Sejarah IPGI | Upaya Menumbuhkan Apresiasi

logo-ipgi-sadjiroen-19803 Desain Grafis Indonesia Tahun 1970-an Desain grafis sebagai suatu kegiatan sudah diketahui sejak abad ke-17, sejalan dengan mulai digunakannya mesin cetak oleh pemerintah Hindia-Belanda, tetapi istilah desain grafis sendiri barangkali baru mulai dikenal pada awal 1970-an, saat dua sekolah seni rupa tertua di Indonesia, ITB dan STSRI Asri, memisahkan jurusan desain grafis (graphic design) dari seni grafis (graphic art). Di STSRI Asri, menjadi jurusan seni reklame dan seni ilustrasi grafik yang dikelompokkan sebagai seni terpakai (applied art), untuk membedakannya dengan kelompok seni murni (fine art), seperti seni lukis, seni patung dan seni grafis. Lulusan dari kedua perguruan tinggi ini pun disebut desainer grafis. Kala itu, sebagian besar desainer grafis bekerja sebagai karyawan di perusahaan penerbitan (buku, majalah atau koran), perusahaan periklanan, percetakan, atau freelance. Ada juga yang memilih spesialisasi tertentu dan bekerja, misalnya di perusahaan packaging (PT GURU) dan perusahaan uang (PERURI). Tahun 1976, Matari Advertising merintis pemisahan desainer iklan (khusus above-the-line) dan desainer grafis (khusus below-the-line). Desainer grafis saat itu rata-rata masih merangkap sebagai art director atau creative director. Kalau desainer iklan menjadi mata rantai terakhir dari proses panjang terciptanya sebuah iklan sebelum ditampilkan di media, desainer grafis bisa saja menjadi satu-satunya mata rantai atau mata rantai utama terciptanya sebuah karya desain grafis.

Akhir 1970-an dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain-desain non-iklan, beberapa di antaranya adalah Vision (Karnadi), Grapik Grapos (Wagiono, Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto S), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi dan Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Di Bandung sebelumnya sudah ada design center Decenta (Design Centre Association) yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh AD Pirous, T Sutanto, Priyanto S, yang menangani beragam produk desain grafis, mulai sampul buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen estetis gedung. Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis ini seiring sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah desain grafis, misalnya di Jakarta berdiri LPKJ (1976) dan Trisakti (1979). Tapi sampai pada masa itu, masyarakat pada umumnya masih belum mengerti sepenuhnya apa pekerjaan seorang desainer grafis, walau mereka bisa melihat produk-produk desain grafis di mana saja di sekeliling mereka. Orang juga tidak peduli atau tidak merasa perlu tahu siapa sosok di balik penciptaan berbagai barang yang mereka lihat atau pegang, apalagi menghargainya sebagai karya seni.

Jakarta 1980, Menjelang Berdirinya IPGI Pada tanggal 16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jalan Menteng Raya 25, Jakarta diselenggarakan pameran desain grafis oleh tiga desainer grafis Indonesia: Gauri Nasution, Didit Chris Purnomo dan Hanny Kardinata, bertajuk “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”. Pameran ini membawa misi utama memperkenalkan profesi desainer grafis ke masyarakat luas serta memamerkan kekuatan desain grafis modern dalam dunia perwajahan kita. Pameran ini tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia (“Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit – Mau Merubah Dunia”, Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6). Beberapa pameran seni grafis memang pernah diadakan tetapi bukan pameran desain grafis, sementara pameran-pameran desain grafis yang sebelumnya pernah diadakan mengusung karya desainer-desainer dari luar Indonesia. Sesuai dengan misi yang disandangnya, pameran ini menyodorkan bukan saja hasil akhir dari berbagai produk desain grafis seperti logo, tipografi, layout majalah, ilustrasi, poster, sampul buku, sampul kaset dll. tetapi juga proses kreatif serta proses cetaknya. Pameran yang diadakan di sebuah pusat kebudayaan ini juga menyiratkan keinginan para senimannya agar karya-karya mereka diapresiasi sebagai sebuah karya seni. Pada saat yang hampir bersamaan dengan persiapan pameran ini diadakan juga pertemuan-pertemuan intensif di antara para desainer grafis (saat itu masih terbatas pada mereka yang tinggal dan bekerja di Jakarta dan Bandung) untuk mempersiapkan didirikannya sebuah wadah/organisasi bagi para desainer grafis Indonesia. Organisasi yang akhirnya terbentuk pada tanggal 25 April 1980 itu diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) bersamaan dengan diselenggarakannya sebuah pameran besar bertajuk “Grafis ‘80” di Jakarta.

