Garis Waktu Desain Grafis Indonesia

Pada ajang pameran grafika terbesar di Indonesia, FGDexpo 2009 (30 Juli-2 Agustus 2009), DGI antara lain menampilkan “Garis Waktu Desain Grafis Indonesia” sebagaimana yang bisa diikuti di bawah ini (SEDANG TERUS DIPERDALAM DAN DISEMPURNAKAN):

GARIS WAKTU DESAIN GRAFIS INDONESIA/KEY MOMENTS IN INDONESIAN GRAPHIC DESIGN HISTORY TIME LINE

1659

Mesin cetak pertama kali didatangkan ke Indonesia (Batavia) pada tahun 1659

Industri percetakan di wilayah Nusantara berkembang sejalan dengan penerbitan surat kabar dan buku yang diperkirakan berkembang sejak abad ke-17, ketika mesin cetak pertama kali di datangkan ke pulau Jawa pada tahun 1659. Karena tidak ada operatornya, mesin itu menganggur sampai berpuluh-puluh tahun. Tujuan misionaris mendatangkan mesin cetak erat kaitannya dengan niat mereka untuk mencetak kitab suci dan buku-buku pendidikan Kristen. Selain mencetak kitab suci, mereka juga menerbitkan surat kabar berhaluan pendidikan Kristen.

Mesin cetak merk Faber & Schleider’ yang diduga diimpor pertama kali di wilayah Hindia Belanda.

Para pembaca koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda di awal-awal keberadaannya adalah orang-orang Eropa, kalangan bumiputra yang menjadi priyayi, kaum Tionghoa (untuk keperluan dagang), dan orang-orang indo/olanda. Baru pemerintah jajahan di bawah Daendelslah yang berperan besar dalam urusan cetak-mencetak dengan membentuk percetakan negara yang berurusan dengan mencetak peraturan-peraturan Belanda. Maka mulailah dikenal surat kabar yang tidak hanya memuat informasi yang nilainya ekonomis, tetapi juga memuat peraturan-peraturan perundangan.

Sumber:

Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan

Pergeseran Nilai Estetis pada Desain Karya Cetak Indonesia di Abad ke 20 – Studi Historiografi pada Iklan Cetak dan Kulit Muka Buku oleh Agus Sachari

Sumber gambar:

In Search of a Style


1744

Iklan pertama di Hindia Belanda: 17 Agustus 1744

Perintis tumbuhnya iklan di Hindia Belanda adalah Jan Pieterzoen Coen. Dia pendiri Batavia dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1619-1629. PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) mengakuinya sebagai tokoh periklanan pertama di Indonesia.

Dalam masa pemerintahannya, ia mengirim berita ke pemerintah setempat di Ambon dengan judul Memorie De Nouvelles, yang mana salinannya ditulis dengan tulisan tangan pada tahun 1621. Tulisan tangannya yang indah ternyata merupakan refleksi dari naluri bersaing antara pemerintah Hindia Belanda dengan Portugis. Kedua negara rupanya terlibat dalam perebutan hasil rempah-rempah dari kepulauan Ambon, dan Jan Pieterzoen Coen ‘menulis’ iklan untuk melawan aktivitas perdagangan oleh Portugis. Lebih dari satu abad kemudian, setelah Jan Pieterzoen Coen meninggal, tulisan tangannya diterbitkan kembali di surat kabar Batavia Nouvelles pada tanggal 17 Agustus 1744. Batavia Nouvelles merupakan surat kabar pertama di Hindia Belanda. Dengan demikian, iklan yang dimuatnya pun merupakan iklan pertama di Hindia Belanda. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa surat kabar dan iklan lahir tepat bersamaan di Hindia Belanda.

Yang berperan dalam memediakan kembali iklan tersebut di Hindia Belanda adalah karyawan sekretariat dari kantor Gubernur Jenderal Imhoff, Jourdans.

Surat kabar Batavia Nouvelles hanya berusia dua tahun.

Negeri Belanda, sejak abad ke-16 merupakan pusat penulisan silografi (tulisan tangan indah) di Eropa. Tulisan ini digunakan juga untuk penulisan iklan dalam bentuk poster.

Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.


INDUSTRI PERCETAKAN ABAD KE 18-20

Surat kabar yang pertama kali dicetak adalah De Bataviase Nouvelles terbit di Batavia pada tahun 1744, kemudian De Locomotief terbit pada tahun 1852 di Semarang dan Bataviassch Niewsblaad terbit di Batavia pada tahun 1885. Dunia persuratkabaran milik warga pribumi adalah Bromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1920-an. (Kartodirjo,1992:112-113)

Pada tahun 1776, setelah pelarangan penerbitan surat kabar De Bataviase Nouvelles pada tanggal 20 November 1745, pemerintah kolonial memberi izin kepada L Dominicus seorang pakar dalam percetakan untuk menerbitkan mingguan yang diberi nama Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang). Mingguan ini berisi berita lelang perusahaan-perusahaan perdagangan di bawah VOC. Sedangkan pemasangan iklan diluar perusahaan VOC dikenakan biaya. Mingguan ini bertahan terbit antara tahun 1776 hingga 1809. (Riyanto,2000:52-53)

Di abad ke-19, terbit beberapa surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu) di antaranya ‘Soerat Kabar Bahasa Melajoe’ yang diterbitkan di Surabaya pada tahun 1861. Kemudian ‘Bintang Timoer surat kabar dua mingguan yang memuat pelbagai berita sosial-ekonomi. Kemudian di Semarang pada tahun 1860 terbit Selompret Melajoe of Semarang. Pada tahun 1883 para pengusaha Cina mulai terlibat usaha percetakan dan buku, terutama penerbitan buku terjemahan sastra Cina klasik yang kemudian berkembang menjadi komoditas percetakan yang semakin meluas.

Berkembangnya industri percetakan merupakan tahap penting dalam keterbukaan budaya, karena di dalamnya terdapat perluasan dan pelintasan komunikasi verbal maupun gambar. Rekaman melalui gambar dan penataan huruf di masa tersebut telah tampak sebagai bagian penting dari industri percetakan. Pada tahun 1919 telah tercatat 120 perusahaan yang mempekerjakan 3.080 orang di industri percetakan, sebagian di antara kegiatan industri tersebut adalah pekerjaan desain grafis. Tidak tercatat angka secara pasti berapa jumlah tenaga penata rupa surat kabar, buku, poster, dan produk cetak lainnya. Demikian pula jumlah ilustrator, perancang grafis dan fotografer. Selama pemerintahan kolonial, tercatat lebih 3000 seniman bangsa asing (Belanda, Jerman) yang dicatat dalam Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia (1600-1950) dengan pelbagai bidang pekerjaan seni; di antaranya pelukis, peneliti seni, ilustrator cat air, juru gambar, pematung, ilustrator, pendesain grafis dan perupa produk industri. Sedangkan seniman bangsa Indonesia tidak dimasukkan ke dalam leksikon tersebut. Terlepas dari hal tersebut, fenomena itu menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi cetak memiliki peran dan makna yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, dalam percaturan sejarah kebudayaan, perkembangan karya cetak sebagai bagian dari peradaban bangsa belum mendapat posisi yang penting.

Sumber: Pergeseran Nilai Estetis pada Desain Karya Cetak Indonesia di Abad ke 20 – Studi Historiografi pada Iklan Cetak dan Kulit Muka Buku oleh Agus Sachari


Brosur-brosur pertama untuk “go public”

Pertumbuhan iklan di jaman Hindia Belanda, sangat dipengaruhi pula oleh masuknya modal swasta ke sektor perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Karena perkembangan itu ternyata menumbuhkan kebutuhan baru, berupa pembentukan lembaga-lembaga penelitian untuk mengembangkan dan mengakumulasi modal mereka, seperti yang dilakukan oleh asosiasi perusahaan-perusahaan gula, Suikersyndicaat, misalnya. Asosiasi ini juga bertugas sebagai lembaga penelitian, dan sekaligus memproduksi pula brosur-brosur sebagai wahana informasi dan promosi. Dengan demikian, para calon penanam modal di perusahaan perkebunan mereka mengetahui seberapa jauh rentabilitas investasi mereka.

Javaasche Bank menggunakan barang-barang cetakan untuk mengundang modal asing ke Hindia Belanda. Brosur dan buklet perkenalan mereka umumnya dicetak di percetakan G.C.T. van Dorp & Co., yang berlokasi di Jakarta, Semarang dan Surabaya.

Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.


1893

Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Percetakan Negara di Jakarta, pada waktu itu yang terbesar di Asia. Sementara itu di seluruh Indonesia sudah terdapat 6500 percetakan, 2700 di antaranya terdapat di Jakarta. Industri grafika dan dunia penerbitan di Indonesia pada waktu itu sudah mulai menyadari pentingnya desain grafis.

Laribu Meyoko, sekretaris Percetakan Negara: “Mengapa desain itu penting? Barang cetakan sama seperti manusia: penampilan lahiriahnya yang penting. Untuk memberi kesan yang baik, untuk menarik perhatian, untuk memberi kepercayaan. Desain grafis di Indonesia mempunyai masa depan gemilang.”

Sumber: Buku “Nederland Indonesia, 1945-1995, Suatu Pertalian Budaya”, [Z]OO produkties, Den Haag, 1995, hal. 165.


1938

Pada tahun 1938 berdiri PERSAGI (Persatuan Akhli Gambar Indonesia) di Jakarta dengan anggota kurang lebih tiga puluh pelukis (di antaranya Agus Djaja sebagai ketua, S. Sudjojono, Abdul Salam, Sumitro, Sudibio, Sukirno, Suromo, Surono, Setyosa, Herbert Hutagalung, Syoeaib, Emiria Sunasa, dan sejumlah seniman lainnya). Serikat ini sering dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia.

Para pelukis PERSAGI berupaya membangun ‘gaya Indonesia baru’ yang dikembangkan dari paduan antara nilai estetik tradisi dan nilai estetik modern. Semasa kolonisasi Jepang di Indonesia, PERSAGI mendapat wadah yang bernama Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan Jepang) yang didirikan pada tahun 1943. Spirit yang dicanangkan Jepang untuk membangun ‘Kebudayaan Timur’ mendapat tanggapan postif, hal ini terbukti dari keterlibatan para pelukis dalam membina senilukis Indonesia, dan tokoh-tokohnya antara lain adalah S. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi yang kemudian diikuti oleh sejumlah pelukis muda di antaranya Otto Djaja, Henk Ngantung, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kartono Yudhokusumo, Kusnadi, Sudjana Kerton, Trubus, Baharuddin, dan sejumlah seniman lainnya.

Sumber: Budaya Visual Indonesia: Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain di Indonesia Abad ke-20.

Dari atas ke bawah: Agus Djaja, S Sudjojono.


1945

Poster “Boeng, ayo boeng!”

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai – yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur – memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Dari atas ke bawah: Affandi, Chairil Anwar.

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, “Lahirnya Pancasila”. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan datang penyair Chairil Anwar (1922-1949). S Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan ringan Chairil menyahut: “Bung, ayo bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Darimanakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.

Sumber: Affandi (1907-1990) – Maestro Seni Lukis Indonesia


1 Agustus 1947

Berdiri Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia di Bandung sebagai cikal bakal berdirinya Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Pada tahun 1956, sekolah pendidikan guru gambar ini bersama bagian arsitektur digabung menjadi Bagian Arsitektur dan Seni Rupa. Bagian Seni Rupa terbagi menjadi dua bidang studi yaitu Pendidikan Seni Rupa dan Seni Lukis. Pada tahun 1959 Bagian Arsitektur dan Bagian Seni Rupa berubah nama menjadi Departemen Perencanaan dan Seni Rupa bersamaan dengan lahirnya Institut Teknologi Bandung. Bagian Seni Rupa terbagi menjadi Pendidikan Seni Rupa, Seni Lukis dan Seni Interior.

Sumber: Sejarah Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.


1949

Akademi Seni Rupa Pertama di Indonesia berdiri

Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia (disingkat ASRI) didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Ketergesaan ini rupanya dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota Negara. Sebagaimana diketahui, tanggal 27 Desember 1949, dua belas hari sesudah surat keputusan tersebut, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya.

Pada hari Minggu tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan RJ Katamsi Martorahardjo (7 Januari 1897-2 Mei 1973) sebagai direkturnya yang pertama (sekaligus pendirinya), dengan beberapa bagian pendidikan seni seperti Lukis, Patung, Pertukangan Kayu, dan Reklame. Jurusan Reklame – yang merupakan cikal bakal pendidikan desain grafis – saat itu masih menjadi satu dengan Jurusan Dekorasi, Ilustrasi dan Grafik dan disebut dengan Jurusan 4 (empat) atau REDIG. Salah satu mahasiswa pada awal jurusan ini yaitu Soetopo Mangkoediredjo lulus pada tahun 1955. Termasuk pendiri ASRI adalah Hendra, Kusnadi, Sudarso dan Trubus sementara Affandi pernah tercatat sebagai salah satu pengajar di perguruan ini.

Sumber: Sejarah Seni Rupa Indonesia.

Sejarah ASRI bisa dibaca di sini > Sejarah Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Dan mengenai RJ Katamsi-Pendiri ASRI oleh Prof. Soedarso Sp MA.

MENGENAI RJ KATAMSI MARTORAHARDJO-PENDIRI ASRI

RJ Katamsi, yang semboyan dalam exlibrisnya adalah ars longa vita brevis itu, lahir di Karangkobar, Banyumas, pada tanggal 7 Januari 1897. Nama lengkapnya, RJ Katamsi Martoraharjo, cucu dari R. Ng. Sastropermadi yang konon berbakat melukis dan kalau benar demikian maka bakat itu menurun kepada cucunya yang sesuai dengan judul di atas adalah pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia yang terkenal dengan singkatannya ASRI dan yang kini menjelma menjadi Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Anak desa ini memiliki sejarah pendidikan yang menarik. Bermula dari HIS (Hollandsch Inlandsche School, Sekolah Dasar Belanda untuk orang-orang Pribumi) di Semarang, Kweekschool (Sekolah Guru Empat Tahun) di Yogyakarta yang kemudian pindah ke sekolah guru Gunung Sahari di Jakarta, dan sesudah itu mendapat kesempatan untuk meneruskan pelajarannya di Negeri Belanda, bersekolah di Academie voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag dan mendapat ijasah Middelbaar Onderwijs dalam menggambar (MO Tekenan), yang lebih kurang sama dengan ijasah B-II Seni Rupa di Indonesia. Dengan ijasah itulah pada tahun 1922 Katamsi pulang ke Indonesia dan diangkat menjadi guru di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Sekolah Dasar yang diperluas, setingkat SMP sekarang) dan AMS (Algemene Middelbare School, Sekolah Menengah Umum, setingkat SMA) di Yogyakarta yang terkenal dengan nama AMS/B dan perlu dicatat bahwa RJ Katamsi adalah orang Indonesia pertama yang dipercaya menjadi direktur AMS ini. Jabatan sebagai direktur AMS/B tersebut diteruskan sampai jaman Jepang yang sekolahnya berganti nama menjadi Sekolah Menengah Tinggi (SMT).

Pada tahun 1935, masih di masa penjajahan Belanda, RJ Katamsi mendapat tugas untuk membina tukang-tukang ukir perak di Kota Gede, Yogyakarta, khususnya dalam hal penciptaan seni hias atau ornament. Di masa pendudukan Jepang, RJ Katamsi mendapat sampiran tugas dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk juga menjabat sebagai Kepala Museum Sonobudoyo (1942-1950). Di masa itulah RJ Katamsi menyerahkan sebagian koleksi pribadinya yang berharga kepada museum untuk melengkapi koleksinya.

Puncak pengabdian RJ Katamsi untuk negara dan seni budaya adalah keberhasilannya mendirikan akademi seni yang pertama di Republik Indonesia berkat bantuan para seniman dan budayawan di Yogyakarta. Sebagaimana dimaklumi, pada tahun 1946, bersama dengan pindahnya ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta, hijrah pula para seniman ke ibukota republik yang baru, Yogyakarta, yang dulu terkenal dengan nama Ngayogyakarta hadiningrat. Maka berkumpulah di Yogyakarta tokoh-tokoh seniman seperti Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan dan beberapa lainnya.

Sebenarnya gagasan pendirian akademi seni rupa telah lama ada. Segera setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, para seniman menghendaki didirikannya suatu akademi kesenian yang dianggap sepantasnya ada di suatu negara yang merdeka, apalagi bagi Indonesia yang kaya akan warisan seni budaya itu yang akan dapat memelihara dan mengembangkan bibit-bibit seniman di masyarakat. Di masa penjajahan tidak mungkinlah hal itu dilaksanakan, apa lagi kalau mengingat bahwa lahirnya pendidikan dasar pun adalah akibat dari etische politiek dengan motto “de Eereschuld” atau “Hutang Kehormatan” nya Van Deventer (1899) yang juga didera oleh kebutuhan akan tenaga kerja pribumi yang lebih murah. Maka di jaman kemerdekaan, akademi kesenian mesti segera didirikan. Dari sisi pemerintah, sesungguhnya sejak Mr. Suwandi yang lebih terkenal dengan sistem ejaan Bahasa Indonesianya itu menjabat Menteri PP dan K, pada prinsipnya sudah ada persetujuan, tetapi mengingat situasi dan kondisi waktu itu, terwujudnya angan-angan ini baru beberapa tahun kemudian. Nampaknya Kongres Kebudayaan Nasional di Magelang yang berlangsung pada tanggal 20-25 Agustus 1948, dimana dengan suara bulat para peserta memandang perlunya segera direalisasikannya ide tersebut merupakan pendorong yang kuat, namun sekali lagi harus menelan pil pahit dengan adanya Clash ke II yang menyetop segala kegiatan.

Baru menjelang akhir tahun 1949 usaha itu menghangat kembali ketika Menteri PP dan K mengumpulkan tokoh-tokoh seni budaya yang ada di Yogyakarta untuk merencanakan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pendirian akademi seni rupa tersebut, yang segera disusul dengan keluarnya pengangkatan Panitia Pendirian Akademi Seni Rupa, dengan RJ Katamsi yang pada waktu itu menjadi Pemimpin Bagian Kebudayaan Jawatan Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta bidang Pengajaran sebagai ketuanya. Dengan dibantu oleh tokoh-tokoh seperti Djajengasmoro, Sarwono, Hendra Gunawan, Koesnadi, Sindusisworo, Prawito dan Indrosugondho, panitia ini harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan. Maka dalam sidang-sidang persiapan itulah Katamsi yang sudah memasukkan konsep-konsepnya kepada pemerintah sejak tahun 1947, membentangkan idenya.

Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Ketergesaan ini rupanya dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota negara. Sebagaimana diketahui, tanggal 27 Desember 1949, dua belas hari sesudah surat keputusan tersebut, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya.

Begitulah, pada hari Minggu tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan RJ. Katamsi sebagai direkturnya yang pertama. Cita-cita berdirinya sebuah akademi seni sudah terlaksana, namun dari sanalah dimulainya suatu pekerjaan besar, yaitu mengisi dan mengembangkan bayi akademi yang baru lahir tersebut. Dalam pidatonya pada hari peresmian itu RJ Katamsi selaku Direktur ASRI menyatakan harapannya akan bantuan para peminat seni, para pengajar serta jawatan-jawatan yang bersangkutan dan mengemukakan keyakinannya bahwa dengan bantuan mereka itu “… kita akan dapat melaksanakan cita-cita kita, yaitu membimbing barisan seniman-seniman baru yang dinamis dan kreatif, yang benar-benar dapat menyumbangkan jiwanya yang berbakat tinggi guna kepentingan perjuangan Nusa dan bangsa,…” Pekerjaan itu besar dan berat kalau diingat bahwa semua kondisi pendukungnya sangatlah lemah; pengalaman belum ada, sumber daya manusia sangat kurang kalau tidak boleh dibilang tidak ada, gedung dan alat-alat sebagai perangkat keras juga belum ada, begitu pun perangkat lunaknya. Semuanya harus bermula dari titik nol, kecuali semangat yang menyala-nyala di setiap dada tokoh-tokohnya. Katamsi harus bekerja keras memimpin barisannya yang mengingatkan kita pada cerita dalam Injil (Mateus) di mana Kristus bersabda, “… kalau yang buta memimpin yang buta, maka semuanya akan terperosok ke dalam parit.”

Untung Katamsi tidak buta dan begitupun para dosen dan petugas yang membantunya, tidak sama sekali buta. Walaupun tidak masuk dalam jurusan seniman, keberadaan Katamsi di Academie voor Beeldende Kunsten tentulah memberikan kepadanya pengalaman yang cukup tentang dunia itu, dan di ASRI pun ada bagian guru gambar/seni rupa yang sama dengan yang diikutinya di Den Hag. Para dosen pembantunya juga tidak sembarangan, dosen ‘Anatomi’ nya adalah Dr. Martohusodo dan Dr. Radio-poetro, dosen ‘Sejarah Kebudayaan’ adalah Ki Padmopuspito yang sampai akhir hayatnya juga mengajar matakuliah yang sama di Universitas Gajah Mada, dan mata kuliah praktek studio dibina oleh seniman-seniman otodidak yang mumpuni seperti Hendra, Affandi, Koesnadi, serta Soedjojono, dan sementara itu Katamsi sendiri mengajar ‘Sejarah Kesenian’, ‘Perspektif’, dan kadang-kadang juga ‘Proyeksi’ atau ‘Menggambar Bentuk’ yang dulu disebut ‘Stilleven’.

Ketidakakraban para tokoh pengelola awal ASRI Yogyakarta dengan dunia pendidikan tinggi seni itu dapat terlihat dari caranya membuat peraturan-peraturan akademik, pembuatan kurikulum, maupun nama-nama mata kuliah seperti, ‘Opmeten’, ‘Reproduksi’, dan ‘Kekunoan’. Sementara itu ‘Ilmu Bentuk’ tidak pernah diajarkan di ASRI Yogyakarta dan ‘Estetika’ juga tidak tergarap dengan baik.

Karena belum memiliki gedung sendiri maka perkuliahan dilaksanakan di banyak tempat dengan basis menumpang di gedung Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) di Bintaran Lor 12b sebagai induknya dan tempat perkuliahan serta studio bagian I/II, SMA-B Kotabaru dan di rumah beliau di jalan Gondolayu 20 untuk Bagian IV dan V, dan di jalan Ngabean 5 (bekas gedung Kunst Ambachshool) serta jalan Bintaran 8 untuk bagian III. Baru pada tahun 1957, setahun sebelum pensiun, Katamsi berhasil memperoleh gedung pre-fabricated dari Amerika Serikat yang bentuknya sama dengan banyak gedung SMA di Indonesia.

Gedung itu sekarang ditinggalkan oleh ISI Yogyakarta bersama dengan kompleks Gampingan yang tanahnya merupakan hibah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sayang. Bangsa Indonesia memang kurang hirau akan sejarah, walaupun sekian puluh tahun yang lalu almarhum Presiden Pertama RI sudah mengingatkan, jangan meninggalkan sejarah yang terkenal dengan singkatannya “jasmerah”.

Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa beliaulah peletak dasar Akademi Seni Rupa Indonesia yang selain merintis kelahirannya juga memimpinnya sebagai direktur pertama selama delapan tahun, dari tahun berdirinya sampai masa pensiun di tahun 1958. Tambahan pula, walaupun sudah pensiun, R. Katamsi masih tetap memberi kuliah baik di ASRI maupun di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (Katamsi pula yang menciptakan lambang Universitas Gajah Mada yang dipakai sampai kini). Atas jasa-jasanya tersebut pada tahun 1970, RJ Katamsi menerima anugerah seni dari pemerintah yang diterimakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu dan sekalian tanda kehormatan Lencana karya Satya Kelas II.

RJ Katamsi adalah perancang desain logo UGM (Universitas Gajah Mada) yang tetap dipakai hingga sekarang.

Dari sisi kehidupan pribadinya, RJ Katamsi kawin dengan nyonya Le Duc (keturunan Belanda-Turki) dan karena sampai meninggalnya isteri tersebut Katamsi tidak memperoleh keturunan, pada tahun 1965 RJ Katamsi kawin lagi dengan seorang gadis bernama Rusilah yang sempat memberikan dua orang putera kepada Katamsi.

Walaupun dimasa penjajahan Belanda RJ Katamsi mendapat gaji 400 gulden (lebih besar dari gaji seorang dokter Jawa), pada akhir hayatnya boleh dibilang Katamsi tidak memiliki apa-apa. Namun Katamsi legawa dalam soal ini seperti kata-katanya, “…kalau seseorang bercita-cita ingin menjadi kaya, lebih baik jangan menjadi guru.” Katanya lebih lanjut, “Pahit getir, suka dan duka sudah saya alami selama 46 tahun menjadi guru. Tetapi sungguh-sungguh senang. Walaupun selama 46 tahun saya menjadi guru itu tidak menjadi orang yang kaya. Dan yang saya cari memang bukan kekayaan, tetapi kepuasan. Saya sudah puas jika melihat murid-murid saya menjadi orang ternama. Saya ikut bangga dan bersyukur bahwa perjuangan saya tidak sia-sia.”

RJ Katamsi memang memiliki banyak murid yang menjadi seniman ataupun tokoh terkenal. Dari masa AMS/B, RJ Katamsi menelorkan antara lain Mr. Mohammad Yamin, Prof. Suwandi, dan Prof. Priyono yang ketiga-tiganya pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan dari masa SMT, RJ Katamsi berhasil melepas Drs. Radius Prawiro yang beberapa kali menjadi menteri, Bambang Sugeng yang pernah menjadi KASAD, dan Sudarpo, seorang pengusaha terkenal. Dari ASRI bermunculanlah Widayat, Saptohudoyo, Saptoto, Frans Harsono, Hendrojasmoro, Abas Alibasyah, Abdulkadir, Sutopo, Edhi Sunarso, Amri Yahya, dan masih banyak lagi.

Sumber: RJ Katamsi-Pendiri ASRI

Surat Bung Karno untuk ASRI Yogyakarta, 1955. Dok: Kronika ASRI ke ISI Yogyakarta.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1959

Lahirnya Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sumber: Sejarah Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.


1960-1972

Logo mulai populer

Iklan-iklan produk konsumen tampak mengalami kemandegan kreativitas, khususnya dalam hal penulisan naskahnya. Bagian besar rancangan produk iklan dalam negeri bertema “anjuran memakai” yang tidak monoton. Kata-kata “pakailah selalu” senantiasa digunakan dalam setiap teks iklan. Struktur verbal iklan masih tetap dipengaruhi oleh iklan-iklan zaman kolonial. Bahkan mereka pun masih banyak menggunakan istilah-istilah dari bahasa Belanda, seperti Te Huur (sewa), Barbier (cukur rambut), Restaurant, atau Te Koop (dijual). Kata-kata ini memang sering dijumpai diucapkan di radio, atau tertulis dalam kolom-kolom media cetak.

Secara visual pengaruh “Hollandsch denken en Hollandsch inzicht” (berfikir dan berpandangan ala Belanda) juga terasa sangat dominan. Dalam iklan restoran atau hotel misalnya, selalu digunakan model seorang berpakaian jas dan celana panjang putih, memakai peci dan sebuah serbet yang tersampir di pundak kirinya, dalam posisi siap menerima perintah tuannya, yang seorang Belanda pula. Atau visualisasi budaya Barat lainnya, seperti penggunaan tokoh-tokoh Walt Disney dengan Mickey Mouse, Donald Duck, Cinderella, Putri Salju dan sebagainya. Atau ilkan-iklan keluarga tentang kelahiran dengan ilustrasi burung pelikan terbang membawa bayi.

Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan besar sudah mulai berani menggunakan sedikit teks, dan sekaligus menyadari pentingnya khalayak sasaran mengenal logotype (ciri logo) produk-produk mereka. Sayangnya, berbeda dengan teori periklanan, banyak produk ataupun merek baru yang tidak menyatakan kebaruannya dalam iklan-iklan mereka. Di samping itu, nuansa yang tercipta dari iklan-iklan tersebut hampir seluruhnya hanya untuk tujuan penjualan (sales) semata.

Populernya penggunaan logo sebagai identitas suatu produk atau merek, membawa bisnis baru untuk perusahaan periklanan dari kliennya. Yaitu merancangkan logo yang sesuai dengan jenis, kepribadian dan citra produk yang ingin dikembangkan produk-produk tersebut.

Beberapa perusahaan bahkan meminta perusahaan periklanannya untuk juga menguruskan nomor pendaftaran (gedeponeerd) merek atau logo produk mereka tersebut di Kantor Pendaftaran Merk Dagang.

Membanjirnya kebutuhan mendaftarkan merek ini tidak seimbang dengan kesadaran mereka beriklan, memasyarakatkan logo-logo tersebut. Situasi ini membawa dampak di bidang hukum. Karena saat itu ternyata muncul banyak logo yang mirip satu sama lain. Akibatnya, justru mereka akhirnya merasa perlu memuat iklan-iklan pengaduan, atau sekedar menjelaskan tentang perbedaan logo produknya dengan yang milik perusahaan lain. Beberapa di antara mereka yang mirip logonya dan memuat iklan pengumuman ini, bahkan sama-sama pula belum terdaftar.

Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab V, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.


Realisme Sosialis

Tahun 1960-an, ruang publik didominasi gaya realisme sosialis, termasuk baliho, poster dan media cetak lainnya. Realisme sosialis adalah pegangan resmi para seniman anggota Lekra yang di bawah patronase Partai Komunis Indonesia (PKI), merupakan organisasi dan gerakan yang terkuat di kalangan seniman Indonesia antara akhir 1950-an sampai dengan pertengahan 1960-an. Ketika itu asas realisme sosialis hendak diberlakukan bagi semua ekspresi kesenian dan pemikiran di Indonesia.

Manifes Kebudayaan disusun dan diumumkan sebagai reaksi terhadap realisme sosialis. Yang ditentang Manifes Kebudayaan adalah asas “politik sebagai panglima” yang dalam prakteknya berarti kekuasaan politiklah – tepatnya partai – yang mengendalikan kesenian.


1962

Jurusan Seni Reklame dan Propaganda

Pada tahun 1962 Reklame berpisah dengan REDIG dan menjadi jurusan tersendiri dengan nama Jurusan Reklame (1962–1968) dengan Ketua Jurusan yang pertama Dr. HC. R.M. Sapto Hoedojo. Situasi politik era Demokrasi Terpimpin di bawah Panglima Besar Revolusi (PBR) Ir. Soekarno yang mencanangkan gerakan anti Neo Kolonialisme dengan propaganda Indonesia sebagai Neo of Force Asia, membawa situasi nama Jurusan Reklame sementara sempat berubah menjadi Jurusan Seni Reklame dan Propaganda, sampai akhirnya ditetapkan dengan nama Jurusan Seni Reklame pada akhir tahun 1968.

Ketua Jurusan Seni Reklame STSRI ASRI, Yogyakarta Soetopo Mangkoediredjo bersama staf pengajar, paling kiri: Lie Djien An, kedua dari kanan: Margono dan paling kanan: Parsuki.

Referensi: “Sekolah Toekang Reklame” – Suatu Catatan Perjalanan Disain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta


1967

Jurusan Seni Rupa FTSP ITB membuka Studio Grafis. Pada saat itu, kurikulum desain dan seni masih bersatu.


1967

PERINTIS PERIKLANAN MODERN

Orde Baru ternyata cukup sigap mengembalikan kestabilan politik dan ekonomi dalam negeri. Selain berupaya keras mengendalikan inflasi, Pemerintah juga membuka peluang sebesar-besarnya bagi investasi baru. Konfrontasi dengan negara-negara liberal pun lambat-laun dihapuskan dan membuka lagi peluang bagi perdagangan luar-negeri yang lebih terbuka dan dinamis. Lebih lagi setelah Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) disahkan, telah sangat merangsang investasi dalam negeri dan menjamin adanya kepastian berusaha.

Di tahun 1967, tahun yang sama dengan dikeluarkannya Undang-undang PMDN tersebut, di Jakarta lahir perusahaan periklanan InterVista Ltd. Inc., yang didirikan dan dikelola oleh Nuradi (10 Mei 1926-8 Juni 2009). InterVista dianggap sebagai perintis periklanan modern di Indonesia. InterVista pula yang dianggap menjadi perusahaan periklanan pertama yang beroperasi dalam kapasitas pelayanan periklanan menyeluruh (full service advertising agency).

Setahun setelah diundangkannya Undang-undang PMDN, dikeluarkan pula Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengatur tata cara penanaman modal asing di Indonesia. Undang-undang ini bukan saja memberi jiwa keterbukaan pada masuknya modal asing, tetapi juga telah lebih merangsang lagi peningkatan investasi di Indonesia. Undang-undang PMA ini bahkan memberi dampak langsung pada peningkatan tajam bisnis periklanan. Investasi oleh para pemodal asing rupanya membawa konsekuensi lain bagi periklanan. Para pemodal ini yang umumnya sudah terbiasa dengan sistem perekonomian dan perdagangan liberal, rupanya menuntut adanya pula sarana promosi dan periklanan yang baik di Indonesia*.

