Bahasan rupa sebagai pengantar Pameran Poster yang di gelar di Galeri Soemardja FSRD ITB mulai tanggal 25 April sampai 11 Mei 2006.
Poster-poster dalam pameran ini sudah banyak dibahas, baik melalui pengantar dari Pak Susanto (Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Susanto Pudjomartono) sang kolektor sendiri, juga oleh Goenawan Mohamad, Asikin, Ucok Siregar, Ahda Imran. Sebagai warga Uni Soviet masa itu, Ibu Christiana (D.C. Cristiana Victoria Marta, Dosen Sastra Rusia–Universitas Padjajaran) yang ahli sastra Rusia menceritakan pengalamannya mengenai latar sosial poster-poster ini. Cuma tinggal sedikit ruang buat mengomentari, yaitu dari sisi yg paling dangkal, kulit dan kasat mata saja, visual. Dari sisi visual diharapkan kita dapat memahami bagaimana perupaan dibangun dalam seni publik, poster.
Pada awal revolusi Bolshevik sekitar 1917 (Perang Dunia-1), perubahan pandangan hidup yg besar adalah hapusnya monarki yg monolit dan munculnya gagasan baru pemerintahan demokratis oleh rakyat Rusia. Sebetulnya itulah pula gagasan dasar kaum konstruktifis: memindahkan seni ke jalan (seni poster), dan secara tersirat menawarkan struktur visual yg lebih dinamis. Bidang gambar seakan di-konstruksi dengan bentuk yg lebih sederhana dan mekanik, dengan mempopulerkan huruf balok. Huruf serif dianggap peninggalan masa feodal. Pada masa pematangan revolusi Rusia, poster perjuangan gaya konstruktifis ini ditempel di tembok-tembok pinggir jalan. Tokoh konstruktifis masa itu antara lain: Vladimir Tatlin, Alexander Rodchenko, Eliezer Lissitzky. Gaya visual seperti itulah juga merambah Eropa awal abad ke-20, bentuk nyaris datar, bidang dinamis. Secara visual apa yang terlihat pada beberapa poster di pameran ini mirip gaya plakatstil dan art-deco. Bedanya hanya, di Eropa Barat gaya itu digunakan utk iklan komersil, di Rusia untuk politik.
Gaya konstruktifis tergeser dengan munculnya manifesto “realisme sosialis” gagasan Prolekult Stalin (bukan realisme naturalis Constable, ataupun realisme kritis Courbet). Terjadi beberapa perubahan gaya visual, meski kesederhanaan “lubok” Rusia masih tampak. Prolekult (lembaga kebudayaan Komunis) menentukan “pakem” yang ketat untuk seni propaganda, karena seni dianggap alat untuk menyebarkan dan menyatukan gagasan (komunis) bagi seluruh rakyat. Seni harus mudah dicerna, bersikap positif terhadap perjuangan komunis, menggugah semangat mencapai kemenangan kaum proletar.
Apa yg secara kasat mata nampak dalam poster realisme sosialis ini:
1. Permukaan tidak mengkilat merupakan karakteristik grafis negara sosialis, terutama dalam kepekatan warna hitam. Majalah dan poster sosialis menampilkan kesan dramatis dengan hitam yg dalam. Ini bukan kelemahan teknis karena tak bisa mencetak mengkilat. Pilihan demikian merupakan peraturan yang berlaku masa itu, bahwa permukaan mengkilat melelahkan mata dan tak baik untuk kesehatan. Ini pula mungkin kenapa kaca yg dipilih kolektor adalah kaca tak reflektif.
2. Komposisi poster yg tak rumit, lugas, baik dalam tata-letak (banyak sumbu tengah). Huruf pun dipilih sanserif yang kokoh (huruf sanserif juga dikembangkan di Eropa Barat jadi lebih luwes). Gaya Realisme Sosialis yg kelihatannya mendominasi ruang ini kekurangan dimensi yg paling dikenang, skala besar/hiperbolik (menurut Pak Susanto ada poster yang 5 meter X 50 meter). Ukuran demikian menenggelamkan orang jadi kecil di bawah bayangan sang ideologi. Pengaruhnya sampai sekarang masih nyata di negara sosialis Cina, Amerika Latin dan Amerika Selatan seni poster besar (baligo), tari massal dan permainan gambar raksasa di stadion. Permainan skala dilakukan juga di gereja Gothic, juga di upacara kenegaraan NAZI Hitler. Saat ini iklan komersial pun melihat gigantik visual sebagai potensi. Sayang ruang pameran ini tak bisa memancarkan kehebatan itu.
3. Sudut pandang dibuat frontal/menghadap pelihat, kadang tokoh di letakkan agak meninggi memberi kesan megah, seperti di atas panggung teater. Secara kasat-mata ditekankan olah gestural lewat romantisme geliat otot dan pose dramatik untuk menggerakkan emosi pelihat, bukan pikiran. Pada baligo Komunis tahun 1960an di Indonesia selalu digambarkan buruh, tani dan wanita dalam ukuran otot yg luar biasa besar, tapi kepalanya kecil.
4. Dalam memilih obyek dan kiasan, maka dipilih simbolisme amat umum dan mudah dicerna, tidak mengundang interpretasi terlalu rumit. Digunakan pula metafora beku yang sudah dikenal umum nyaris sebagai makna deskriptif. Bagi poster propaganda cara ini penting, karena tujuannya adalah “menyatukan gagasan” dengan menghindari permainan imajinasi yang mengaburkan tujuan komunikasi, serba lugas “to the point”.
Beberapa aspek di atas banyak terlihat dalam poster propaganda realisme sosialis di pameran ini. Tapi ada beberapa karya keluar dari “pakem”. Sayang tak semua dicantumi tahun kapan poster tersebut dibuat, karena ruangan ini menampilkan juga banyak “genre” poster yg tak sepenuhnya gaya realisme sosialis:
• Gaya Victorian yang marak akhir abad-19 nampak dalam beberapa poster, umumnya iklan. Rata-rata sumbu tengah, banyak warna, sentimental dan lugu, huruf meliuk-liuk. Poster-poster ini merupakan contoh dari masa akhir raja Nikolas.
• Beberapa poster menampakkan gaya konstruktifis yang terbuka, dinamis. Meski tak terlalu banyak, tapi cukup mewakili “genre” seni yang asli kelahiran kaum modernis Rusia masa itu.
• Kartun sebagai poster biasa digunakan dalam propaganda. Ini pula yg dilakukan kaum Lutherian abad-15 menggunakan kartun utk mengejek lawan. Dalam hal ini kartun terutama digunakan utk menggalang “semangat kesatuan”, melihat hitam-putih secara “kita hebat dan mereka laknat”. Dalam posisi demikian pula sebetulnya kartun Muhammad diterbitkan di Denmark (Yilland Posten).
• Beberapa poster tampak sangat cerdik menggunakan kiasan, kesannya tidak se”banal” realisme sosialis, lebih intelek. Permainan tubuh menggeliat tak nampak, menonjolkan permainan konotasi antar-ikon. Gaya ungkap demikian tak umum dalam propaganda otoriter, terlalu “mikir”. Kalau kita tahu kapan poster ini diproduksi, kita bisa menebak apa yg jadi latar konsep visualnya.
• Ada beberapa poster yg plesetan, lucu dan nakal. Tapi mungkin itu di luar konteks yang kita bahas, poster sebagai alat mempengaruhi orang. Poster demikian dijual sebagai cinderamata, benda koleksi bagi penggemar dan wisatawan.
• Hanya ada sedikit poster menunjukkan Rusia dalam era lebih liberal limabelas tahun belakangan ini. Beberapa poster menunjukkan para pembaharu Gorbachev dan Yeltsin, tapi masih dalam gaya visual seperti masa Stalin. Satu poster tentang 60 tahun menang perang atas Jerman (1945-2005) masih sangat mencirikan gaya romantik yang juga pernah diusung Hitler: heraldik militer, sumbu tengah, pose dramatik.
Kalender poster Presiden Putin (2004), masih menampilkan kesan Rusia yg gelap. Tetapi meletakkan wajah presiden di bagian bawah, dengan muka murung dan topi kelihatan terlalu besar, bentuk labil wajah segitiga terbalik, kelihatannya berbeda. Ada tersirat ungkapan negatif? Mungkin lebih banyak lagi perupaan demikian di Rusia masa kini yg tidak kita temui di pameran ini?
Kita berharap tahun depan Pak Susanto akan mengusung lagi poster Rusia masa kini. Yang menarik bagi kita: apakah perubahan besar yang terjadi atas “jasa” Gorbachev mengubah pula tampilan visual di negeri Beruang itu? Kalau ya berubah, apa yang masih tetap bertahan secara visual sebagai ciri budaya suatu negeri besar dengan tradisi yg kuat? Semoga pada suatu hari kita menemukannya pada pameran berikut….
Dari kumpulan tulisan Dr. Priyanto Sunarto (Head of Doctoral Programs Visual Arts and Design-Faculty of Art and Design “Institut Teknologi Bandung”). Ditulis tahun 2006.
Limitations and distractions are hidden blessings