Lahirnya IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) IPGI lahir dari gagasan beberapa desainer grafis yang merasa perlu adanya sebuah wadah menggalang kekuatan untuk menyatakan eksistensi mereka, agar masyarakat menjadi lebih apresiatif terhadap karya-karya desain grafis. Pertemuan demi pertemuan yang awalnya terbatas pada mereka yang tinggal dan bekerja di Jakarta dan Bandung dan diadakan di jalan Padalarang 1-A, Jakarta (kantor majalah “Visi” almarhum), lambat-laun menumbuhkan semangat kekeluargaan yang meniadakan batas-batas official di antara mereka, bahkan membuat isu paling crucial waktu itu –ITB vs Asri atau Yogya vs Bandung– terkikis habis.

Dalam salah satu pertemuan, para peserta mendaulat Sadjiroen (alm.), perancang mata uang RI kawakan, agar membubuhkan tulisan tangannya untuk dipakai sebagai logo IPGI. Supaya efisien, maka memasuki perumusan AD/ART, kode etik, program kerja, kepengurusan, dsb, diputuskan untuk membentuk Badan Pendiri yang terdiri dari 9 orang: Sadjiroen, Sutarno, Suprapto Martosuhardjo, SJH Damais, Bambang Purwanto, Chairman, Wagiono, Didit Chris Purnomo dan J Leonardo N. Mereka lalu merumuskan program kerja dan membentuk pengurus sementara (PS) untuk melaksanakannya. PS terbentuk pada tanggal 25 April 1980 dengan susunan:
Ketua: Wagiono Wakil Ketua: Karnadi (alm.)
Sekretaris 1: Didit Chris Purnomo
Sekretaris 2: J Leonardo N Bendahara: Hanny Kardinata

Dibantu beberapa koordinator bidang:
Pameran: FX Harsono, S Prinka (alm.)
Publikasi dan Buletin: Tjahjono Abdi (alm.)
Hubungan Masyarakat: Agus Dermawan T Dokumentasi dan Perpustakaan: Helmi Sophiaan (alm.)
Pendidikan dan Ceramah: Hanny Kardinata

Lima bulan kemudian (24 September 1980), IPGI memproklamasikan kelahirannya dalam sebuah pameran perdana bertajuk Grafis’80 yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta yang diresmikan oleh Joop Ave (yang bersama AD Pirous dan SJH Damais merupakan trio penasehat IPGI). Antusiasme 47 peserta pameran terlihat dari membludaknya jumlah karya yang dipamerkan, hingga nyaris memenuhi seluruh pelosok gedung. Hampir semua jenis produk desain grafis bisa dijumpai, mulai karcis parkir, kemasan biskuit, kuitansi, layout koran, bahkan kantong semen menyadarkan pengunjung awam bahwa benda-benda yang setiap hari mereka lihat di sekeliling mereka itu merupakan hasil kerja desain grafis. Bukan hanya hasil akhirnya, tapi untuk beberapa produk –seperti perangko dan uang kertas– juga diperagakan gambar aslinya sebelum dicetak. Pengunjung juga bisa menyaksikan proses bagaimana sebuah sampul kaset atau bungkus obat bisa terjadi, atau bagaimana sebuah film animasi iklan dibuat, yang memang ditujukan untuk menjawab tanda tanya mengenai mengapa yang demikian ini disebut seni. “Seseorang pasti tak sadar bahwa setiap hari ia sebenarnya mengantongi benda seni di sakunya. Benda itu adalah uang. Uang itu seni, karena sebelum ia keluar dari bank, ia dirancang dahulu oleh seorang seniman. Di Jakarta, setiap hari disebarkan jutaan barang seni. Barang itu adalah: karcis bis. Siapa sadar bahwa benda itu seni? Pameran itu seolah menyadarkan kita, bahwa seni tak hanya yang bisa kita tonton dalam pertunjukan formal saja, tapi juga pada yang melekat dalam kehidupan sehari-hari kita” (‘Pameran Grafis ‘80 – Karcis Parkir, Uang Kertas sampai Karung Semen’, Leonardo, Gadis no. 29, hal. 62).