Sebagai perusahaan periklanan modern. InterVista juga tercatat aktif dalam membantu kampanye-kampanye pemasaran sosial (social marketing) atau periklanan layanan masyarakat (public service advertising). Kampanye-kampanye ini merupakan sesuatu ayng baru bagi masyarakat Indonesia di masa itu.

Salah satu karya besar InterVista yang bahkan tetap digunakan hingga saat ini adalah Kartu Menuju Sehat. Sebuah petunjuk sangat praktis bagi para ibu untuk memeriksa dan merawat kesehatan bayinya.

Munculnya InterVista rupanya menjadi katalis bagi lahirnya banyak lagi perusahaan periklanan modern di Indonesia. Bahkan tahun 1969 berdiri pula Benson SH Ltd., perusahaan periklanan pertama yang berafiliasi dengan perusahaan periklanan asing di Indonesia. Perusahaan periklanan ini tadinya sekedar merupakan afilasi dari perusahaan yang sama di Singapura, tetapi kemudian dikembangkan menjadi afiliasi langsung dengan perusahaan periklanan induknya di New York dan berubah nama menjadi Ogilvy Benson & Mather Indonesia. Selanjutnya karena ada peraturan yang tidak mengizinkan perusahaan periklanan asing Indonesia, perusahaan ini mengubah statusnya menjadi perusahaan Indonesia, sekaligus mengganti namanya menjadi PT Indo Ad**.

* Para praktisi periklanan umumnya berpendapat ada hubungan langsung antara aspek -aspek investasi, dan periklanan dalam arti yang luas. Karena itu, tuntutan para investor asing ini tentu saja wajar untuk mengamankan investasi mereka,dengan meningkatkan efisiensi produksi (mencapai tingkat skala ekonomi tertentu) dan dengan dukungan promosi dan periklanan menjamin tercapainya sasaran-sasaran pemasara barang atau jasa yang mereka hasilkan.

** Ogilvy Benson & Mather Internasional kemudian berubah nama menjadi Ogilvy & Mather. Saat terbentuknya Indo Ad, Ogilvy & Mather merupakan perusahaan internasional dengan kantor afiliasi terbanyak di dunia dan dalam hal omset, No. 6 terbesar di luar Jepang.

Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab VI, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

Nuradi, perintis periklanan modern Indonesia.

Riwayat Hidup Nuradi

Nuradi (10 Mei 1926-8 Juni 2009) lahir di Jakarta.

Antara tahun 1946-1948 masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Darurat).

1949 -1950 mengikuti Akademi Dinas Luar Negeri RI. Tahun-tahun berikutnya dia mengikuti berbagai pendidikan nonformal di Amerika Serikat dan menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC.

1952-1954 menyelesaikan studi bidang adminsitrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Selama setahun kemudian dia belajar bahasa di Universitas Sorborne dan Besancon, Perancis. Nuradi juga pernah menjadi penyiar siaran bahasa Inggris di RRI, dan menjadi juru bahasa pribadi untuk Bung Karno, Bung Hatta dan Ir, H. Juanda. Jabtan lain adalah kepala bagian penerjemah pada delegasi Indonesia di Konperensi Meja Bundar di Den Haag, serta menjadi anggota perwakilan tetap Indonesia di Uni Soviet. Dia mengundurkan diri dari Dinas Luar Negeri tahun 1957.

Kiprah Nuradi di bidang periklanan berawal tahun 1961-1962, saat dia mengikuti Management Tarining Course di SH Benson Ltd., London, sebuah biro iklan terbesar di Eropa saat itu. Pengetahuan teoritis ini kemudian dia lengkapi dengan keterampilan praktis melalui cabang perusahaan ini di Singapura. Tahun 1963 dia kembali ke Jakarta dan mendirikan InterVista Advertising Ltd., biro iklan modern pertama di Indonesia.

Di tahun itu juga, dan melalui InterVista, Nuradi merintis periklanan komersial pertama di TVRI. Hotel Tjipajung, produsen alat berat dan truk PT Masayu, dan PT Arschoob Ramasita merupakan tiga pengiklan pertama yang menayangkan telop iklan di media elektronik tersebut. Se tahun kemudian, materi iklan menggunakan slaid yang pertama muncul untuk produk skuter Lambretta. Iklan produk ini juga menjadi yang pertama tampil sebagai iklan komersial di bioskop-bioskop di Indonesia.

Menurut Nuradi, kekuatan InterVista terletak justru pada kekokohannya pada akar budaya Indonesia. “Ideologi” itu memang terungkap pada banyak pesan periklanan InterVista yang naskahnya kerap ditulis sendiri oleh Nuradi. Bahasa yang sederhana namun baku, merupakan ciri naskah-naskah iklan InterVista. “Indomilk sedaaap”, “Ini bir baru. Ini baru bir”, “Makin mesra dengan Mascot”, dan “Lebih baik naik Vespa” adalah contoh slogan-slogan periklanan yang amat populer hingga awal 1980.

Nuradi memang patut berbangga dengan prestasinya, karena hingga tahun 1970-an ia berhasil membawa InterVista sebagai biro iklan yang amat disegani, menyaingi biro-biro iklan afiliasi asing seperti Lintas (sekarang Lowe) dan Indo Ad (sekarang Ogilvy).

Baty Subakti (disadur dari buku Sejarah Periklanan Indonesia, Baty Subakti dkk.)


1969

Pada tahun 1969 Fakultas Teknik Universitas Trisakti membuka Departemen baru yaitu Departemen Seni Rupa, dengan kepala Departemennya Drs Soekarno.


1969-1971

AD Pirous belajar di RIT (Rochester Institute of Technology), Amerika Serikat untuk menjajagi kemungkinan dibukanya Program Studi Desain Grafis di ITB.

AD Pirous lahir di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932. Sejak 1964 sampai dengan 2002, AD Pirous bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. AD Pirous pernah menjabat sebagai dekan pertama di fakultas ini pada tahun 1984. Memperoleh posisi Guru Besar pada 1994, AD Pirous mencatatkan prestasinya sebagai salah seorang perintis seni rupa Islam modern di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri bidang studi Desain Grafis yang berlanjut menjadi bidang Desain Komunikasi Visual di ITB. Seusai masa baktinya pada dunia akademik di ITB, AD Pirous tetap mengabdikan dirinya sebagai pelukis dan cendekiawan senior di bidang seni rupa dan kebudayaan.


1970

Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) didirikan, membawahi Akademi Seni Rupa, Akademi Seni Tari dan Akademi Seni Teater.

Pada tahun 1976 untuk memenuhi persyaratan sebuah perguruan tinggi, nama LPKJ kemudian diubah menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).


1973

Jurusan Seni Rupa FTSP ITB dimekarkan dengan menambah Program Studi Desain Tekstil dan memecah Studio Grafis menjadi Program Studi Desain Grafis dan Seni Grafis. Tahun 1973, Program Studi Desain Grafis melepaskan lulusan pertamanya, yaitu empat mahasiswa studio grafis yang membuat tugas akhir berupa proyek desain grafis. Para lulusan pertama dari studio ini adalah Indra Abidin, Markoes Djajadiningrat, Teddy Sam Natasasmita dan Priyanto Sunarto.

Markoes Djajadiningrat, Teddy Sam Natasasmita dan Priyanto Sunarto juga adalah anggota IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) ketika organisasi pertama di bidang desain grafis ini didirikan pada tahun 1980.

Dari atas ke bawah: Indra Abidin, Markoes Djajadiningrat, Priyanto Sunarto.


1974

Dunia seni rupa, terutama di STSRI “ASRI”, dan juga FSRD ITB, diguncang oleh terjadinya peristiwa Desember Hitam yang pecah di ujung tahun 1974 akibat protes yang dilayangkan oleh para mahasiswa yang kritis atas pemberian penghargaan oleh Dewan Juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia kepada lima orang pelukis (AD Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam dan Abas Alibasyah) karena karya-karya tersebut dianggap bercorak ragam sama, yakni dekoratif dan lebih mengabdi demi kepentingan “konsumtif”.


1975

Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979, 1987)

Peristiwa Desember Hitam itu menjadi cikal bakal terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang menghantarkan dunia seni rupa Indonesia melahirkan pemahaman baru atas persoalan ideologis kesenian; konsepsi estetika dunia seni rupa; subject matter; batasan-batasan akademik, hingga menyentuh persoalan-persoalan interpretasi subjektivitas (Seni Grafis Yogyakarta dalam Wacana Seni Kontemporer, Wiwik Sri Wulandari, 2008, halaman 101-102).

Salah satu konsep GSRB adalah meniadakan batasan antara seni murni dan seni terapan (baca: seni tidak murni), dan semua fenomena kesenian termasuk desain pun kemudian dianggap sederajat.

Sepanjang perjalanannya, eksponen GSRB yang juga desainer grafis tercatat antara lain FX Harsono, Syahrinur Prinka (1947-2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto (1955-2003), Harris Purnama dan Oentarto.

Pada tahun 1979 Gerakan Seni Rupa Baru membubarkan diri, tetapi sempat dihidupkan kembali pada tahun 1987.

Dari atas ke bawah: FX Harsono, Syahrinur Prinka, Wagiono Sunarto.


1976

Pemisahan Above The Line (ATL) dan Below The Line (BTL)

Matari Advertising merintis pemisahan studio desain iklan (khusus ATL) dan studio desain grafis (khusus BTL). Tercatat pada periode ini Tjahjono Abdi sebagai desainer iklan dan Hanny Kardinata sebagai desainer grafis. Pada periode berikutnya, sebagai desainer grafis FX Harsono dan Gendut Riyanto.

Dari atas ke bawah: Ken Sudarto (pendiri Matari Advertising, juga salah seorang tokoh perintis periklanan modern Indonesia), Tjahjono Abdi, Hanny Kardinata.


1977

Penggunaan istilah desain komunikasi visual

Gert Dumbar, seorang desainer grafis Belanda memperkenalkan istilah semiotika dan komunikasi visual di FSRD ITB. Menurutnya, desain grafis tidak hanya menangani desain untuk percetakan tetapi juga moving image, display dan pameran. Sejak tahun 1979, istilah desain komunikasi visual mulai dipakai menggantikan istilah desain grafis.


1978

Program Pengutamaan Studi Desain Grafis, Jurusan Seni Rupa di Universitas Trisakti diadakan.


1979

ASRI pada periode ini berubah status dan nama lembaga menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI” atau disingkat menjadi STSRI “ASRI”. Menjelang dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan seiring dengan diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) oleh Dr. Daud Joesoef maka nama Jurusan Seni Reklame berubah menjadi Jurusan Disain Komunikasi.


1980

Pameran desain grafis pertama di Indonesia

Pada tanggal 16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, jalan Menteng Raya 25, Jakarta diselenggarakan pameran desain grafis oleh tiga desainer grafis Indonesia: Hanny Kardinata, Gauri Nasution dan Didit Chris Purnomo, bertajuk “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”. Pameran ini tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia (Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit – Mau Merubah Dunia, Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6). Pameran ini membawa misi memperkenalkan profesi desainer grafis ke masyarakat luas, dan agar karya desain grafis diapresiasi sebagai karya seni.

Atas: Logo “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”. Bawah: Foto diambil dari poster “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”. Ki-ka: Didit Chris Purnomo, Hanny Kardinata, Gauri Nasution.

Sumber:

“Hubungan Rancangan Grafis dengan Seni Copet” oleh Johannes Tan, Brosur “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”.

“Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit” oleh Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6.

“Informatif, Juga Indah” oleh Priyanto Sunarto.

Beberapa karya yang dipamerkan:

Beberapa karya yang dipamerkan:

Hanny Kardinata, Ilustrasi dengan teknik kuas kering (dry brush) untuk materi pergelaran perdana Guruh Soekarnoputra bersama Swara Maharddhika, 1979.

Gauri Nasution, Music Album Cover, Keenan Nasution-Dibatas Angan-Angan, 1978.


1980

Organisasi desain grafis pertama di Indonesia

Logo IPGI hasil coretan tangan Sadjiroen, desainer uang Indonesia.

Organisasi desain grafis pertama di Indonesia terbentuk pada tanggal 25 April 1980 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bersamaan dengan diselenggarakannya sebuah pameran besar bertajuk “Grafis ‘80” di Jakarta yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta.

Brosur – sekaligus poster – pameran Grafis ’80, dirancang oleh Tjahjono Abdi.

Brosur – sekaligus poster – pameran Grafis ’80, dirancang oleh Tjahjono Abdi.

Badan Pendiri yang terdiri dari 9 orang: Sadjiroen, Sutarno, Suprapto Martosuhardjo, Soedarmadji JH Damais, Bambang Purwanto, Chairman, Wagiono, Didit Chris Purnomo dan J Leonardo N merumuskan program kerja dan membentuk pengurus sementara dengan susunan sebagai berikut:

Ketua: Wagiono Sunarto

Wakil Ketua: Karnadi Mardio

Sekretaris 1: Didit Chris Purnomo

Sekretaris 2: J Leonardo N

Bendahara: Hanny Kardinata

Dibantu beberapa koordinator bidang:

Pameran: FX Harsono, S Prinka

Publikasi dan Buletin: Tjahjono Abdi

Hubungan Masyarakat: Agus Dermawan T

Dokumentasi dan Perpustakaan: Helmi Sophiaan

Pendidikan dan Ceramah: Hanny Kardinata

Ki-ka (belakang): Hanny Kardinata, S Prinka, Wagiono Sunarto, Karnadi Mardio, FX Harsono, dan di depannya: Suyadi ‘Pak Raden’, Priyanto Sunarto dan Tjahjono Abdi beserta mahasiswa-mahasiswa DKV Trisakti di depan pintu masuk Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta, di mana pameran Grafis ’80 diadakan.

Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi

Dari kiri ke kanan: Joop Ave dan Soedarmadji JH Damais, yang bersama AD Pirous merupakan trio penasehat IPGI. Agus Dermawan T, Departemen Hubungan Masyarakat IPGI yang pada saat IPGI berdiri masih bekerja sebagai desainer grafis majalah remaja “Gadis”.


1980

Akhir 1970 dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain-desain non-iklan, beberapa di antaranya adalah Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto Sunarto), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi dan Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Di Bandung sebelumnya sudah ada design center Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh AD Pirous, T Sutanto, Priyanto Sunarto, yang walau lebih mengandalkan pada disiplin seni grafis juga menangani beragam produk desain grafis, mulai sampul buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen estetis gedung.

Periode awal 1980 mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis yang cukup signifikan di Jakarta, antara lain: Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja dkk), dll.

Dari kiri ke kanan: Karnadi Mardio, Gauri Nasution, T Sutanto, Riswanto (Iwan) Ramelan, Indarsjah Tirtawidjaja.

Pada masa ini, studio mana pun ‘dituntut’ bisa mengerjakan pekerjaan apa pun, klien datang dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai kepada ilustrasi sampul kaset, desainer bak superman atau superwoman. Studio grafis tidak punya pilihan lain supaya bertahan hidup.

Ilustrasi menggunakan teknik air brush, dengan gaya hyper-realism dan Pop Art menjadi trend waktu itu, sejalan dengan perkembangan ilustrasi di dunia maju (majalah “Tempo” dan “Zaman” adalah dua penerbitan yang mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya). Air brush gun, pensil, kuas, cutter, Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok Letraset/Mecanorma adalah alat-alat yang lazim bertengger di meja kerja desainer waktu itu.

Salah satu desainer yang mempopulerkan aliran Pop Art dengan teknik air brush adalah Tony Tantra. Tony Tantra menggunakan media kaos yang dijualnya di Bakungsari, Kuta, pada akhir 80an, dengan label “Tony Illustration”. Tony, bersama Harris Purnama dan Gendut Riyanto dulunya pengisi rubrik Pop Art di majalah Aktuil dengan editor tamu Jim Supangkat.

Sumber: Say it with Oblong

MENGENAI MAJALAH ZAMAN

Majalah Zaman, Mingguan untuk Seluruh Keluarga, bolehlah disebut sebagai “mimesis” (dalam arti luas) majalah Boss. Edisi Perdananya terbit pada minggu ke-II, September 1979, tetapi menggunakan SIT (Surat Ijin Terbit) bertanggal 31 Desember 1973 dengan keterangan: Untuk melanjutkan penerbitan MM Boss.

Edisi Perdana Zaman dibagikan secara gratis. Baru pada edisi No. 1/Thn I, Minggu I, Oktober 1979, majalah ini dijual dengan harga Rp. 250,-. Diterbitkan oleh Yayasan Bapora bekerjasama dengan PT Grafiti Pers, Penerbit Majalah TEMPO (waktu itu).

