Pameran Grafis ‘80: Karcis Parkir, Uang Kertas sampai Karung Semen

Apa itu seni? – tanya seorang mahasiswa

Dalam sejarah seni rupa, barangkali baru kali ini yang namanya karcis sebuah pertunjukan, atau karcis masuk sebuah taman hiburan, atau sebuah karcis kendaraan, dipamerkan. Aneh memang. Tetapi memikat dan agaknya menyiratkan suatu manfaat bagi penikmatnya. Kenapa musti dipamerkan? Itulah. Ada kisahnya sendiri. Dan rupanya tak hanya karcis-karcis saja yang ada di situ, di dalam Pameran Grafis ’80 yang berlangsung tanggal 24 sampai 30 September tersebut. Banyak yang lain-lain, yang unik dan mengundang satu kesimpulan: ternyata barang-barang seperti itu sah juga untuk digelarkan dan dijadikan suatu pertunjukan. Misalnya: kotak obat atau dos-dos tempat makanan. Bukan kotak atau dosnya yang musti kita simak, tetapi keindahan dari kotak atau dos itu. Ada juga uang-uang atau perangko-perangko. Eh, maksudnya desain uang dan perangko. Rancangan bentuk benda-benda tersebut sebelum muncul sebagai barang yang memiliki nilai standar. Dari situ kita lantas tahu, oo, ternyata begitu tho “mentahannya” uang itu, atau sebesar itu tho gambar asli sebuah perangko sebelum dicetak kecil dan digebuki gagang stempel pak pos. Di sana juga terpajang kwitansi, sampul kaset, dan sebagainya. Pokoknya semua benda yang dicetak dan disebarkan dalam jumlah banyak.

Memang sebuah pameran yang unik.

“Apakah ini juga termasuk seni mas?” tanya seorang mahasiswa. Masih dan memang termasuk seni. Pertanyaan yang nampaknya “naif” tersebut muncul justru dari suatu kewajaran. Benda-benda yang dipamerkan itu adalah benda-benda yang sudah amat dekat dengan kehidupan kita. Sementara pada umumnya yang dianggap seni (karena kesalahan dialektis) selalu yang berada agak terpisah dari kehidupan kita. Ada jarak. Sesuatu itu bisa dianggap tinggi, eksotis, atau bahkan yang eksentrik. Yang amat dekat, dan melibat dengan kita, biasanya lantas dilupakan nilai-nilai seninya.

Seseorang pasti tak sadar bahwa setiap hari ia sebenarnya mengantongi benda seni di sakunya. Benda itu adalah uang. Uang itu seni, karena sebelum ia keluar dari bank, ia dirancang dahulu oleh seorang seniman. Di Jakarta, setiap hari disebarkan jutaan barang seni. Barang itu adalah; karcis bis. Siapa sadar bahwa benda itu seni?

Pameran yang menampilkan 47 perancang grafis itu seolah menyadarkan kita bahwa: seni tak hanya yang bisa kita tonton dalam pertunjukan formal saja. Tapi juga pada yang melekat dalam kehidupan sehari-hari kita.

DUA MISI
Ada dua misi yang ingin disampaikan dalam pameran ini, demikian keterangan panitia pelaksana dan koordinator Bidang Pameran, Harsono. Pertama, memperkenalkan Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) sebagai sebuah wadah orgarnisasi para perancang grafis di Indonesia yang baru diresmikan pada hari pembukaan pameran Grafis ’80 24 September 1980. Kedua, memperkenalkan bidang perancangan grafis secara luas, baik karya konsumtif komersil seperti iklan, ataupun yang non-komersil seperti uang kertas, perangko, sampul buku, majalah dan kaset sampai pada poster instansi pemerintah maupun swasta dan usahawan.

Drs. Wagiono, Ketua Ikatan, yang juga dikenal sebagai salah seorang pengajar di LPKJ maupun Trisakti, mengatakan bahwa IPGI mempunyai misi jangka panjang untuk memperjelas kedudukan seorang perancang grafis di hadapan masyarakat yang menjadi konsumennya. Mengapa harus demikian? Bukankah perancang grafis sudah diketahui banyak orang – mereka bekerja di penerbit, percetakan, studio grafis, perusahaan periklanan dan ada yang bekerja bebas?

Seni grafis tidak sama dengan, rancangan grafis, dan rancangan grafis juga bukan bidang grafika. Itu jawabnya. Seorang seniman seni grafis tidak perlu menunggu pesanan, seorang ahli grafIka hanya memikirkan soal teknis percetakan dan permesinan. Tetapi dari seorang perancang grafis dituntut lebih banyak. Dia berdiri di antara dua tuntutan lingkungannya. Di satu pihak adalah pemesan yang kadangkala mempunyai selera yang sulit dimengerti dan diterima untuk dilemparkan ke pemasaran, sementara di lain pihak si perancang dituntut memberikan input yang sehat dan segar bagi konsumen dan masyarakat.

Jawaban ini tampak begitu njelimet, barangkali. Tetapi persoalannya sudah jelas. Seorang perancang grafis adalah seorang perencana dan pembuat gambaran (visualizer) permintaan sebuah pihak untuk diantarkan dan disampaikan kepada pihak lain, dan sebelum mencapai tujuan, karyanya masih harus melalui meja seorang ahli grafika sebagai pihak pembuat realisasi tekniknya.

Gebrakan IPGl ini rupanya tidak sia-sia. Sejak awal tahun ini mereka berusaha menyusun sebuah program yang harus segera bisa direalisir. Tanggal 25 April 1980 mereka mengukuhkan susunan pengurus sementara. Target pertama adalah sebuah pameran rancangan grafis yang diusahakan selengkap mungkin dan mempunyai rnisi informatif. Sasaran publiknya adalah mahasiswa, pengusaha penerbitan, percetakan dan periklanan, serta masyarakat luas terbatas.

Tanggal 24 September 1980, dengan mengambil tempat di Lingkar Mitra Budaya Jakarta, mereka meresmikan ikatan ini dan membuka pameran Grafis ’80.

Yang dipamerkan cukup lengkap seperti yang telah disebutkan di atas, dan banyak yang baru disadari oleh pengunjung bahwa karya itu termasuk bidang perancangan grafis. Seperti misalnya logo atau lambang, typography, kartu ucapan, iklan, poster, perlengkapan kantor dalam bentuk kop surat, kartu nama, kwitansi, buku faktur, tanda parkir Istana dalam Perayaan 17 Agustus, tanda dada, buku dan sampulnya, ilustrasi untuk itu, brosur, kartun dan karikatur untuk tata letak penerbitan, animasi, perencana sampul kaset, penyusunan surat kabar dan majalah dan lain-lain.

Praktis tiga buah ruangan dipenuhi dengan panil-panil yang memperlihatkan karya-karya yang sehari-hari sering kita pegang dan jamah.

 

HASIL RISET

Ibu Pia Alisjahbana pimpinan redaksi majalah kesayangan kalian ini berkata: ”Sebuah tim kerjasama yang ketat dan kompak merupakan salah satu keunggulan hasil kerja para perancang grafis untuk mencapai hasil maksimal”. Agaknya pesan ini bukan cuma sekedar pesan atau komentar biasa – pengalaman banyak memberikan hasil nyata untuk suatu hasil yang baik.

Coba perhatikan GADIS yang kalian pegang sekarang ini, pandang baik-baik dari halaman termuka (sampul) sampai pada halaman terakhir. Ini adalah salah sebuah karya seorang perancang grafis. Bagaimana photo sampul itu direncanakan, merupakan hasil kerjasama tim artistik dan photographernya. Bagaimana huruf judul rubrik dibuat, itu adalah kerja para artis ruang perancangan grafis. Untuk apa si Jon membuat kartun menghiasi judul rubrik? Itu kebutuhan rancangan grafis. Mengapa nama GADIS sendiri di kulit majalah begitu sederhana tetapi anggun? Itu (mungkin) hasil riset para perancang grafis GADIS – bahwa seorang gadis Indonesia mempunyai ‘wajah’ sederhana tetapi anggun.

Apa untungnya mengetahui itu semua bagi kita? Rancangan grafis menyampaikan pesan seseorang kepada kita, bagaimana sifatnya, apa maunya dan apa isi pesan itu sendiri. Sebuah kartu nama yang mungil berwarna putih dengan huruf biru berukuran mungil pula, tampaknya memberikan kesan bagi kita bahwa si pemilik kartu nama itu mempunyai sifat yang sederhana dan penuh kedamaian – ini kalau memang dirancang dengan teliti dan baik. Tetapi sebuah poster PLN yang menampilkan ilustrasi kartun karya Pramono (Sinar Harapan) tampaknya memberikan kita kesan bagaimana sebenarnya kita harus menyadarkan diri kita sendiri untuk membayar kwintansi listrik dengan baik. Atau goresan tangan Hanny Kardinata untuk dua surat kabar pagelaran Guruh Sukarno Putra dan Swara Maharddhika-nya, cukup mewakili gaya pagelaran itu sendiri. Bagaimana keanggunan dan ‘wajah’ Indonesia ditampilkan di sana melalui goresan tangan yang halus.

Paling tidak, pameran GRAFIS ’80 ini sudah mencoba dan berusaha untuk memperlihatkan kepada kita bahwa bidang perancangan grafis tidak mempunyai dunia yang sempit, bahkan sebaliknya luas sekali. Hampir semua kebutuhan kita sehari-hari selalu ada rancangan grafisnya.

 

LOMBA

Dari Koordinator Bidang Pameran dan beberapa pihak IPGI didengar sebuah rencana untuk menyelenggarakan sebuah lomba rancangan grafis bagi mahasiswa atau pelajar di tahun 1981 mendatang. Thema dan kriterianya belum jelas. Bahkan direncanakan pula bahwa IPGI akan mengadakan beberapa workshop mengenai beberapa hal bidang perancangan grafis, serta penerbitan sebuah bulletin bagi para anggota dan simpatisan. Besar sekali kemungkinan media tersebut bisa dijadikan jembatan komunikasi dengan para mahasiswa dan pelajar yang berminat.

Grafis ’80 agaknya mencatat kejadian ini dengan suatu nafas lega. Satu langkah sudah dikerjakan dan di muka mereka masih menunggu banyak tugas demi kukuhnya profesi rancangan grafis dikehidupan ini, serta menempatkan profesi itu sejajar dengan profesi karya ilmiah lainnya.

Kita tunggu apa yang mereka perlihatkan tahun depan.

 


Sumber: Majalah Gadis, 30 Oktober-9 November 1980, halaman 60, 62-63.

Quoted

“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”

Slamet A. Sjukur