SENI RUPA PEMBEBASAN – PEMBEBASAN SENI RUPA
Seni rupa pembebasan adalah sebuah tata pengungkapan yang didasari kesadaran perlunya pembebasan definisi seni rupa. Bentuk pengungkapannya mengutamakan pernyataan dan semangat penjelajahan, didasari estetika pembebasan.
Pembebasan seni rupa adalah ikhtiar mengubah definisi seni rupa. Prinsip kesadarannya, seni rupa adalah gejala plural, yang didasari berbagai tata acuan. Definisi seni rupa yang diakui dan berlaku di masa kini terbelenggu pada: seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Seni rupa yang terkungkung pada satu tata acuan: “High Art”.
(I) Melihat:
Definisi seni rupa hanya menerangkan penunjukan tiga bidang: seni lukis, seni patung dan seni grafis tanpa penjelasan konsepsional.
(II) Menimbang:
Definisi seni rupa berasal dari penerjemahan mentah term fine arts yang diturunkan dari definisi Bahasa Latin Zaman Renaissance yaitu la belle arti del disegno.
(III) Menyimpulkan:
Definisi seni rupa tanpa disadari sepenuhnya berakar pada prinsip artes liberales (Liberal Arts) dasar tata acuan “High Art” yang digariskan pada Masa Renaissance, di Abad ke 16, pandangan yang percaya hanya ada satu kebudayaan (yang tinggi) dan satu jenis seni rupa sebagai produknya.
(IV) Menyatakan:
Bahwa seni rupa adalah gejala plural. Bahwa kebudayaan memiliki berbagai tata acuan (frame of reference).
(V) Menyatakan:
Definisi seni rupa adalah hasil adaptasi tanpa pemikiran yang konsepsional, tanpa pertimbangan akulturasi estetik.
Penggarisan definisi seni rupa telah terperangkap. Definisi seni rupa dengan tata acuan “High Art” menjadi sangat miskin dan spesifik. Penggarisannya tidak melihat realita sekeliling di mana terdapat berbagai gejala seni rupa dengan tata acuan lain.
Sepanjang sejarah seni rupa Indonesia, definisi tanpa dasar dan terpiuh ini berlaku. Sementara seni rupa yang berakar pada kebudayaan etnik, seni rupa populer dalam kehidupan sehari-hari, kerajinan dan desain (seni rupa dengan tata acuan lain yang berada di luar definisi) berdiri sebagai fenomena yang tak pernah diperhatikan.
Ini kejanggalan yang ironis.
(VI) Memperhatikan:
Satu-satunya gejala seni rupa yang sesuai dengan definisi seni rupa hanya Seni Rupa Modern Indonesia, bagian dari Seni Rupa Modern Dunia (diturunkan dari artes liberales) dalam ikatan prinsip “seni adalah universal”.
Akibat penggarisan definisi yang tidak cermat, Seni Rupa Modern Indonesia terjerat pula pada lingkaran yang sempit. Sekali lagi telah terjadi adaptasi tanpa pemikiran yang konsepsional dan pertimbangan estetika. Perupa dan kritikus Seni Rupa Modern Indonesia telah sesungguhnya menjadi buta dan menganggap seni rupa modern — seni lukis, seni patung dan seni grafis — adalah satu-satunya gejala seni rupa. Di luar itu tak ada seni rupa. Sikap ini populer lewat ungkapan: “… bukan seni lukis”.
Ini bukan fanatisme pada sebuah faham tapi keteguhan sikap tanpa dasar kenyataan sesungguhnya: kebingungan. Tak adanya perhatian kritis pada definisi yang terpiuh menandakan kebingungan ini. Bahkan tak ada kesadaran definisi sama sekali. Kegiatan seni rupa modern sendiri berjalan terpecah-pecah dengan seni lukis sebagai sektor paling populer.
(VII) Menyatakan:
Perupa Modern Indonesia telah melakukan kesalahan idiomatis, menggunakan bahasa Seni Rupa Modern tanpa kesadaran estetik. Mendasarkan kegiatan seni rupa hanya pada potongan-potongan Sejarah Seni Rupa Modern yang tidak lengkap — kepercayaan pada sejarah seni rupa, hanya salah satu faham estetik.
Perupa modern Indonesia telah menjadi konsumtif. Menganggap berbagai konsep gaya pada potongan-potongan Sejarah Seni Rupa Modern sebagai sumber yang harus disucikan dan dianut mentah-mentah. Peniruan terpiuh terjadi juga pada gaya hidup. Gaya hidup romantik telah berubah menjadi eksentrikisme epigonistik. Individualisme yang menjelajah ke dalam berganti menjadi egoisme yang megalomanis.
Adaptasi salah kaprah yang sangat lanjut membuat kritikus dan perupa modern cuma sibuk mencocok-cocok gejala seni rupa modern dengan “kamus” sejarah seni rupa. Perupa modern tak sesungguhnya melakukan tradisi eksplorasi.
(VIII) Menyatakan:
Pemikiran seni rupa di Indonesia menuju kebangkrutan.
Seni Modern Indonesia, satu-satunya seni rupa yang sesuai dengan definisi mengalami stagnasi besar-besaran. Terpaku pada gaya-gaya awal Seni Rupa Modern, berhenti melakukan penjelajahan; tak mampu melakukan pemikiran ke dalam mencari dasar bagi perkembangan lain.
Seni rupa dari tata acuan lain, terbunuh di lingkungan pemikiran seni rupa. Definisi yang terpiuh mengucilkannya ke sudut yang tidak diperhatikan: Seni rupa dengan latar belakang kebudayaan etnik, tanpa pandang bulu ditempatkan sebagai bagian masa lalu, desain sebagai produk kemajuan teknologi dan industri dianggap seni kasar yang cuma sampai pada keindahan permukaan, seni rupa populer pada kehidupan sehari-hari dianggap produk kebudayaan massa yang miskin nilai.
(IX) Menguarkan:
Diperlukan seni rupa pembebasan. Tata ungkapan yang mengutamakan pembongkaran tradisi seni rupa yang salah kaprah. Tata ungkapan yang rasional dan mengutamakan pernyataan didasari estetika pembebasan.
(X) Menguarkan:
Diperlukan redefinisi seni rupa, pembebasan seni rupa dari kungkungan definisi yang berakar pada artes liberales — mencari definisi baru yang mampu merangkul semua gejala seni rupa.
(Xl) Menguarkan:
Diperlukan pembebasan budaya-pikir dari pandangan serba tunggal yang menganggap hanya ada satu tata acuan yang melahirkan satu seni rupa, hanya ada satu masyarakat global dalam kebudayaan dengan wujud yang utuh dan padu.
Jakarta, 2 Mei 1987
Sumber: Katalogus Pameran Seni Rupa Baru Proyek 1 “Pasaraya Dunia Fantasi”. Pameran diselenggarakan di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki, 15-30 Juni 1987.
Makin banyak manfaat, makin sedikit dampak, makin baiklah desain itu