Perancang Grafis, Mahluk Kreatif di Balik Layar

Di sebuah kantor penerbitan, di salah satu sudut ruangannya nampak teronggok kertas-kertas berwarna buram. Sekali waktu kertas bertumpuk-tumpuk itu terinjak kaki orang yang lalu lalang di situ. Jika sore hari, ketika kantor itu tutup, onggokan kertas tersebut diganggu vacuum cleaner. Bahkan kadang ikut tersedot-sedot dan lantas dijumput si office boy dan diserahkan ke keranjang sampah.

“Padahal kertas-kertas itu sangat penting!,” putus seseorang ketika setumpuk kertas buram itu jadi pembicaraan. Memang penting, karena ternyata kertas-kertas itu adalah buletin sebuah kantor berita penting di Indonesia. Isinya, tentu, segala macam kabar aktual dan berbagai artikel yang siap disebar luaskan ke segala penjuru. Dari pasal ke pasal, perkaranya akhirnya ketemu. Di dalam jiwa bangsa Indonesia yang ekspresif ini tersimpan niat menikmati segala sesuatu yang “bagus di mata.” Yang indah-indah, yang menarik disimak. Sedang buletin itu, bagaimanapun penting isinya, sungguh nampak berwajah buruk. Dicetak di atas kertas koran, dengan stensil yang jauh dari necis, serta lay out yang kedodoran. Berkas-berkas tersebut memang nampak bagai sesuatu yang tak berarti.

 

Menjamah kehidupan

Kita, ternyata dalam kondisi dan situasi dan kepentingan apa pun membutuhkan sesuatu yang molek. Dan dalam menciptakan kemolekan itu, pada zaman mesin terus bergiling seperti sekarang, peranan massalnya agaknya dipegang oleh ilmu yang mengajarkan soal-soal seni grafis. Yang mengajarkan bagaimana keindahan-keindahan bisa dibuat dan kemudian bisa disebarkan hasilnya ke segala penjuru. Dengan usaha itu, semua produk di dunia ini akan kelihatan berlebih manfaatnya. Contoh kasus buletin di atas barangkali hanya secuil dari banyak pasal, bahwa betapapun pentingnya suatu hal, bila tak disertai keindahan akan miring eksistensinya. Orang akan gampang melecehkannya.

Keindahan grafis atau seni grafis, tentu saja tak terpaku pada soal mengestetiskan buletin atau majalah atau koran belaka. Kini seni grafis menjamah hampir setiap segi dalam kehidupan kita. Dari sebuah dinding botol kecap nomer 2, sampai gambar-gambar rambu lalulintas. Dari selembar kertas surat berkop sampai pada tubuh sebuah truk perusahaan yang angker merajai jalanan. Lihatlah huruf indah atau gambar-gambar indah di benda-benda itul

Namun kenyataan memang menyuguhkan lain. Selama ini seni grafis senantiasa cuma dikaitkan dengan kesempurnaan media cetak. Popularitas manifestasi seni grafis yang macet tak sempat mengangkat peranannya ke mana-mana. Sungguhpun peranan perancang grafis di sebuah media cetak memang sukar begitu saja dilupakan. Kerja perancang grafis di media cetak sangatlah komplek. Untuk sebuah buku, majalah atau brosur, peranan rancangan grafis begitu besar dalam menuntun pembaca beroleh pengertian. Rancangan grafis yang dibuat (ini hal yang sering tak disadari orang) selalu memberi kesan segar dan enak ditatap. Selain juga untuk memperjelas batas-batas masalah dan memperlancar minat baca. Semua itu lewat bahasa visual. Penataan foto, penekanan pokok artikel dengan bentuk-bentuk huruf tertentu, juga merupakan kerja yang rumit dan berperanan. Dan itu merupakan manifestasi perancang grafis yang menyolok.

Namun, sekali lagi, seni grafis tak cuma itu. Pada zaman komunikasi semakin dibutuhkan, seni grafis semakin luas berkembang atau dikembangkan. Perjalanan peradaban telah melahirkan apa yang disebut environmental graphic, graphic sculpture, archi graphic sampai super graphic. Nama-nama atau sebutan yang jarang kita dengar, tetapi wujudnya sudah seribu atau sepuluh ribu atau bahkan sejuta kali kita tatap. Dalam kehidupan sehari-hari, archi graphic atau environrnental graphic terutama, seharusnya telah begitu kita fahami. Bangunan-bangunan modern pencakar langit di negeri kita ini selalu memajang rancangan grafis untuk namanya. Untuk tanda, bahwa tempat tersebut adalah sebuah bank, sebuah tempat pertemuan para eksekutif, super market, gedung bioskop, gedung MPR dan DPR dan sebagainya. Kualitas estetika rancangan grafis
yang nyantel di sana setidaknya ikut menunjukkan tingkat bonafiditas gedung atau “isi gedung”.

Di sisi itu, gambar pada kotak obat-obatan, bungkus rokok, label sebuah celana-dalam juga terbilang sebagai manifestasi seni grafis. Bahkan sampai pada benda-benda yang terkecil pun, seperti karet penghapus, bungkus garam dapur, kotak sabun, sebatang pinsil atau cap dan huruf pada sebuah kapsul obat, yang namanya rancangan grafis juga nyangkut. Sebab, dengan rancangan itulah benda-benda milik massa itu mudah dikenal identitasnya. Lebih gampang diterima dengan gembira. Dengan jiwa indah.

Tetapi sebegitu jauh, orang tak akan tahu siapakah perancang cap-cap atau logo atau papan nama mentereng atau gambar-gambar sugestif di kotak obat misalnya. Seperti juga ketidaktahuan sebagian besar bangsa Indonesia atas siapa yang menciptakan gambar pembuka Siaran Dunia Dalam Berita TV, yang setiap
malam ditontonnya.

Ketika “pagar bambu” RRC dibuka, dan produk Barat boleh masuk di negeri yang puluhan tahun tertutup itu, yang nampak pertama adalah logo Coca Cola. Berdiri tegak di kota-kota dan sempat membuat tercengang jutaan rakyat Tiongkok. Logo itu lantas dikenal dan bahkan begitu dihafal. Produknya dinikmati. Tetapi, siapakah di antara ratusan juta manusia itu yang mengenal nama si pencipta logonya?

 

IPGI

Gemuruhnya teknologi industri selama ini memang selalu berusaha diimbangi dengan upaya manusia memperjinaknya. Perancang-perancang grafis, dengan segala ilmu dan teknologi yang terhidang di hadapannya, agaknya sudah berusaha maksimal. Mereka telah menghaluskan agresivitas kebudayaan itu dengan ciptaannya yang berjuta-juta jumlahnya. Mereka telah mencipta setelah melewati proses panjang berliku-liku. Setelah mengasah kreativitasnya, setelah mempelajari massanya, setelah menaklukkan selera dirinya sendiri demi bisa dinikmati secara menyeluruh.

Pada waktu dekat ini, kelompok perancang grafis yang tergabung dalam IPGI {Ikatan Perancang Grafis Indonesia) akan mencoba untuk kesekian kalinya hadir ke hadapan khalayak. Hadir sebagai seniman, dan bukan hadir sekedar sebagai “sekrup” dari mekanisme teknologi industri yang gemuruh itu. Mereka akan memperlihatkan dirinya, dan karya-karyanya. Agar semua orang tahu bahwa ternyata bentuk-bentuk visual yang selama ini berebut tempat di mata kita adalah ciptaan yang melewati lorong hati nurani. Dicipta oleh rasa dan pikiran kreatif. Dan tidak mudah.

Apakah eksistensi yang akan digebrak untuk tampil itu akan segera menempati posisi khas di tengah pusaran zaman sekarang, walahualam. Sebab untuk mencapai target memang butuh perangkat yang lengkap. Tak sekedar berpameran. Mereka bakal butuh kitab-kitab yang berisi karyanya, untuk dipublikasikan. Dan disimpan banyak orang. Mereka akan butuh pengantar sugestif, yang bisa mengajak orang untuk berpaling. Sebagai anak kebudayaan teknologi industri, seni grafis masih dihadapkan pada lorong amat panjang.

 


Agus Dermawan T. dan Gendut Riyanto adalah pengamat seni rupa dan humas IPGI.

Sumber: Katalog Pameran IPGI: Grafis ’83 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Ruang Pameran Utama TIM.

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan