Patriarki dalam media promosi: Sebuah pendekatan semiotis tentang tampilan iklan dan kemasan celana dalam pria

PENDAHULUAN

Pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer manusia sejak awal mula. Manusia purba mulai menggunakan pakaian sebagai pelindung kulit dan tubuh dari cuaca dan gangguan serangga. Seiring sistem kebudayaan yang mulai berkembang, kegunaan pakaian ditambah dengan fungsi sosial. Fungsi ini terlihat dari pakaian yang berfungsi sebagai penanda gender dan tingkat sosial dalam masyarakat. Dari pakaian yang terbuat dari kulit binatang hingga ditemukannya serat katun, pakaian dibuat dengan tangan. Setelah revolusi industri, pakaian mulai dibuat secara massal, berkat ditemukannya mesin pemintal dan mesin jahit.

Sejak industri pakaian mulai berkembang, produk pakaian jadi (ready to wear) sebagian besar dibuat untuk konsumen wanita. Fenomena ini disebabkan oleh tendensi peminat pakaian wanita jauh lebih banyak dari pada pakaian pria. Sebagian besar wanita menilai keberagaman pakaian sebagai kebutuhan, karena mereka tumbuh melihat figur ibu yang dituntut harus bersolek demi kedudukan dalam lingkaran sosial. (Lacan : 1997) Ditambah lagi perempuan mengganggap pakaian yang mereka kenakan merupakan penunjuk dari pribadi mereka (dan standar penilaian seorang pribadi). Menurut Jung, tingkah laku perempuan yang terlihat umumnya jauh lebih personal dari laki-laki. (Jung, 1996). Sehingga lelaki jarang membeli pakaian berdasarkan keinginan, melainkan kebutuhan, apalagi untuk pakaian dalam yang hanya terlihat oleh si pemakai. Kecenderungan ini sekarang telah bergeser.

Industri pakaian wanita berkembang dengan amat pesat, begitu pula dengan pakaian dalam wanita. Merek-merek eksklusif Eropa dan Amerika seperti La Senza, Marks & Spencer dan Victoria Secret mulai melebarkan sayap ke negara-negara Asia. Lain halnya dengan industri pakaian untuk lelaki. Hanya sebagian kecil produsen yang tertarik untuk memproduksi pakaian pria, lebih sedikit lagi perancang busana yang berminat menggarap pakaian dalam pria. Berikut ini akan dipaparkan sekelumit sejarah pakaian dalam yang digunakan oleh kaum Adam. Kemudian akan dibahas desain kemasan pakaian dalam lelaki dewasa untuk memenangkan minat konsumen.

Sejarah Pakaian Dalam Pria

Lelaki Mesir sudah menggunakan baju dalam berbahan linen sejak 2000 SM. Berbentuk sederhana, dan digunakan untuk pakaian sehari-hari. Untuk acara resmi, mereka menambahkan kain linen berlipit yang dililit berbentuk rok. Sementara kaum bangsawan menambahkan jubah linen berlipit dan perhiasan. Begitu pentingnya pakaian dalam, sehingga tersedia beberapa cadangan dalam makam para Pharaoh. Lelaki Yunani kuno tidak menggunakan pakaian dalam, mereka mengenakan chiton, selembar kain wol tanpa jahitan yang dijepit dengan bros dari tulang/emas/perunggu yang disebut fibulae. Baru di atasnya mereka mengenakan jubah yang disebut himation. Bentuk pakaian dalam kuno yang paling mendekati pakaian dalam modern adalah subligaculum yang digunakan lelaki Romawi. Kata subligaculum berarti celana dan digunakan di bawah toga atau tunik.

Kegunaan baju dalam sebagai pelindung baru terlihat pada abad pertengahan. Sekitar abad ke-13 di Eropa, kaum lelaki mulai menggunakan celana longgar (baggy drawers) linen yang disebut braies. Celana dalam mulai popular pada masa ini, terutama digunakan oleh para ksatria sebagai pelindung kulit agar tidak lecet terkena baju zirah. Braies menggunakan teknik serut-ikat (drawstring) yang diikat dengan tali linen. Kaum bangsawan kaya menggunakan chausses di atas braies, celana sepanjang lutut yang dijahit sesuai dengan bentuk kaki.

