan mandeg.

Ekonomi kreatif adalah peluang yang luarbiasa, tetapi tanpa sinergi dari ketiga hal ini, yaitu infrastruktur, pemahaman yang benar dan support yang baik, maka peluang hanya ada di depan mata terus, tidak pernah kita raih sebagai kenyataan.

 


Makalah ini dibuat untuk Seminar Sehari “Menuju Perekonomian (yang) Kreatif”, Rabu 14 Desember 2011 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jakarta.

Quoted

Some nature is better polluted by design and art

Henricus Linggawidjaja