n704534840_698404_87221

Ki-ka (belakang): Hanny Kardinata, S Prinka, Wagiono Sunarto, Karnadi Mardio, FX Harsono, dan di depannya: Suyadi ‘Pak Raden’, Priyanto Sunarto dan Tjahjono Abdi beserta mahasiswa-mahasiswa DKV Studio Desain Grafis, Jurusan Desain, Departemen Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Institut Teknologi Bandung di depan pintu masuk Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta, di mana pameran Grafis ‘80 diadakan (foto koleksi: Risman Zihary).

Selama pameran, diadakan temu muka dengan siswa/mahasiswa yang orientasi studinya berhubungan dengan desain grafis, seperti STM Grafika, Seni Rupa Trisakti dan IKJ (d/h LPKJ). Priyanto S dan S Prinka, dua eksponen IPGI yang waktu itu mengajar di Trisakti dan LPKJ, bahkan mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk menghadiri pameran. Pameran ini sekaligus menjadi ajang temu desainer grafis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Beberapa nama yang ikut menampilkan karyanya: Achmad Rumyar, Achmad Sadimin, Bambang Purwanto, Bambang Sidharta, Deddy Budiman, Dicky Mulyadi, Didit Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, GM Sudarta, Hanny Kardinata, Indarsjah, Karnadi Mardio, J Leonardo N, Markoes Djajadiningrat, Pramono, Priyanto S, Sadjiroen, Slamet Sugiyanto, Suyadi ‘Pak Raden’, Suyono Palal, S Prinka, Teddy Sam Natasasmita, T Sutanto, Tjahjono Abdi, Wagiono, Wendy Bari dan Yusuf Razak. Awal Perjalanan IPGI Wagiono yang kemudian melanjutkan studinya ke Amerika (1982-1984), digantikan oleh Karnadi sebagai pejabat ketua. Kegiatan kepengurusan IPGI selanjutnya berjalan dari workshop ke workshop dan beberapa pameran keliling, melengkapi kegiatan-kegiatan Departemen Penerangan, juga Departemen Perdagangan yang berjalan hingga ke Bandung, Yogya, Padang, dll. Disamping itu, para pengurus IPGI juga sering diminta menjadi pembicara dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus-kampus. Periode awal 1980-an mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis yang cukup signifikan di Jakarta, antara lain (selain dari yang sudah disebut di depan): Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja, Priyanto Sunarto, dkk), dll. Walau demikian, situasi dirasa belum beranjak jauh dari tahun 1980, ketika IPGI mencanangkan pameran pertamanya. Apresiasi yang masih minim terhadap profesi ini, mendesak para pengurus IPGI untuk merencanakan sebuah pameran besar lagi. Kali ini, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, pameran ke-2 pun digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”. Ini adalah untuk pertama kalinya –setelah 15 tahun berdiri– Dewan Kesenian Jakarta atau TIM menyelenggarakan sebuah pameran seni terpakai. Hal ini menjadi pertanda minimnya perhatian yang diberikan terhadap desain grafis dibanding seni lukis, seni patung atau seni grafis. Sudarmadji, Ketua Dewan Pekerja Harian – Dewan Kesenian Jakarta dalam sambutannya pada katalog pameran mengungkap, “Kemasan pasta gigi atau sabun, jika isinya sudah diambil dan digunakan, maka kemasan (pembungkusnya) langsung begitu saja dibuang. Poster atau reklame yang terpampang di jalan, begitu tahu isinya, habis perkara. Jarang yang penghayatannya dilanjutkan dari aspek artistik dan estetisnya” (‘Sambutan’, Sudarmadji, katalog pameran Grafis ‘83, hal. 2).

persiapan-pameran-ipgi-33

Persiapan Pameran

persiapan-pameran-ipgi-23

Persiapan Pameran

persiapan-pameran-ipgi-13

Persiapan Pameran

Selain produk serupa yang ditampilkan pada Grafis’80, pameran Grafis’83 juga menampilkan karya-karya logo, perangko, uang, sampul kaset, buku, kartu undangan, berbagai kemasan mulai dari botol obat sampai bungkus permen, dll. Pameran ini melibatkan sekitar 90 desainer grafis Indonesia yang memajang tak kurang dari 300 karya yang diproduksi antara tahun 1980-1983. Selain wajah-wajah lama, desainer grafis yang juga ikut serta: Agoes Joesoef, Bambang Bargowo, Bambang Trenggono, Budi Mandiro, Chairin Hayati Joeda, Danardana, Dewi Nursalim, Dicksy Iskandar, Djoen Saptohadi, Gendut Riyanto (alm.), Harianto IR, Lesin, Mulyadi W, Piet Hari Santosa, Sita Subijakto, Tarmizi Firdaus, T Ramadhan Bouqie, dll. Ilustrasi pada poster atau katalog pameran buah tangan Tjahjono Abdi (alm.), menggambarkan seorang gadis Bali – memakai sumping dan aksesori lainnya, tetapi dengan rambut bergaya punk – sedang menyemprot pipinya dengan alat air brush, menyiratkan, “… perancang grafis Indonesia yang setengah kepalanya masih berbau Barat sedang membenahi diri, sedang mencari rancangan grafis yang memiliki kualitas khusus dan wajah spesifik.” (‘Pameran Rancangan Grafis IPGI – Bikin Hidup Berseri-seri’, Agus Dermawan T, Kompas, 26 Agustus 1983, hal. 6).

ipgi-di-grafika-indonesia3

Pameran IPGI di Grafika Indonesia, Gelora Pajajaran, Bandung, 1984.

Tahun 1987, Wagiono yang telah pulang ke Indonesia dan kembali menjabat sebagai ketua, mewakili IPGI mengikuti kongres ICOGRADA di Amsterdam yang diselenggarakan oleh BNO (organisasinya desainer Belanda). Ia sekaligus mendaftarkan IPGI sebagai anggota ICOGRADA, yang biaya keanggotaannya dipikul bersama oleh beberapa perusahaan desain grafis. Peserta kongres dari Indonesia selain Wagiono, ada Indarsjah dan Alfonso yang saat itu sedang berada di Belanda dan bekerja di Studio Dumbar (Gert Dumbar) dan Dedato (Henk de Fries) dan terlibat membantu BNO dalam menyelenggarakan kongres tersebut. IPGI-JAGDA Sekitar tahun itu juga, Nobu Miyazaki, seorang desainer anggota JAGDA (Japan Graphic Designers Association) yang bekerja sebagai tenaga ahli di sebuah perusahaan iklan di Jakarta, menggagas pameran bersama IPGI dan JAGDA. Pusat Kebudayaan Jepang/Japan Foundation, baik yang di kantor pusatnya di Tokyo mau pun yang di Jakarta dilibatkan untuk mengatur lalu lintas karya-karya JAGDA. Pameran Grafis Jepang-Indonesia yang pertama diadakan di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta pada tanggal 9-15 Februari 1988. JAGDA menghadirkan 196 poster karya terbaru lebih dari 100 desainer terkemuka Jepang, diantaranya Yusaku Kamekura, UG Sato, Shigeo Fukuda, Shin Matsunaga, Ikko Tanaka, Kazumasa Nagai, Hiroshi Sato dan banyak lagi, yang selama ini hanya bisa dinikmati melalui buku-buku grafis. Sementara karya puluhan desainer Indonesia hadir tak hanya dalam bentuk poster, tapi juga leaflet, brosur, layout majalah, logo, kalender, dsb. Pameran kemudian dilanjutkan di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung, di mana seusai pameran, seluruh poster JAGDA dihibahkan kepada Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

pameran-ipgi-jagda-1-19883

Pameran IPGI-JAGDA I, 1988 di Galeri Ancol, Jakarta dibuka oleh Joop Ave.

pembukaan-ipgi-jagda-13

Pameran IPGI-JAGDA I, 1988 di Galeri Ancol, Jakarta. Wagiono mengantar Joop Ave memasuki ruang pameran.

Sukses dengan pameran pertama, pameran ke-2 pun segera digagas. Kali ini direncanakan bukan saja singgah ke Bandung tapi juga merambah hingga ke Yogya. Miyazaki juga mengajukan gagasan untuk mendatangkan Shigeo Fukuda sebagai pembicara ke Jakarta dengan bantuan pembiayaan dari Japan Foundation. Fukuda adalah desainer grafis Jepang yang merupakan tokoh terkemuka dalam perkembangan desain grafis dan ilustrasi internasional. Ia telah dianggap sebagai pelopor generasi ke II desainer grafis Jepang bersama Tadanori Yokoo, Mitsuo Katsui, Ikko Tanaka dan lain-lain. Pameran Grafis Jepang-Indonesia yang kedua, kali ini dengan tajuk “Grafis ‘89” diselenggarakan berturutan di tiga kota: tanggal 23-30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; tanggal 12-20 April 1989 di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan tanggal 26 April-3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia di jalan Gampingan, Yogya. JAGDA kembali menghadirkan karya-karya poster terbaru mereka dan IPGI tetap dengan beragam produk desain grafis. Dan pada tanggal 29 Maret 1989, Fukuda menjadi pembicara dalam sebuah ceramah di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower lantai 2, Jakarta. Menurut Fukuda masyarakat Jepang pun tadinya tidak menganggap produk desain grafis sebagai karya seni. Fukuda mengungkap, “Tapi saat ini Jepang sudah mulai mengakui graphic design sebagai seni. Hal itu ditunjukkan dengan membuat museum poster, yang setahun lagi akan selesai. Sejauh ini, poster-poster di Jepang segera dibuang setelah dipakai; berbeda sekali dengan Amerika, Chekoslovakia, Belanda, Perancis dan Polandia yang sejak lama telah menyimpan dan menghargai poster sebagai benda seni. Dan di Jepang, kehadiran museum poster yang sedang dibangun itu merupakan perlakuan serta sikap baru yang jelas berbeda.” Mengenai desain grafis Indonesia, Fukuda berpesan: “Jepang telah melalui tahap-tahap tertentu untuk sampai ke puncaknya dalam 20 tahun terakhir ini. Ada baiknya Indonesia memerhatikan langkah-langkah yang telah ditempuh Jepang, dan jangan punya ambisi untuk melompat-lompat agar segera sampai di puncak, meskipun secara ajaib hal yang khusus ini terjadi pada Korea. Dalam bidang apa pun, budaya, sastra, dan lainnya, terdapat generasi yang di dalamnya perlu ada persaingan agar bisa maju. Bagus bila Indonesia secara periodik mengumpulkan seniman-seniman grafis untuk berpameran, hingga selalu didapatkan masukan-masukan tertentu sebagai titik untuk maju terus.”

pameran-ipgi-jagda-2-19893

Pameran IPGI-JAGDA II, 1989 di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud, Jakarta. Ki-ka: Iwan Ramelan, Nobu Miyazaki, Shigeo Fukuda, Hanny Kardinata, Yongky Safanayong, Gauri Nasution dan staf penerjemah Pusat Kebudayaan Jepang.

Selain di Jakarta dan Bandung, tanggal 4 April 1989, Fukuda juga menjadi pembicara di Yogya dalam sebuah simposium untuk melepas R Soetopo (alm.) – yang memasuki masa pensiunnya sebagai pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI (d/h STSRI ASRI). Hadir juga sebagai salah satu pembicara, Wagiono –dalam kapasitasnya sebagai Ketua IPGI– membawakan makalahnya berjudul “Masalah Profesi Perancang Grafis di Indonesia”. Wagiono mengupas berbagai masalah yang sedang dihadapi profesi ini, seperti dominasi mekanisme pasar yang mengakibatkan erosi dalam daya cipta, tiadanya standar yang seragam dalam menentukan design fee, tiadanya kejelasan mengenai lembaga yang seharusnya membina profesi desainer grafis (Departemen Perdagangan, Penerangan, Depdikbud atau Bappenas?) dan adanya keberagaman tingkat profesionalisme yang menghasilkan mutu desain yang beragam juga. Wagiono mengingatkan, masalah keprofesian yang banyak dan saling terkait ini tak bisa diatasi hanya oleh IPGI sendiri. Dalam penutupnya ia berharap, “Mudah-mudahan, di masa datang IPGI dapat menjadi organisasi yang efektif di dalam menghadapi berbagai permasalahan desain dan penghargaan pada desain serta desainer grafis di Indonesia. Cita-cita para pendiri dan anggota senior IPGI sama dengan aspirasi kita semua, yaitu bahwa pada suatu saat kita bisa mengangkat wajah desain Indonesia menjadi salah satu kekuatan yang perlu disimak di dunia internasional” (“Masalah Profesi Perancang Grafis di Indonesia”, Wagiono, Booklet Simposium Disain Grafis Fakultas Seni Rupa dan Disain – Institut Seni Indonesia, Yogyakarta dalam rangka Purna Bhakti R Soetopo sebagai tenaga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, hal. 32-36).

icograda-glasgow3

IPGI pada konferensi ICOGRADA “Design Renaissance” di Glasgow, Scotlandia, 1993 Ki-ka: Wagiono, Shigeo Fukuda, Yongky Safanayong dan isteri FHK Henrion (pendiri ICOGRADA, desainer logo KLM).

JADEX‘92 Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo‘92” atau “JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September 1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa –seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik dan kria bambu– ‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar. “Sejauh ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu –khususnya melalui sebuah pameran– belum dilakukan. Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan. Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi” (“Kembali ke Satu Seni Rupa”, Jim Supangkat, katalog pameran Jadex ‘92, hal. 18). Lebih dari 400 karya yang dihasilkan 170 seniman selama empat tahun terakhir digelar menempati dua lantai JDC. Lantai pertama untuk stan-stan yang ditempati oleh sekolah-sekolah seni rupa dan lembaga-lembaga terkait. Stan IPGI termasuk di antaranya. Lantai kedua seluruhnya diperuntukkan pameran utama, dan untuk pertama kalinya pengunjung bisa menyaksikan misalnya kursi rotan yang dipajang berdekatan dengan karya desain grafis atau fotografi, atau sebuah karya patung yang terletak bersebelahan dengan jajaran busana. Beberapa anggota IPGI yang ikut serta dalam pameran ini adalah Aten Waluya, Bambang Sidharta, Donny Rachmansjah, Gauri Nasution, Hanny Kardinata, Iman Sujudi, Lessy Sebastian, Priyanto Sunarto, T Ramadhan Bouqie, Tjahjono Abdi dan Yongky Safanayong. Berakhirnya IPGI Setelah JADEX‘92, pada tahun 1993 kegiatan pengurus terfokus pada persiapan untuk menyelenggarakan kongres. Kongres pertama IPGI diadakan di Jakarta Design Center pada tanggal 7 Mei 1994. Acara yang semula tidak diagendakan mencuat dan berjalan alot di awal kongres, ketika bergulir wacana untuk mengganti nama IPGI menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia). Usulan yang berasal dari kelompok anggota yang tidak ikut mendirikan IPGI ini mengemuka dengan alasan supaya lebih internasional. Sementara seluruh anggota yang terlibat dalam pendirian IPGI menolak penggantian nama, bukan saja karena nilai-nilai sejarahnya, tapi juga karena kaidah berbahasa Indonesia yang baik yang seyogyanya lebih mengutamakan pemakaian kata yang sudah ada (ikatan dan perancang) daripada padanannya yang berasal dari bahasa asing (asosiasi dan desainer). Priyanto S dan S Prinka misalnya, tidak menyukai kata desain karena kesannya yang sok gedongan. Kata ‘perancang’ jadi alternatif supaya sama dengan PAPMI (Persatuan Ahli Perancang Mode Indonesia), juga perancang bunga/janur pengantin dll. yang lebih egaliter. Juga supaya berbeda dengan IADI (Ikatan Ahli Desain Indonesia) yang sudah ada duluan (1970-an) atau dengan HDII (Himpunan Desainer Interior Indonesia). Tetapi ketika diadakan pemungutan suara, kubu yang menolak ternyata kalah suara. Penggantian nama pun direlakan dengan harapan organisasi akan berjalan lebih baik. Acara kongres selanjutnya berjalan lancar sesuai agenda: serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain Grafis. Sejak hari itu, IPGI resmi menjadi ADGI (yang pada tahun 2006 direvitalisasi menjadi Adgi-Indonesia Design Professionals Association).

kongres-ipgi-19943

Kongres IPGI di Jakarta Design Center, 7 Mei 1994. Ki-ka: Yongky Safanayong, Kay Sirie, Djodjo Gozali, Wagiono, Iwan Ramelan dan Irvan Noe’man.

suasana-kongres-ipgi-19943

Suasana Kongres IPGI 1994

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman