Masalah Profesi Perancang Grafis di Indonesia

Kegiatan menciptakan rancangan benda cetak untuk tujuan komunikasi grafis telah dilakukan di daratan Cina dan di Eropa lama sebelum abad ke 15. Waktu yang persis tidak ada seorangpun yang yakin, namun contoh-contoh cetakan kuno yang digarap dengan indah cukup banyak ditemukan. Menciptakan hasil cetak yang indah dan komunikatif ternyata sudah menjadi budaya yang punya sejarah panjang. Pekerjaan yang dilakukan para seniman dan artisan pada waktu itu antara lain meliputi persiapan teknik dan artistik untuk memperbanyak gambar dan huruf yang berbentuk poster, pamflet, uang, kartu, buku, dokumen berharga dan benda cetak lain. Teknik yang dipakai telah berkembang dari teknik cetak paling primitif, yaitu cukil kayu (wood cut) dan kemudian disempurnakan dengan ukir kayu (wood engraving), ukir tembaga, etsa, litho, cetak saring dan offset. Setiap penemuan teknik memberi keleluasaan pada seniman untuk mengekspresikan gagasannya secara maksimal. Pada waktu itu, hubungan antara pekerjaan seni (visual) dengan teknik (cetak) terjadi dalam satu bengkel atau gilda cetak yang akrab.

Dengan meningkatnya kebutuhan komunikasi grafis, seiring dengan kemajuan dan penemuan-penemuan dalam bidang teknologi cetak terjadi juga penemuan-penemuan dalam pengaturan pembagian kerja. Salah satu produk modernisasi adalah lahirnya spesialis-spesialis, yang juga terjadi di dalam kegiatan komunikasi grafis. Mula-mula aspek teknik terpisah dari aspek seni atau aspek visualnya. Kemudian terjadi pemisahan-pemisahan lanjut baik dalam bidang teknologi cetaknya maupun dalam bidang perencanaan visual. Lalu, muncul profesi-profesi baru, sehingga seni grafis terpisah dari desain grafis dan selanjutnya dalam bidang desain grafis kita mengenal tipografer, illustrator, art director, creative director, kaligrafer, type designer, graphic artist dan graphic desainer atau perancang grafis, yang masing-masing punya keahlian sendiri. Kalau lingkup kegiatan perancang grafis kita luaskan, pada induk usahanya, yaitu penerbitan, periklanan, pemasaran hubungan masyarakat dan program-program kampanye massal, maka rangkaian daftar spesifikasi spesialis ini akan bertambah panjang. Uraian di atas menggambarkan bahwa profesi perancang grafis adalah profesi yang batas-batasnya luas dan kerap bergeser ke berbagai bidang lain.

Uraian di atas juga menyiratkan bahwa profesi perancang grafis sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan keadaan lingkungan sosial, budaya dan ekonomi. Pemahaman akan peranan profesi ini mudah berubah karena ada perbedaan tempat dan waktu. Kalau dulunya profesi perancang grafis ada dalam daerah kerja percetakan, maka sekarang ia sudah jauh dari percetakan. Masalah yang dihadapi adalah komunikasi, yang bisa diartikan secara luas. Karena luasnya peranan ini, maka sangat wajar kalau banyak yang belum mengerti betul tugas perancang grafis. Dan pada akhirnya, citra yang tetap kuat pada perancang grafis di Indonesia adalah di sekitar ilustrasi dan iklan. Pada kesempatan ini baiklah kita membahas masalah profesi ini di Indonesia.

 

LATAR BELAKANG

Seperti telah kita ketahui, profesi perancang grafis seperti yang kita kenal dewasa ini, adalah profesi yang berkembang pesat sejak masuknya industri periklanan modern di Indonesia segera setelah pemerintah membuka kesempatan bagi masuknya modal asing di awal tahun 70-an. Industri periklanan yang besar umumnya adalah bagian dari suatu mata rantai internasional, sehingga pada waktu itu banyak art director atau creative director asing bekerja di Indonesia. Banyak perancang grafis Indonesia yang memulai kariernya di perusahann-perusahaan ini, setelah melalui studi formal di lembaga pendidikan seni rupa seperti ASRI dan ITB. Pada perusahaan periklanan, pekerjaan perancang grafis mempunyai kendala khusus yaitu ‘pemasaran’. Maka pada tempat seperti ini, perancang yang bekerja biasanya punya tugas menciptakan desain yang ‘menjual’ menurut visi para pemasar. Daerah lain adalah penerbitan jurnalistik dan penerbitan buku, yang juga mengalami boom di tahun 70-an. Dalam hal ini, kita juga melihat kemajuan mencolok dalam tata muka buku, majalah dan surat kabar, bila dibandingkan dengan pada tahun 60-an. Di samping itu, juga terasa suatu kebutuhan komunikasi grafis yang meningkat pada bidang kemasan, hubungan masyarakat, pameran internasional dan sebagainya. Fenomena terakhir yang menarik, adalah munculnya studio-studio desain grafis independen pada akhir tahun 70-an, yang memisahkan diri dari perusahaan periklanan atau penerbitan dan berorientasi pada kebutuhan komunikasi grafis berbagai badan dan lembaga pemerintah maupun swasta. Dengan latar belakang keadaan seperti diuraikan di atas kita dapat melihat masalah-masalah yang dihadapi dalam profesi perancang grafis.

 

ANTARA PENCIPTA DAN TEKNISI

Perancang grafis, atau desainer grafis, terbiasa bekerja dalam suatu kelompok kerja yang multi disiplin. Ia diharuskan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, mengikuti cara melihat para ahli komunikasi dan pemasaran. Sedikit banyak terjadi berbagai kendala yang membatasi kebebasan imajinasinya, karena ia sudah tidak bicara untuk dirinya, tetapi untuk memecahkan suatu masalah komunal. Maka sering terjadi suatu dilema yang menjadi masalah abadi.

Sebagai seorang yang punya latar belakang kesan rupaan, maka seorang perancang masih sering didorong oleh keinginan ‘mencipta’ suatu karya. Semangat ini tidak selalu mendapat tempat dalam kenyataan, di mana sering ia harus berperan sebagai teknisi yang melakukan pekerjaan ‘reka-jasa’ visual menuju terciptanya suatu komunikasi yang ditargetkan, dalam hal ini dibutuhkan suatu keseimbangan sikap. Suatu semangat inovasi dan kebebasan imajinasi tetap penting dan perlu mendapat tempat dalam rangkaian proses penciptaan pesan komunikasi grafis. Di lain pihak, kebutuhan komunikasi itu sendiri sering tidak memberi tempat hagi keinginan mencipta seperti itu. Kerap kita lihat hasil rancangan yang sangat standard, komersial, dan tanpa imajinasi. Banyak rancangan grafis yang diciptakon untuk suatu pemasaran komersial yang tidak punya selera baik dan sekedar memenuhi permintaan pasar saja.

Masalah utama bagi perancang, adalah bawa bila ia sudah dikuasai oleh mekanisme ini, akan terjadi suatu erosi dalam daya cipta dan seleranya, yang akan cenderung terus menurun.

 

MASALAH EKONOMI

Ternyata daya cipta dan kreativitas ada hubungannya dengan masalah rupiah. Ini bukan suatu ‘excuse’, namun kenyataan sehari-hari yang terjadi di sekitar kita, walaupun tidak berarti bahwa suatu bayaran tinggi menjamin rnutu desain yang prima. Masalah ekonomi selalu menjadi hal penting dalam setiap profesi. Bagi seorang desainer ‘free lance’ atau suatu biro desain masalah ini punya hubungan langsung dengan kegiatan profesionalnya. Berapa besar biaya desain untuk suatu pekerjaan tertentu adalah pertanyaan yang sulit dijawab dengan tepat pada profesi perancang grafis. Seorang dokter atau arsitek lebih mudah menetapkan taripnya karena mereka telah punya standar yang walaupun bervariasi tetapi masih tetap ada dalam batas tertentu. Dalam dunia perancang grafis di Indonesia hal ini sangat tidak seragam dan bergantung pada situasi atau kasus tertentu yang berbeda pada setiap kesempatan.

Bagi desainer yang bekerja pada suatu perusahaan, persoalannya juga sama. Besarnya penghasilan sangat beragam dan bergantung pada situasi tempat dia bekerja. ‘Art Director’ di sebuah biro periklanan terkemuka yang punya ruang lingkup internasional punya penghasilan yang jauh berbeda dengan seorang perancang yang bekerja pada biro iklan lokal di daerah. Tentunya ada tuntutan kerja dan tanggung jawab yang juga berbeda, namun ini memperlihatkan bahwa ada kesukaran untuk membuat suatu standar imbalan jasa yang merata. Bila desainer grafis kita bekerja pada instansi pemerintah, maka yang berlaku adalah peraturan gaji pegawai negeri yang mengikuti suatu pola jenjang tertentu.

 

PERATURAN PEMERINTAH

Dewasa ini di dalam peraturan pemerintah, peraturan pembayaran jasa yang diizinkan bagi konsultan telah dituangkan dalam suatu petunjuk oleh BAPPENAS, di mana diuraikan keahlian dan golongan serta persyaratan pengalaman kerja dan pendidikan setiap golongan. Tabel BAPPENAS ini dipakai oleh berbagai pihak yang dapat berperan sebagai konsultan dalam berbagai bidang keahlian. Tabel BAPPENAS ini memang merupakan suatu pegangan yang berguna terutama dalam masalah ‘menghitung’ proyek pemerintah, namun masih ada ketimpangan-ketimpangan dalam jumlah yang dasarnya adalah karena tabel ini diciptakan terutama untak pekerjaan konsultasi dalam bidang konstroksi. Dalam dunia komunikasi grafis, tidak sepenuhnya aturan ini bisa dipakai.

Peraturan lain yang tidak mendukung adalah kebutuhan mempunyai Daftar Rekanan Mampu bagi perusahaan yang bekerja untuk pemerintah dimana tidak bisa ditemukan tempat yang tepat bagi perancang grafis. Di dalam peraturan itu ada 3 golongan usaha, yaitu jasa, konsultan, dan fabrikan dan pekerjaan desain grafis paling dekat dengan jasa iklan dan perfilman. Penggolongan ini tidak sesuai dengan alam kerja desainer dan kiranya perlu ditata kembali.

Dalam hal ini, memang perancang grafis tidak berdiri sendiri. Ikatan profesi lain seperti IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), HDII (Himpunan Desainer Interior Indonesia) juga mengalami masalah yang sama. Kebijakan yang tepat dalam bidang desain akan merangsang industri jasa konsultali desainer secara tepat. Dewasa ini banyak terjadi kasus di mana terjadi penghargaan yang berlebihan pada konsultan asing dalam transaksi-transaksi desain oleh badan pemerintah maupun BUMN. Hal ini juga perlu mendapat perhatian.

Penanganan masalah desain grafis memang menjadi masalah karena departemen yang membina tidak terlalu jelas. Profesi desainer grafis ada di sekitar wawasan Departemen Perdagangan, Penerangan, Depdikbud, dan mungkin BAPPENAS.

 

PENDIDIKAN DESAIN

Perancang grafis yang bekerja di Indonesia mempunyai latar belakang pendidikan yang sangat beragam. Selain pendidikan tinggi pemerintah dan swasta, banyak desainer yang tidak dari jalur desain dan banyak lagi yang mengandalkan pengalaman kerja. Memang, di lapangan terlihat bahwa pendidikan yang tinggi bukan merupakan jaminan mutu desainer. Sebaliknya, banyak desainer yang datang dari pendidikan lain yang bisa berhasil.

Masalahnya, adalah bila diperlukan suatu standar profesi yang baku seperti yang ada pada dokter atau insinyur, maka latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja merupakan suatu tolok ukur yang harus ditata jelas.

Di beberapa negara standar profesi terjadi melalui suatu hukum ekonomi yaitu desainer atau illustrator yang sedang laris boleh menentukan standar. Perangkat tata aturan hubungan kerja yang ada hanya memformalkan hukum ini dan bukan sebaliknya.

Masalah lain dari pendidikan desain tentunya ada kaitannya dengan kebijakan pendidikan nasional kita yang kiranya telah dibahas dalam kesempatan lain.

 

PROFESIONALISME

Profesionalisme adalah istilah hebat yang sering dituntut dari para perancang grafis. Artinya kira-kira adalah suatu sikap kerja yang bertanggung jawab, efisien, rasional, efektif, jelas prosedur dan tata aturan kerjanya dan melalui suatu proses yang terencana dan matang. Arti yang lain sering dikaitkan dengan bisnis yang menjual layanan keahlian dengan mutu tinggi dan sering dengan bayaran tinggi. Mungkin masih banyak arti lain lagi, namun sebagai catatan semua ini tidak mudah dicapai karena beberapa hal antara lain:

– Suatu profesionalisme hanya bisa terjadi pada suatu iklim kerja umum yang juga profesional. Profesionalisme hanya berkembang di tempat yang siap dan punya standar kerja yang tinggi.

– Profesionalisme juga perlu sarana-lunak, yaitu manajemen atau kiat yang punya standar tinggi. Dengan kata lain, mulai ada suatu perbedaan antara mempunyai keahlian dan menjual atau mengelola keahlian. Ini adalah masalah umum desainer dan seniman di Indonesia. Di satu pihak, suatu pengelolaan yang berlebihan akan berorientasi pada ‘usaha’ akan cenderung mengurangi ‘mutu desain’ atau ‘seni’nya. Sebaliknya suatu keahlian seni atau desain yang tidak dikelola akan cenderung tidak terurus dan tanpa orientasi.

 

PENUTUP

Ini hanya beberapa masalah umum dan khusus yang ada dalam dunia perancang grafis di Indonesia. Masalah ini banyak dan saling terkait, dan tidak bisa diatasi oleh hanya satu pihak.

IPGI, Ikatan Perancang Grafis Indonesia yang didirikan tahun 1980, lahir pada waktu profesi ini juga masih belum memasyarakat. Karena itu pada waktu itu tekanan programnya adalah ‘memasyarakatkan perlunya apresiasi rancangan grafis yang baik’. Kini, profesi ini telah lebih dikenal, walaupun oleh kalangan terbatas dan masalah profesi perancang grafis telah berkembang ke daerah-daerah lain seperti yang telah diuraikan.

Setiap masalah di atas perlu dikaji dan dibahas oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tidak bisa diatasi oleh IPGI sendiri. Dewasa ini, masalah yang dihadapi IPGI cukup banyak dan ada keterbatasan kemampuan pengelolaan. Di samping masalah mutu desain kita yang perlu terus ditingkatkan kita menghadapi masalah profesi yang punya segi banyak. Mudah-mudahan di masa datang IPGI dapat menjadi organisasi yang efektif di dalam menghadapi berbagai permasalahan desain dan penghargaan pada desain serta desainer grafis di Indonesia. Cita-cita para pendiri dan anggota senior IPGI sama dengan aspirasi kita semua, yaitu bahwa pada suatu saat kita bisa mengangkat wajah desain Indonesia menjadi salah satu kekuatan yang perlu disimak di dunia internasional. Saya kira jalannya masih agak jauh.

Terima kasih.

 


Sumber: Buku ”Simposium Disain Grafis” Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia- Yogyakarta, dalam rangka Purna Bakti drs. R. Soetopo sebagai tenaga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, yang diselenggarakan pada tanggal 4 April 1989.

Quoted

“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”

Slamet A. Sjukur