I. DEFINISI
Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan ‘malam’ (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”.
Batik is a general term that refers to a wax-resist fabric-dyeing technique; tulis is the name of the highest quality freehand batik, whose makers use a hot-wax applicator known as a “canting.” Hand-blocked designs are called cap, and the most common batik fabric is mass-produced.
Sumber:
Sejarah Singkat tentang Batik
Sarongs-from Gajah Duduk to Oey Soe Tjoen
II. SEJARAH RINGKAS BATIK INDONESIA
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.
Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.
Perkembangan Batik di Indonesia
Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.
Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.
Sumber: Sejarah Batik Indonesia
MASA PRA-HINDU
Sebelum kebudayaan Jawa -atau dalam arti luas Indonesia- mendapat pengaruh dari India, bangsa Indonesia telah mengenal 10 butir budaya asli atau local culture. Diantara 10 butir itu adalah membatik.
“Berarti yang namanya membatik dari sisi teknologi itu secara hipotetis, telah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa-masa sebelum pengaruh kebudayaan India datang di Indonesia. Sebelum abad ke 4 atau 5,” kata Timbul (Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc, merujuk pada pendapat sejarawan Belanda Dr. JLA Brandes) mengacu tulisan Brandes pada tahun 1890-an. Local culture merupakan suatu kebudayaan setempat yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan asing. Selain batik, budaya lokal yang masuk dalam 10 local culture masyarakat Jawa -menurut Brandes- adalah wayang, gamelan, tembang, metalurgi, perbintangan, pelayaran, irigasi, birokrasi pemerintahan, dan mata uang.
Datangnya pengaruh kebudayaan India sekitar abad ke-4 atau ke-5 Masehi, membawa dampak pula pada kebudayaan Jawa. Kebudayaan India antara lain memperkaya variasi motif desain ragam hias yang ada, yang dapat dilihat di relief candi-candi. Pengaruh tersebut menyebabkan motif-motif batik juga berkembang. Sebelum masuknya pengaruh India, batik mempunyai tiga macam motif dasar yaitu motif geometrik berupa garis-garis -baik garis lurus, lengkung, maupun pengulangan garis-, motif flora atau tumbuh-tumbuhan, dan motif binatang.
Berkembangnya mitos-mitos dan legenda-legenda yang berasal dari India seperti cerita Ramayana, Mahabarata, dan legenda tentang garuda juga membawa pengaruh pada motif batik.
Sumber: Batik Berkembang Ikuti Masa
ABAD VII-XIV
1. Masa Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia (Hindu and Buddhist Kingdoms)
In the sixth and seventh centuries, many maritime kingdoms arose in Sumatra and Java, which controlled the waters in the Straits of Malacca. They flourished as a result of the sea-trade between China and India and beyond. During this time, scholars from India and China visited these kingdoms to translate literary and religious texts.
The most prominent of the Hindu kingdoms was the Majapahit Empire based in East Java, from where it held sway over a large part of what is now Indonesia. The remnants of the Majapahit’s priests, royalties, and artisans, fled to Bali during the sixteenth century, as Muslim kingdoms in the coastal part of the island gained influence.
The evidence of these ancient kingdoms still lies in scores of exquisite religious monuments such as Borobudur. The last and most powerful of these early Hindu-Javanese kingdoms, the 14th century Majapahit Empire, once controlled and influenced much of what is now known as Indonesia, maintaining contacts with trading outposts as far away as the west coast of Papua New Guinea.
The two forms of batik which represent this era are Batik Kraton and Kawung.
Batik Kraton is regarded as the basic batik of Java. It is rich in Hindu-influenced motifs that have influenced the courts of Java since the 5th century. The Hindus introduced the sacred bird – Garuda, the sacred flower – lotus, the dragon – Naga and the tree of life. These represented the three Hindu Gods Shiva (righteousness), Vishnu (wisdom) and Brahma (strength).
Kawung is a very old design which appeared to be carved into the walls of many temples throughout Java. For many years, this pattern was reserved for the royal court of the Sultan of Jogjakarta. The pattern consists of intersecting circles which are sometimes embellished inside with two or more small crosses or other ornaments such as intersecting lines or dots. It has been suggested that the ovals might represent flora such as the fruit of silk cotton tree or the sugar plum.
Sumber: Indonesian Batik Through the Ages
2. Masa Kerajaan-kerajaan Islam (Abad XV-XVIII) dan Pendudukan Belanda (Muslim Kingdoms and the Dutch Colonisation)
Indian Muslim traders began spreading Islam in Indonesia in the eighth and ninth centuries. By the time Marco Polo visited North Sumatra at the end of the 13th century, the first Islamic states were already established there. Soon afterwards, rulers on Java’s north coast adopted the new creed and conquered the Hindu-based Majapahit Empire in the Javanese hinterland. The faith gradually spread throughout archipelago. Today Indonesia is the world’s largest Islamic nation. Indonesia’s abundant spices first brought Portuguese merchants to the key trading port of Malacca in 1511. Prized for their flavour, spices such as cloves, nutmeg and mace were literally worth their weight in gold. The Dutch East India Company (known by initials VOC) established a spice monopoly which lasted well into the 18th century. During the 19th century, the Dutch began sugar and coffee cultivation on Java, which was soon providing three-fourths of the world supply of coffee.
In terms of the batik designs which appeared during this era, one of the first was Ceplok. Islam forbids the portrayal of animal and human forms in a realistic manner. To get around this prohibition, the batik workers chose not to express these things in a realistic form. A single element of the form is chosen and then that element is repeated again and again in the pattern. This design known as Ceplok was introduced. It is a general name for a whole series of geometric designs based on squares, circles, stars, etc. Although fundamentally geometric, Ceplok can also represent abstractions and stylization of flowers, buds, seeds and even animals. Variations in colour intensity can create illusions of depth and the overall effect.
Then, there is Parang, which was once used exclusively by the royal courts of Central Java. It has several suggested meanings such as ‘rugged rock’, ‘knife pattern’ or ‘broken blade’. The Parang design consists of slanting rows of thick knife-like segments running in parallel diagonal bands. There are many variations of this basic striped pattern with its elegant sweeping lines, with over forty Parang designs recorded.
Batik Belanda, literally translated Dutch Batik, appeared as early as 1840. Records show that European settlers on the northern coast of Java started their batik producing activities in the mid-19th century. They pioneered a new era of international enrichment which is still visible in modern day Indonesian batik. Reaching its peak of creativity in 1890-1910, Batik Belanda is clearly recognized through various works of art named after the great designers such as Batik Van Zuylen, Batik Van Oosterom, Batik Prankemon, Batik Metz, Batik Yans, and Batik Coenrad.
Eliza van Zuylen is a batik maker legend in Indonesia. She is a Dutch woman. Eliza van Zuylen lived in Indonesia arround 1863-1947 when Dutch were colonizing Indonesia. Dutch batik came into being & developed between 1840 & 1940, almost always in the form of a sarong and initially made only for the Dutch & Indo Dutch Eurasians, and primarily in the coastal region (Pekalongan).
Batik Tiga Negeri (Three Country Batik). Batik Tiga Negeri is a batik which was colorized in three cities: red in Lasem, blue in Pekalongan, and sogan in Solo. These three cities were called countries (negeri) because they have autonomy government when Netherland colonialism was happening in Indonesia.
An important genre in the development of batik, Batik Sudagaran emerged as early as the end of the 19th century in the principalities of Surakarta and Yogyakarta. The word ‘sudagar’ means merchant. Therefore, this design reflects the merchants in many ways. Chinese-influenced batik, Batik Cina, emerged in Indonesia some decades after the Dutch-influenced batik. The Chinese motifs included beautiful dragons, the phoenix, snakes, lions and flowers. In contrast with Java’s deep blues and browns, Chinese batik uses brighter, pastel colours.
Sumber artikel: Indonesian Batik Through the Ages
Sumber gambar: BatikDesigns.org
1942-1945
Masa Pendudukan Jepang (Japanese Occupation in Indonesia)
The designs of Batik Hokokai represent the period during which the Japanese occupied Indonesia (1942-1945). Batik Hokokai has designs which are based on fine intricate backgrounds.
Contoh batik Hokokai (berasal dari bahasa Jepang). Motif Hokokai dihasilkan pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1940an. Pada masa kini terdapat beragam motif Hokokai.
Java Hokokai is an old batik motif with picture of flowers garden arounded by butterflies. Word of Hokokai was took from japanese word. The Hokokai motif was designed when Japan were colonizing Indonesia on arround 1940. Now, batik Java Hokokai appears with many motifs.
Sumber artikel: Indonesian Batik Through the Ages
Sumber gambar: BatikDesigns.org
Hermen C Veldhuisen dalam Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java, secara singkat menyebut batik Hokokai dibuat di bengkel-bengkel milik orang Indo-Eropa, Indo-Arab, dan Peranakan, yang diharuskan bekerja untuk orang-orang Jepang karena kualitas pekerjaan bengkel mereka yang sangat halus. Sedangkan kain katunnya dipasok oleh orang-orang yang ditunjuk oleh tentara pendudukan Jepang.
Ciri-ciri kain panjang pada masa ini menurut Veldhuisen adalah penuhnya motif bunga pada kain tersebut. Meskipun gaya batik ini disebut sebagai diperkenalkan oleh dan untuk Jepang, tetapi sebetulnya gaya ini sudah muncul beberapa tahun sebelumnya. Bengkel kerja milik orang Peranakan di Kudus dan Solo pada tahun 1940 sudah menggunakan motif buketan yang berulang, dengan latar belakang yang sangat padat dan disebut sebagai buketan Semarangan. Kain-kain ini dibuat untuk Peranakan kaya di Semarang.
Kain batik pagi-sore, yaitu kain batik yang terbagi dua oleh dua motif yang bertemu di bagian tengah kain secara diagonal, juga bukan merupakan ciri khas batik Hokokai, karena kain pagi-sore ada kain pagi-sore yang dibuat pada tahun 1930 di Pekalongan. Dengan kain pagi-sore, efisiensi pemakaian menjadi salah satu tujuan karena selembar kain bisa dipakai untuk dua kesempatan dengan motif berbeda. Warna yang lebih gelap biasanya dipakai di bagian luar untuk pagi dan siang hari, sementara bagian yang berwarna pastel dipakai pada acara malam hari.
Meskipun begitu, Veldhuisen menyebutkan batik Hokokai adalah salah satu contoh gaya batik yang paling banyak berisi detail, menggabungkan ciri pagi-sore, motif terang bulan, dan tanahan Semarangan. Batik Hokokai menggunakan latar belakang yang penuh dan detail yang digabungkan dengan bunga-bungaan dalam warna-warni yang cerah. Motif terang-bulan awalnya adalah desain batik dengan motif segi tiga besar menaik secara vertikal di atas latar belakang yang sederhana.
Motif dominan lainnya adalah bunga. Yang paling sering muncul adalah bunga sakura (cherry) dan krisan, meskipun juga ada motif bunga mawar, lili, atau yang sesekali muncul yaitu anggrek dan teratai.
Motif hias yang sesekali muncul adalah burung, dan selalu burung merak yang merupakan lambang keindahan dan keanggunan. Motif ini dianggap berasal dari Cina dan kemudian masuk ke Jepang.
Hampir semua batik Jawa Hokokai memakai latar belakang (isen-isen) yang sangat detail seperti motif parang dan kawung di bagian tengah dan tepiannya masih diisi lagi dengan misalnya motif bunga padi.
Sumber: Batik Jawa Hokokai, Cerita Singkat Penjajahan Jepang di Indonesia
1945 DAN SETERUSNYA
Jawa baru
Setelah Perang Dunia II usai, Jepang takluk dan angkat kaki dari Indonesia, batik sebagai industri mengalami masa surut. Namun, motif-motif batik terus berkembang, mengikuti suasana. Ketika itu juga muncul istilah seperti batik nasional dan batik Jawa baru. Batik Jawa baru bisa disebut sebagai evolusi dari batik Hokokai. Pada tahun 1950-an batik yang dihasilkan masih menunjukkan pengaruh batik Hokokai yaitu dalam pemilihan motif, tetapi isen-isen-nya tidak serapat batik Hokokai.
Sumber: Batik Jawa Hokokai, Cerita Singkat Penjajahan Jepang di Indonesia
Republican Era
By the turn of the 20th century, nationalist stirring began to challenge the Dutch presence in Indonesia. A four-year guerrilla war led by nationalists against the Dutch on Java after World War II, along with successful diplomatic manoeuvrings abroad, helped bring about independence. The Republic of Indonesia, officially proclaimed on August 17th, 1945, gained sovereignty four years later. During the first two decades of independence, the republic was dominated by the charismatic figure of Sukarno until 1967. President Soekarno encouraged the creation of a new style of batik, popularly called Batik Indonesia. A symbiosis between various styles of batik, especially of the principalities of Yogyakarta and Surakarta and the north coast of Java, which still utilised brown as the basic colour, Batik Indonesia was developed utilizing bright colours. Some appeared in a totally new design while still using the traditional processing system. Batik Indonesia is also called Batik Modern.
Sumber: Indonesian Batik Through the Ages
(Bersambung ke Garis Waktu Batik Indonesia Bagian 2/2)
“Cheating the system is very gratifying”