Keindahan bisa subversif. Duduk di ruang tamu atau di sebuah peron stasiun kereta api, kita akan melihat — pada lukisan, atau poster, atau pot kembang, atau bentuk kursi, atau jam besar, atau tiang lampu, atau tanda petunjuk arah — sesuatu yang tidak hanya fungsional, melainkan sesuatu yang menyenangkan, menyentuh pancaindera, sesuatu yang menimbulkan rasa intens — meskipun lamat-lamat — kepada realitas, benda dan hal ihwal yang ada di sekitar. Tidak selamanya “yang indah” itu menampilkan diri secara khusus dan terang-terangan. Seringkali bahkan “yang indah” itu menyelinap di belakang “yang berguna”: poster itu memikat kita dan memberi kita sebuah informasi tanpa kita sadari bagaimana sedapnya desainnya nampak di mata kita.
Bahasa Indonesia mempunyai sebuah kata yang bagus: “seni rupa”. Dalam kata itu, rupa — apa yang nampak, yang tampil, yang mempunyai bentuk — merupakan esensinya. Tidak menjadi soal bagaimana “rupa” itu dikemukakan. Toh kita selalu dapat menangkap “rupa” itu pada sebuah desain pakaian, lukisan akuarel, bentuk huruf, model mesin jahit, bentuk sebuah kipas, arsitektur Borobudur. Istilah “seni rupa” menjadi lebih longgar ketimbang istilah “art’, apalagi “beaux arts”, dan bersamaan dengan itu juga lebih sesuai dengan riwayat ketika “keindahan”, yang bersifat subversif itu, menjelma dalam pelbagai perwujudan “rupa”.
Harus disebutkan, tentu, bahwa istilah “seni rupa” juga sebenarnya sesuatu yang baru. Namun dapat dikatakan, bahwa apa yang berlaku di Indonesia (terutama apabila kita ingat Bali) agaknya mirip dengan apa yang dilukiskan oleh Ananda K. Coomaraswamy di India, di mana, pada mulanya, seni tidak diperbincangkan tersendiri. Karena seni adalah suatu “kualitas yang integral yang masuk di dalam semua kegiatan, dilakukan oleh semua orang dalam kehidupan mereka sehari-hari”. Dalam bahasa Sansekerta, tak ada kata yang ekuivalen dengan konsep “art” di Barat.
Pengertian “art” sendiri tidak lahir sejak awal. Jean Gimpel, dalam sebuah risalah polemis yang terkenal, mencatat bahwa pada Abad Tengah di Eropa, siapa saja yang bekerja dengan tangan, termasuk pelukis dan pemahat, disebut hanya sebagai “ouvrier”. Baru di pertengahan abad ke-16, para pelukis dan pematung di Prancis, mengikuti apa yang terjadi di Italia, mulai berusaha membentuk sebuah akademi ‘beaux Arts” — yang kemudian dieja “Beaux-Arts”. Mereka ingin dibedakan dari para pekerja tangan dan memperoleh status yang sebanding dengan para “artes”, yakni anggota sebuah fakultas di universitas. Dari sejarah ini nampak bahwa pada dasarnya pembedaan yang terjadi dalam seni rupa antara seraut kipas bergambarkan kembang leli dan sebuah kanvas dengan lukisan Monalisa — bukan suatu perbedaan ontologis. Ia merupakan hasil perubahan sosial.
Mengetengahkan ini kembali rasanya perlu, dewasa ini, ketika di Indonesia secara serempak berkembang pelbagai bentuk seni rupa. Selama dua dasawarsa terakhir, ada sesuatu yang memberi impetus bagi perkembangan simultan itu, yaitu pasar. Pasar adalah sebuah kekuatan yang bisa memilih, tetapi tidak jelas ukuran-ukuran apriorinya. Dan ketika pasar itu, karena kecepatan pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir, tidak terkait dengan sebuah lapisan sosial yang telah siap mempunyai “gaya” — dalam arti sudah terbentuk skala prioritas kebutuhannya, sudah dapat diraba ukuran-ukuran keindahannya, sudah terpola pula seleranya — yang muncul dalam proses “dialog” dengan pasar itu ialah produk-produk yang sangat heterogen, baik dalam jenis maupun dalam nilai. Seni rupa ikut dalam heterogenitas itu.
Kita bukan saja menyaksikan pertumbuhan galeri yang memamerkan dan menjual-belikan karya bermacam-macam pelukis, baik yang sebelumnya dikenal dengan reputasi yang baik maupun yang baru sama sekali. Kita juga menyaksikan tumbuhnya kelompok-kelompok pendukung karya-karya desain, baik di sekitar industri tekstil maupun di sekitar industri manufaktur dan media. Kita bahkan menyaksikan tumbuhnya minat kepada pelbagai jenis karya yang selama ini dikategorikan sebagai “kerajinan” (sebuah istilah yang menyesatkan, tentu), yang dipasarkan dengan dukungan pemerintah maupun para wiraswasta, khususnya melalui turisme. Kita juga mulai melihat perkembangan yang mencolok, terutama di Jakarta, seni rupa di lingkungan arsitektur, perencanaan kota, pertamanan bahkan penyusunan etalase-etalase.
Masalah yang timbul kemudian ialah masalah hierarki. Kecenderungan dalam pandangan kesenian semenjak tahun 1960an yang gemuruh itu ialah pengguncangan hierarki, dengan menggugat “elitisme” dan mengumandangkan apa yang oleh seorang ahli sosiologi Amerika disebut sebagai “the democratization of genius”. Dalam pandangan ini, hierarki antara seni “tinggi” dan seni “rakyat” harus ditiadakan. Saya kira semangat ini — yang di bidang seni rupa diartikulasikan dengan baik oleh pemikir kesenian yang sangat tajam, Almarhum Sanento Yuliman — sangat sehat, karena seperti yang saya sebutkan di atas, keindahan bisa subversif dan perbedaan antara seni rupa “tinggi”, yang di Prancis disebut dalam kategori “Beaux-Arts”, dan seni rupa di luar itu bukanlah perbedaan ontologis. Akademi, galeri, atau museum yang selama ini dianggap menjadi pusat dari mana ukuran nilai ditentukan dan disebarluaskan, harus ditinjau kembali perannya.
Ini terutama penting di suatu masyarakat seperti di Eropa dan Amerika Serikat, di mana sejarah kesenian berlangsung dengan tahap-tahap yang lebih jelas dan di mana perubahan sosial, yang ikut mempengaruhi “gaya” para pendukung kesenian itu, berjalan dengan cara yang lebih mantap. Dalam proses itu, apa yang disebut “elitisme” dan institusi-institusi yang menopangnya, lebih tampil.
Di dalam konteks Indonesia, perkaranya agak berbeda. Hilangnya sentrum dan hierarki di sini bertaut dengan dorongan heterogenitas yang lahir dari kekuatan pasar. Masalahnya kemudian: sejauh mana kita dapat menumbuhkan seni rupa tanpa sentrum dan tanpa acuan nilai? Dapatkah sensibilitas kita berkembang dalam keadaan seperti itu? Sejauh mana kita dapat meniadakan kategorisasi berdasarkan mutu, sementara proses kerja masing-masing hasil seni rupa bisa berbeda-beda intensitasnya? Bisakah, dalam kehendak kita untuk menghargai keanekaragaman ekspresi itu, seni rupa pada akhirnya hanya tergantung kepada dorongan-dorongan pasar? Bagaimana dengan peran kritik dan peran perbandingan? Bagaimana dengan peran akademi, galeri, museum dan ruang-ruang pameran?
Sejauh ini, setahu saya, belum banyak diantara kita yang mencoba menjelajahi persoalan-persoalan itu. Setahu saya, diskusi seni rupa di Indonesia belum jauh beranjak dari masalah-masalah yang tak putus-putusnya di bahas sejak 50 tahun yang lalu, misalnya masalah identitas, sementara perkembangan yang terjadi dewasa ini menuntut pemikiran-pemikiran baru, karena yang dihadapi adalah masalah-masalah baru. Sebuah pameran besar seni rupa seperti ini setidaknya telah menyebabkan saya menyadari itu.
Sumber: Buku katalog pameran JADEX ’92, hal. 15-17. JADEX ’92 diselenggarakan di Jakarta Design Center, 25-30 September 1992.
“Cheating the system is very gratifying”