Sambungan dari Garis Waktu Batik Indonesia Bagian 1/2
BATIK PERANAKAN
Batik peranakan adalah sub genre batik pesisir. Batik peranakan banyak dihasilkan oleh kaum peranakan baik yang berasal dari keturunan Cina maupun Belanda yang bermukim di sepanjang pesisir pantai utara (pantura) Jawa.
Setelah Indonesia merdeka, batik peranakan hanya dihasilkan oleh keturunan Cina. Daerah penghasil batik peranakan antara lain Jakarta (sebelum direlokasi berada di sekitar Karet dan Palmerah), Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Demak, Lasem, Tuban dan Gresik. Batik peranakan diperkirakan mulai tumbuh setelah perang Jawa usai (sekitar 1830an) dan mengalami perkembangan pesat pada awal abad 20.
Beberapa maestro batik Indo Belanda yang terkenal antara lain: Lien Metzelaar, Caroline Josephine von Franquemont serta van Zuylen bersaudara (Eliza dan Carolina). Maestro batik Cina Peranakan yang menonjol antara lain: The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Hok Sien, Liem Boen Tjoe, Liem Boen Gan, dan Oey Soe Tjoen.
Ciri khas batik peranakan adalah penggunaan motif mitologi CIna seperti kilin, naga, burung phoenix (hong), dewa-dewa, api, mega, bunga dan sulur dengan stilisasi yang khas. Motif khas batik peranakan antara lain, buketan, jlamprang, dan lokcan. Interaksi kaum Cina peranakan dengan batik tradisional melahirkan batik tiga negeri, dua negeri dan sebagainya. Pada masa pendudukan Jepang juga lahir motif Jawa Hokokai.
Berbeda dengan batik Jawa yang banyak memakai warna berat karena pemakaian pewarna alami (soga, genes, kayu tiger, kayu tingi, akar pace dan sebagainya), batik peranakan banyak menggunakan warna primer (merah, biru, hijau dan sebagainya) dari pewarna kimia buatan. Batik peranakan juga memelopori pewarnaan primer dengan gradasi. Teknik penggunaan warna gradasi dipelopori oleh Oey Soe Tjoen.
Sumber: Batik Peranakan
Sumber foto: Sarongs–from Gajah Duduk to Oey Soe Tjoen | Classical Javanese Batik
BATIK OEY SOE TJOEN (1925)
Sejarah Oey Soe Tjoen (1901-1975) berawal di Pekalongan pada 1925. Oey muda memutuskan keluar dari garis usaha keluarga yang memproduksi batik cetak. Bersama Kwee Tjoen Giok Nio, istrinya, ia merintis batik tulis. Rumahnya di Jalan Raya Kedungwuni, Pekalongan, dijadikan tempat usaha.
Oey menggarap motif tradisional khas pantai utara seperti motif pagi sore, merak, pringgodani, dan bunga bungaan—mawar, seruni, tulip, dan anggrek. Motif tersebut dibuat sesempurna mungkin dengan melibatkan pembatik profesional. Dari dulu batik Oey dikerjakan dengan proses berjenjang. Seorang pekerja khusus menggarap motif daun. Motif tambahannya dilakukan pekerja lain.
Oey tak sembarangan memasarkan karyanya ke pasar tradisional. Ia mengajari anak buahnya mendekati orang orang kaya. Melalui strategi ini batik Oey dikenal kalangan papan atas. Tak sedikit saudagar kaya di pantai utara terpincut dan membelinya. Usaha Oey makin terang ketika karyanya juga digemari saudagar Kudus, Magelang, dan beberapa daerah lain. Sebagian adalah pengusaha rokok dan tembakau. Saking tenarnya, kain batik Oey sempat menjadi mas kawin wajib sejumlah pengusaha Cina.
Produksi batik Oey makin meningkat. Puncaknya, mereka memiliki pekerja hingga 150 orang. Mereka dilatih cara membatik yang baik. Oey menekankan, proses produksi mesti dilakukan secara tradisional guna mempertahankan kualitas. Menurut Widianti, pencinta batik lokal berdarah Indonesia-Eropa, Van Zuylen bersama istrinya, Eliza van Zuylen, mempunyai andil membesarkan batik Oey. Pegawai Belanda di Pekalongan itu memperkenalkan warna baru selain merah dan biru, yakni warna klasik yang menjadi identitas batik tradisional Pekalongan.
Berkat jasa Zuylen pula, batik Oey akhirnya dikenal pengusaha mancanegara. Setiap bulan ada saja pemesan dari Eropa, Amerika, atau Jepang. Batik Oey juga masuk katalog karya seni yang patut dimiliki di Belanda. Selain merespons selera Barat, Oey mampu memenuhi hasrat orang Jepang. Ia membuat batik Hokokai khas Negeri Matahari Terbit itu dengan motif merak, bunga, dan kuku dengan memasukkan semua warna. Pada masa jayanya, sekitar dua puluh tahun lalu, rumah toko bercat kuning di Jalan Raya Kedungwuni, Pekalongan, itu selalu ramai pekerja.
Para pembatik menggunakan ruang bagian belakang. Di antara pembatik itu ada Ipah, ibu Muayah. Adapun rumah bagian depan, seluas setengah lapangan badminton, dijadikan ruang pajang batik. Produksi batik Oey mulai menurun pada 1980, setelah usaha beralih ke generasi kedua, Koey Kam Long, empat tahun sebelumnya. Menurut Widianti, gempuran produk tiruan membunuh usaha keluarganya.
”Batik tiruan dikerjakan dengan sablon atau printing,” ujar pemilik nama lain Oey Kiem Lian itu. Kegetiran generasi Oey Soe Tjoen ini kian parah tatkala bom mengguncang Bali pada 2002. Saat itu sejumlah turis asing membatalkan pesanan. Apalagi, menurut dia, ada juga rumor bahwa Oey berhenti berproduksi. Kini batik Oey sangat terbatas.
Sumber: Batik Oey Soe Tjoen, Orang yang Bekerja dengan Ingatan Kuat | Batik Oey Soe Tjoen (1925)
Sumber foto: Classical Javanese Batik
BATIK GIRILOYO
Asal-usul Batik Giriloyo
Konon, desa yang sekarang dikenal sebagai Wukirsari adalah gabungan dari desa-desa kecil, yaitu Giriloyo, Pucung, Singosaren dan Kedungbuweng. Penduduknya masing-masing mempunyai aktivitas tersendiri, terutama Giriloyo, Pucung, dan Singosaren, sehingga desa-desa tersebut menjadi terkenal karena keahlian yang dimiliki oleh penduduknya. Dalam hal ini Giriloyo terkenal dengan batiknya, Pucung terkenal dengan kerajinan kulit dan anyaman bambunya, dan Singosaren terkenal dengan gentengnya.
Asal usul batik tulis Giriloyo konon berawal bersamaan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri yang terletak di bukit Merak pada tahun 1654. Pada waktu itu, ketika Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati) berniat membangun makam, beliau menemukan bukit yang tanahnya berbau harum dan dirasa cocok untuk dibuat makam. Namun, ketika pemakaman sedang dibangun, pamannya yang bernama Panembahan Juminah menyatakan keinginannya untuk turut dimakamkan di tempat itu. Ternyata yang meninggal duluan adalah pamannya. Oleh karena itu, yang pertama kali menempati makam tersebut adalah pamannya dan bukan Sultan Agung. Sultan Agung pun kecewa karena sebagai penguasa atau raja seharusnya yang pertama kali dimakamkan di situ adalah dirinya. Untuk menetralisir kekecewaan, Sultan Agung mengalihkan pembangunan calon makam untuk dirinya di bukit lain yang oleh penduduk setempat dinamakan “Bukit Merak” yang berada di Dusun Pajimatan wilayah Girirejo.
Sejalan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri ini maka perlu tenaga yang bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaganya. Untuk itu, keraton menugaskan abdi dalem yang dikepalai oleh seorang yang berpangkat bupati. Oleh karena banyak abdi dalem yang bertugas memeliharanya, sehingga sering berhubungan dengan keraton, maka kepandaian membatik dengan motif batik halus keraton berkembang di wilayah ini. Kemudian, keterampilan membatik itu diwariskan kepada anak atau cucu perempuannya.
Seiring dengan pesanan keraton yang semakin banyak, sementara jumlah perajian batik yang ada di Pajimatan terbatas (tidak memadai), mereka mendatangkan tenaga-tenaga dari Giriloyo. Dan, bagi penduduk Giriloyo itu merupakan suatu keberuntungan karena mereka bisa ngangsu kaweruh tentang batik di Pajimatan sebelum mereka berusaha sendiri. Apalagi, pengerjaannya dilakukan di rumah masing-masing. Artinya, kain yang akan dibatik dibawa pulang ke Giriloyo, kemudian (setelah jadi) disetorkan ke Pajimatan. Inilah yang kemudian membuat nama Giriloyo lebih mencuat ketimbang Pajimatan.
