Pada 22 Juli 1994, seorang desainer grafis muda, Enrico Halim, menerbitkan sebuah majalah dari kamar tidur di rumah orang tuanya di Jakarta. Kemudian, majalah yang diberi nama Aikon! itu terus berkembang hingga memiliki tim redaksi di kota Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar dengan awak 22 orang. Ketika ditanya mengapa menerbitkan Aikon! sebagai majalah gratis, Rico (sapaan akrab Enrico Halim) menjawab bahwa sebagian dari keuntungan yang diperolehnya harus dikembalikan pada publik. Aikon! terkenal sebagai media yang giat mengusung isu lingkungan – termasuk penggunaan bahan kertasnya. Kepedulian terhadap isu ramah lingkungan pada masa itu masih jarang diangkat dalam media massa. Ada beberapa pertimbangan yang diungkapkan oleh Rico, mengapa dia menggunakan kertas ramah lingkungan:
Pertimbangan Ekonomi
Pada saat itu, kertas samson (kertas coklat sebagai pembungkus kertas yang banyak dan mudah dijumpai di percetakan/toko kertas) itu merupakan kertas murah yang tidak terlalu diminati dan dibuang-buang. Karena dana yang ada tidak banyak, maka perlu mencari material murah.
Pertimbangan Pendidikan
Sesuatu di sekitar kita yang dianggap remeh dan tidak bernilai, pasti akan berguna bila diberi pemikiran yang baik. Contohnya, kertas samson. Kertas itu merupakan hasil daur-ulang berbagai campuran kertas bekas pakai yang diolah antara lain oleh pabrik kertas Padalarang dengan mutu rendah (diperuntukkan guna membungkus). Kertas ini tidak menggunakan proses daur-ulang yang semestinya, yang artinya tidak melalui proses pencucian yang baik (masih mengandung pasir, beling, robekan kertas koran, dll) dan tidak mengalami proses bleaching (pemutihan dengan chlorine). Keduanya menggunakan energi pengolahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses pembuatan kertas (minimal HVS/art paper, kertas standar yg banyak digunakan).
Selain kedua pertimbangan di atas, ternyata terdapat pula pertimbangan yang sangat personal. Rico dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang sangat peduli terhadap lingkungan. Rico dididik oleh ibunya untuk selalu menghargai apapun yang ada di sekitarnya. Ibu dan ayahnya sering menanam tanaman buah-buahan, sayuran, dan tanaman obat di halaman rumah. Anak-anaknya diminta berbaris untuk menyiramkan air seni yang dikumpulkan dalam pispot semalam sebelumnya, untuk menjadi pupuk tanaman mereka. Ibunya jarang sekali membuang barang, hampir selalu menjahitkan pakaian-pakaian ‘baru’ dengan bahan bekas pakai – entah bekas bajunya sendiri, atau bekas taplak/tirai. dll
Majalah Aikon! memiliki semboyan “open mind” atau pikiran yang terbuka, karena dia sangat berharap agar majalah ini dapat memberi masukan, kritik dan saran yang akan menambah pengetahuan dan mencerahkan dirinya sebagai penerbit. Selain dari itu, pada awal terbitnya, tahun 1994 adalah jaman rezim Orde Baru. Pada masa itu dia seringkali menemukan fakta bahwa warga keturunan Tionghoa seringkali dianggap oleh lingkungannya sebagai hal yang negatif. Setelah selesai kuliah di Amerika Serikat, dia berkesimpulan bahwa rasisme ada karena sempitnya cara berpikir. Karena itulah dia ingin membuat sesuatu yang membuka, melebarkan, meluaskan wawasan. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 ‘kemarahan’ Rico terhadap kepicikan ini, makin menjadi. Dia semakin yakin dan berusaha menyebarkan virus, bahwa keterbukaan berpikir adalah salah satu hal penting untuk membuat Indonesia menjadi negeri besar. Setelah tepat 8 tahun memberi pencerahan dan mengajak publik untuk berpikir terbuka, pada 22 Juli 2002 majalah Aikon! berhenti terbit. Sebagai gantinya kini Rico terus aktif menulis di situs www.aikon2.com.
Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total