Judul: Koleksi lukisan Cina Adam Malik (Chinese paintings from the Adam Malik Collection)
Penulis: C.M. Hsu, Sumarah Adhyatman (editor)
Penerbit: Yayasan Derita Cita, Jakarta
Rancang grafis: Citra Indonesia
Tahun: 1983
Di bawah pohon pinus yang berdiri di sebuah bidang menghampar tanpa batas, nampak seorang tua duduk dengan arif. Ditemani seorang wanita, orang tua tersebut sedang menerima seseorang yang berlutut di depannya. “Mohon Panjang Umur,” begitu lukisan tersebut berjudul dan berkisah. Sebuah cerita klasik yang biasa dilukiskan dalam taferil-taferil Tiongkok kuno. Dan lukisan karya Zhao Yi di atas memang benar-benar kuno. Ia digarap pada zaman dinasti Liang terakhir (907-921), di zaman Lima Dinasti.
“Mohon Panjang Umur” itu sekarang jadi koleksi Adam Malik, dan tercantum sebagai lukisan pertama dalam buku “Koleksi Lukisan Cina Adam Malik” yang terbit baru-baru ini.
Lukisan terkuno dari seluruh koleksi pak Adam ini sungguh menarik. Tak sekedar pada kualitas gambarnya, tetapi juga pada kepepatan sejarahnya. Lukisan tersebut penuh dengan cap (21 buah) yang dibuat oleh para kolektor dan ahli seni yang pernah menyimpannya. Di antaranya dari kerajaan Xuanhe dengan kaisarnya Huizong (1119-1125). Dari putera ke-11 Kaisar Gaozong masa kerajaan Qianlong (1736-1795) dan lain-lain. Yang belum nampak capnya di sana justru adalah kolektor terakhirnya, Adam Malik sendiri.
Hadirnya lukisan Zhao Yi dalam kitab ini, agaknya cukup memberikan isarat kepada kita, bagaimana tingkat keseriusan seorang Adam Malik sebagai kolektor seni rupa. Dan bagaimana tingkat kemantaban buku ini untuk disimak dan dinikmati.
Lukisan Cina adalah lukisan-lukisan yang bisa bercerita amat panjang. Serba naratif, bahkan verbal dengan sentuhan-sentuhan kalimat puitis yang biasanya tercantum.
Su Shi (1036-1101), seorang sastrawan dan pelukis zaman dinasti Song, ketika membicarakan lukisan dan syair Wang Wei sempat memformulasikan gejala lukisan Cina itu dengan kalimat: “lukisan adalah syair dengan gambaran, dan syair adalah lukisan dengan perkataan.” Maka hadirlah lukisan-lukisan yang selain bisa kita lihat, juga kita baca
Kekhasan yang ditunjukkan itu, dalam sejarah lukisan Cina banyak disimpan cerita-cerita yang unik. C.M. Hsu, penyusun buku ini mengisahkan bahwa gejala masuknya syair dalam lukisan Cina dimulai ketika Kaisar Huizong yang hidup pada zaman dinasti Song (960-1279) mendirikan Akademi Senilukis Kerajaan. Kaisar Huizong mempertemukan gaya Utara dan Selatan, yang kemudian percampuran gaya itu disebut aliran Akademi Kaligrafi, entah itu sekedar catatan atau syair lantas sah tercantum dalam taferil lukisan Cina. Dan memang perpaduannya membuat lukisan Cina amat khas dan menawarkan imaji yang meluas lebar.
Lukisan adalah syair dengan gambaran, dibuktikan ketika siswa-siswa Akademi Senilukis Kerajaan itu menghadapi ujian. Mereka diharapkan melukiskan sajak yang diantaranya berbunyi begini: “Setelah pulang, menginjak bunga. Menjadi harum si kaki kuda.” Tak ada dalam pikiran kita bahwa lukisan yang mendapat nilai tertinggi dalam ujian itu berbentuk: seekor kuda berlari dengan kaki depan yang selalu diiringi sepasang kupu-kupu. Dalam lukisan tersebut, tak tergambar sekuntum bunga pun!
Delapan puluh enam lukisan Cina koleksi Adam Malik dalam buku ini, hampir seluruhnya mengajak kita berbahagia lewat mata dan bersenandung lewat syair, yang umumnya berisikan kebijakan.
Dalam lukisan “Sepasang Rusa” (hal. 80) karya Li Tingliang (hidup pada zaman dinasti Qing, 1644-1911) terdapat kalimat yang berbunyi begini: “Seratus kali kemurahan hati, untuk mana saya berterima kasih.” Kita tak tahu, apa hubungan sepasang rusa dengan terimakasih atas segala kemurahan hati. Tapi di sana kita merasakan adanya keterlibatan perasaan pelukis dengan isi alam semesta yang jadi obyek lukisannya. Semacam rasa syukur.
Lukisan Li Xia, (hal. 80) yang sezaman dengan Li Tingliang bergambar seorang tua sedang berdialog dengan anak kecil menunggang kerbau. Di dalam lukisan tersebut terbaca inskripsi: “Bolehkah saya tanya, nak, dimana ada kedai arak?/Penggembala menunjuk ke sebuah dusun dengan pohon aberikos.”
Menikmati lukisan-lukisan Cina kita sekaligus belajar melihat diri kita sendiri di tengah kesemestaan alam. Bahwa kita adalah bagian yang amat kecil dari bumi dan langit. Bahwa kita akan menjadi berarti bila kita telah bersenyawa dengan jagad lebar ini. Lukisan Wang Xianzhao, (hal. 97) juga dari dinasti Qing berkisah tentang itu dengan sangat unik dan mengharukan. Lukisan tersebut berbentuk komposisi alam luas, pohon, gunung-gunung dan beberapa rumah yang tersembunyi. Dan tak nampak figur manusia samasekali. Namun, bacalah inskripsi lukisan itu: “Ide serta goresan ngarai musim gugur tenang tanpa getaran, Adalah rahasia alam bila asap membayang tanpa kecualian/Tampak seorang tua menutup bukunya dan mengagumi sekitarnya/Kedua-duanya serasi antara alam dan manusianya.”
Kemenarikan isi buku Adam Malik tersebut tak hanya di situ. Di halaman 127 ada lukisan Cina yang menggambarkan adegan Ramayana. Dan di atas gambar Rama dan Sinta gaya “wayang wong” itu, termaktub pula kaligrafi atau inskripsi yang berupa syair. Ini karya Jiang Yudi yang dilukis tahun-tahun terakhir ini. Di halaman 140 bisa kita lihat pemandangan gunung dan sungai (seperti) di Tiongkok melatari rumah-rumah Batak. Lukisan Shi Zhongan itu juga lahir pada zaman orde baru.
Mendasarkan konsep lukisan pada falsafah kesemestaan alam, maka segala upaya adaptasi yang dilakukan oleh pelukis-pelukis Cina itu terasa sah sekali adanya. Semua bisa terjadi. Sebab, hubungan mesra antara manusia dan jagad luas ini di mana-mana harus bisa terjalin. Dan agaknya tak hanya reproduksi berwarna serta segala terjemahan inskripsi (dalam bahasa Indonesia dan Inggris) yang bisa kita simak di sana, tapi juga gambar-gambar perlambang beserta penjelasannya. Ragam hias sekaligus perlambang itu dilukis kembali oleh Garretta Lamore, seorang pelukis Amerika yang memang dipesan untuk itu.
Alhasil, buku Adam Malik ini lantas lahir sebagai buku seni rupa paling menarik dibanding buku-buku tentang koleksinya yang lain. Bahkan termasuk paling sedap dinikmati di antara deretan porsi buku seni rupa Indonesia yang pernah lahir. Sebab di dalamnya tak hanya keindahan yang dinampakkan, tetapi juga moral. Dan keindahan itu memang moral.
Sumber: Harian Kompas, 1980-an (waktu penerbitan tidak tercatat).
“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”