Oleh: Sanento Yuliman
Kata ringkas, kecil atau redam. Tetapi kaya akan retorika. Menghaluskan kekasaran promosi dagang. Poster-poster budaya, sosial, dan niaga di Ancol.
SEKITAR 170 poster sosial, budaya, dan niaga, karya perancang grafis Jepang, dapat ditonton dalam Pameran Grafis Jepang-Indonesia, di Galeri Pasar Seni Ancol Jakarta, 9-15 Februari. Penyelenggaranya, Ikatan Perancang Grafis Indonesia, dengan kerja sama Japan Graphic Designers Association, dan Pusat Kebudayaan Jepang.
Karya dari tamu itu sekitar 35 poster dan sejumlah rancangan grafis buku, brosur, editorial majalah, kemasan, dan lain-lain. Poster Jepang tidak berteriak. Poster pertama-tama adalah gambar. Kata sedikit, atau kecil – tidak jarang terlalu kecil bagi kita yang terbiasa dengan kata besar dan huruf gajah. Atau, diredam: tak amat nyata.
Gambar, meski memenuhi bidang poster, umumnya tidak hiruk-pikuk. Kita terkesan oleh banyaknya gambar dengan latar lebar, samar-samar, atau kosong. Perhatian kita bulat terpusat pada sosok terpenting. Dan sekiranya boleh meminjam istilah dari retorika: poster Jepang banyak memakai “elipsis” – melenyapkan unsur kata atau gambar yang tak pokok bagi pemahaman.
Orang Jepang, yang mengenal dari dekat masyarakatnya, melihat sepotong kata Parco di sudut sebuah poster. Dan segera diketahuinya bahwa ia berhadapan dengan sebuah promosi toko serba ada (department store), “Kodansha Ltd.”, sebuah penerbit. Oleh rata-rata orang Indonesia yang menonton pameran ini, sandi budaya (cultural code) ini tidak dikenalnya, maka poster tidak berkomunikasi. Termasuk ke dalam sandi budaya ini adalah bahasa dan tulisan Jepang, yang terdapat pada hampir semua poster. Maklum, pada umumnya poster yang dipamerkan ini ditujukan kepada khalayak Jepang. Tulisan, meski berisi seruan, dalam poster Jepang bisa terbaca hanya pada jarak dekat. Misalnya dalam poster perdamaian JAGDA rancangan Takasumi Noda, Satoshi Watanabe, dan Miyuki Tsujii. Di situ ada seruan yang tak terbaca dari jauh: “Let us, peace jellybeans, besiege every war bullet!” (Marilah kita, gula-gula-agar perdamaian, mengepung setiap peluru peperangan!).
Kata atau huruf bisa terlindung di dalam kegelapan, pada suatu jarak. Misalnya dalam rancangan Masakazu Tabane, poster untuk pameran desain grafis, huruf tengah dalam kata “media”. Tetapi penonton yang terbiasa dengan kata itu akan tetap membaca “media”, meski mangkir satu huruf.
Kita telah menyebutkan “sandi budaya”. Maksudnya ialah diperlukan katalog yang menyediakan kunci agar poster-poster yang dipamerkan itu dapat kita nikmati dan hargai sebagai poster. Betapapun pentingnya gambar, sangat langka poster yang berkomunikasi dengan gambar melulu.
Amati, misalnya, poster Parco yang kita singgung di muka (perancang: Kuni Kizawa). Pada gambar, kita melihat sosok seorang wanita Jepang dari kepala hingga lutut mengenakan kimono. Riasnya tak nyata. Bahkan tampak alami dan bersahaja, dengan rambut teracak sedikit oleh angin. Di bawah tampak daun padi atau rumput, sedang latar belakang adalah langit berawan tipis putih.
Ini poster apa? Tetapi bila kita tahu bahwa Parco adalah sebuah toko serba ada, pikiran kita tersangkut pada gagasan yang tertentu. Bukankah poster ini menyajikan kejepangan, sifat wajar, dan alami, keakraban – sifat yang hendak diterapkan kepada sebuah toko besar sebagai “citra perusahaan”?
Atau amati poster rancangan U.G. Sato. Gambar memperlihatkan atap genting sebuah rumah. Poster perusahaan genting? Bukan. Ini poster perdamaian, menurut tulisan kecil yang tercetak di situ. Genting yang kuat, utuh, tersusun apik, menaungi kehidupan keluarga. Setiap genting membuat bayang-bayang yang mengingatkan raut siluet merpati.
Dalam kedua contoh itu, gambar digunakan tidak secara denotatif: yang dimaksud bukanlah obyek yang tergambar. Melainkan secara konotatif: yang dituju ialah asosiasi pikiran yang tergugah oleh obyek itu.
Demikianlah pula, misalnya, dalam Hiroshima Appeals (Hiroshima Mengimbau) 1987, rancangan Kazumasa Nagai. Kita melihat sebuah sayap merpati, putih, terkembang. Merpati bukan saja telah diasosiasikan dengan perdamaian, dalam simbolisme yang tersebar secara internasional sekarang. Ia juga unggas yang membangkitkan perasaan lembut bagi orang.
Dalam poster ini, kelembutan itu ditonjolkan dengan nuansa-nuansa atau nada-nada warna yang halus keputih-putihan. Dan dipakai bentuk retorika “antitesis”: sayap itu tertembak, bulu-bulu halus tertebar beterbangan (gagasan kekerasan).
Nyaris sejalan dengan itu adalah Hiroshima Appeals 1983 rancangan Yusaku Kamekura. Di sini sejumlah kupu-kupu, dengan sayap terbakar, berjatuhan di udara.
Pemakaian gambar seperti itu tidak mudah mengatakan, kapan kita berhadapan dengan perumpamaan dan kapan dengan metafora alias kias. Sebuah gambar sederhana, mirip piktogram, menyajikan citra tangan sedang memperbaiki kebulatan dunia, tentulah sebuah metafora dalam Hiroshima Appeals 1985 karya Shigo Fukuda.
Pengulangan juga bentuk retorika yang tampak pada sejumlah poster yang dipamerkan. Dalam beberapa poster, ini dipakai untuk mengungkap gagasan “sangat banyak” seperti dalam poster jellybeans Takasumi Noda tersebut di muka. Dalam poster 3-rd International Design Competition (Lomba Desain Internasional Ke-3), Osaka, 1987 (perancang: Kenny-Lui-Kam Yuan), motlf wajah patung Venus dalam bundaran diulang-ulang dengan variasi tampak terpiuh seperti bayangan dalam air. Dengan demikian, kita dibawa ke tema lomba desain itu: air.
Jalin-berjalinnya kata dan gambar secara canggih diperlihatkan oleh poster berikut. Gambar memperlihatkan, di sebelah kiri, menara penjagaan. Di kanan, sosok seorang lelaki, mengenakan mantel panjang, mengempit buku. Ia memegang kaca pembesar, yang didekatkan ke matanya agaknya ia seorang penyelidik. Tulisan Jepang di tengah, konon, berisi kata bansai (hiduplah) dan hansai (tangkaplah). Dua kata itu sangat mirip bunyinya, tetapi beda artinya. Tentu, orang yang menyelidiki dan mengetahui subtilitas kata-kata seperti itu adalah mereka yang mengenal pustaka. Di sudut bawah poster, tercetak kecil saja: Kodansha Ltd., nama sebuah badan penerbit. Poster promosi dagang yang halus ini dirancang oleh Shotaro Sakaguchi.
Tentu, dalam poster sejumlah tadi Anda dapat menemukan bermacam ragam cara ungkap, bermacam bentuk retorika, yang dapat Anda nikmati dan kagumi. Semua itu, juga didukung oleh fotografi dan percetakan yang jitu, mampu menampilkan nuansa seberapa halusnya pun. Sebagian karena faktor ini, maka poster promosi perusahaan, misalnya dari Dai Nippon Printing (rancangan Chieko Iwagaml) kehilangan kekasaran dagangnya. Poster memadukan reproduksi wajah Monalisa dan foto wajah patung Venus menampilkan nuansa dan rinci.
Kiranya pameran ini sangat berfaedah bagi para perancang grafis kita, dan bagi para penggemar seni rupa dan khalayak ramai pada umumnya. Bagi yang pertama, karena mereka dapat belajar banyak, terutama mengenai berbagai bentuk retorika poster yang tampaknya di negeri kita belum banyak dijelajahi dan dipelajari. Bagi golongan kedua, untuk memperluas apresiasi. Poster juga dapat dinikmati, bukan sebagai lukisan, melainkan sebagai poster. Menikmatl sebuah poster sebagai poster bisa juga berarti menikmati sebuah puisi.
Sayang, dalam pameran ini tidak ada katalog. Yang dibuat dan disebarkan IPGI adalah selipat berisi kata sambutan, sejumlah reproduksi karya yang dipamerkan, ucapan terima kasih, dan nama-nama perancang grafis. Belum katalog yang sebenarnya. Padahal, itu bisa memberi informasi dan mengantar para penonton memasuki belantara poster Jepang – kebanyakan gelap karena bahasa dan tulisannya.
IPGI didirikan pada 1980, dengan tujuan memberi wadah dan forum bagi profesi baru. Yaitu rancang grafis (desain grafis) yang merupakan pelengkap industri penerbitan, periklanan, penerbitan media massa cetak, hubungan masyarakat, kemasan, dan biro penerangan. Ia memperjuangkan agar profesi ini diberi tempat, perhatian, dan pembinaan dalam rancangan grafis Indonesia.
Penyelenggaraan pertama IPGI ini merupakan awal kerja sama dengan JAGDA. Maka, pameran seperti ini dapat kita harapkan berangkai.
Sumber: Majalah “Tempo”, 20 Februari 1988, halaman 74-75.
Yuzaku Kamekura, Poster, “World Design Exposition ‘89 “
UG Sato, Poster, “JAGDA Peace Poster Exhibition”
Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total