Sama sekali jauh dari keliru jika beberapa waktu yang lalu menteri P dan K Daoed Joesoef berkata bahwa, segi perwajahan dunia buku kita masih lemah. Jika boleh diteruskan, sebenarnya kelemahan semacam bukan hanya ada dalam dunia buku, tapi pada setiap produk yang menuntut suatu seni display-grafis. Produksi kaset, iklan, pembuatan folder umpamanya.
Bila pada dunia buku banyak dimaklumkan mengingat di sana yang musti digarap sangat kompleks, – untuk mengejar ‘wajah bagus’ seseorang harus menekuni banyak segi: pembuatan cover, layout, ilustrasi, perhitungan tipografi, halaman dan sebagainya, – maka pada produk lain sebenarnya lebih sederhana dari itu. Tapi tokh masih terasa lemah juga.
Contoh yang paling mudah disimak adalah sampul-sampul kaset, yang umumnya cenderung norak, gampangan dan jauh dari “sophisticated”. Pengandalan bintang penyanyi dengan segala gayanya lewat penyajian yang tanpa eksploitasi tipografi dan fotografi, tak jarang menyeret kesan mentah di hadapan orang banyak. Kelemahan produk satu ini nampaknya bukan dibawa oleh ketidak mampuan perancang-perancang grafis kita, tetapi oleh sistem kerja produksi itu sendiri. Umumnya perusahaan kaset kita tak menggunakan tangan seniman perancang grafis untuk mengolah segi itu.
Banyak iklan dan ratusan folder yang justru memberikan kesempatan pada orang untuk segera melengos dan tak memberikan perhatian khusus, karena ‘wajah’ grafis itu tak punya kekuatan apa-apa. Alhasil, calon konsumen hanya melintas saja. Tidak mampir.
Hal di atas sudah lama menempel dalam dunia bisnis kita. Satu hal yang kayaknya setengah disadari atau bahkan samasekali tak disadari. Karena itulah di Jakarta lantas muncul ide yang bagus, membentuk sebuah wadah untuk para perancang grafis. IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) yang dibentuk beberapa waktu yang lalu di Jakarta, selain bermaksud membenahi segala aspek yang mengganjal dunia perwajahan produk kita, dan menggali potensi perancang grafis yang ada, juga untuk menaikkan harkat dari perancang grafis itu sendiri. Sebab biar bagaimanapun, perancang grafis samasekali bukan figur yang tidak penting dalam ‘kancah dagang’ kita sekarang ini. Memasukkan seni dalam dunia bisnis, sungguhlah sesuatu yang elok.
Jadi Mentah
Berkaitan dengan kesadaran itulah lantas Didit Chris Purnomo (30 tahun), Gauri Nasution (30) dan Hanny Kardinata (27), tiga perancang grafis, muncul dalam sebuah pameran. Berlangsung di Erasmus Huis, tanggal 16-24 Juni, pameran tersebut memang merupakan pameran rancangan grafis yang pertama di Indonesia. Tahun lalu, bulan November di Bandung pernah ada pameran design grafis non komersial. Tapi bukan oleh designer-designer kita, sebab mereka datang dari Belanda.
Ketiga pemamer di atas menyadari bahwa, banyak produk-produk yang sebetulnya cukup potensial dilempar ke pasaran, akhirnya jadi mentah atau ‘setengah matang’ lantaran kesalahan dan kegagalan yang tak disadari pembuat atau produsennya. Selanjutnya mereka menunjuk bahwa, “Kesalahan-kesalahan yang paling sering terjadi adalah kesalahan pada pembungkusan (packaging) dan rancangan produk (product design), pemilihan lambang dan logotype yang tak sesuai dengan karakteristik dan target market produk yang bersangkutan. Juga pemilihan warna yang tak tepat, periklanan dan promosi penjualan yang semrawut, dan sebagainya.” Tidaklah meleset. Dan “contoh perbaikan dari kesalahan” itulah yang mereka pamerkan kali ini. Dan lumayan, jika tak boleh dikatakan cukup bagus.
Bau Tembakau
Hanny Kardinata nampak kuat dengan ilustrasi yang menggunakan tehnik dry brush. Sebuah tehnik yang nampaknya jarang dilakukan orang. Pengerjaannya halus dan design bentuknya perfek. Hanny, lelaki tulen dari Surabaya, banyak menyandarkan rancangan grafisnya pada kekuatan itu.
Beberapa karyanya yang dipamerkan, diantaranya design orisinal poster pagelaran “Guruh Sukarnoputra” dan sampul buku “Guidebook to Restaurants in Jakarta”, menampilkan kesadaran bagaimana ia menyandingkan design gambarnya dengan bentuk-bentuk huruf, untuk mencapai totalitas karya secara baik. Meski tokh harus disadari bahwa pusat dari kekuatan rancang grafis Hanny tetap pada form atau gaya ilustrasi yang dibentuk.
Hampir semua ilustrasi Hanny disikat dengan teknik begitu. Misalnya ilustrasi yang diperuntukkan buat kepala rubrik “Fokus”, “Start”, “Komunikasi” dan “Finish” yang selama ini dipakai untuk majalah VISI. Barangkali memang tidak terlampau orisinal karena type semacam juga dikerjakan oleh designer-designer majalah hiburan lelaki semacam Playboy atau Penthouse atau OUI. Tapi itu tak menjadi soal. Sebab pada design produk yang penting adalah sasarannya, dayatariknya terhadap orang banyak dan sugesti pada penikmatnya. Dan yang tak boleh dilupakan dalam jejeran karya Hanny adalah sebuah design iklan “Djarum Kudus”. Warna relief candi (dan di sisi lain terpahat gambar cap rokok Djarum) benar-benar merupakan bau tembakau. Sebuah iklan yang sukses ditinjau dari aspek perwajahan.
Seperti juga Hanny, Didit Chris Purnomo adalah bekas mahasiswa STSRI “Asri”. Beberapa logotype dan rancangan sampul majalah serta buku dipajang. Bahkan tergelar juga perjalanan proses penautan separasi warna sebuah sampul majalah. Kesungguhannya memang nampak, meski yang dihasilkan tidaklah istimewa benar. Designer ini lahir di Solo.
Gauri Nasution (kakak Keenan Nasution) juga banyak memamerkan rancangan sampul majalah. Majalah SO (Sport Otak), Maskulin dan VISI. Menarik, tentu saja. Tetapi penggelaran proses pembuatan tipografi kaset Chrisye, sampai pada bentuk akhir sampul kaset itu, “Percik Pesona”, lebih merangsang. Terasa sangat teliti, perfek dan penyajiannya pun informatif. Gauri adalah pencipta logotype majalah VISI dan Maskulin (almarhum) serta pembuat beberapa sampul kaset pop. Khusus untuk yang terakhir ini, perlu dicatat: Gauri termasuk satu di antara sangat sedikit pencipta sampul kaset yang baik sementara ini.
Ia lahir di Jakarta dan pernah belajar di Art Instruction School, Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat pada bagian commercial art.
Nietzche
Beri aku sehelai kertas, pena dan tinta, dan aku akan merubah dunia, kata Nietzche. Kalimat itu memang dicanangkan untuk menggaet kepercayaan orang akan kepujanggaan Nietzche waktu itu. Tapi kali ini kalimat bertuah tersebut dipakai oleh 3 perancang grafis di atas. Tidak melenceng, sebab grafis juga hanya membutuhkan sehelai kertas, pena dan tinta pada awalnya. Meski pada tahap berikutnya ia tokh tergantung pada mekanisme kerja mesin yang kadang di luar jangkauan perkiraan designer. Merubah dunia? Ya. Dunia perwajahan, yang sampai ujung waktu ini kurang terperhatikan.
Sumber: Harian “Kompas”, Rabu, 25 Juni 1980, halaman VI.
“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”