Motif Ragam Hias Batik Tulis Giriloyo
Kekayaan alam Yogyakarta sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, kain batik-tulis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya. Motif-motif ragam hias biasanya dipengaruhi dan erat kaitannya dengan faktor-faktor: (1) letak geografis; (2) kepercayaan dan adat istiadat; (3) keadaan alam sekitarnya termasuk flora dan fauna; dan (4) adanya kontak atau hubungan antardaerah penghasil batik; dan (5) sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan.
Dalam Katalog Batik Khas Yogyakarta terbitan Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1996), menyebutkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tidak memiliki lebih dari 400 motif batik, baik motif klasik maupun modern. Beberapa nama ragam hias atau motif batik Yogyakarta antara lain: Parang, Banji, tumbuh-tumbuhan menjalar, tumbuh-tumbuhan air, bunga, satwa, Sido Asih, Keong Renteng, Sido Mukti, Sido Luhur, Semen Mentul, Sapit Urang, Harjuna Manah, Semen Kuncoro, Sekar Asem, Lung Kangkung, Sekar Keben, Sekar Polo, Grageh Waluh, Wahyu Tumurun, Naga Gini, Sekar Manggis, Truntum, Tambal, Grompol, Ratu Ratih, Semen Roma, Mdau Broto, Semen Gedhang, Jalu Mampang dan lain sebagainya.
Masing-masing motif tersebut memiliki nilai filosofis dan makna sendiri. Adapun makna filosofis dari batik-batik yang dibuat di Giriloyo antara lain: (1) Sido Asih mengandung makna si pemakai apabila hidup berumah tangga selalu penuh dengan kasih sayang; (2) Sido Mukti mengandung makna apabila dipakai pengantin, hidupnya akan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan; (3) Sido Mulyo mengandung makna si pemakai hidupnya akan selalu mulia; (4) Sido Luhur mengandung makna si pemakai akan menjadi orang berpangkat yang berbudi pekerti baik dan luhur; (5) Truntum3 mengandung makna cinta yang bersemi; (6) Grompol artinya kumpul atau bersatu, mengandung makna agar segala sesuatu yang baik bisa terkumpul seperti rejeki, kebahagiaan, keturunan, hidup kekeluargaan yang rukun; (7) Tambal mengandung makna menambah segala sesuatu yang kurang. Apabila kain dengan motif tambal ini digunakan untuk menyelimuti orang yang sakit akan sebuh atau sehat kembali sebab menurut anggapan pada orang sakit itu pasti ada sesuatu yang kurang; (8) Ratu Ratih dan Semen Roma melambangkan kesetiaan seorang isteri; (9) Mdau Bronto melambangkan asmara yang manis bagaikan madu; (10) Semen Gendhang mengandung makna harapan agar pengantin yang mengenakan kain tersebut lekas mendapat momongan.
Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap pembatik dapat membuat motif sendiri. Orang yang membatik tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan batik tulis merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para pembatik di Giriloyo khususnya dan Yogyakarta umumnya, seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian membatik tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.
Sumber artikel dan foto: Batik-Tulis Giriloyo (Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta)
BATIK PAJIMATAN/IMOGIRI
Kegiatan tradisi membatik sudah ditekuni oleh masyarakat Imogiri, sejak masa Kejayaan Kerajaan Mataram seputar abad 17. Nyi Djogo Pertiwi adalah perempuan yang setia membina perkembangan batik tulis tradisional di Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta khususnya di seputar Makam Raja-Raja Mataram. Kreasi-kreasi kain batik yang telah dikembangkan oleh Nyi Djogo Pertiwi, kini menjadi karya-karya andalan yang diproduksi oleh perajin batik di Imogiri.
Keahlian batik warga sekitar, secara tidak langsung adalah keahlian Nyi Djogo Pertiwi, karena dialah yang menciptakan pola-pola batik dan kemudian menularkan keahliannya ke masyarakat. Membatik memang sejarah hidup Nyi Djogo Pertiwi, karena sejak umur 13 tahun dia sudah bergumul dengan batik. Awalnya dia seringkali melihat-lihat orang membatik di sekitar rumahnya, yang waktu itu memang menjamur. Tetapi pada waktu itu buat seorang Djogo Pertiwi kecil tidak pernah ada yang namanya proses belajar, hanya melihat. Bahkan keterampilan membatik yang dia miliki diperoleh secara supranatural, bukan karena belajar.
“Saya ini sejak kecil suka ikut ayah tirakat ke tempat-tempat ziarah. Dalam perjalanan siang dan malam saya selalu melihat daun-daun, rindang pohon berbagai warna dan macam. Saya suka dengan keindahan daun-daun itu”, kata ibu enam anak dengan nama kecil Salawatun ini. Keindahan alam itu nampaknya merasuk sekali dalam diri Nyi Djogo Pertiwi. Sampai pada suatu hari ketika dia pulang dari mengikuti ziarah ayahnya, tiba-tiba dia mencari bahan-bahan dan alat membatik. Tanpa banyak bicara Nyi Djogo Pertiwi muda waktu itu, langsung menari-menarikan canting, alat paling vital untuk melukis batik (berperan sebagai pena), di atas kain putih yang dibelinya. Gambar yang muncul adalah berbagai rangkaian daun-daunan yang indah. “Ibu saya sempat heran, melihat keajaiban yang saya lakukan”, tegasnya.
Namun untuk memperdalam keahlian yang datang mendadak itu, Nyi Djogo Pertiwi menjadi buruh membatik di Tjokro Soeharto Yogyakarta, yang waktu itu juga dikenal sebagai juragan batik terbesar di Yogyakarta. Di tempat belajar membatik Tjokro Soeharto itu Nyi Djogo Pertiwi makin tertempa pengalaman. Bahkan dia dipercaya untuk membuat kreasi-kreasi baru. “Setelah lama di Tjokro Soeharto, saya membatik sendiri di rumah. Dapat satu saya jual ke pasar. Lalu hasilnya untuk modal membuat dua kain batik. Laku dua bisa jadi empat kain batik, begitu seterusnya. Lama kelamaan saya bisa membawa 10 kain atau lebih saya setorkan ke toko-toko di Yogyakarta. Syukur usaha saya semakin berkembang sampai sekarang”, tegasnya.
Banyak karya batik yang di disain oleh Nyi Djogo Pertiwi. Karya-karya yang terkenal diantaranya adalah apa yang disebut dengan batik adiluhung, segaran, semen garuda, Irian dan masih banyak lagi disain yang ia ciptakan. Peristiwa menarik, ketika dia sedang membatik di depan rumahnya. Tiba-tiba datang beberapa orang warga Belanda yang langsung bertanya, “Kamu sedang membatik apa?” Pertanyaan itu dengan cepat dijawab oleh Nyi Djogo Pertiwi, batik ini namanya Irian. Peristiwa sekitar tahun 60an itu ternyata menjadi sejarah unik bagi kehidupan Nyi Jogo Pertiwi. “Saya tidak tahu kenapa saya menyebut Irian, yang jelas saya takut betul sama Belanda itu. Yang saya heran karya disain saya itu sampai sekarang dikenal dengan nama batik Irian”, katanya, sambil tertawa. Meskipun yang diucapkan oleh Nyi Djogo Pertiwi hanya spontan, tetapi dari karya batiknya itu terlihat adanya gambaran tentang kondisi Irian. Karya batik yang akhirnya menjadi bahan sarung itu, memang bergambar daun-daun lebar, yang menggambarkan kerindangan hutan di Irian Jaya yang konon disebut sebagai Papua itu.
Nama Djogo Pertiwi adalah nama suaminya, pemberian dari Keraton Yogyakarta sekitar tahun 60-70an. Sebelumnya ia dikenal dengan nama paringan dalem Djogo Mustopo. Nama itu diberikan karena sepanjang hidupnya suaminya mengabdikan diri untuk menjadi juru kunci di makam raja-raja tersebut. “Saya menyimpan ribuan kain batik di rumah ini, dan ternyata banyak orang yang datang baik warga asing maupun turis Indonesia”, kata Nyi Djogo Pertiwi yang mendapatkan piala Upakarti dari Presiden tahun 1994, karena usahanya mengembangkan batik tulis di tingkat pedesaan. Sepeninggal Nyi Djogo Pertiwi tahun 2003, kejayaan batik Pajimatan yang telah surut sejak tahun 1980-an, semakin sepi.
Sumber: Kesetiaan Seorang Pembatik Tradisi | Mengenang Kejayaan Mataram di Pajimatan
Sumber foto: Sarongs-from Gajah Duduk to Oey Soe Tjoen
1968
Penetapan batik sebagai busana nasional
Pada tahun 1968 batik bersama kebaya dicanangkan sebagai pakaian nasional oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin.
Sumber: Batik Berkembang Ikuti Masa
Gerakan batik Amri Yahya memperoleh kesuksesan besar pada dekade 1970 dan 1980-an. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pun terpikat dengan gelora batikisme Amri itu. Lalu, selain membeli lukisan batik Amri (dengan harga mahal), Bang Ali juga menetapkan batik sebagai busana wajib bagi jajaran pegawai kantor kota praja. Maka pada 1970-an, batik menjadi busana kebanggaan Kota Jakarta. Seruan Bang Ali itu kemudian menstimulasi Presiden Soeharto untuk ikut menetapkan batik sebagai busana kebanggaan nasional. Untuk itu, para pemimpin negara anggota OPEC, dari Bill Clinton sampai Goh Chok Tong, ketika datang ke Indonesia juga ‘diharuskan’ mengenakan hem batik rancangan Iwan Tirta.
Sumber artikel: Bravo Batik! Ikon Budaya Istimewa, Agus Dermawan T, Media Indonesia, Minggu, 08 Juni 2008
Sumber foto: Ali Sadikin (Teeyok’s Cabin), Amri Yahya (Suara Merdeka), Asia Pacific Economy Conference (Iwan Tirta)
1980-AN
Desainer Pecinta Batik: Iwan Tirta
Artisan batik yang kembali mengangkat kembali motif Hokokai adalah Iwan Tirta. Pada tahun 1980-an Iwan menginterpretasi ulang motif batik Jawa Hokokai dalam bentuk desain yang baru. Ia memperbesar motif bunga seperti krisan dan mawar serta menambahkan serbuk emas 22 karat sebagai cara untuk mempermewah penampilan batik tersebut. Dalam hal pelestarian budaya tradisional Indonesia, namanya tidak diragukan lagi. Ia berhasil ‘menjual’ batik khas Indonesia hingga ke mancanegara. Meskipun pendidikan formalnya adalah School of Oriental and African Studies di London University dan master of laws dari Yale University, Amerika Serikat, ia justru menemukan dunianya sebagai desainer yang cinta batik.
Sumbangan pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935 ini yang paling nyata adalah ketika dia berhasil mentransformasi batik dari selembar kain batik yang secara tradisional digunakan dengan dililitkan di tubuh menjadi gaun indah yang tidak kalah dengan gemerlap dari Barat. Kepraktisan berbusana cara Barat perlahan tetapi pasti memang telah menggerus cara berbusana tradisional perempuan Jawa, dan Iwan berhasil memadukan keindahan batik dengan kepraktisan pakaian ala Barat.
Nusjirwan Tirtaamidjaja yang dikenal dengan nama Iwan Tirta mulai bersentuhan dengan batik pada tahun 1960-an. Saat itu ia sedang bersekolah di Amerika Serikat. Selama di sana, ia sering mendapat pertanyaan tentang budaya Indonesia yang kemudian membuatnya ingin mengenal lebih jauh budaya negerinya sendiri.
Sebenarnya, Iwan Tirta sudah bersentuhan dengan budaya khususnya budaya Jawa sedari kecil. Iwan berdarah campuran Purwakarta, Jawa Barat, dari ayahnya Mr Moh Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung RI (1950-1958), dan Sumatera Barat dari ibunya yang berasal dari Lintau. Iwan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, belajar mengenai budaya Jawa ketika orangtuanya menjelma menjadi priayi Jawa saat ditugaskan di Jawa Tengah.
Ketertarikan secara khusus kepada batik lahir ketika atas dana hibah dari Dana John D Rockefeller III Iwan mendapat kesempatan mempelajari tarian keraton Kesunanan Surakarta. Di sanalah Iwan memutuskan mendalami batik dan bertekad mendokumentasi serta melestarikan batik. Hasil penelitiannya ia simpulkan dalam bukunya yang pertama, Batik, Patterns and Motifs pada tahun 1966.
Kepekaan seni dan pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan dari Timur dan Barat membuatnya mampu membawa batik menjadi busana yang diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Tiga puluh tahun kemudian, pemahaman dan pengalamannya tentang batik yang semakin matang ia tuangkan dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades (1996).
Selain merancang busana, Iwan juga sampai kepada seni kriya lain. Berkat kedekatannya dengan kalangan keraton Jawa, Iwan mulai ‘bermain-main’ menumpahkan jiwa seninya ke atas perak. Motif modang, misalnya, dijadikan ragam hias pada tutup tempat perhiasan, sementara seperangkat tempat sirih peraknya menghiasi lobi Hotel Dharmawangsa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia juga mendesain perangkat makan porselen dengan menggunakan motif batik. Energi kreatifnya juga tersalur dengan merancang perhiasan yang inspirasinya dari perhiasan keraton.
Setelah puluhan berkarya, Iwan membagikan sedikit kunci keberhasilannya. “Kuncinya adalah pendidikan dan riset. Kita sangat kurang dalam dua hal itu,” kata Iwan yang selalu berkemeja batik dalam setiap acara, tetapi siap pula mengenakan celana pendek denim dengan kaus ketat ketika di rumah dan siap membatik.
Iwan terus mendokumentasikan motif batik tua, termasuk milik Puri Mangkunegaran, Solo, ke dalam data digital dan ke atas kertas dengan bantuan pengusaha Rachmat Gobel. Data tersebut menjadi pegangannya dalam mengembangkan motif baru yang terus dia kembangkan sesuai selera zaman dengan tetap mempertahankan ciri khasnya, yaitu antara lain warna yang cerah dan motif berukuran besar.
Saat Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono memintanya untuk ikut menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan batik sebagai ikon nasional, Iwan mengutarakan keprihatinannya pada kondisi pendidikan, riset, dan kemampuan promosi Indonesia sebagai negeri batik. “Sekarang Malaysia ke mana-mana mengaku batik sebagai milik mereka. Itu karena kita tidak punya kemampuan public relations,” kata penerima Anugerah Kebudayaan 2004 kategori individu peduli tradisi ini.
Dengan fasih Iwan menjelaskan di mana kekuatan batik Jawa yang menjadi dasar batik nasional yang tidak bakal bisa ditiru negara lain. Pertama adalah adanya teknik yang pasti, yaitu penggunaan malam dan canting; kedua, adanya pakem berupa ragam hias dengan dasar geometris nongeometris; ketiga, jalinan erat dengan budaya lain; dan ketidakterikatan dengan satu agama tertentu.
“Itu semua kekuatan batik Indonesia yang tidak dipunyai bangsa lain, tetapi untuk mengeluarkan potensi ini perlu pendidikan dan riset,” kata Iwan kukuh.
Keyakinan itu dan tugas baru yang disandangnya membuat Iwan bertekad akan mengabdikan hidupnya sebagai emban seni kriya Indonesia. “Tugas emban itu ya mengasuh, mendampingi, untuk semua, tidak hanya batik Iwan Tirta,” tuturnya.
Dalam usianya yang semakin senja, Iwan malah merasa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. “Banyak hal yang harus dilakukan kalau ingin bertahan dan bahkan berkembang. Saya masih punya banyak ide untuk mengembangkan batik, perak, porselen, dan perhiasan, tetapi waktu kok rasanya singkat sekali,” kata Iwan di rumahnya yang kental dengan suasana Indonesia. Dalam batinnya masih lekat keyakinan bahwa batik adalah hidupnya. “Saya tidak melahirkan batik, tetapi saya akan terus mengasuh dan memelihara yang ada. Seperti tugas emban.”
Di teras samping rumahnya terpampang dua galaran yang padanya tersampir dua kain batik yang masih dalam proses pembuatan motif dengan menggunakan malam. “Saya masih terus membatik, tetapi malam hari. Lebih enak karena sepi. Saya akan terus membatik sampai tanganku buyutan,” kata Iwan diiringi tawanya yang khas. Buyutan adalah istilah umum untuk tangan yang bergetar karena usia lanjut. ?ti/atur
Sumber artikel: Tokoh Indonesia
Sumber foto: Tempo Interaktif
Artisan batik yang kembali mengangkat kembali motif Hokokai adalah Iwan Tirta. Pada tahun 1980-an Iwan menginterpretasi ulang motif batik Jawa Hokokai dalam bentuk desain yang baru. Ia memperbesar motif bunga seperti krisan dan mawar serta menambahkan serbuk emas 22 karat sebagai cara untuk mempermewah penampilan batik tersebut.
Sumber: Batik Jawa Hokokai, Cerita Singkat Penjajahan Jepang di Indonesia
Oktober 2006
Adidas meluncurkan produk-produk yang menggunakan batik dalam serial “Materials of the World-Indonesia”. “Materials of the World” adalah serial proyek Adidas yang menggunakan materi khas dari berbagai belahan dunia. Sebuah pengakuan tak resmi bahwa batik adalah milik Indonesia setelah tersiar kabar bahwa Malaysia telah mematenkan batik sebagai miliknya.
Sumber: Adidas – Materials Of The World – Indonesia
2007
Penggunaan Batikmark sebagai perlidungan terhadap motif batik Indonesia di luar negeri
Sejak tahun 2007 pemerintah melalui Departemen Perindustrian Direktoral Jenderal Industri Kecil dan Menengah mengeluarkan Batikmark. Penggunaan label Batikmark diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 73/M-IND/PER/9/2007, tetapi bersifat sukarela bagi pengusaha/perajin batik.
“Batikmark ini mencontoh bahan wool yang juga menggunakan cap untuk membedakan mana yang bahan wool asli dan bukan,” kata Yusran dalam seminar bertajuk Batik Masa Kini yang diselenggarakan oleh Ikatan Perancang Mode Indonesia, beberapa waktu lalu.
Batikmark ini bentuknya seperti label berukuran 2 cm ini ditandai dengan logo “batik Indonesia” di atas warna dasar hitam. Ada tiga jenis batik mark yang masing-masing dipakai untuk membedakan tiga jenis batik, yaitu menggunakan tulisan warna emas untuk batik tulis, warna perak untuk batik kombinasi cap dan tulis, serta tulisan warna putih untuk batik cap.
Sertifikat penggunaan batik mark ini dikeluarkan oleh Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta. Setiap pengusaha batik boleh mengajukan penggunaan batikmark, namun sebelumnya mereka harus lolos pengujian yang disyaratkan. Sayangnya, belum banyak pengusaha yang memanfaatkan batik mark. Padahal, dengan adanya label ini kita sebagai konsumen akan semakin yakin terhadap keaslian dan mutu produk yang dibeli.
Using Batikmark as a First Step to Extend Protection of Indonesian Javanese-batik Patterned Textile in Foreign Countries
One of the Indonesian government’s ways of protecting its traditional Indonesian heritage takes place in the field of batik textiles. One goal is to establish the world’s perception that Javanese batik-patterned textile, which includes the traditional practice of dying cloth through wax-resist methods, originates from Indonesia. Thus, the Indonesian government has nominated Javanese batik-patterned textile to the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)’s list of intangible cultural heritage. The nomination will be officially listed in May 2009. In furtherance of this nomination, the government now issues a certification mark, called “Batikmark”, through its Department of Industry (Departemen Perindustrian RI) that can be applied to properly certified Indonesian batik products.
“Batikmark” was introduced by the Indonesian Department of Industry through its Ministerial Decree (Peraturan Menteri Perindustrian RI) No. 74/MIND/ PER/9/2007. The government’s step of establishing a regulatory framework for registration and protection of Batik-pattern textile using a mark is not a new step. Similar practice has already been acknowledged by international treaties and is practiced by the states. Under article 7bis(2) of the Paris Convention, each country is entitled to be the judge of the particular conditions under which a collective mark should be protected. This article in the Paris Convention is the force that drives India’s “SILK MARK” collective mark. In a similar manner, “WOOLMARK” is a world-renown private certification mark.
With “Batikmark”, Indonesia somewhat combines the concepts of collective and certification marks. Under the Indonesian Ministerial Decree, only batik manufacturers who already sell their products under a registered trademark can obtain a “Batikmark” certification. The manufacturer’s products also must pass a series of tests conducted by the National Standardization Agency (Badan Standardisasi Nasional). Products that pass their tests are considered to conform to the “Indonesian National Standard” (Standar Nasional Indonesia). The manufacturer receives a certification upon passing the tests. If the manufacturer is eligible, they can then file a written request, attached with its company profile, to the head of the Yogyakarta Grand Handicraft and Batik House (Balai Besar Kerajinan dan Batik). Yogyakarta Grand Handicraft and Batik House is an institution authorized by the Ministerial Decree to perform additional tests on the batik-patterned textile. The Batik Institution will then perform tests in their laboratories. The aim of the tests is to assure that the textile meets the certification standards of the batik-patterned textile. The qualifications include reviewing: the materials applied to the textile, the pattern, the dyeing technique, and the textile quality. If the batik-patterned textiles pass the tests then the manufacturer will be eligible to obtain a numbered “Batikmark” certification. This certification is valid for three years and can be renewed. The certification is in the form of a label printed “Batik Indonesia” that is placed in every single product of batik-patterned textile that has been certified. This label has been copyrighted in the Indonesian Copyright Office.
The first purpose of having “Batikmark” certification is to assert Javanese batik-patterned textile as an Indonesian traditional cultural heritage. Further, the “Batikmark” certification also serves as a quality assurance label for batik-patterned textile that originates from Indonesia. This helps protect consumers of Javanese batik-patterned textiles by assuring that the consumers are indeed purchasing an original Indonesian Javanese-batik patterned textile that has been certified by an authorized national institution. Lastly, “Batikmark” certification is meant to face competition of other similar or almost identical products on the market and to overcome the threat of unauthorized copying of Indonesian Javanese batik-patterned textile by foreign textile manufacturers. These practices have been ongoing, as many Asian and African countries have been copying Indonesian batik patterns.
Manufacturers who obtain a “Batikmark” certification automatically get protection in Indonesia but not necessarily in other countries. The manufacturers must apply for intellectual property rights in another country in order to secure greater protection. These rights can be in a form of design patents, copyrights, and/or trademarks. Even though a batik-patterned textile has been granted certification by the Indonesian government, the manufacturer must independently secure intellectual property protection in their foreign countries of interest. Until the Indonesian government globalizes their portfolio of intellectual property protection for batik textiles and other products of cultural heritage, the manufacturer’s international protection will generally be limited to their own protection efforts.
A word, name, symbol, device or any combination of these can be approved as a trademark as long as they are used to identify and distinguish a manufacturer’s goods from those manufactured or sold by others; it is an indicator of the source of the goods. Thus, a trademark is defined by three important elements: (1) the actual word, symbol or device, (2) the use of the symbol as a mark on goods and services, and (3) the ability of the mark to identify and distinguish a source of goods and/or services. A “Batikmark” trademark certification from the Indonesian government guarantees that the product has certain traits that make it different from other batik-patterns. It assures the uniqueness of the textile, the pattern, the dyeing technique, and the textile quality. These traits establish the identity of the product and distinguish them from other batik-patterned textiles. Thus, a trademark provides protection for consumers from confusion as to the source and quality of a manufactured object.
Sumber artikel/Source of article: Using Batikmark as a First Step to Extend Protection of Indonesian Javanese-batik Patterned Textile in Foreign Countries, Membedakan Jenis Batik Lewat Batik Mark
Sumber image/Image source: Trend
30 SEPTEMBER 2009
Batik Resmi Masuk Daftar Warisan Budaya
Batik Indonesia akhirnya secara resmi dimasukkan dalam 76 warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Batik Indonesia dinilai sarat dengan teknik, simbol, dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal.
Masuknya batik Indonesia dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) diumumkan dalam siaran pers di portal UNESCO, pada 30 September 2009. Batik menjadi bagian dari 76 seni dan tradisi dari 27 negara yang diakui UNESCO dalam daftar warisan budaya tak benda melalui keputusan komite 24 negara yang tengah bersidang di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, hingga Jumat (2/10).
Nomination form
Consent of communities
Sumber: UNESCO.org, KOMPAS.com Senin, 05 Oktober 2009
2 Oktober 2009
Indonesia merayakan Hari Batik setiap tanggal 2 Oktober
Para pekerja di lingkungan lembaga-lembaga pemerintahan atau perusahaan-perusahaan negara taat memakai pakaian batik setiap hari Jum’at.
Tetapi Jum’at ini (2 Oktober 2009) istimewa karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menggunakan batik pada hari ini sebagai rasa syukur atas diakuinya batik sebagai warisan budaya tak benda kemanusiaan milik Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Indonesians to Celebrate Batik Day on October 2.
Employees of state-owned companies and government institutions have for years adhered to a tradition of wearing batik on every Friday of the week. But this Friday (October 2, 2009) is special because President Susilo Bambang Yudhoyono has called on all Indonesians to wear batik on that day to celebrate UNESCO`s decision to include batik in its list of “Intangible Cultural Heritage of Humanity” items.
Sumber/Source: Embassy of Indonesia, Oslo
“Cheating the system is very gratifying”