Dalam perjalanannya, di majalah ini berkumpul para seniman dan budayawan yang sudah tak asing lagi namanya di Indonesia, misalnya Danarto, Jim Supangkat, Nano Riantirano, Sori Siregar, Seno Gumira Ajidarma, Ananda Moersid, dan lain-lain. Pemimpin Redaksi: Goenawan Mohamad. Redaktur Pelaksana: Putu Wijaya.

Majalah Zaman ditutup oleh “Tempo” pada 1985. Lalu pada tahun berikutnya “Tempo” menerbitkan majalah baru: MATRA (Agustus 1986).

Sumber: Koleksi K Atmojo: Majalah Lama: “Zaman” Edisi Perdana & No. I/Thn I Oktober 1979


1983

Pada tanggal 22-31 Agustus 1983, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, IPGI menyelenggarakan pamerannya yang kedua yang digelar di Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”.

Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi

Ilustrasi karya Tjahjono Abdi yang menghiasi materi pameran (brosur, poster dsb.) Grafis ’83.


1984

Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB) diresmikan

Bidang studi seni rupa maupun desain mengalami perkembangan yang pesat karena tuntutan kebutuhan dari masyarakat, maka pada tahun 1984 di ITB Jurusan Seni Rupa ditingkatkan menjadi fakultas tersendiri dengan nama Fakultas Seni Rupa dan Desain yang mencakup tiga jurusan, yaitu: Jurusan Seni Rupa Murni, Jurusan Desain dan Jurusan Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).

FSRD ITB diresmikan pada tahun 1984 setelah mengalami sejarah perkembangan yang panjang sejak 1 Agustus tahun 1947 sebagai Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia di Bandung.


1984

Desain komunikasi visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta

Pada pertengahan tahun 1984, terjadilah perubahan besar dalam sistem penyelenggaraan pendidikan seni, sehingga setelah menjalani perencanaan panjang sejak 1973 dengan ide penggabungan 3 (tiga) lembaga: STSRI “ASRI”, AMI, dan ASTI, maka disatukanlah ketiga lembaga dengan nama Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tanggal 23 Juli 1984. Perubahan status dari sekolah tinggi menjadi institut membawa konsekwensi perubahan lembaga jurusan. Yang tadinya satu jurusan membidangi 1 (satu) program studi, maka kini jurusan membawahi kewenangan pengelolaan administrasi 2 (dua) program studi. Dengan demikian nama baru jurusan Disain Komunikasi menjadi Program Studi Disain Komunikasi Visual.

ISI Yogyakarta dibentuk atas Keputusan Presiden RI No: 39/1984 tanggal 30 Mei 1984, dan diresmikan berdirinya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, pada tanggal 23 Juli 1984.


1987

Pada tanggal 16 Desember 1987 Soetopo Mangkoediredjo menerima “Anugerah Pariwara” Indonesia yang pertama dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Pusat, yang disampaikan oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, H. Harmoko.


1987

Lomba Poster dan Stiker UP3DN: Terbesar dan Terheboh 1987

Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) mengadakan sayembara cipta poster dan stiker yang bertujuan untuk meningkatkan citra produksi dalam negeri dan mendorong masyarakat untuk lebih percaya dan menggunakan produksi dalam negeri.

Lomba dengan hadiah terbesar sepanjang sejarah itu telah menghasilkan jumlah entries sebanyak 313 poster dan 278 stiker, jumlah yang luar biasa mengingat masih terbatasnya profesi desainer grafis pada masa itu. Sayang lomba tersebut telah ternodai oleh diketemukannya fakta bahwa karya pemenang pertamanya merupakan hasil jiplakan dari sebuah desain dari Amerika. Pemenang pertama lomba poster pun dibatalkan dewan juri (Kompas 11 Desember 1987) dan keputusan baru diumumkan eksplosif lewat konferensi pers, 12 Desember 1987:

Pemenang lomba poster:

Juara I: Hanny Kardinata, Jakarta, judul: “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?”

Juara II: Gatot Widro, Jakarta, judul: “99% Buatan Sendiri. 1% Boleh Luar Negeri”

Juara III: Dadang Kreshnadi, Bandung, judul: “‘Menghargai’ Karya Bangsa Sendiri Kunci Pembangunan”

Pemenang lomba stiker:

Juara I: Aten Waluya, Bandung, judul: “Satu Pilihanku, Buatan Indonesia”

Judul II: Dicky Mulyadi, Jakarta, judul: Buatan Indonesia”

Juara III: Abub Luthfy H, Jakarta, judul: “Patriot Pembangunan, Cinta Produksi Dalam Negeri”

Karya-karya terpilih kemudian dibukukan dan beberapa karya yang menang dicetak oleh negara dalam jumlah ratusan ribu eksemplar.

Hanny Kardinata, Poster Sosial Kampanye Produksi Indonesia “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?”, 1987

Sumber: Lomba Poster dan Stiker UP3DN: Terbesar dan Terheboh 1987


1988

Pada tanggal 9-15 Februari 1988, bekerjasama dengan JAGDA (Japan Graphic Designers Association), IPGI menyelenggarakan pameran Grafis Jepang-Indonesia yang pertama, yang diadakan di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta. JAGDA menghadirkan 196 poster karya terbaru lebih dari 100 desainer terkemuka Jepang, diantaranya Yusaku Kamekura, UG Sato, Shigeo Fukuda, Shin Matsunaga, Ikko Tanaka, Kazumasa Nagai, Hiroshi Sato dan banyak lagi. Pameran kemudian dilanjutkan di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung.

Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi

Ilustrasi karya Tjahjono Abdi yang menghiasi materi (brosur, poster dsb.) pameran pertama IPGI-JAGDA.

Beberapa karya yang dipamerkan:

FX Harsono, Poster, “Opera Kecoa”, 1985.


1989

Pameran Grafis Jepang-Indonesia yang kedua bertajuk “Grafis ‘89” diselenggarakan berturutan di tiga kota: tanggal 23-30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; tanggal 12-20 April 1989 di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan tanggal 26 April-3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia di jalan Gampingan, Yogya. Pada tanggal 29 Maret 1989, Shigeo Fukuda yang didatangkan dari Jepang menjadi pembicara dalam sebuah ceramah di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower lantai 2, Jakarta.

Sepanjang perjalanannya tercatat nama-nama desainer yang telah ikut berpameran dalam pameran-pameran yang diselenggarakan oleh IPGI yaitu Achmad Rumyar, Achmad Sadimin, Agoes Joesoef, Bambang Bargowo, Bambang Purwanto, Bambang Sidharta, Bambang Trenggono, Deddy Budiman, Dicky Mulyadi, Didit Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Budi Mandiro, Chairin Hayati Joeda, Danardana, Dewi Nursalim, Dicksy Iskandar, Djoen Saptohadi, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, Gendut Riyanto, GM Sudarta, Hanny Kardinata, Harianto IR, Indarsyah, J Leonardo N, Karnadi Mardio, Lesin, Markoes Djajadiningrat, Mulyadi W, Piet Hari Santosa, Pramono, Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Sita Subijakto, Slamet Sugiyanto, Suyadi ‘Pak Raden’, Suyono Palal, S Prinka, Tarmizi Firdaus, T Ramadhan Bouqie, Teddy Sam Natasasmita, T Sutanto, Tjahjono Abdi, Wagiono Sunarto, Wendy Bari dan Yusuf Razak.

Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi

Lesin, Poster, “Grafis ’89”, 1989.


1992

JADEX‘92

Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo‘92” atau “JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September 1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa – seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik dan kria bambu – ‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar.

Anggota-anggota IPGI yang ikut serta dalam pameran ini adalah Aten Waluya, Bambang Sidharta, Donny Rachmansjah, Gauri Nasution, Hanny Kardinata, Iman Sujudi, Lessy Sebastian, Priyanto Sunarto, T Ramadhan Bouqie, Tjahjono Abdi dan Yongky Safanayong.


1993

Forum KMDGI (Kriyasana Mahasiswa Desain Grafis Indonesia) pertama di Universitas Trisakti, jakarta

Forum KMDGI berdiri sejak tahun 1993 – diadakan setiap dua tahun sekali di perguruan tinggi yang berbeda – merupakan forum untuk berkumpul, bertukar pikiran, berdiskusi dan apresiasi konsep kekaryaan/konsep kreatif antar mahasiswa desain grafis se Indonesia.

KMDGI pertama kali diadakan di Universitas Trisakti, pada tanggal 10-13 September 1993 diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Desain Universitas Trisakti. Para peserta delegasi yang mengikuti acara tersebut adalah perwakilan dari tiga universitas yaitu dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (Solo), Universitas Trisakti (Jakarta), Universitas Udayana (Bali) dan tiga institut yaitu ISI (Yogyakarta), ITB (Bandung), IKJ (Jakarta).


13 Desember 1994

Universitas Pelita Harapan didirikan oleh Yayasan Universitas Pelita Harapan. Jurusan DKV berada di bawah Fakultas Teknik dan Perencanaan.


1994

Studio Desain Grafis ITB berubah menjadi Studio Desain Komunikasi Visual.


1994

IPGI ganti nama jadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia)

Kongres pertama IPGI diadakan di Jakarta Design Center pada tanggal 7 Mei 1994. Di dalam konggres ini diresmikan penggantian nama IPGI menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) serta serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain Grafis.

Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi


1996

Program Studi Desain Grafis di Universitas Trisakti menjadi Program Studi Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain.


1997

Studio Desain Komunikasi Visual menjadi Program Studi Desain Komunikasi Visual di bawah departemen Desain FSRD ITB.


1998

22 Januari 1998: Kurs rupiah menembus 17.000,- per dolar AS

Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat. Krisis dengan cepat merambah ke semua sektor. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut. Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).

Perusahaan-perusahaan desain grafis pun tidak luput dari hantaman krisis ini, satu per satu ditutup karena sebagian besar dari klien mereka berasal dari sektor perbankan, konstruksi dan manufaktur. Hanya studio kecil (terdiri atas dua atau tiga orang) yang selamat, karena overhead juga kecil, studio besar yang mampu bertahan pun dipaksa memangkas drastis jumlah stafnya.


1998

15 Oktober 1998

Dibentuk sebuah tim persiapan oleh Rektor Universitas Bina Nusantara, [Alm.] Dr. Th. Widia Soerjaningsih untuk membangun sebuah jurusan Desain Grafis Universitas Bina Nusantara.

22 Oktober 1998

Jurusan Desain Grafis Universitas Bina Nusantara resmi berdiri di bawah naungan Fakultas Teknik.

Sumber: Sejarah DKV Binus University.


1998

DKV UK Petra berdiri.

Sumber: Sejarah DKV UK Petra.


Desember 1998

Berdirinya Taring Padi (Teeth of the Rice Plant)

Sekelompok anak muda yang menamakan diri Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi memanfaatkan grafis sebagai seni publik untuk gerakan moral dan penyadaran. Mereka membuat poster-poster dengan teknik cukil kayu dan memajangnya di dinding-dinding kota, dinding kantor pemerintah, dinding rumah penduduk, dan di tempat-tempat lain yang dengan gampang ditatap orang.

Menurut ketuanya, Tony Voluntero, Taring Padi (TP), yang bermarkas di antara puing-puing bangunan bekas kampus ISI Gampingan itu (sekarang di daerah Bantul, Yogyakarta), juga memiliki kontak dengan puluhan LSM di berbagai kota gesar dan luar negeri. Selain membuat seni publik berupa poster-poster kemanusiaan, TP juga berperan dalam banyak kegiatan demonstrasi, serta membantu membuat karya instalasi dan performance art untuk aksi unjuk rasa.

Tujuan berdirinya kelompok ini jelas yakni menggunakan ruang publik untuk mempresentasikan karya-karya mereka. Sebuah pilihan ruang yang egaliter dan paling demokratis dengan harapan karya-karya dapat lebih mudah dikomunikasikan kepada masyarakat. Targetnya muncul kesadaran dan sikap kritis. Sehingga pada prakteknya, kelompok Taring Padi banyak memuntahkan persoalan-persoalan yang dialami masyarakat sekarang.

Taring Padi menyukai dialog dalam setiap proses karya mereka. Artinya, mereka melakukan strategi komunikasi agar masyarakat memahami karya mereka.

Poster-poster Taring Padi terkenal tanpa tedeng aling-aling. Parodinya kadang kasar, menggambarkan pertentangan kelas dengan cara hitam-putih, misalnya, kapitalis versus buruh, orang kaya versus orang melarat, dan cukong-cukong versus petani. Kalimat-kalimat sering berupa jargon-jargon anti-imperialis. Seluruh poster Taring Padi dikerjakan secara kolektif – tidak atas nama individual.

Sumber:

Setengah Abad Seni Grafis Indonesia.

20-21des 10 Tahun Senirupa Kerakyatan ‘Taring Padi’

Posters by Taring Padi (Indonesia).

Posters (2000-2009).

Teeth of the Rice Plant (Taring Padi).


1999

02 September 1999

Program Studi Desain Grafis Universitas Bina Nusantara dipimpin oleh seorang Ketua Jurusan dibantu oleh seorang Sekretaris Jurusan dengan tiga orang Dosen Koordinator Bidang Ilmu. Angkatan I Desain Grafis Universitas Bina Nusantara yang berjumlah 153 mahasiswa memulai aktivitas perkuliahan hari pertama.

Ketua Jurusan: Yongky Safanayong

Sekretaris Jurusan: Dyah Gayatri

Dosen Kordinator Bidang Ilmu: Lintang Widyokusumo, Mita Purbasari, Vera Jenny Basiroen

24 Agustus 1999

Dibentuk perwakilan mahasiswa Desain Grafis yang terdiri dari 11 orang dengan nama Formatur 11 (F 11).

Tujuan utamanya adalah membentuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).

5 Desember 1999

Program studi Desain Komunikasi Visual Ubinus (No. SK472/DIKTI/KEP/1999)

Sumber: Sejarah DKV Binus University.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Awal 2000

Nama Program Studi Desain Grafis Universitas Bina Nusantara disesuaikan dengan Kopertis menjadi Desain Komunikasi Visual atau disingkat DKV.

Sumber: Sejarah DKV Binus University.


2002

Majalah desain grafis pertama di Indonesia

Dimotori oleh M Arief Budiman (Petakumpet) majalah desain grafis pertama Blank! Magazine terbit di Yogyakarta dengan visi ingin memberdayakan orang-orang kreatif melalui sudut pandang visual yang ekstrem (To empower creative people through extreme visual perspective). Setelah beroperasi selama kurang lebih 2 tahun (2002–2004), Blank! Magazine harus ditutup pada 3 Maret 2004, setelah merugi lebih dari 140 juta rupiah. Penerbitan majalah ini berlangsung hingga enam edisi.

T-shirt seragam tim pengelola Blank! Magazine.

Sumber foto: Kaos Blank!


2003

Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) berdiri

Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) diwacanakan pada awal tahun 2000 oleh 3 orang desainer grafis profesional dan pengajar desain grafis yaitu Hastjarjo Boedi Wibowo, Mendiola Budi Wiryawan dan Arif PSA dengan tujuan untuk memberdayakan profesi desainer grafis baik dari segi keilmuan maupun praksis di Indonesia, tetapi baru diresmikan pada saat FDGI menyelenggarakan Pameran Poster “Melihat Indonesia Damai” pada tanggal 6-14 Juni 2003 di Bentara Budaya, Jakarta. Pameran diresmikan oleh Prof. Dr. Fuad Hasan bersama Prof. Dr. Selo Sumardjan dan dihadiri oleh sekitar 400 orang. Kegiatan ini menjadi awal merekatkan kembali hubungan dan membuka komunikasi antar desainer grafis baik profesional maupun akademisi yang sempat vakum sebelumnya.

Dari kiri ke kanan: Hastjarjo Boedi Wibowo, Mendiola Budi Wiryawan, Arif PSA.


2003

Dari Forum Desainer Grafis Indonesia menjadi Forum Desain Grafis Indonesia

Pada tanggal 11 Juli 2003 FDGI mengadakan rapat kerja (raker) di Pesona Florence, Blok H4 No. 50 Kota Wisata Cibubur yang menghasilkan perubahan nama FDGI dari Forum Desainer Grafis Indonesia menjadi Forum Desain Grafis Indonesia yang dimaksudkan agar FDGI menjangkau seluruh pemangku kepentingan dalam desain grafis, jadi tidak hanya desainer grafis saja. Di samping itu FDGI menegaskan statusnya sebagai organisasi berbasis partisipatif bukan suatu asosiasi profesi yang berbasis membership. Pada Raker ini juga disepakati tanggal 11 Juli 2003 sebagai hari lahir FDGI, mengingat tidak adanya kejelasan mengenai hari lahir FDGI sejak tahun 2000. Hadir dalam raker ini: Inda Ariesta, Adi Yudhistira, Ryan Wijaya, Ahmad Nurul Fajri (Jerry), Arief Yaniadi, Arif PSA, Mendiola Budi Wiryawan dan Hastjarjo B Wibowo.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2003

8 November 2003

Jurusan Desain Komunikasi Visual Bina Nusantara melahirkan lulusan pertamanya yang berjumlah 50 mahasiswa. Upacara wisuda diselenggarakan di Balai Sidang dalam acara “Wisuda Angkatan 29“

Sumber: Sejarah DKV Binus University.


2004

Majalah desain grafis Concept diterbitkan oleh pasangan suami isteri Djoko Hartanto dan Fifi Oesman di bawah perusahaan penerbitan PT Concept Media.

FDGI juga menjadi salah satu organisasi yang mendorong kemunculan majalah ini, di mana Hastjarjo B Wibowo salah seorang pendiri FDGI menjadi Editor in Chief-nya yang pertama. Di majalah “Concept” selama tahun pertama FDGI mempunyai kolom tetap FDGI Spot.

Perjalanan majalah ini terhenti pada edisi 48 (2011).

Concept Volume 01 Edisi 05, 2005, Magazine Cover, “Serat Selarasa”, 2005

Sumber: Magazines (2000-2009)


2004

FDGI&Friends pertama

FDGI & Friends #1 “Link & Match Industri Desain Grafis & Pendidikan Tinggi Desain Grafis” diadakan pada tanggal 4 April 2004. Narasumber: Mendiola Budi Wiryawan di wwwok Café, Kemang. Sampai akhir 2008, FDGI&Friends sudah terselenggara 19 kali.


2005

Fabio Gherardi, Ian Perkins dan Henricus Kusbiantoro di Indonesia

Pada 11 Maret 2005 FDGI menyelenggarakan Seminar “Cambridge, Bandung, Modena via New York” dengan pembicara Fabio Gherardi, Ian Perkins dan Henricus Kusbiantoro di Universitas Bina Nusantara dan Institut Teknologi Bandung, yang dilanjutkan pada 17 Maret 2005 dengan Workshop Desain Exhibition dengan instruktur Fabio Gherardi di Gallery Soemardja Institut Teknologi Bandung.

Pada 24 Maret 2005: “Visual Branding From Museum To Corporate Giant” diselenggarakan bersama majalah Cakram: Fabio Gherardi, Ian Perkins, Henricus Kusbiantoro, dan Sakti Makki dengan moderator Danton Sihombing, di Ballroom Intercontinental Mid Plaza yang dilanjutkan pada 25 Maret 2005: “Workshop Desain Museum”, Instruktur: Fabio Gherardi di Museum Nasional Jakarta dan acara “Designer Gathering Aware, Share, Care Together” di Bangsal Kertarajasa Museum Nasional, Jakarta.


2005

Pameran Poster Internasional Light of Hope for Indonesia

Pada tanggal 7-11 September 2005 FDGI menyelenggarakan Pameran Poster Internasional “Light of Hope for Indonesia” di arena FGD Expo 2005 yang diikuti oleh 66 desainer dari 17 negara yaitu: Indonesia, USA, India, Japan, Malaysia, Singapore, South Korea, The Netherlands, Thailand, Vietnam, Taiwan, Iran, Germany, UK, Canada, Denmarkdan Hong Kong dan kegiatan ini menjadi pameran poster terbesar di Indonesia dalam kurun waktu 16 tahun terakhir. Pameran ini juga di pamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, 9-13 Oktober 2005, di Campus Center, Institut Teknologi Bandung 19-22 Oktober, 2005 dan di Universitas Kristen Petra Surabaya 18-24 November 2005.

Mendiola Budi Wiryawan, Poster “Light of Hope for Indonesia”

Hermawan Tanzil, Poster “Light of Hope for Indonesia”

Sumber: Posters (2000-2009).


2005

Pada tanggal 8 September 2005 dalam acara “Gathering and Talk Show-It’s Graphic Designers United!” di arena FGD Expo 2005, Jakarta Convention Center, yang diselenggarakan oleh FDGI, diterbitkan Memorandum ADGI kepada Gauri Nasution, Danton Sihombing, Hastjarjo B Wibowo dan Mendiola B Wiryawan untuk mempersiapkan Kongres ADGI dalam waktu 6 bulan.

Pada bulan Oktober 2005 para penerima mandat membentuk Tim Revitalisasi ADGI yang terdiri dari 14 orang desainer, yaitu; Andi S Boediman, Ardian Elkana, Danton Sihombing, Divina Natalia, Djoko Hartanto, Gauri Nasution, Hastjarjo B Wibowo, Hermawan Tanzil, Ilma D Noe’man, Irvan A Noe’man, Lans Brahmantyo, Mendiola B Wiryawan, Nia Karlina dan Sakti Makki. Tim ini bekerja selama 5 bulan untuk merumuskan platform “Adgi Baru”. Berdasarkan evaluasi terhadap kinerja ADGI pada masa lalu dirumuskan branding platform Adgi baru yang kini hadir dengan deskripsi Indonesia Design Professionals Association.

Dari kanan ke kiri: Andi S Boediman, Ardian Elkana, Danton Sihombing, Divina Natalia, Hermawan Tanzil, Irvan A Noeman, Lans Brahmantyo, Sakti Makki.


2006

Program Studi Desain Komunikasi Visual, setingkat Jurusan ditempatkan langsung dibawah Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.


2006

Pada tanggal 22 Februari 2006 sekitar 40 desainer menghadiri “Designer Gathering” di LeBoYe atas undangan tim 14 yang mencanangkan Revitalisasi Adgi. Tujuan pertemuan ini adalah untuk menghidupkan kembali asosiasi desainer yang sempat mati suri itu. Pertemuan malam itu menghasilkan logo baru Adgi serta rencana menggelar seminar pada bulan April 2006.

Setiap usulan dalam gathering dijadikan bahan diskusi dalam pertemuan-pertemuan Tim 14 sesudahnya, yang pada akhirnya menentukan format Adgi sebagai sebuah organisasi non-profit oriented yang berbentuk yayasan, yang berjuang bagi kepentingan anggotanya dan kemajuan desain nasional.


2006

Kongres Nasional Adgi pertama

Pada tanggal 19 April 2006 bertempat di Ballroom Hotel Le Meridien, Jakarta diselenggarakan Kongres Adgi dimana terpilih formasi presidium yang terdiri dari 5 orang yaitu Andi S Boediman, Danton Sihombing, Hastjarjo B Wibowo, Hermawan Tanzil dan Lans Brahmantyo untuk mengemban tugas memimpin Adgi selama periode 1 tahun dengan mengusung tema “Unifying Spirits”. Implementasi gagasan desentralisasi telah melahirkan Adgi-Jakarta Chapter yang diketuai oleh Nico A Pranoto dan Adgi -Surabaya Chapter yang diketuai oleh Yosua Alpha Buana.

Kongres pertama Adgi ini didahului oleh seminar bertema “The Power of Design in Creative Economy” yang menghadirkan dua desainer internasional, Simon Pemberton (Australian Graphic Designer Association, Australia) dan Kan Tai-Keung (Kan and Lau Design Consultant, Hong Kong) serta Direktur Utama Bank BNI 46, Sigit Pramono.

Tujuan seminar:

1. Menyatakan kepada publik pentingnya dan besarnya potensi yang dapat diberikan oleh desain grafis untuk meningkatkan kompetisi di dunia bisnis.

2. Memberi arahan ‘know-how’ di bidang desain grafis untuk menumbuhkan tingkat kompetisi di kancah bisnis Indonesia.

3. Menjadi wadah yang memberikan kesempatan kepada para profesional untuk belajar tentang trend, riset dan bisnis yang menggunakan desain grafis sebagai tool-nya.

Hermawan Tanzil, Poster Kongres Nasional Adgi ke-1: Unifying Spirits


2006

Pada tanggal 16-30 Agustus 2006 Adgi menggelar pameran desain komunikasi visual “Petasan Grafis” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta dengan sub-judul “Pameran Nasionalisme Indonesia dalam Desain Komunikasi Visual”. Pameran yang dibuka oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu itu diawali dengan pemutaran video perjalanan IPGI sebelum menjadi ADGI, disusul penyerahan penghargaan untuk ke-5 pemenang kompetisi “Ide Awards” (Penghargaan Nasional Akademik Desain Grafis). Kompetisi ini diadakan khusus untuk mahasiswa desain komunikasi visual yang mewakili institusi-institusi pendidikan desain di Indonesia yang terbagi atas 3 pilihan tema:

1. Kemasan makanan tradisional Indonesia, misalnya ekspolorasi kemasan dodol durian, tape ketan dsb., mulai dari brand identity dan seterusnya

2. Event, misalnya promosi tari-tarian daerah, resital gamelan dsb., mulai dari logo event dan sebagainya

3. Destination Branding, misalnya mengolah program komunikasi visual suatu tempat yang menarik di Indonesia (pantai, museum, tempat bersejarah dsb.).

Setelah melalui penilaian dewan juri yang terdiri dari Hanny Kardinata (Desainer Grafis Senior), Sita Subijakto (Headline Creative Communication), Ipong Purnomosidi (Kurator Bentara Budaya, Jakarta), Nirwan Dewanto (Budayawan) dan Seno Gumira Ajidarma (Budayawan), keluar sebagai pemenang adalah karya “Dolanpiade” dari Digital Studio, Jakarta (Dicky Mardona, Meliana Sari Hermanto, Octavia Subiyanto, Rifki Zulkarnain, Welly Caslin); “Peranakan Idealis” dari Institut Kesenian Jakarta (Irvan Mulia Ahmadi, Rahayu Pratiwi, Husin Alkaff, Muhammad Rizki Lazuardy); “Lurjuk” dari Universitas Kristen Petra, Surabaya (Aileen Halim, Ang Siau Fang, Selvy Hermawan); “Batik Illusion” dari Universitas Bina Nusantara (Adeline Ardine, Fredy Susanto, Nadya Kartika) serta “Moralitas Pers” dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta (Kezia Winarta Wahyuni Wijayati, Lia Anggraeni, Filina Vicentia, Tafrian).

Masih berkaitan dengan pameran dan “Ide Awards”, pada tanggal 23 dan 24 Agustus 2006 digelar seminar dan talkshow dengan tema “Menyikapi booming pendidikan DKV dalam hubungannya dengan kualitas output yang dihasilkan”. Hadir sebagai pembicara, Andrian Dektisa Hagijanto, Sumbo Tinarbuko, Priyanto Sunarto dan Yongki Safanayong yang dimoderatori oleh Hastjarjo B Wibowo.

Hari kedua seminar dibawakan Djoko Hartanto (Majalah Concept), Nilam P Moeliono (Paper Project) dan Irwan Ahmett (Ahmett Salina) dengan moderator Irfan N Suryanto dan dengan tema ‘Visi dan tips persiapan bertarung dalam industri desain grafis’.

Hagung Sihag, Lasty Devira, Poster “Petasan Grafis”, 2006

Sumber: Posters (2000-2009)


2007

13 Maret 2007: Situs DGI (Desain Grafis Indonesia) diluncurkan pada alamat http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/

Situs ini didirikan oleh Hanny Kardinata sebagai forum maya untuk memupuk saling pengertian di antara desainer grafis Indonesia. Tagline-nya berbunyi: “Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society”. Konsep saling pengertian di situs ini diwujudkan melalui penerbitan bagian per bagian sejarah desain grafis Indonesia supaya angkatan muda mengetahui dan memahami apa yang telah dilakukan oleh angkatan-angkatan pendahulunya.

Situs DGI ini adalah embrio dari akan berdirinya Museum DGI (MDGI) di Desa Kreatif Chandari, Ciganjur, Jakarta Selatan.

Sumber: Situs Desain Grafis Indonesia (DGI) – Catatan Perjalanannya


2007

Grafisosial Indonesia didirikan

Adalah sebuah perhimpunan nirlaba yang aktif melakukan penelitian dan pendataan, penulisan dan publikasi, serta pelatihan, selain juga perancangan, dalam bidang desain grafis untuk kepentingan sosial.

Awalnya adalah sebuah komunitas bernama Masyarakat Desain untuk Humaniora (Madera) berdiri pada tahun 2002. Namun agar aktivitas menjadi lebih fokus pada desain grafis, maka pada tahun 2007 didirikanlah Grafisosial. Situs Jurnal Grafisosial beralamat di http://grafisosial.wordpress.com

Struktur Organisasi

Executive Director: Kurnia Setiawan

Managing Director: Toto M Mukmin

Design Director: Juli Asmanto

Creative Director: Agus Danarto

Programme Director: Gregorius Genep Sukendro

Research and Development Director: Arief Adityawan S

Finance and Administration Director: Theresia Airin Sani

General Affairs: Hendra Bakti

Dari atas ke bawah: Kurnia Setiawan, Toto M Mukmin, Arief Adityawan S.


2007

1001 Inspiration Design Festival

“1001 Inspiration Design Festival”, sebuah acara berskala besar pertama di bidang komunikasi visual Indonesia (desain grafis, multimedia, animasi) yang diselenggarakan oleh majalah desain grafis Concept dan Digital Studio College. Acara yang digelar pada tanggal 17-25 April ini secara umum dipecah dalam dua bagian yaitu “Inspiration Light Up” (seminar kreatif menghadirkan pembicara luar dan dalam negeri, yang berlangsung 17-19 April di Crown Plaza Jakarta) dan Exhibition (memamerkan karya peserta kompetisi desain “1001 Cover Concept”, karya lulusan Digital Studio College, karya para desainer Inggris, serta acara hiburan lainnya), yang berlangsung 20-25 April di Senayan City Jakarta).

Sebagai bagian dari “1001 Inspiration Design Festival” majalah desain grafis Concept mengadakan kompetisi desain “1001 Cover Concept” yang bermaksud memecahkan rekor dunia ‘majalah dengan variasi cover terbanyak dalam satu edisi’. Kompetisi dengan hadiah terbesar sepanjang sejarah ini (hadiah utama sebuah mobil Chevrolet-Kalos) diadakan dengan tujuan untuk memberi kesempatan kepada para desainer muda Indonesia untuk ikut merasakan menjadi pemecah rekor bersama-sama.

Total karya yang masuk berjumlah lebih dari 1300 karya, yang setelah didata dan dipilah, ditentukan 1001 pemecah rekornya. Pada tahap berikutnya tim intern Concept menyeleksi 208 karya yang dinilai unggul. Ke 208 karya tersebut disaring lagi hingga menjadi 101 semifinalis untuk kemudian dinilai oleh 5 juri yang terdiri dari Hanny Kardinata (Desainer Grafis Senior), Hermawan Tanzil (Creative Director LeBoYe yang mewakili Adgi-Indonesia Design Professionals Association), Mendiola B Wiryawan (Creative Director Mendiola Design yang mewakili FDGI-Forum Desain Grafis Indonesia), Vera Tarjono (Art Director Majalah Concept) dan Stefanus Aristo Kristandyo (Marketing Manager General Motor yang mewakili GM sebagai sponsor utama).

Penjurian yang berlangsung di Ruang Pamer Seni Rupa-Institut Kesenian Jakarta itu memilih 11 finalis, yang kemudian dipersempit hingga menjadi tiga pemenang, masing-masing sebagai juara pertama Daud Budi Surya Nugraha, juara kedua Marishka Cempaka Dewi dan juara ketiga Agra Satria.

Daud Budi Surya Nugraha, Juara pertama kompetisi desain “1001 Cover Concept”, 2007.


2007

Kongres Nasional Adgi kedua

Pada hari Kamis, tanggal 19 April 2007 jam 09.00 s/d 13.00 WIB dilaksanakan Kongres Nasional Adgi kedua di gedung Galeri Nasional, Jakarta. Kongres dihadiri 45 peserta undangan yang terdiri dari praktisi (desainer) dan pendidik.

Kongres memutuskan dan menetapkan 4 agenda penting yaitu:

1. Penerimaan laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya (presidium).

2. Penetapan draft AD/ART dan Kode Etik menjadi rancangan AD/ART dan Kode Etik untuk kemudian dihibahkan kepada pengurus mendatang untuk disempurnakan.

3. Pelantikan Dewan Penasehat yang terdiri dari: Gauri Nasution, Ign. Hermawan Tanzil, Irvan A Noe’man, Iwan Ramelan, dan Wagiono Sunarto.

4. Pemilihan, dan pelantikan Ketua Umum Adgi untuk periode pengurusan 2007–2010 atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku sesuai dengan yang tertera pada AD/ART yang telah disempurnakan. Dari 5 nama Calon Ketua Umum, terpilih satu dengan suara terbanyak yaitu sebanyak 27 suara adalah Danton Sihombing.