Chausses yang lebih ketat menyerupai stoking yang disebut hose, menjadi tren pada era Renaisans. Panjang celana ini biasanya tepat di bawah lutut dan diberi jahitan semacam ban. Bahan yang digunakan semakin beragam, beludru, sutra bahkan berhias bulu binatang untuk musim dingin. Pada abad ke-14 memanjang hingga tumit. Warna-warna hose yang digunakan semakin berani, bahkan pada abad ke-15 banyak digunakan mi parti, 2 warna yang kontras digunakan untuk masing-masing kaki. Terbukti saat itu pakaian dalam tidak hanya berguna sebagai pelindung dan penghangat kulit, tetapi juga memiliki fungsi estetis.

Pada era ini, braies juga didesain untuk kemudahan buang air kecil bagi pemakainya dengan menambahkan semacam bukaan berkancing pada bagian depan (sistim praktis yang masih digunakan hingga saat ini). “Bukaan” ini terkadang diberi sumpalan agar ukuran genitalia terlihat mengesankan. Tren memberi sumpalan mencapai puncaknya saat Raja Henry VIII dari Inggris turut mempraktikan. Penggunaan sumpalan mulai dilebih-lebihkan sehingga tidak tampak realistis lagi. Tren ini berakhir akhir abad ke-16. Sebagai gantinya “bukaan” ini dijadikan kantong. (Yarwood: 1977)

Pada Era Ratu Victoria, kaus dalam mulai digunakan. Secara keseluruhan, kaus dan celana dalam (drawers) dibuat dengan tangan dari bahan wol, katun atau sutra. Warna yang digunakan menjadi terbatas pada putih. Sedangkan di Amerika sebelum perang sipil, drawers terbuat dari wol flanel sepanjang lutut.

Revolusi industri memungkinkan pemintalan benang katun dengan mesin, sehingga pakaian dalam dapat diproduksi secara massal. Pada periode ini lelaki, wanita dan anak-anak dari berbagai kalangan dapat membeli pakaian dalam di toko. Sebagian besar menggunakan pakaian dalam (berbentuk terusan celana) yang disebut union suits yang memiliki bukaan berkancing di bagian belakang untuk memudahkan buang air. Sebutan stoking lelaki: “long john” didapat dari petinju Long John Sullivan yang terkenal pada tahun 1880an, beliau memakainya sebagai kostum tinju. Long john masih digunakan hingga kini dan mengalami evolusi material dari wol hingga lycra®.

Selepas abad ke-16, kolonialisme mulai marak di kalangan kerajaan Eropa. Selain rempah-rempah yang menjadi tujuan utama, mereka juga membawa varietas tumbuhan baru sebagai penemuan merambah dunia baru. Penemuan bahan karet di semenanjung Malaya amat penting dalam sejarah pakaian dalam. Bahan karet digunakan untuk berbagai macam produk, dari ketapel hingga ban hidup (berisi gas). Sifat mulur karet, membuat para inventor untuk mencoba menggunakan bahan baru ini sebagai pengencang baju dalam. Thomas Hancock (Inggris) mencampurnya dengan Sulfur dan memasukkannya dalam pintalan benang. Selain lebih mudah untuk ditenun, karet tersebut juga lebih tahan terhadap suhu panas dan dingin. Benang elastis ini berkembang terus sehingga ditemukan elastex, spandex (1959) dan lycra®.

Pada masa kolonialisme, lelaki Indonesia mulai menggunakan pakaian dalam yang amat sederhana pada masa perang dunia ke-2. Sebagian besar memakai katun kasar (blacu) yang diberi pemutih (blauw) dan direndam dalam larutan terigu lalu dijemur hingga kaku. Pada masa pendudukan Jepang bahan goni bekas karung digunakan dengan pencucian berkali-kali. Saat mencuci, goni dibanting-banting ke permukaan batu agar melembut.

Perkembangan celana dalam pria di Indonesia seiring tren zaman

Perekonomian dunia makin membaik pada era 80-an, para desainer seperti Calvin Klein, Tommy Hilfiger, JOCKEY mulai tertarik untuk menggarap pasar pakaian dalam pria. Kemampuan daya beli masyarakat makin meninggi, memberi inspirasi mereka untuk membuat pakaian dalam yang tidak hanya nyaman, tetapi juga bergaya. Daya tarik utama dari pakaian dalam yang mereka produksi adalah seks. Inti dari promosi mereka adalah celana dalam yang memukau dilihat oleh pasangan dan menambah daya tarik seksual. Selaras dengan pemikiran Marx, yang menilai kapitalisme komoditi tidak hanya semata obyek utilitas, tetapi bergeser sebagai obyek yang memiliki nilai mistis tertentu. (Piliang: 2003).

Potongan dibuat semakin minim dan membuat genitalia terlihat semakin besar. Bentuk bikini, thongs dan g-string dibuat tidak hanya untuk wanita. Preferensi bentuk selain tergantung pada selera, juga tergantung pada iklim. Bentuk drawers, boxer, long john populer di daerah dengan 4 musim, yang notabene mengalami musim dingin bersuhu rendah. Sementara brief, bikini, thongs lebih popular di daerah beriklim tropis, seperti negara-negara di Amerika Selatan.

Produsen celana dalam pria di Indonesia juga mengikuti tren di Amerika dan Eropa. Sampai awal 80-an, hanya ada 3 merek baju dalam pria yang tersedia di pasaran Indonesia : HING’S, GT Man dan Swan. Kemasan dibuat sesederhana mungkin karena celana dalam dibeli karena kegunaannya sebagai pelindung genitalia dari celana pantalon yang pada umumnya berbahan berat. Lelaki bertendensi membeli barang yang diperlukannya semata, merek bukanlah pertimbangan. Celana dalam hanya dinilai sebagai obyek utilitas semata. Kaus dalam memiliki kegunaan sekunder agar tubuh tidak langsung terlihat di bawah kemeja berbahan agak transparan.

Akhir 80-an JOCKEY dan Rider membuka pabrik di Indonesia dan mulai memasarkan produknya untuk pasar lokal. Munculnya merek-merek baru yang ditawarkan membuat pilihan tidak terbatas pada Swan atau HING’S semata. Para desainer dan produsen garmen mulai berlomba menawarkan produknya. Ada 2 manifestasi desain yang diterapkan para produsen untuk memberdayakan desainnya menurut Agus Sachari. Pertama: upaya untuk meningkatkan inovasi dan kedua, pengusangan produk dengan penawaran model/ varian baru. (Sachari : 2002)

Dengan demikian kemasan harus mengandung kedua unsur tersebut agar menarik pembeli. Peningkatan inovasi dapat ditonjolkan melalui pemakaian bahan yang semakin nyaman dan potongan yang makin beragam. Penggunaan bahan stretch-cotton dan penambahan label “100% cotton”, dinilai peningkatan inovasi yang dapat lebih menarik konsumen. Trik “pengusangan” produk lewat peluncuran varian “baru” (dalam hal ini kebaruan hanya dalam hal warna) biasanya sudah memiliki target kalangan tertentu. Sebagai contoh misalnya boxer dengan motif kamuflase (atau lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia dengan motif “ABRI”) atau tokoh kartun tertentu yang ditujukan untuk kalangan remaja yang ingin menunjukkan boxer tersebut. Tren hip hop dan punk memaparkan penyanyi yang mengenakan celana di bawah garis pinggang, sehingga boxer tampak oleh orang lain. Fungsi sosial bergeser dari pakaian dalam yang tabu terlihat orang lain, menjadi pakaian dalam harus terlihat.

Semiotika dalam iklan dan kemasan celana dalam pria

Seperti yang telah dikemukakan di atas, ketiga produsen awal pakaian dalam pria di Indonesia adalah Swan, GT Man dan HING’S. Ketiga merek ini hanya menggunakan plastik bening dengan teknik sablon untuk mencetak merek mereka pada bagian bawah depan kemasan. Penggunaan plastik bening dimaksudkan agar produk terlihat jelas oleh calon konsumen. Celana dalam dilipat di atas sebentuk karton sehingga terlihat rapi dan kotak. Bentuk kemasan ini bersifat tanpa basa-basi (straight-forward) menunjukkan fungsi celana dalam semata. Gaya ini tidak berubah sampai kompetitor-kompetitor lain mulai memproduksi dan melempar produknya ke pasar. Masih seperti HING’S dan Swan, kemasan produk JOCKEY juga menggunakan plastik bening dan dilipat meliputi karton. Mulai tahun 90-an JOCKEY menjual celana dalam berbentuk paket yang berisi 3 pasang yang digulung. Semula kotak paket tersebut hanya menggunakan mika, sehingga isi dapat langsung terlihat. Kemudian seiring dengan muncul kompetitor lain, mulai ditambahkan foto pada kemasan berbahan art carton.

Sebelum era kaum wanita Indonesia berkarir di luar rumah, merekalah yang wajib membeli pakaian dalam bagi suami dan anak mereka. Jarang sekali lelaki dewasa membeli pakaian dalamnya di pasar atau toko kelontong. Hal ini membuat para produsen tidak mementingkan persepsi kaum lelaki akan produknya. Sehingga iklan dan penggarapan desain kemasan dianggap tidak perlu. Apalagi penggarapan desain kemasan untuk dilihat kaum pria sebagai pemakai.

Lain halnya dengan masyarakat perkotaan dewasa ini. Mayoritas lelaki dewasa mulai membeli pakaian dalamnya sendiri. Sehingga persepsi mereka sebagai pembeli dan pemakai berarti amat besar. Masyarakat urban, baik lelaki maupun wanita, membeli suatu produk dengan berbagai pertimbangan. Faktor iklan dan kemasan adalah pertimbangan yang besar. Dalam hal ini kemasan tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus, tetapi juga sebagai iklan dari produk tersebut.

Menurut Yasraf Amir Piliang, unsur semiotika yang selalu tampak dalam iklan memiliki 3 unsur yaitu : obyek, konteks dan teks.

Obyek dalam hal ini berarti produk yang diiklankan. Dalam hal iklan dan kemasan celana dalam pria, obyek selalu mengambil entitas berupa visual. Obyek juga memiliki fungi sebagai elemen penanda yang mewakili produk. Dalam setiap iklan, celana dalam pria sebagai sang obyek selalu ditampilkan dengan jelas. Jika perlu secara mendetil sehingga bahan yang empuk dan jahitan yang rapi dapat terlihat. Penampakan produk wajib hukumnya, karena kaum lelaki harus melihat secara jelas produk yang akan dibeli. Jarang iklan produk untuk lelaki yang hanya menampilkan citra atau gaya hidup belaka. Masih terlihat gaya tanpa basi-basi dari kemasan celana dalam pria sejak dekade 70-an. Dalam hal ini seluruh kemasan, seluruh merek pakaian dalam memampang produk.

Unsur yang kedua adalah konteks. Dalam iklan celana dalam untuk pria, konteks mengambil bentuk berupa penanda pemberi makna pada obyek.

Hasrat narsistik aktif, di mana seseorang berhasrat untuk menjadi orang lain. Dalam hal ini calon pembeli mengidentifikasikan dirinya dengan model yang terlihat di iklan dan kemasan. Selanjutnya Lacan mengemukakan ego yang mengidentifikasikan dirinya secara imajiner dengan orang lain.

Pengidentifikasian diri lewat orang lain membuat pemilihan badan model yang maskulin dan sehat bin sempurna. Badan model yang dipilih tidak memiliki lemak. Keenam otot perut benar-benar terlihat sepenuhnya, menunjukkan model yang sehat dan rajin berolahraga. Kesempurnaan fisik yang lain menurut masyarakat era ini adalah unsur “muda” yang terlihat dari kulit yang masih kencang. Bagian genitalia yang disumpal membuat ukurannya terlihat besar (seperti tren yang dipopulerkan Raja Henry VIII dari Inggris). Hal ini juga disebabkan kebiasaan pebalet pria yang menyumpal legging agar bentuk genitalia tidak jelas terlihat agar tidak saru.

Kesempurnaan tubuh juga dipengaruhi oleh warna kulit. Bagi masyarakat yang terpesona oleh kulit yang terbakar matahari, maka dipilih model yang memiliki warna kulit kecoklatan (tanned skin). Sedangkan bagi masyarakat Indonesia yang selama dekade terakhir ini terobsesi dengan kulit yang putih, dipilihlah model kaukasia berkulit putih.

Unsur ketiga adalah teks yang memperkuat makna (anchoring). Berbentuk tulisan. Untuk iklan dan kemasan celana dalam, makna yang perlu diperkuat adalah penyampai pesan tersebut, yaitu merek produsen. Merk memiliki fungsi sebagai penanda strata sosial. Sehingga harus dipasang di kemasan luar dan di produk. Beberapa merek bahkan memasang namanya berulang-ulang pada elastik celana. Menampilkan elastik yang memiliki merek “bergengsi” menjadi tren tersendiri di kalangan lelaki muda bergaya hip-hop.

Berikut ini contoh kemasan celana dalam pria yang memiliki ketiga unsur tersebut:

 gambar 1. Kemasan celana dalam bermerek GT Men


gambar 1. Kemasan celana dalam bermerek GT Men

Dalam gambar di atas, terlihat obyek berupa celana dalam terlihat dengan jelas. Konteks ditunjukkan dengan badan model yang atletis. Nuansa hitam putih yang digunakan bermaksud memberi kesan eksklusif dan menambah kesan maskulin. Sedangkan teks tampak lewat merek. Peningkatan inovasi juga tampil dengan logo “US Cotton”.

Kemasan dan iklan pakaian dalam pria juga memiliki kode sosial dan kode komoditi. Menurut Eco (1976), bahasa tubuh dan orientasi fisik berperan penting dalam membentuk persepsi pemirsa (kode sosial). Sementara fashion sendiri merupakan kode komoditi. Kode-kode ini juga dapat terlihat dalam contoh gambar di atas.

Mengapa model yang digunakan tidak bermuka?

Hal yang menarik dari iklan dan kemasan baju dalam pria adalah pemotongan foto dari model yang menghilangkan sebagian/keseluruhan muka mereka. Penulis meninjau rak beberapa toserba dan pasar yang menjual pakaian dalam pria. Sebagai contoh toserba Matahari memajang 12 merek, hanya 3 yang menunjukkan muka model. Hal ini berlaku bagi merek produksi Matahari group sendiri (Cole) dan merek-merek lain. Berikut ini 2 contoh kemasan celana dalam pria dari merek yang berbeda.

gambar 2. Contoh kemasan merek lokal dari Matahari grup

gambar 2. Contoh kemasan merek lokal dari Matahari grup

gambar 3. Contoh kemasan merek luar yang sudah diproduksi di Indonesia

gambar 3. Contoh kemasan merek luar yang sudah diproduksi di Indonesia

Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga berlaku untuk situs belanja pakaian dalam pria internasional. Berikut ini 1 contoh kemasan pakaian dalam dari situs toserba waralaba Debenhams dari Inggris.

gambar 4. Contoh kemasan pakaian dalam yang dijual di www.debenhams.co.uk

gambar 4. Contoh kemasan pakaian dalam yang dijual di www.debenhams.co.uk

Untuk situs, seperti barenecessties.com (Amerika Serikat) dan topdrawers.co.uk (Inggris). Berbagai merek, harga, model ditawarkan oleh kedua situs ini. Pembeli dapat langsung memesan dan produk yang dipilih akan dikirim setelah pembayaran lewat kartu kredit diterima. Dalam kedua situs ini, penampilan wajah model juga dipotong. Bahkan untuk kaus dalam pria, muka model mengalami pemangkasan juga. Berikut contoh dari kedua situs tersebut.

gambar 5. Contoh dari www.bareneccesities.com

gambar 5. Contoh dari www.bareneccesities.com

gambar 6. Contoh dari www.topdrawers.co.uk

gambar 6. Contoh dari www.topdrawers.co.uk

gambar 7. Contoh dari www.topdrawers.co.uk

gambar 7. Contoh dari www.topdrawers.co.uk

Untuk situs yang lebih eksklusif, model bermuka hanya digunakan dalam header. Sebagai contoh di sini situs dari Armani Exchange, lini sekunder dari rumah mode Armani.

gambar 8. Contoh halaman dari situs www.armaniexchange.com

gambar 8. Contoh halaman dari situs www.armaniexchange.com

Ada tiga kemungkinan alasan yang akan dicoba penulis untuk menjelaskan isu ini.

Teori dari Jacques Lacan bahwa anak laki-laki yang dibesarkan dalam tatanan hidup patriarkal akan berusaha menjadi Phallus. Dalam pengertian Lacan, Phallus tidak berarti penis, melainkan “pusat” yang mengatur seluruh struktur. Disebabkan oleh tatanan hidup patriarkal, maka manusia yang memiliki penis dianggap sebagai pemilik “pusat” tersebut.
Keberadaan wajah yang lain (di atas torso model) membuat pembeli tidak menjadi pusat lagi. Keberadaan “saingan” berupa model yang memiliki muka harus dihilangkan.

Menurut penulis, wajah adalah hal utama bagi pengidentifikasian sebuah ego. Penghapusan bagian kepala membuat sebuah “ego” menjadi lenyap dan hanya menjadi obyek semata. Begitu pentingnya kepala, sehingga patung-patung raksasa di Pulau Paskah yang memiliki anatomi kepala sepanjang badan. Contoh lain adalah patung-patung di Papua yang mengetengahkan perbandingan anatomi yang serupa. Pemenggalan kepala dalam mitos cara paling manjur membunuh drakula adalah contoh yang lain. (Eksekusi untuk kejahatan berat lewat tradisi memenggal kepala dengan guillotine di Perancis?)

Pentingnya anggota tubuh yang ini membuat eliminasinya penting juga. Pengambilan/pemotongan kepala merampok personifikasi dari iklan dan kemasan celana dalam pria tersebut. Sehingga jika keberadaan wajah sang model tidak dapat membentuk suatu “persaingan”. Kemudian calon pembeli dapat menjadi alpha-male (lelaki utama dalam kelompoknya) dan menjadi penentu kembali.

Alasan lain yang menjadikan “perampokan personifikasi” ini adalah homofobia. Preferensi seksual ini bernilai amat negatif dalam pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya. Beberapa wawancara informal dengan lelaki Indonesia urban dewasa merasa risih dan jijik jika melihat model/foto lelaki berpakaian minim. Mereka juga menganggap hal tersebut hanya menarik bagi kaum homoseksual, dan merasa takut disangka homo jika menyukainya. Ketakutan ini berlaku juga saat memilih kemasan/ produk pakaian dalam.

Kebiasaan yang berbeda berlaku untuk iklan cetak di Eropa dan Amerika. Unsur selebritas dapat dijual sebagai nilai jual yang unik. Terutama selebriti yang memiliki prestasi dalam olahraga atau musik. David Beckham, mantan kapten sepak bola Inggris dikontrak jutaan dollar Amerika agar menjadi model utama untuk baju dalam Armani. Mark Walberg yang sempat terkenal sebagai pemusik rap pada paruh awal 90-an dipilih oleh perancang busana Calvin Klein untuk menjadi model utama. Walberg, terkenal gemar memelorotkan celana saat pentas. Aksi ini amat digilai para penonton Walberg karena boxer dan otot-otot perutnya terpampang jelas. Menurut Klein, “keunikan aksi” Walberg ini akan mendorong penjualan produk baju dalam prianya. Pendapat Klein terbukti benar, iklan cetak berseri yang menggunakan Walberg mendongkrak penjualan pakaian dalam Klein. Hingga Klein memutuskan memasangkan Walberg dengan Kate Moss model dari Inggris untuk mengentalkan unsur seksi.

Kedua contoh ini dipilih karena mereka memiliki tubuh yang sehat dan otot yang terbentuk bagaikan patung David oleh Michaelangelo. Alasan kedua adalah muka tampan mereka. Walberg memiliki muka tipikal pria amerika yang gagah, sementara Beckham tidak kalah tampan menurut selera warga belahan bumi Utara. (Hal ini juga yang menyebabkan rumah mode Armani tidak memilih Ronaldinho yang notabene lebih popular sebagai pemain sepak bola ketimbang Beckham) Sebab yang lain karena kedua selebritis ini sudah terkenal sebagai lelaki heteroseksual. Mereka berdua dapat menampilkan kesan amat maskulin, meskipun memperhatikan penampilan. Walberg terkenal sebagai playboy yang berangasan dan tidak sungkan berkelahi. Sementara Beckham memiliki istri dan anak-anak, dengan kata lain sebagai seorang ayah teladan. Penggunaan selebritis sebagai model tidak umum di Indonesia. Hal ini disebabkan karena homofobia (selebriti lelaki Indonesia merasa takut nama baiknya akan tercemar karena disangka homo) dan memajang lelaki berpakaian minim di depan umum masih dianggap tabu.

gambar 9. iklan cetak brief Calvin Klein

gambar 9. iklan cetak brief Calvin Klein

webliografi
http://www.armaniexchange.com terakhir diakses 27 November 2007, pukul 12.54
http://www.debenhams.co.uk terakhir diakses 16 November 2007, pukul 15.52
http://www.bareneccesities.com terakhir diakses 16 November 2007, pukul 15.54
http://www.topdrawers.co.uk terakhir diakses 16 November 2007, pukul 15.55
http://www.wyzman.com terakhir diakses 13 November 2007, pukul 14.24

Daftar Pustaka

Bracher, Mark, Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-budaya Psikoanalitis, (1997), Penerbit Jalasutra, Yogyakarta.
Chandler, Daniel, Semiotics: The Basics, (2002), Routledge, New York.
Piliang, Yasraf Amir, HIPERSEMIOTIKA: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (2003), Penerbit Jalasutra, Yogyakarta.
Sachari, Agus, ESTETIKA : Makna, Simbol dan Daya, (2002), Penerbit ITB, Bandung.
Yarwood, Doreen, The Encyclopaedia of World Costume, (1978), The Anchor Press, London.

Quoted

Designers need to think about others for the sake of improving the human existence. What we have received is a gracious blessing. Without it, we are nothing. Which is why we need to give it back.

Yongky Safanayong