Dari Poros Gampingan
ke Poros Sewon – Bantul

Tapak Sejarah ASRI hingga Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Disampaikan dalam acara Peringatan Hari Lahir/Dies ke-62 ASRI, 14 Januari 2012 di Gedung Kuliah Umum Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta


Asalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh
Salam sejahtera
Om Swastiastu

Ibu, Bapak, dan hadirin yang saya hormati,

Pagi ini kita semua mahfum, alasan kita berkumpul di ruangan ini, adalah untuk bersama-sama merayakan hari ulang tahun, hari lahirnya ASRI Yogyakarta yang menjadi embrio Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Tak ada cara yang lebih bermanfaat dalam merayakan ulang tahun, kecuali berupaya menyisihkan waktu untuk merenung, kontemplasi, melakukan refleksi diri, mengevaluasi apa saja yang sudah dilakukan, dan membulatkan tekad untuk melakukan sesuatu yang lebih baik di waktu yang akan datang. Karena apalah artinya mengingat semuanya itu, jika kita tak sanggup memetik hikmahnya?

Karena itulah, maka sejenak saya ingin mengajak para hadirin untuk membayangkan apa yang terjadi pada sekitar 62 tahun lalu, saat ASRI dideklarasikan. Tahun 1949, empat tahun setelah Republik Indonesia diproklamirkan, sejumlah tokoh muda seperti R.J. Katamsi, Djajengasmoro, Sarwono, Hendra Gunawan, Kusnadi, Sindusisworo, Prawoto, dan Indrosugondo, terus berkutat dengan gagasan besar untuk “mendirikan institusi pendidikan senin rupa”. Saya tak tahu apa persisnya yang mendorong pemikiran itu. Karena situasi kehidupan seni rupa ketika itu, sesungguhnya – utamanya di bawah patron Bung Karno, Presiden pertama RI yang flamboyant itu – berada dalam situasi yang kondusif, romantic, dan heroic. Para seniman berada dalam kehidupan bebas, penuh daya kreatif, dan bahkan terlibat dengan perjuangan revolusi kemerdekaan. Saya membayangkan, jika mereka mau memanjakan diri sendiri bersama komunitas kecilnya, sudah cukup bahagia. Tetapi toh mereka tetap saja memikirkan kepentingan banyak orang. Saya menafsir, bahwa seiring dengan cita-cita sebagai negara merdeka, maju, dan modern, mereka ingin menempatkan seni rupa bukan sekadar ketrampilan, hiburan, dan klangenan. Tetapi lebih jauh ingin menempatkan seni rupa pada posisi yang setara dengan ilmu pengetahuan, dan dapat berperan konkrit dalam pembangunan bangsa.

Dalam berbagai diskusi atau rapat-rapat persiapan pendirian ASRI, muncul sejumlah argumentasi, antara lain dari RJ. Katamsi yang mengatakan, “seni rupa merupakan produk kebudayaan yang dapat dipelihara, dirawat, dan dikembangkan melalui suatu akademi”. Kemudian Djajengasmoro juga berpidato dan mengatakan, bahwa “ASRI justru menggali inspirasi dari alam dan masyarakat sekitarnya, dan berusaha mendidik seniman-seniman muda untuk ‘mempertebal rasa kebangsaannya’”. Jika kita perhatikan, lebih dari 60 tahun yang lalu, mereka sudah berbicara tentang hubungan seni dengan kebudayaan, hubungan seni dengan masyarakat, tentang bagaimana merawat kebudayaan, tentang alam dan masyarakat sebagai sumber inspirasi, juga tentang rasa kebangsaan.

Kita bisa membayangkan, bagaimana para tokoh itu berpikir, berdiskusi, dan saling mengokohkan argumentasi bagi kemaslahatan masyarakat seniman dan bangsa. Mereka tak hanya asyik sendiri, tak hanya berkarya sendiri, tak mengumbar kesombongan pribadi, tetapi berpikir tentang institusi yang monumental. Hasrat yang menyala itu akhirnya terwujud. Lahirlah SK Menteri PP & K No. 32/Kebudayaan, Tanggal 15 Desember 1949, berisi tentang pengesahan pendirian Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Sebulan kemudian, tepatnya pada 15 Januari 1950, pukul 10 pagi WIB, bertempat di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, ASRI Yogyakarta diresmikan. Mari kita cermati sepenggal pidato RJ Katamsi yang didaulat sebagai Direktur Pertama ASRI Yogyakarta saat peresmiannya itu: “Saudara-saudara. ASRI didirikan dengan harapan akan dapat ‘mempertinggi derajad seni rupa dan kebudayaan Indonesia’, dengan jalan “… membimbing barisan seniman-seniman baru yang dinamis dan kreatif, yang benar-benar dapat menyumbangkan jiwanya yang berbakat tinggi guna kepentingan nusa dan bangsa…”. Pernyataan Katamsi tersebut sungguh tinggi dan mulia; bahwa akademi semestinya bertujuan mempertinggi derajad seni rupa dan kebudayaan; bahwa di dalamnya seharusnya terdapat para pendidik, seniman, dan calon seniman yang dinamis dan kreatif, yang kelak dapat menyumbangkan ketrampilannya itu untuk nusa bangsa. Lima tahun kemudian, tahun 1955, Bung Karno merasa perlu mengunjungi kampus Gampingan untuk melihat langsung olah kreativitas para dosen dan mahasiswa.

ASRI terus tumbuh bersama semangat zaman. Tahun 1968, demi kepentingan derajat lulusan, ASRI berubah format menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) dengan mengabadikan nama ASRI, menjadi STSRI “ASRI” Yogyakarta, dengan kewenangan meluluskan Sarjana Seni Rupa. Zaman bergerak. STSRI terkena imbasnya. Setelah berusia 16 tahun sebagai institusi, STSRI “ASRI” mengikuti tuntutan zaman, bergabung dengan dua akademi lainnya, yakni ASTI dan AMI, berada di bawah payung ISI Yogyakarta, sejak 23 Juli 1984. STSRI “ASRI” bermetamorfosa menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain, dan sejak tahun 1992 berubah menjadi Fakultas Seni Rupa.
Hadirin yang saya muliakan,

Sejak ASRI hingga Fakultas Seni Rupa, institusi ini memiliki jejak dan kisah sukses yang mewangikan jagad seni rupa Indonesia, membahana dan mendunia. Tak boleh dilupakan adalah peran sosok-sosok ini yang berlaku sebagai seniman, sekaligus sebagai administrator. Mereka adalah: (1). RJ Katamsi (Direktur Pertama ASRI 1950-58), (2). Ign. Djumadi M. Ed (Direktur Kedua, 1958-65), (3). Abas Alibasjah (Direktur Ketiga, 1965-68, dan Ketua Pertama STSRI “ASRI”, 1968-75), (4). Abdul Kadir M.A. (Ketua Kedua, 1975-79), (5). Drs. Saptoto (Ketua Ketiga, 1979-84, Dekan Pertama FSRD ISI Yogyakarta, 1984-91), (6). Drs. Narno. S (Dekan Kedua, 1991-93), (7). Drs. Sun Ardi, S.U. (Dekan Pertama FSR ISI Yogyakarta 1993-2000), (8). Drs. Sukarman (Dekan Kedua, 2001-07), (9). Dr. M. Agus Burhan, M.Hum (Dekan Ketiga, 2007-10), dan kini (10). Dr. Hj. Suastiwi, M.Des (Dekan Keempat sejak 2010). Mereka, kesepuluh sosok yang dengan tulus dan segala resiko mengabdikan diri sebagai administrator, sebagai pemimpin ASRI hingga FSR.

Pada rentang waktu sepanjang itu, institusi ini melahirkan sejumlah nama dan peristiwa yang menjadi inspirasi bagi perkembangan seni rupa di Indonesia dan dunia. Kita tak bisa melupakan nama-nama yang membuat institusi ASRI-FSR ISI Yogyakarta memiliki wibawa dan karisma, seperti Abas Alibasjah, Widayat, Fadjar Sidik, Saptoto, Suparto, Empu Ageng Edhi Sunarso, Soetopo, Margono, Sadjiman, Asnar Zaky, Hanny Kardinata, Ir. Suparto, Ir. Merdah HS, Ikatan Alumni Disain Interior, HM. Bakir, Narno S, AN. Suyanto, Tukiyo HS, Sp. Gustami, Y. Eka Suprihadi, Herry Wibowo, Subroto Sm, Aming Prayitno, Nyoman Gunarsa, Wardoyo, Suwaji, dan lain-lainnya yang sezaman.

Proses pengajaran di ASRI-FSR ISI Yogyakarta juga penuh dinamika. Prof. Soedarso, Sp, dapat disebut sebagai salah seorang pembawa virus informasi dan inspirasi melalui metode mengajar Sejarah Seni Rupa Barat dan Sejarah Seni Rupa Indonesia dengan menggunakan banyak foto-foto slide yang variatif, yang tak bisa disangkal, berpengaruh pada pemikiran dan kreativitas mahasiswa tahun 1970-an. Langsung atau tidak, pemikiran dan aksi seni rupa terus bermunculan dari kampus Gampingan, antara lain Pernyataan Desember Hitam (1974), Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1974-1979), Pagelaran seni Kepribadian Apa/PIPA (1977), aksi Happening Art Future Shock (1982), Seni Lingkungan (1980-an), Aksi happening Destructive Image (1983), Kesenian Unit Desa/KUD (1985), dan lain-lain yang tidak mungkin saya sebutkan secara lengkap dalam kesempatan ini. Dari peristiwa itu kita menjadi ingat nama-nama seperti Agus Dermawan T, Hardi, Suatmadji, Sudarisman, Tulus Warsito, Ris Purwono, Gendut Riyanto, Bonyong Munnie Ardhie, Redha Sorana, Ronald Manulang, Ivan Hariyanto, Haris Purnama, Moelyono, dan sejumlah nama lainnya, yang melakukan terobosan pemikiran dan praktik seni.

Tradisi kreatif ini terus berlanjut dengan modus dan lingkungan yang berbeda. Pada waktu-waktu kemudian institusi ini juga diwangikan oleh olah kreatif para perupa seperti Edi Sunaryo, Ivan Sagita, Agus Kamal, Heri Dono, Eddie Hara, Dadang Christanto, Anusapati, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budiana, Nindityo Adi Purnomo, Entang Wiharso, Nasirun, Noor Sudiyati, Titiana Irawani, Alvi Lufiani, Bambang Toko Witjaksono, Fauzie As’ad, Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Alfi, Handiwirman, Rudi Mantofani, Nano Warsono, Andre Tanama, hingga generasi tahun 2000-an dengan tantangan dan jiwa zaman yang sama sekali berbeda.

Ibu/Bapak/hadirin yang saya muliakan,

Tak hanya di dunia praktik seni, ASRI-FSR ISI Yogyakarta juga melahirkan para pemikir, penulis, juga curator, yang mulai dibangun oleh Drs. Sudarmaji, Prof. Soedarso Sp., MA, Agus Dermawan T, kemudian Prof. Drs. SP. Gustami, Prof. Soeprapto Soedjono, Ph.D., MFA, Prof. Dr. Dwi Marianto MFA, Dr. M. Agus Burhan M.Hum, Drs. Sumartono MA, Drs. Sumbo Tinarbuko, M.Sn., Mikke Susanto, SSn, Kuss Indarto, S.Sn, Rain Rosidi SSn, Sujud Dartanto, SSn. M.Hum. Kawan-kawan yang bergabung kemudian, seperti Drs. Wibowo M.Sn, dan Widyatmoko M.Sn, juga turut mewarnai pemikiran seni dan disain. Merekalah yang mulai membangun tumbuhnya produksi pengetahuan sebagai penyeimbang praktik seni dan disain yang menjadi arus besar di institusi ini.

Ibu/Bapak/Hadirin yang berbahagia,

Karena peran-peran itulah, pada tahun 1970-an, budayawan Emha Ainun Nadjib (jika saya tak salah mengingat) membagi dua titik pusat ilmu dan seni dengan sebutan Poros. Yang pertama Poros Bulaksumur (untuk menyebut UGM, mewakili pusat sains/ilmu pengetahuan dan teknologi) dan kedua, Poros Gampingan (untuk menyebut ASRI – STSRI “ASRI” mewakili pusat pemikiran dan kreativitas seni). Keduanya, bertemu di Poros Malioboro sebagai melting pot tempat semua disiplin bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Sebutan “poros” pastilah tak main-main, karena poros adalah pusat, as, titik tengah, yang menjadi sumbu perputaran. Sebagai poros, tentulah ASRI memiliki wibawa yang cukup dalam kaitan pemikiran dan praktik seni di Indonesia, dan mampu menjadi partner pemikiran sains dan ilmu pengetahuan dari poros Bulaksumur.

Gejala bahwa ASRI sebagai poros yang penting dan berpengaruh, sesungguhnya sudah tampak sejak lama. Pada tahun 1956, pada Seminar Ilmu dan Kebudayaan di Universitas Gadjah Mada, sejumlah seniman ASRI tampil sebagai pembicara. Mereka adalah Soedjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Widayat, dan Amroes Natalsja. Pada tahun itu, mereka sudah menganjurkan kepada pemerintah tentang perlunya Museum Seni Rupa yang modern, tentang Museum Sejarah Seni Rupa, Museum Seni Rupa Klasik, Museum pribadi, dan ruang-ruang eksposisi. Di kalangan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat luas, kedua poros, Gampingan dan Bulaksumur bertemu, ketika itu, di Malioboro.
Zaman bergerak. Poros Gampingan harus bergeser, boyongan ke Sewon, Bantul. Dalam pandangan saya, Sewon juga harus menjadi poros, bahkan poros baru, dengan kekuatan baru, yang semestinya lebih dahsyat, karena dilengkapi oleh Seni Pertunjukan dan Seni Media Rekam. Poros Sewon seharusnya menjadi markas besar tempat lahir dan berkembangnya kreativitas dan pemikiran seni rupa dalam bentuknya yang luas dan serba mungkin dalam koridor akademik. Poros Sewon, dengan kesadaran terhadap kelemahan dan kekurangannya, tetap harus semakin percaya diri, dan seharusnya pula menjadi acuan nilai. Poros Sewon semestinya tak boleh kehilangan otoritas nilai, makna, dan karena itu tak boleh lembek. Harus berani menyorongkan gagasan-gagasan. Harus berani melakukan terobosan, membangun jaringan yang luas. Harus punya tekad mengokohkan diri dalam peta seni rupa dunia. Fakultas Seni Rupa tak boleh hanya menjadi asesoris dalam seni rupa dunia, tetapi sebaliknya harus menjadi salah satu kiblat. Sejarah dan kisah sukses yang kita miliki merupakan modal luar biasa untuk memiliki sikap-sikap semacam itu. FSR harus berani menciptakan keseimbangan antara kebutuhan para Doktor dan Profesor dengan para Seniman, Disainer, dan Maestro/Empu Ageng seni rupa. Sebuah institusi pendidikan tinggi seni rupa, dalam pandangan saya, tak boleh mengalami krisis kesenimanan, juga krisis maestro. Tak boleh ada sikap dan mental medioker yang merasa besar di rumah sendiri, tetapi tak memiliki tempat di ruang publik yang luas. Kepercayaan diri sangat penting, tetapi juga harus menghindari arogansi yang tidak perlu.

Fakta lapangan yang harus kita lihat dengan seksama adalah, bahwa ruang melting pot-nya juga bergeser; tak lagi bisa di Malioboro (karena sudah menjadi kawasan ekonomi yang massif), tetapi meluas di ruang-ruang publik baru seperti Taman Budaya Yogyakarta, Tembi Rumah Budaya, Bentara Budaya Yogyakarta, Karta Pustaka, Cemeti Art House, Sangkring Art Space, kawasan Nitiprayan, Sewon Art Space, Jogja National Museum, Jogja Gallery, dan lain-lain. Tantangannya tentu juga berbeda. Fakultas Seni Rupa dihadapkan langsung dengan peristiwa-peristiwa seni rupa, baik di Yogyakarta sendiri maupun di luar Yogya, misalnya Biennale Jogja, Biennale Jakarta, Biennale Jawa Timur, Singapore Biennale, Beijing Biennale, Shanghai Biennale, dan sebagainya. Semestinya, ruang-ruang publik dan sejumlah peristiwa penting itu, tak sekadar mengepung kita, syukur-syukur dapat ambil bagian, tetapi seharusnya menjadi mitra penting bagi FSR ISI Yogyakarta. Dengan demikian, keberadaan kita akan semakin diperhitungkan.

Hadirin yang saya muliakan,

Kini mari kita sejenak bertanya: Benarkah ASRI-FSR ISI Yogyakarta tumbuh sepenuhnya dengan kisah sukses? Saya kira kita harus berani melakukan evaluasi kritis. Saya ingin menyampaikan sejumlah catatan kritis tersebut. Pertama, dari aspek produksi pengetahuan – “pengetahuan seni rupa” – FSR, dan saya kira juga ISI Yogyakarta, masih teramat miskin; Miskin produksi dan publikasi buku, miskin dialog dan diskusi lintas bidang, belum berhasil mendorong atau melahirkan para pengkaji seni yang sesungguh-sungguhnya. Kedua, FSR ISI Yogyakarta belum menunjukkan hasratnya yang serius untuk mendinamisasikan institusi ini dengan cara, salah satunya, menerima dosen-dosen dari lulusan perguruan tinggi lain yang relevan. Ketiga, FSR bahkan juga ISI Yogyakarta hingga kini tidak berhasil mendayagunakan “alumni” – sebagai salah satu pilar penyangga almamater. Padahal alumni merupakan potensi besar yang dapat dijadikan partner dan agen mediasi capaian institusi. Pameran “Documenting Now” yang diselenggarakan di Galeri Seni beberapa waktu lalu, yang dikuratori Mikke Susanto, yang melibatkan sejumlah alumni FSR ISI Yogyakarta merupakan upaya bagus untuk melibatkan alumnus ke dalam kampus. Kegiatan itu layak diagendakan secara berkala. Galeri-galeri milik Jurusan, Galeri Seni ISI, semestinya menjadi etalase atas capaian-capaian proses pendidikan di FSR ISI Yogyakarta. Keempat, FSR ISI Yogyakarta sangat perlu memberikan apresiasi nyata pada upaya-upaya warganya – civitas academica – yang dengan caranya masing-masing menegaskan keberadaan FSR ISI Yogyakarta. Contohnya adalah kreativitas “sumur miring”, kemudian posko bencana alam, termasuk para dosen dan para mahasiswa berprestasi baik di dalam maupun di luar kampus, baik dalam memenangkan kompetisi, atau kesempatan berbicara diberbagai forum regional maupun internasional. Mereka semua menjadi “penanda” penting yang mengokohkan eksistensi FSR ISI Yogyakarta. Selayaknya mereka diapresiasi, dikaruhke, atau minimal disapa. Inisiatif-inisiatif perlu diberikan ruang dan kanal. Catatan-catatan kritis ini mungkin kurang nyaman didengar. Akan tetapi inilah fakta yang harus kita renungkan bersama, untuk dibenahi, demi kebersamaan untuk menyongsong masa depan.

Hadirin yang saya hormati,

Perayaan 62 tahun kelahiran ASRI/FSR ISI Yogyakarta – atau kelak bisa kita sebut dengan lebih sederhana dan lebih lazim – dengan mengatakan Dies Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, adalah kesempatan mempertebal keyakinan, mengokohkan rasa percaya diri, bahwa FSR memiliki kisah sukses. Seluruh sivitas akademika – para dosen, karyawan, mahasiswa, dan tentu para pimpinannya – memiliki tanggung jawab besar untuk merawat keyakinan dan rasa percaya diri itu. Antara lain dengan cara memaknai dengan gagasan dan tindakan yang nyata, positif, dan konstruktif. Institusi apapun, tak bisa dibangun dengan gerundelan dan rasa kecewa. Karena itulah kita semua tak perlu khawatir tentang sejarah ASRI yang terabaikan jika di surat undangan, di spanduk, atau di poster tak tertulis namanya, sejauh setiap warganya memiliki kesadaran dan kecintaan sejarah. Karena setiap membicarakan FSR ISI Yogyakarta, tak bisa tidak, siapapun wajib mengingat dan memahami ASRI. Karena dialah rahim yang mengandung anak-anaknya yang berbakat istimewa. Karena dialah rahim yang lentur dan adaptif; yang selalu siap menerima perubahan dengan trengginas, sejauh kesadaran sejarah itu tak ditanggalkan. Jika tahun depan dan selanjutnya kita menamai peristiwa setiap 15 Januari sebagai DIES FSR ISI Yogyakarta, tentulah benar adanya. Seiring dengan lajunya perkembangan teknologi informasi semua peristiwa bisa kita abadikan dan simpan. Sikap romantic tetap perlu, tetapi tetap harus adaptif merengkuh masa depan.

Karena itu, saya merasa relevan jika panggung ini saya gunakan untuk menyampaikan pandangan pribadi terhadap rumor tentang konversi ISI menjadi ISBI yang cukup mengganggu. Kita semua paham, bahwa ASRI-FSR ISI Yogyakarta dilahirkan oleh sejarah yang melibatkan pergulatan warganya dengan menarik dan penuh passion. Kita tumbuh bersama kesadaran sejarah semacam itu. Ibarat kemerdekaan, para pendiri ASRI mengajarkan bahwa kedaulatan sebagai institusi mandiri ini diperjuangkan, bukan diberikan. Ide tentang ISBI – benar atau tidak informasi ini – bagi saya, mudah-mudahan bagi kita yang hadir di sini, cukup mengganggu kedaulatan kita, karena itu berarti memotong sejarah. Karena itu pula, selayaknya kita merespon secara tajam dan kritis, tentu dengan batas-batas kepatutan.

Semua perenungan, ingatan, dan perhelatan ulang tahun ini tak lain adalah untuk mengokohkan kesadaran tentang asal-usul, agar kita semua tahu diri, tahu menempatkan diri, dan punya alasan untuk merasa bangga menjadi bagian dari FSR ISI Yogyakarta. Merayakan ASRI-FSR ISI Yogyakarta, sesungguhnya juga bertujuan untuk memuliakan ISI Yogyakarta sebagai payung besar kita, karena kita menjadi bagian dari ISI Yogyakarta yang kita cintai. Tentu sebaliknya, ISI Yogyakarta juga sepatutnya memberikan perhatian pada FSR secara memadai.

Hadirin yang saya muliakan,

Saya ingin mengakhiri pidato ini, dengan harapan dan ajakan, mari kita bangun, kita pelihara, kita maknai Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta dengan merevitalisasi spirit para pendirinya, para guru-guru kita, memahami kegagalan-kegagalan kita, sambil waskita dan trengginas membaca masa depan, agar peran dan posisi kita dalam peta seni rupa global semakin jelas. Pernyataan pendek oleh Fisikawan Teori, Stephen Hawking, kiranya membantu dalam merawat cita-cita itu. Hawking mengatakan “Pandanglah bintang-bintang, bukan pada kakimu”. Terima kasih atas kesabaran hadirin mengikuti pidato ini. Dirgahayu ASRI-dirgahayu Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.

Wasalamualalikum warahmatulahi wabarakatuh
Salam sejahtera
Om santi santi santi om

Quoted

Some nature is better polluted by design and art

Henricus Linggawidjaja