Selanjutnya, Danton Sihombing selaku Ketua Umum Adgi 2007-2010 menunjuk Mario Tetelepta sebagai Sekjen Adgi dan Irvan N Suryanto sebagai Direktur Pengembangan dan Pemasaran Produk.


2007

PT Concept Media mengembangkan diri dengan mengeluarkan dua penerbitan berkala baru yaitu: majalah ‘babyboss’ dan komik ALiA.


2007

Pameran Poster International “One Globe One Flag”

Pameran Poster International “One Globe One Flag” diadakan di Jakarta Convention Center bersamaan dengan acara FGD Expo 2007. Adgi selaku panitia pelaksana pameran turut mengundang desainer-desainer untuk berpartisipasi sebagai peserta pameran. Seluruh peserta pameran ini merupakan partisipan yang terdiri dari desainer-desainer Indonesia dan dunia.

Adgi besama FGD Expo 2007 (pameran industri grafika terbesar di Asia Tenggara) pada waktu bersamaan mengadakan acara “Think Big with Design” yang merupakan design conference terbesar dengan mengundang desainer-desainer kelas dunia: Kang Yun Je (Samsung), Chris Bangle (BMW), Karim Rashid (Karim Rashid Inc.), dll.

Hermawan Tanzil, Poster “One Globe One Flag”


2007

Adgi Jakarta Chapter resmi terbentuk per 13 September 2007 berdasarkan SK No. 016/SK/IX/07/Adgi

Pengurus Adgi 2007-2010:

Dewan Penasehat

Gauri Nasution

Hermawan Tanzil

Irvan A Noe’man

Iwan Ramelan

Wagiono Sunarto

Pengurus Adgi Pusat

Ketua Umum: Danton Sihombing

Sekjen: Mario Tetelepta

Direktur Pengembangan Program: Irvan N Suryanto

Direktur Program Designer EDGE : Nico A Pranoto

Direktur Zoom-In: Ato Hertianto D

Direktur Program Produk dan Layanan Komersial: Imelda Dewayani

Direktur Keanggotaan: Praba SA

Direktur Komunikasi dan Media: Bima Shaw

Direktur Pendanaan, Sponsorship dan Humas: Nilam P Moeliono

Bendahara: Indah Tjahya Wulan

Koord. Gugus Tugas AD/ART & Kode Etik: Dio Bowo

Pengurus Adgi Jakarta

Ketua Chapter: Divina Natalia

Pengurus Adgi Surabaya

Ketua Chapter: Bing Fei

Pengurus Adgi Yogyakarta

Ketua Care Taker: M Arief Budiman

Pengurus Adgi Bali

Ketua Care Taker: Arief ‘Ayip’ Budiman

Pengurus Adgi Bandung

Dewan Formatur: Rudi Farid dan Oki Hamka

Dari atas ke bawah: Nilam P Moeliono, Indah Tjahya Wulan.


2007

Dari Adgi kembali ke ADGI

Adgi menyelenggarakan “Adgi Jakarta Chapter-Member Recruitment and Gathering Night 2007″ pada hari Kamis, 29 November 2007, jam 18.00-21.00 wib di Forbidden Citi, Jl. Wijaya I No. 55, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dari 86 desainer grafis yang hadir, tercatat hampir 40 orang mendaftarkan diri langsung menjadi anggota baru Adgi Jakarta Chapter periode Desember 2007-Desember 2008.

Pada peristiwa ini disampaikan antara lain perubahan nama asosiasi dari Adgi-Indonesia Design Professionals Association menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia), kembali ke nama yang disepakati pada Kongres IPGI ke I di Jakarta Design Center tanggal 7 Mei 1994.

Logo baru ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia).


2007

2 Desember 2007: Situs DGI (Desain Grafis Indonesia) meluncurkan logonya. Seluruh identitas DGI dirancang oleh Henricus Kusbiantoro dari tempat tinggalnya di San Francisco.

Logo situs DGI dirancang oleh Henricus Kusbiantoro.

Sumber: Situs Desain Grafis Indonesia (DGI) – Catatan Perjalanannya


14 Februari 2008

Guru Besar (profesor) pertama di bidang desain grafis dikukuhkan

Indonesia memiliki guru besar (profesor) pertama di bidang desain grafis pada tanggal 14 Februari 2008 pada acara Sidang Terbuka Senat Universitas Pelita Harapan untuk mengukuhkan Yongky Safanayong dalam jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Desain & Teknik Perencanaan Universitas Pelita Harapan, melalui pidato pengukuhannya: Integrasi Tempat-Waktu-Kondisi-Sikap: sebagai Perspektif Baru dalam Desain Komunikasi Visual, yang disampaikannya di Gedung D lantai 5, Ruang 501, Kampus UPH Lippo Karawaci, Tangerang.

Sumber:

Prof. Drs. Yongky Safanayong

Integrasi Tempat-Waktu-Kondisi-Sikap: sebagai Perspektif Baru dalam Desain Komunikasi Visual


7 April 2008

Indra Abidin, lulusan pertama Jurusan Desain Grafis ITB (tahun 1973), terpilih sebagai Presiden Asosiasi Periklanan Dunia/International Advertising Association (IAA) untuk masa jabatan 2008-2010, sekaligus menjadi orang Asia pertama yang memimpin organisasi bergengsi ini.

Indra Abidin yang merupakan peraih Outstanding Award Recognition for Service Indonesia Advertising Agencies Association (2005) dan Ernst & Young Special Award for Corporate Social Responsibility (CSR) Entrepreneur of the Year (EOY) tahun 2005 tentang masyarakat Indonesia, juga merupakan salah satu tokoh pendiri AFAA (Asian Federation of Advertising Association), dilantik sebagai Presiden Asosiasi Periklanan Dunia (IAA) untuk 2 tahun masa jabatan di Renaissance Hotel di 999 9th street NW, Washington DC, Senin 7 April 2008.


2008

ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) Bali Chapter terbentuk

Setelah mengalami keterlambatan yang cukup panjang dan melalui sosialisasi intensif dalam 2 bulan, akhirnya ADGI Bali Chapter terbentuk kepengurusannya menyusul terbentuknya kepengurusan ADGI Chapter kota lainnya. Pada hari Jumat 9 Mei 2008 tepat jam 9.00 wita, sekitar 40-an desainer grafis Bali telah bersepakat menjalankan roda organisasi ADGI Bali Chapter untuk turut membangun industri Desain Grafis dan iklim usaha yang sehat di Indonesia. Utamanya untuk membangun pilar yang menunjang kekayaan dan keragaman budaya lokalitas dimana Bali memiliki hal sangat spesifik untuk dibangun.

Susunan Kepengurusan Adgi Bali Chapter

Dewan Penasehat Adgi Bali Chapter: Arif ‘Ayip’ Budiman, Komang Pawarta, Harry Udiarta, Jaya Pattra Ditya, Monteverdo Bensley

Ketua: Syaffrianto Hariadi

Wakil Ketua: Nur Eris M

Sekretaris: Firman Firdaus

Direktur Pengembangan Program: Adi Resana

Direktur Keanggotaan: Dian Hadi

Direktur Pembinaan Relasi: Eko Prabowo

Direktur Komunikasi dan Media: Edi Hernawan

Direktur Keuangan: Willy Agustianto

Wakil Direktur Keuangan: IGA Purwa S

Direktur Pendanaan Program: D.P. Arsa Putra

Koordinator Program ‘Zoom In’: Achmad Rivani

Koordinator Program ‘D-EDGE: Jango Pramartha

Dari atas ke bawah: Arief ‘Ayip’ Budiman, Syaffrianto Hariadi.


2008

ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) Yogyakarta Chapter terbentuk

Rapat ADGI Yogyakarta Chapter di Kopikopi Cafe, 26 Mei 2008 jam 19.00–23.00 yang dihadiri oleh A Noor Arief (Direktur Utama PT Aseli Dagadu Djokdja), Sumbo Tinarbuko (Direktur LSK Deskomvis, Kandidat Doktor FIB UGM, Dosen Diskomvis FSR ISI), SY Eri Kuncoro (Director Medcom), M Arief Budiman (Director PT Petakumpet Creative Network), Andika DJ. (Director Syafaat Advertising, Dosen ADVY), M Iqbal (Director Rekarupa) dan Rifqi Fauzi (Managing Director Srengenge Advertising) telah menghasilkan terbentuknya susunan pengurus ADGI Chapter Jogja.

Susunan Kepengurusan Adgi Yogyakarta Chapter

Dewan Penasehat Adgi Yogyakarta Chapter: A Noor Arief, ‘Ong’ Harry Wahyu, Sumbo Tinarbuko, SY Eri Kuncoro

Ketua: M Arief Budiman

Sekjen: Andika Dwijatmiko

Direktur Keuangan: M Iqbal

Direktur Program ‘Zoom In’: Nowo Juliarso

Direktur Program ‘D-EDGE’: FX Widyatmoko

Dari kiri ke kanan: A Noor Arief, ‘Ong’ Harry Wahyu, Sumbo Tinarbuko, Andika Dwijatmiko, M Iqbal, FX Widyatmoko.


2008

Nico A Pranoto berdasarkan SK No. 020/SK/VI/08/Adgi per tanggal 26 Juni 2008 resmi menjabat sebagai Sekjen Adgi periode 2007-2010.

Susunan Kepengurusan Adgi Nasional (2007-2010 menjadi:

Dewan Penasehat: Gauri Nasution, Hermawan Tanzil, Irvan Noe’man, Riswanto Ramelan, Wagiono Sunarto

Ketua Umum: Danton Sihombing

Sekjen: Nico A Pranoto

Direktur Pengembangan Program: Irvan N Suryanto

Direktur Keanggotaan: Praba Sunar Aristyawan

Direktur Pembinaan Relasi: Nilam P Moeliono

Direktur Komunikasi dan Media: Bima Shaw

Koordinator Gugus Tugas:

AD/ART dan Kode Etik Profesi: Dio Bowo, Mario Tetelepta

Dari kiri ke kanan: Nico A Pranoto, Irvan N Suryanto, Bima Shaw.


2008

Kategori Desain Grafis diadakan pertama kalinya di Pinasthika Festival Iklan

Pinasthika Festival Iklan Tahun 2008 berlangsung di Yogyakarta mulai tanggal 31 Juli sampai dengan 2 Agustus 2008, bertempat di Hotel Melia Purosani Yogyakarta. Untuk pertama kalinya diadakan kategori Desain Grafis pada ajang penghargaan untuk insan periklanan ini.


2008

Peresmian Adgi Bali Chapter: Sabtu, 2 Agustus 2008, Danes Art Veranda, Denpasar, Bali


Cover majalah Versus edisi #1, dengan tema: “Identitas KeIndonesiaan”

2008

Kelahiran majalah kreatif berbasis desain grafis “Versus” diresmikan pada tanggal 8 Agustus 2008 di toko buku Aksara melalui pemotongan tumpeng oleh Hanny Kardinata (Chairman) dan Caroline F Sunarko (Business Director) dalam acara diskusi Hot Ice Tea #1: “Implikasi Pemahaman Sejarah terhadap Desain Grafis di Indonesia”. Majalah “Versus” edisi #1 terbit dengan tema “Identitas KeIndonesiaan“ dan mengadakan soft-launching pada acara Bedah Buku “Layout Dasar & Penerapannya” di Universitas Tarumanagara, Jakarta pada tanggal 14 November 2008.

Pada tanggal 13 Oktober 2009, Hanny Kardinata dan Caroline F Sunarko mengundurkan diri baik dari jajaran manajeman mau pun sebagai komisaris Versus.

Sumber:

Majalah VERSUS Edisi #1: Identitas KeIndonesiaan

Dari Acara Diskusi HIT (Hot Ice Tea) #1: “Implikasi Pemahaman Sejarah terhadap Desain Grafis di Indonesia”

Release Pengunduran Diri dari Versus


2008

Anugerah Samartharupa pertama kali diberikan

Untuk pertama kalinya diselenggarakan penganugerahan Samartharupa oleh DKV Binus sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para pribadi yang telah mendedikasikan perjalanan karirnya demi kemajuan desain grafis/komunikasi visual di Indonesia. Penganugerahan Samartharupa diselenggarakan di malam terakhir pameran Fresh n’ Brite, tanggal 11 September 2008 di Foodism lantai 7, fX lifestyle X’nter, Jakarta. Ada empat tokoh yang mendapatkan Samartharupa, mereka adalah AD Pirous, Riswanto Ramelan, Yongky Safanayong, dan Hanny Kardinata.

Para penerima Piala Lebah, Riswanto Ramelan, Hanny Kardinata, Prof. A. D. Pirous, Prof. Yongky Safanayong, serta Rektor BINUS University Prof. Dr. Gerardus Polla, M.App.Sc.

Sumber: Samartharupa, Jejak Terima Kasih DKV Binus


2008

Adgi Surabaya Chapter terbentuk per 28 November 2008 berdasarkan SK No. 025/SK/XI/08/Adgi.

Susunan Kepengurusan Adgi Surabaya Chapter

Penasehat Adgi Surabaya Chapter Yugo Mudayadi

Ketua: Bing Fei

Sekjen: Amelia Sidik

Direktur Keuangan: Maria Christina

Koordinator Keanggotaan: Rachmatsyam ‘Ramok’, Liliany Santoso

Koord. Pengembangan Program: Alvin Raditya, Djoko Budhi S

Koordinator Program ‘Zoom In’: Suhadi

Koordinator Program ‘D-EDGE’ : Christian Ang, Senja

Koord. Program ‘KaGetan’: —

Kasual Gathering-an: Gloria

Koordinator Publikasi: Yogi Tantra, Budihardjo

Dari kiri ke kenan: Bing Fei, Amelia Sidik, Alvin Raditya.


2009

TREND MENGGALI KEMBALI IDENTITAS KEBANGSAAN/KEARIFAN LOKAL PADA DESAIN GRAFIS TAHUN 2009

Tahun 2009 ini menjadi tahun dimana terjadi secara serentak berbagai upaya untuk merumuskan kembali identitas kebangsaan/kearifan lokal pada desain grafis melalui perhelatan-perhelatan, pergelaran-pergelaran dan kompetisi-kompetisi desain grafis, dimulai oleh IGDA (Indonesian Graphic Design Award) 2009, IPDA (Indonesia Printer Design Award) 2009 yang berlanjut hingga pameran poster “Exploring Root of Identity” yang menjadi bagian dari tema besar Festival Kesenian Indonesia ke-6 di Jakarta, Momentum 10-Dasawarsa DKV Binus – semuanya terjadi di Jakarta –, dan di Yogyakarta: Pameran Disain Komunikasi Visual ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta: ”Diskomplet”.

IGDA 2009, ajang penghargaan yang baru pertama kali akan diadakan di Indonesia, mengapresiasi secara khusus desain-desain yang merevitalisasi nilai-nilai budaya lokalnya. IPDA 2009, kompetisi desain poster dua tahunan, mengajak untuk menggali kembali “nilai luhur bangsa sebagai harta yang tak ternilai” (tema kompetisi). Dan pameran poster “Exploring Root of Identity” mengangkat tema “Exploring Root of Identity” sebagai konsep dasar dalam penyelenggaraan dan dalam prinsip kuratorial pameran. Sementara DKV Binus University dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-10 menyajikan tema “Neo-Nasionalisme” sebagai cara pandang baru desainer muda dalam menyikapi masalah identitas kebangsaan dalam desain berbasis budaya di pergaulan global. Majalah Versus #5 menangkap kecenderungan ini dengan mengangkat isu “Desainer Grafis dan Kebangsaan” sebagai tema sentral editorialnya.

Detail masing-masing gejala tersebut tercatat di bawah ini:

4 Juli 2009

Ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional di Indonesia dimulai

Pada tanggal 4 Juli 2009 diadakan konferensi pers IGDA (Indonesian Graphic Design Award) 2009 di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta yang sekaligus menandai dimulainya ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional ini.

IGDA adalah wujud penghargaan bermartabat bagi insan desain grafis Indonesia atas pencapaian kualitas karyanya yang diselenggarakan setiap tahun di Indonesia. IGDA diselenggarakan agar tercipta suatu standar yang menjadi tolak ukur (benchmark) bagi kualitas desain grafis Indonesia – yang setiap tahunnya dinyatakan kepada publik nasional dan internasional – sehingga kelak eksistensi desain grafis Indonesia bisa diperhitungkan di dunia internasional. Selain itu secara sistematik diharapkan terjadi pendokumentasian karya-karya desain grafis Indonesia untuk kelak diwujudkan dalam bentuk Museum Desain Grafis Indonesia (MDGI) yang berfungsi sebagai pusat studi dan pengembangan desain grafis Indonesia.

IGDA mengapresiasi secara khusus karya desain yang menghidupkan kembali (merevitalisasi) atau yang melakukan inovasi terhadap nilai-nilai budaya lokal

Ajang Panen Grafis 2009 – IGDA adalah unik dan berintikan kepada komitmen untuk merevitalisasi kekayaan desain lokal; mencari adaptasi, sinergi yang organik antara pengaruh luar dan warisan lokal; meneruskan tongkat estafet desain lokal pada generasi selanjutnya yang terasa lekat pada simbolisasi siklus padi dan desainer grafis sebagai petani desain.

Terbukti kini, yang mampu bertahan dalam serbuan pasar global adalah petani desain yang tidak hanya mampu terbuka dan menyaring budaya luar tetapi juga dapat merevitalisasi nilai-nilai budaya lokalnya sebagai sumber identitas desain grafis Indonesia untuk bersaing dan berkarakter layaknya sebuah merek nan unik di dunia internasional.

IGDA diselenggarakan oleh DGI (Desain Grafis Indonesia) dengan dukungan dari ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) dan FDGI (Forum Desain Grafis Indonesia).

Poster Press Conference IGDA 2009, desainer grafis: Henricus Kusbiantoro, ilustrator: Triyadi Guntur

—

30 Juli–2 Agustus 2009

Pameran karya 24 finalis kompetisi desain poster IPDA (Indonesia Printer Design Award) 2009 di ajang FGDexpo 2009

Hasil kompetisi dwi-tahunan desain poster IPDA (Indonesia Printer Design Award) 2009 yang diselenggarakan dengan mengusung tema “Nilai Luhur Bangsa adalah Harta Tak Ternilai” dipamerkan di ajang FGDexpo 2009 pada tanggal 30 Juli–2 Agustus 2009. Hasil penjurian diumumkan pada tanggal 1 Agustus dengan pemenangnya berturut-turut: pertama, karya Shandy Murethy, Jakarta berjudul “Melihat dari Dekat”, kedua, karya Dedy Purnomo Sari, Yogyakarta berjudul “Kompetisi” dan ketiga, karya Dedy Darsono, Wendy Talok dan Fredy Chandra, Alokz Design, Jakarta berjudul “Gotong Royong”. Para juri pada lomba ini adalah: Hanny Kardinata (founder DGI, chairman Versus Magazine, dan chairman IGDA), Hermawan Tanzil (principal LeBoYe Design), Djito Kasilo (strategic planner dan pemerhati periklanan).

Beberapa karya finalis IPDA (Indonesia Printer Design Award) 2009:

Octodesign, Novita Angka & Yan Mursid, Jakarta, “Cari Kutu”

Boy Bayu Anggara, Jakarta, “Senyum”

Dedy Darsono, Wendy Talok dan Fredy Chandra, Alokz Design, Jakarta, “Gotong Royong”

Sumber: 24 Karya Finalis Lomba Desain Poster IPDA 2009

—

Agustus 2009

Majalah Versus #5 dengan tema “Desainer Grafis dan Kebangsaan” terbit dan beredar pertama kali di arena FGDexpo 2009

Edisi ke-5 majalah Versus ini menjadi penting karena tema yang diusungnya sejalan dengan trend yang sedang berlangsung di tahun 2009 ini. Penerbitan edisi ke-5 ini diawali dengan acara diskusi Hot Ice Tea #6: “Desain Grafis Berbangsa vs Non Berbangsa” yang menghadirkan para panelis seperti Yasraf Amir Piliang, Ayip, Bernhard Subiakto, Iwan Esjepe, Arief Adityawan, dan dimoderatori oleh Priyanto Sunarto serta berlangsung di Ruang Mezanin (top floor) Gedung R kampus 1 Universitas Tarumanagara, Jl. Letjen S. Parman no. 1, Jakarta Barat.

Cover Versus #5 dirancang oleh Yan Mursid.

Ki-ka: Ayip, Iwan Esjepe, Bernhard Subiakto, Priyanto Sunarto, Yasraf Amir Piliang dan Arief Adityawan.

Sumber:

Majalah Versus #5: Desain Grafis dan Kebangsaan

Diskusi Majalah Versus “Hot Ice Tea #6″: Desain Grafis Berbangsa vs Non Berbangsa

—

5–24 Oktober 2009

Pameran Poster “Exploring Root of Identity” pada Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-6

Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-6 diselenggarakan pada tanggal 5–24 Oktober 2009 di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengangkat tema “Exploring Root of Identity” sebagai konsep dasar dalam penyelenggaraan festival dan dalam prinsip kuratorial pameran, pergelaran dan penayangan materi yang akan disajikan. Tema ini tidak diartikan secara terbatas sebagai upaya penciptaan kreasi baru atau seni kontemporer berdasarkan inspirasi budaya tradisional yang telah mengakar. Tema ini lebih menekankan pada dialog ‘inter-cultural’ dan ‘cross discipline’ untuk memperkaya pengalaman dan pemahaman peserta melalui kolaborasi penciptaan seni, dialog kultural dan kerjasama dan upaya pewacanaan lain. “Exploring Root of Identity” mengandung makna suatu upaya bersama untuk menjelajah dan mencari gagasan baru sambil tetap mendasarkannya pada pertanyaan hakiki dan konteks cultural yang ada pada setiap seniman. Pameran poster diikuti oleh 40 desainer grafis (praktisi, dosen dan mahasiswa) yang diundang secara khusus.

Sebagai penutup dari seluruh rangkaian acara yang berlangsung selama festival, diselenggarakan sarasehan membahas poster-poster peserta pameran poster “Exploring Root of Identity” dengan pembicara Priyanto Sunarto, Hanny Kardinata, Danu Widhyatmoko dan moderator Arif PSA.

Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-6 diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni Indonesia yang terdiri dari: Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia – Denpasar, Institut Seni Indonesia-Surakarta, Institut Seni Indonesia-Yogyakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia–Bandung, Sekolah Tinggi Seni Indonesia–Padangpanjang dan Sekolah Tinggi kesenian Wilwatika–Surabaya.

Sumber: Pameran Poster “Exploring Root of Identity”.

Kokoboe, “Money identity”

Henricus Kusbiantoro, “Oey Hian Bouw a.k.a Henricus Kusbiantoro”

Priyanto Sunarto, “Exploring the Root of Identity”

—

9-15 November 2009

Momentum 10-Dasawarsa DKV Binus University mengusung tema “Neo-Nasionalisme”

Dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke-10, DKV Binus University menyelenggarakan sejumlah kegiatan (seminar, pameran, talkshow dsb.) di fX Lifestyle X’nter, Senayan, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus menandai momen dimulainya DKV Binus University memberikan warna khas kelulusannya sebagai desainer masa depan yang selain saat ini telah memiliki standar dan citra positif pada computerized skills & knowledge, good design concept & implementation, enterpreunership, kali ini ditambah dengan suplemen keberpihakan berani & bangga mengangkat local content value – dalam lanskap contemporary scene ke dalam output desain sebagai sumber gagasan dan identitas dalam dialektika lanskap global. Oleh karena itu acara “Momentum 10-Dasawarsa DKV Binus University” dibungkus dalam kemasan bertajuk “Neo-Nasionalisme” sebagai cara pandang baru desainer muda dalam menyikapi masalah identitas kebangsaan dalam desain berbasis budaya di pergaulan global.

Display dan suasana prosesi pembentangan Arsip Visual Terpanjang – perjalanan pendidikan 10 tahun DKV Binus.

Diselenggarakan juga kegiatan akademis seminar nasional pada hari Rabu 11 November 2009 “Nation Branding: Kekuatan Nilai Lokal sebagai Identitas Pembeda Entitas Bernama Indonesia” yang menghadirkan pembicara:

Rizaldi Siagian, MA (Etnomusikolog)

”Nilai Lokal sebagai Potensi Kekuatan dalam Nation Branding”

Daniel Surya (Country Director-The Brand Union Indonesia)

“Perspektif Branding Agency dalam menyikapi Nilai Lokal dalam Nation Branding”

Dr. Ermiel Thabrani (Pakar Komunikasi dan Kehumasan)

“Sisi Pencitraan dan Reputation Management dalam Nation Branding”

Beberapa poster yang dipamerkan bertema “Neo-Nasionalisme” antara lain:

Budi Sri Herlambang, Dimulai Dari yang Kecil

Yasser Rizky, Multiculturalism Beyond Nationalism

Sumber:

Momentum 10–Dasawarsa DKV Binus

Undangan Menghadiri Seminar Nasional “Nation Branding” Persembahan DKV Binus University-Jakarta

Reportase Momentum 10 DKV Binus

Creative Inspiring Talkshow “DKV dan Nasionalisme”

Pameran 10 Poster “Neo Nasionalisme” dari DKV Binus University

14 Karya Tugas Akhir Mahasiswa DKV Binus University dalam Pameran “Fresh ‘n Brite 09″

—

2–6 Desember 2009

Pameran Disain Komunikasi Visual ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta: ”Diskomplet”

Jurusan Disain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta menyelenggarakan pameran dengan tajuk “Diskomplet” di Bentara Budaya Yogyakarta yang diikuti oleh segenap dosen dan mahasiswa DKV ISI. Nuansa lokal juga terkandung dalam tema pameran DKV ISI Yogyakarta ini yang termanifestasikan pada idiom visual jamu tradisional, merupakan kekuatan desain grafis Indonesia agar mampu berdiri sejajar dalam percaturan kreativitas di tingkat internasional.

Sumber:

Pameran Disain Komunikasi Visual ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta: ”Diskomplet”

Pameran Diskomplet Desember 2009: Menjadikan 100% Karya DeKaVe Indonesia


13 November 2009

Anugerah Samartharupa kedua (2009) diberikan

Untuk kedua kalinya penghargaan Anugerah Samartharupa diberikan (untuk lifetime achievement and dedication) yang pada tahun ini bersamaan dengan peringatan 10 tahun jurusan DKV Binus: Momentum 10–Dasawarsa DKV Binus, dan kali ini diberikan kepada 2 (dua) tokoh, yaitu: Dwi Koendoro pencipta kartun Panji Koming di Kompas Minggu dan Drs. Suyadi alias ”Pak Raden”, tokoh yang membidani serial terkenal Si Unyil.

Acara penganugerahan yang dikemas dalam bentuk “M10 Gala Dinner” pada tanggal 13 November ini berlangsung di The Cone f7 – Mal fX Lifestyle X’nter, Jl. Soedirman (Pintu Satu Senayan), Jakarta.

Dari kiri ke kanan: Dwi Koendoro, Suyadi.

DWI KOENDORO

Tokoh kelahiran Banjar 13 Mei 1941 ini, terlahir sebagai sosok multi-talenta. Masa kecilnya dihabiskan di Bandung. Beliau jatuh hati pada dunia perfilman pada usia 6 tahun. Setiap ke pasar malam, yang ditongkronginya adalah film. Film-film kartun Walt Disney menjadi favoritnya. Bakat menggambarnya yang kuat, menjadi modal yang tidak sia-sia. Pada usia 14 tahun, hasil coretannya berupa kartun-kartun sudah menghiasi majalah Teratai yang terbit di Jakarta.

Selepas SMP di Surabaya, Dwi Koen menjatuhkan pilihan pada Sekolah Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta, lalu berlanjut ke ilustrasi grafis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Selama di ASRI ia sempat menjadi wartawan di harian Kedaulatan Rakyat. Kecintaannya pada animasi kartun, membuat ia belajar otodidak dengan berbagai cara. Membaca buku dan bereksperimen menjadi gurunya.

Tahun 1971, Dwi Koen pindah ke Jakarta. Kartun-kartunnya mengisi majalah Stop. Bertahan hingga 1972, akhirnya ia pindah ke biro iklan Intervista, dari karyawan biasa sampai menjadi art director. Lalu empat tahun kemudian, ia pindah ke Gramedia. Karirnya terhitung baik hingga dipercaya menjadi Kepala Bagian Produksi Gramedia Film.

Akhirnya lahirlah Panji Koming pada 14 Oktober 1979 sebagai ”pelepasan” kreatif dan segala uneg-unegnya dari sifat pekerjaannya di Gramedia Film yang lebih banyak menangani pekerjaan non kreatif. Tahun 1982 ia mengundurkan diri karena merasa kurang cocok diposisi tersebut. Tiga tahun kemudian, tepatnya 1985, Dwi Koen mendirikan PT Citra Audivistama – perusahaan yang bergerak dibidang film animasi, iklan, dokumentar dan slide program.

Pengalaman dan kreatifitasnya berbuah penghargaan Piala Citra sebagai sutradara terbaik untuk film dokumenter ”Sepercik Kenangan, Segelombang Teladan” pada FFI 1981.

Kini, 30 tahun sudah Panji Koming hadir setiap Minggu. Tokoh ini telah menjadi ikon karakter yang kritis tapi jenaka. Bisa menjadi insiprasi serta bahan perenungan dalam menyikapi kondisi bangsa Indonesia. Hingga saat ini beliau hampir tidak mengenal istilah weekend, karena setiap Sabtu ”kelakar kritis” Panji Koming harus dikirim ke Kompas agar bisa terbit pada hari Minggu.

SUYADI “PAK RADEN”

Drs. Suyadi adalah tokoh di balik kesuksesan si Unyil dan karakter fenomenal berkumis tebal, Pak Raden. Suyadi lahir sebagai putra Patih Surabaya di zaman Belanda, pada 28 November 1932, di Jember, Jawa Timur. Menggambar, menonton wayang dan bermain gamelan menjadi kegemarannya. Selain itu ia juga gemar menonton film-film Walt Disney. Karakter yang kuat dalam tiap tokoh Disney, mengilhami Suyadi membuat karakter-karakter yang kuat pula pada setiap tokoh yang ada pada film boneka Si Unyil.

Masa kecilnya dihabiskan dengan bersekolah di ELS (Europese Lagere School), setingkat SD yang khusus ditujukan untuk anak kulit putih dan pribumi dari golongan tertentu. Pada tahun 1949, Suyadi melanjutkan pendidikan ke VHO (Voorbereindend Hoger Onderwijs), setingkat SMA. Pendidikan seni ditempuhnya di Jurusan Seni Rupa ITB dari tahun 1952 hingga 1960. Di tahun 1961-1964, ia belajar animasi kartun di studio-studio Les Cineastes Associes dan Les Films Martin-Boschet, Paris.

Sekembalinya dari Perancis, ia bekerja di Teaching Aids Centre (TAC) sebagai kepala Graphic Art. Disaat yang sama, ia juga mengajar di Seni Rupa ITB sekitar tahun 1965-1975. Di samping itu, ia pun banyak membuat film animasi Pemilu dan Keluarga Berencana untuk Departemen Penerangan pada masa itu.

Titik awal fenomenal dimulai tahun 1979, ketika ia membuat film “si Unyil” produksi PPFN. Sebagai Art Director, penulis naskah dan pengisi suara tokoh Pak Raden, serial ini bertahan hingga tahun 1992.

Di usia lanjut, Drs. Suyadi tetap aktif berkarya. Sejak tahun 2007, ia melakukan syuting program edukasi bersama Trans TV berjudul “Laptop Si Unyil”. Kini selain masih sibuk syuting, kadang ia juga mengisi hari-harinya dengan melukis. Sebuah kecintaan yang berbuah dedikasi dan semangat yang tak kunjung padam.

Sumber: Dwi Koendoro dan Drs. Suyadi “Pak Raden” Menerima Anugerah Samartharupa dari DKV Binus University


1 Desember 2009

Pra-Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang Desain Grafis

Setelah melampaui upaya dan perjuangan yang tidak ringan hampir selama 2 tahun, ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) akhirnya berkesempatan menyelenggarakan acara Pra-Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang Desain Grafis yang difasilitasi oleh Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika RI) yang dilaksanakan pada Selasa, 1 Desember 2009 di Hotel Bintang Griya Wisata. Jl. Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat.

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja minimal yang harus dimilki seseorang sebagai profesional dalam tingkat jabatan tertentu. Standar kompetensi kerja merupakan rumusan yang benar-benar dikerjakan di tempat kerja pada industri.

Pra Konvensi RSKKNI adalah rangkaian kegiatan yang terdiri dari penyusunan, pembahasan dan verifikasi Rancangan SKKNI.

Konvensi RSKKNI adalah forum dialog pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan dan konsensus pembakuan SKKNI.

Tim RSKKNI ADGI terdiri dari Hastjarjo B Wibowo, Danu Widhyatmoko, Priska Nutian Sari dan Resita Kuntjoro-Jakti.

Ki-ka: Resita Kuntjoro-Jakti, Priska Nutian Sari, Danu Widhyatmoko, Hastjarjo B Wibowo dan Danton Sihombing (ketua ADGI).

Desainer grafis yang diundang:

Dr. Wagiono Sunarto, Dr. Priyanto Sunarto, Irvan A Noe’man, Riswanto Ramelan, Hanny Kardinata, Gauri Nasution, Hastjarjo B Wibowo, Danu Widhyatmoko, Priska Nutian Sari, Resita Kuntjoro-Jakti, Danton Sihombing, Nilam P Moeliono, Riama Maslan, Saffrianto Haryadi, Bambang Kisworo, M Arief Buiman, Mario Tetelepta, Divina Natalia, Lans Brahmantyo, Hermawan Tanzil, Ardian Elkana, Hagung Kuntjara SW, Mendiola Budi Wiryawan, Eka Sofyan Rizal, Iwan Gunawan, Indah Tjahyawulan, Arief Adityawan, Caroline F Sunarko, Nia Karlina, Nico Pranoto, Ato Hertianto, Dio Bowo, Lintang W, Sari Wulandari, Kiki Fitria Hakim, Ismiaji Cahyono, Irvan N Suryanto, Praba Sunar Aristyawan, Anandita Ayudya, Djoko Hartanto, Yudi Amboro, Zinnia Nizar Sompie, Tri Anugrah, Ijo Wira, David Yamin, Tatang Ramadhan Bouqie, Siti Turmini, Boedatmaka Darsono, Ritchie Ned Hansel, Saut Miduk, Saut Togatorop, Mita Purbasari Wahidayat dll.

Sidang Komisi 1, ki-ka, searah jarum jam: Dio Bowo, Priyanto Sunarto, Mendiola B Wiryawan, Ato Hertianto Djajasasmita, Irvan N Suryanto, Mario Tetelepta, Hanny Kardinata, Arief Adityawan (tidak kelihatan: Lans Brahmantyo, Nia Karlina)


Desainer grafis Indonesia di jagat industri dunia

Tidak sedikit desainer-desainer muda Indonesia berkarya dan sukses di luar negeri: Henricus Kusbiantoro (Senior Art Director-Landor Associates, San Francisco), Lucia C Dambies (Head Designer-Wharton Bradley Mack, Newcastle), John Kudos (Principal-Studio Kudos, Chelsea), Melissa Sunjaya (Principal-Bluelounge Design, Pasadena), Kalim Winata (Computer-Generated Images Artist-ImageMovers Digital, San Francisco), Yolanda Santosa (Principal-Ferroconcrete, Los Angeles) dan Bambang Widodo (Principal-BWDesign, New Jersey) adalah beberapa di antaranya.

—

HENRICUS KUSBIANTORO

Born in Bandung, Indonesia in 1973. Henricus Kusbiantoro plays a key and pivotal role for designing brand expression of The Global (RED) Campaign of Bono U2 for AIDS in Africa launched in World Economic Forum 2006, Davos-Switzerland.

Henricus Kusbiantoro joined headquarter of Landor Associates-San Francisco in early 2006 as senior art director in branding and corporate identity. He is also an adjunct instructor of directed research studies at Graduate Graphic Design Department in Academy of Art University, San Francisco.

Henricus started his very early career in Jakarta at LeBoYe design studio in 1996 before moving to New York City and working for the legendary New York design firm Pushpin Studio under Seymour Chwast and D.K. Holland. He then joined the world class New York corporate identity design practice Chermayeff and Geismar Inc and Wolff Olins New York, a London based worldwide innovative brand consultant, where he was redesigning the overall new brand expression of General Electric (GE) globally launched in July 2004.

Henricus’ works have been covered in LOGO by Laurence King Publisher 2007–London, GRAPHIS International Publication, 365 AIGA Book, Cause/Affect Award AIGA, The New York Times, The Wall Street Journal, TIME and Fortune Magazine and won 2007 D&AD Awards London–Merit Award, New York’s Art Director Club (ADC), Gold Award GRAPHIS 2009 for branding design category. He has worked on designing identities for numerous prestigious global clients and small non profit organizations but never forget to express his graphic experiments in every medium included independent street posters. One of his urban serial posters were dedicated for the Jogja-Central Java Earthquake public awareness and demonstrated in the streets of New York City and San Francisco in June 2006.

Briefly trained design at Trisakti University-Jakarta, Henricus Kusbiantoro graduated from ITB School of Art and Design-Bandung and obtained a Master of Fine Arts Degree (MFA) in Communication Design at New York’s Pratt Institute, both awarded the highest achievements.

Henricus Kusbiantoro, Kumpulan Logo Rancangan Henricus Kusbiantoro, diantaranya adalah Samsung Beijing 2008 Worldwide Olympic Partner, FIFA World Cup VISA Partner, General Electric, The Emmy Award, Global (RED) Campaign for Fight of AIDS Awareness in Africa, (DGI) Desain Grafis Indonesia, FIRE Coffee-Japan, Andrus Children Center New York, Carter’s dst.

Henricus Kusbiantoro, Global (RED) Campaign– Fight for AIDS in Africa Awareness. The (RED) Campaign was awarded 2007 D&AD London Merit Award and New York Art Director Club ADC 2007. Brand Consultant: Wolff Olins.

Henricus Kusbiantoro, EXPO Indonesia Poster for Paviliun Indonesia EXPO 2000 in Hannover-Germany

—

LUCIA C DAMBIES

For Lucia Cahyaningtyas Dambies or loucee, as she prefers to be called, graphic design has became the passion in life. She began to fall in love with it, at the time when she did not even understand what the word ‘graphic design’ means. Through some years of learning and experiences, she understands that graphic design is not only about making beautiful compositions with some nice pictures or fonts on them. Beyond everything that are seen, every form in graphic design is actually a powerful tool to shape visions inside human minds, even the most simple ones.

loucee received her master degree with distinction in 2004 from Pratt Institute, New York City, major in visual communication design. During this time, she also worked at some leading design firms and branding consultants in Manhattan. Prior to that, the Jakarta native worked for a couple of years at several graphic design firms in the capital city of Indonesia, shortly after she graduated with cum laude in 1999 from Bandung Institute of Technology, in visual communication design major. At this moment, loucee is residing in Newcastle Upon Tyne, England where she works independently for various projects.

Lucia C Dambies, Logo, AMANJIWO is a resort hotel located in Yogyakarta, Indonesia

Lucia C Dambies, Logo, LE PAPIER is a paper company in Paris, France

Lucia C Dambies, Logo, STIX is a steak restaurant in Jakarta, Indonesia

—

JOHN KUDOS

Prior to founding Studio Kudos in 2007, John Kudos was a designer at Pentagram in New York, where he managed various art, cultural and institutional projects during his seven-year tenure. John holds a BFA in Graphic Design with a Digital Media Concentration from the Maryland Institute College of Art in Baltimore. He is recently named on of the Art Directors Club’s Young Guns in 2008. John was named an emerging design talent by STEP Inside Design magazine in 2006. John’s work has been recognized by the D&AD, the Society of Publications Designers, the Type Directors Club, AIGA 365, AIGA 50/50, Graphis, Print Regional Design Annual, I.D. Annual Design Review, Communication Arts, Black Book AR100, and the New York Book Show.

EXPERIENCE branding, publication, exhibition, environmental, interactive/web graphic design for cultural, corporate and institutional clients. He is the co-founder, editor-in-chief, designer and developer for www.splotches.org, a submission-based online publication about popular art and culture, awarded silver medal by the Society of Publications Designers (SPD) in 2005.

CLIENTS: FreeState, 20th Century Fox, Embeddedin.LA, Boss Sounds, Art+Commerce, Print Magazine, 2wice Magazine, Money Magazine, Yale Alumni Magazine, Architect Magazine, Steuben Glass, American Express, Ford Foundation, The Vilcek Foundation, Florida State University, Trevor Day School, Fashion Institute of Technology, Ziger/Snead Architects, LSY Architects, John Davis Photography, Panfoto, Akiko Ichikawa, Coeur Noir Specialty Printers, Cooper Hewitt National Design Museum, Whitney Museum, Guggenheim Museum, Dallas Museum of Art, Seattle Art Museum, Princeton University Art Museum, Smithsonian Institution, National Building Museum, Baltimore Museum of Art and Museum of Biblical Art.

20th Century Fox: Photography from the Archive

20th Century Fox: Inside the Photo Archive features unpublished archival photographs from the studio’s backstage. The book is organized into chapters, beginning with nine and counting down to one, before it ends with credits.

Design: Abbott Miller, John Kudos at Pentagram

John Kudos/Studio Kudos, Guggenheim Magazine

Digital Book

Interface design for Abbott Miller’s Digital Book, as featured in the Cooper-Hewitt, National Design Museum’s 2003 Design Triennial. Two LCD screens were stripped from their casings and butted together to form the shape of an open book resting on a crate of papers.

The screens displayed a spread-by-spread representation of 2wice magazine and Matthew Barney’s book The Cremaster Cycle, both designed by Abbott Miller. Appropriate pages were populated with video content, or photographs of the books themselves, while they introduced a third dimension to the otherwise static printed page.

Design: Abbott Miller, John Kudos at Pentagram

—

MELISSA SUNJAYA

Born in 1974 in Jakarta, Indonesia, designer in Pasadena, USA.

After sound training in Switzerland and the USA, a variety of jobs in communication design. She then joined forces with a partner to establish “Bluelounge Design”. Be it product design or the development of logos: her designs are always fascinatingly simple and full of humour.

Desainer grafis Indonesia lainnya yang sukses di mancanegara adalah Melissa Sunjaya. Wanita kelahiran Jakarta 1974 ini pernah berkiprah di beberapa studio desain grafis terkemuka di Kalifornia, seperti CMg Design Inc., Ph.D, dan Siegel&Gale Los Angeles.

Di CMg Design Inc. Melissa menangani proyek desain dari beberapa klien, antara lain: Sanwa Bank California, Metropolitan Water District of Southern California, Decrane Aircraft Holding, Micro Therapeutics Inc., Kidspace Museum, Mercury General Insurance, dan Southern Pacific Bank. Tahun 1999, proyeknya untuk desain identitas korporat di CMg menerima penghargaan Strathmore Graphics Gallery Award for Design and Production Excellence. Proyek itu dipamerkan di The Strathmore Graphics Gallery di New York, dan juga diterbitkan oleh Majalah Communication Art dan How Design di AS.

Di agensi Ph.D, lulusan bidang art dari salah satu universitas di Switzerland dan juga bidang desain dari sebuah universitas di Kalifornia ini menangani berbagai proyek branding korporasi seperti Fox Twentieth Century, 29 Palms, Gean Gardner Photography dan Mark Hanauer Photography. Selain itu, Melissa menangani pula pengembangan logo beberapa perusahaan, seperti Hauser Inc., Innovare.Com, dan Jehle Batliner s.a.

Di tahun 1999 ia dan Dominic Symons mendirikan BlueLounge design yang menerima proyek desain, pembuatan logo dan branding korporasi di AS. Kliennya antara lain: ID Connect (Liechtenstein), Zoe Design Associates (San Francisco/Singapura), dan Belle Marie Winery (AS).

Melissa Sunjaya, Ritzenhoff Romeo&Juliet bottle opener by Melissa Sunjaya

Melissa Sunjaya, Ritzenhoff cappuccino set (cup and saucer)

Referensi: Swa Sembada

—

KALIM WINATA

Current

Cloth/Hair TD at ImageMovers Digital

Past

Author – Made In India at Chronicle Books

Lighting Artist at Insomniac games

Cloth/Hair TD at Sony Pictures Imageworks

Render Wrangler/ Clothing Aritist at PDI/Dreamworks

Program Manager C at PacifiCorp

Education

Academy of Art University

Kalim Winata and Reed Darmon (author of the popular Made in Japan and Made in China) have created a beautiful, and inspiring collection of vintage Indian design.

kalim-winata-2

Referensi: Swa Sembada

YOLANDA SANTOSA

Yolanda “Yo” Santosa is a branding and motion graphics designer based in Los Angeles. Her motion projects of note include opening titles for Zack Snyder’s 300 (2007), Ugly Betty (2006), Herbie Fully Loaded (2005), The Triangle (2005), Desperate Housewives (2004) and Hulk (2003). She has been nominated[1] for 3 Emmy Awards.

Yolanda Santosa knew in high school that art was her calling when dissecting frogs, factoring prime numbers and interpreting Kafka failed to interest her. Graduating from Pasadena’s Art Center College of Design in 2000, Santosa launched her career designing main title sequences for film and television for yU+co, where she led notable projects for Desperate Housewives, An Inconvenient Truth and Zack Snyder’s 300. Despite her passion for motion graphics, she couldn’t seem to shake her fascination with branding.

In 2006 she founded her own branding studio, Ferroconcrete. She landed the Pinkberry account, managing all brand and marketing strategies for the company. Ferroconcrete has allowed her to explore the loyalty people have to the brands that surround them. And she believes design applies to just about everything.

Santosa has worked as an instructor at Art Center College of Design and is also an active guest lecturer. Her work has received worldwide recognition. She has been featured in several prestigious national and international publications and has earned over a dozen awards, including three consecutive Emmy nominations.

Referensi:

Communication Arts

Swa Sembada

BAMBANG WIDODO

I received my bachelor degree from Trisakti University, Jakarta, majoring in Graphic Design in 1993. After working for a couple of years with several advertising agency in Jakarta, I continued my study in Communication Designs at Pratt Institute in New York and got my graduate degree in 1998. A year later I started working as Principal Designer in Aljira Design, a graphic design studio in Newark as a revenue generated enterprise for an art organization called Aljira a Center for Contemporary Art. Right now I am still working with Aljira Design and always looking forward to learn new things in visual arts, graphic designs, and typography.

Lihat portfolio Bambang Widodo pada Graphic Language of Bambang Widodo


16 Desember 2009

Untuk pertama kalinya Desain Grafis Indonesia memiliki Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang Desain Grafis

Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang Desain Grafis

Melanjutkan acara Pra-Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang Desain Grafis tanggal 1 Desember 2009, pada tanggal 16 Desember 2009 ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) yang difasilitasi oleh Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika RI) menyelenggarakan acara Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang Desain Grafis di Hotel Bintang Griya Wisata, Jl. Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat.

Sumber: ADGI Membawa Desain Grafis Indonesia Menuju Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

Ketok palu Ketua ADGI Pusat Danton Sihombing menandai resminya RSKKNI menjadi SKKNI setelah tercapainya aklamasi oleh seluruh peserta konvensi. Dari kiri-ke kanan: Hastjarjo B Wibowo, Danton Sihombing, Priska Nutiansari


20 Januari 2010

FDGI (Forum Desain Grafis Indonesia) Semarang terbentuk

Setelah beberapa kali membicarakan kemungkinan membentuk FDGI Semarang dan lewat kerjasama dalam dua tahun terakhir maka akhirnya FDGI Semarang terbentuk pada tanggal 20 Januari 2010. Terbentuknya FDGI Semarang di Hotel Semesta, Semarang ini disaksikan oleh para dosen dan mahasiswa dari DKV Unika Soegijapranata, mahasiswa serta alumni Universitas Diponegoro dan sebuah agency grafis lokal “Klinik Desain”.

FDGI Semarang disepakati dipimpin oleh Adi Nugroho (alumni DKV ITB dan DKV Unika Soegijapranata) yang selanjutnya dipercayakan akan membentuk timnya dan menjalankan kegiatan-kegiatan baik yang sudah pernah dibuat FDGI di Pusat (Jakarta) maupun yang disesuikan dengan kebutuhan Semarang.

Dari FDGI Pusat hadir Eka Sofyan Rizal (ketua), Caroline F Sunarko (sekjen), Surianto Rustan (aktivis) dan Siti Nurannisaa PB (aktivis).

Ketua FDGI Pusat Eka Sofyan Rizal memberi selamat kepada Adi Nugroho yang baru terpilih sebagai ketua FDGI Semarang.


28 Januari 2010

ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) menyelenggarakan Acara Sosialisasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang Desain Grafis


Catatan redaksi: Data-data terakhir artikel ini diketahui tiba-tiba hilang pada tanggal 16.1.11, kemungkinan besar karena human error, sementara akan diperbaiki, bagi yang membutuhkan ringkasan perjalanan desain grafis Indonesia, silakan mengakses artikel Riak-riak Desain Grafis Indonesia: 1970-sekarang*. Mudah-mudahan bermanfaat. Terima kasih.


Artikel terkait: Garis Waktu Desain Grafis Indonesia – 2


Copyright 2009 Hanny Kardinata

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan