Sekilas Gambaran Periklanan Tiga Zaman di Indonesia Antara Tahun 1942-1952 (Suatu Rekaman Pengalaman)

JENIS PENERBITAN

Pada ketiga zaman, Zaman Penjajahan Belanda, Zaman Pendudukan Jepang, dan Zaman Revolusi Kemerdekaan Indonesia, jenis penerbitan yang umum dapat memuat adpertensi di dalamnya adalah harian, majalah, mingguan, tengah bulanan, bulanan, juga majalah khusus yang terbit tengah tahunan atau terbit secara insidentil. Penerbitan seperti Buku Petunjuk Telepon, Buku Petunjuk Perjalanan Kereta Api (Reisgids), Buku Alamat, Buku Alamat Dagang, Buku Almanak, Penanggalan, Buku-buku, Buku Tulis (Schrift=sekrip) dan lain sebagainya, tidak luput dari pemuatan adpertensi.

Sebagai pimpinan dari KORRA cabang Yogyakarta, penulis telah melaksanakan tiga kali terbitnya Buku Petunjuk Telepon Yogyakarta dan satu kali Buku Petunjuk Perjalanan Kereta Api dan Buku Alamat Dagang Yogyakarta pada Zaman Revolusi Kemerdekaan Indonesia, khususnya pada penerbitan surat kabar.

Baik untuk adpertensi lepas, kontrak jangka pendek maupun jangka panjang (biasanya per tahun), adpertensi usaha, keluarga, pengumuman, dan lain sebagainya ditentukan harganya dengan per “baris”/kolom satu kali muat yang pada tiap-tiap harian lebar kolomnya tidak selalu persis sama. Untuk itu tiap-tiap surat kabar dan biro-biro reklame dan adpertensi selalu memiliki dan memakai alat ukuran tersebut untuk menentukan biaya pemasangan; jadi bukan dengan sistim metriek stelsel seperti sekarang.

Pemuatan dan letak adpertensi lepas tidak selalu dapat dipenuhi sepenuhnya, mengingat waktu memasukkan, besar/kecilnya adpertensi, dengan atau tidak dengan gambar, sifat jenisnya dan lain sebagainya, kecuali apabila adpertensi itu adalah adpertensi kontrak/langganan yang telah menentukan hari serta tempat pemasangannya secara terus-menerus setiap waktu tertentu.

Untuk adpertensi dari Badan-badan Pemerintah yang bersifat sangat penting bagi masyarakat dan adpertensi Kematian diadakan suatu perkecualian.

Pada zaman 1, 2 dan 3 waktu itu, adpertensi yang berwarna di harian agak jarang dilaksanakan, kecuali untuk menyambut atau turut memeriahkan adanya suatu peristiwa (peringatan) yang akbar; dan tentang harga adpertensinya ditentukan tidak lagi dengan “baris”, tetapi dengan sistim “ruang” yang secara graduil dijabarkan dengan bentuk kotak-kotak berukuran cor. Sistim ini untuk memudahkan pelaksanaan operasionalnya baik bagi si pemasang maupun bagi surat kabar ataupun biro-biro.

Untuk di majalah, adpertensi berwarna hanya tersedia di halaman kulit 2, 3 dan 4 saja, sedangkan halaman dalam hanya hitam/putih.

 

ISI DAN PERANCANGAN ADPERTENSI

Pada umumnya fihak penerbit itu menjual ruang adpertensi dalam penerbitannya, tetapi tidaklah seperti apa yang pernah dilakukan di Amerika tahun 1841 oleh organisasi VOLNEY B. PALMER yang semata-mata hanya menjual ruang adpertensinya kepada biro-biro iklan dan yang tersebut terakhir inipun tidak menunjukkan usaha pelayanan yang baik terhadap pemasang dengan jalan mengarahkan susunan kata-katanya ataupun lay-outnya (C.H. Sandage, 1945).

Biro-biro adpertensi di Indonesia pada zaman 1, 2 dan 3 justru berlomba-lomba menunjukkan itikat baiknya untuk memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada para pemasangnya. Bagaimanapun juga, biro adpertensi adalah suatu usaha jasa.

Di zaman 2 dan 3 khususnya, sebagian besar isi adpertensi di harian berupa penawaran ataupun permintaan barang/bahan perdagangan dari atau oleh Kongsi/N.V./P.T/maatschappy seperti: BORSU MIJ (Borneo-Sumatra Handels Maatschappy), LINDETEVES STOKVIS, DASAAD MUSIN CONCERN, MITSUBISHI, UNILEVER, B.P.M. dan lain sebagainya dalam usaha mereka untuk meng-aruskan barang/bahan dagangannya. Ini memang sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu, di mana komoditi itu hanya berputar-putar saja, karena adanya blokade yang ketat. Dengan demikian, maka prinsip dagangnya adalah “makelaarschap”. Iklim semacam ini melanda sebagian besar para pedagang besar dan kecil, sehingga lahirlah istilah “Pedagang Aktentas”, yang mondar-mandir ke sana-kemari dengan membawa tas centengan mencari order pesanan, tetapi tidak memiliki komoditinya.

Sebagian besar perancangan adpertensi produk (dalam negeri) bersifat “anjuran memakai” yang terasa sangat monoton dan akhirnya memuakkan, sekaligus menggambarkan miskinnya kreatifitas bidang “copy-writing” pada masa itu.

Di mana-mana kita dihadapkan pada kata-kata: “PAKAILAH SELALU …” Bagi perusahaan-perusahaan besar dan bonafide, temanya biasanya adalah “mengingatkan kembali” akan nama dan sedikit kata-kata. Penetrasinya difokuskan pada LOGO TYPE-nya.

Pada produk-produk baru dalam negeri kebanyakan produsen tidak mau mengikuti tataran thema yang sesuai dengan teori reklame, tetapi menggunakan trobosan-trobosan langsung ke sasaran, ialah penjualan, sehingga masyarakat sukar mengetahui apakah produk itu lama atau baru saja muncul…

Oleh karena itu, dampak yang kemudian timbul dari usaha trobosan tersebut antara lain dengan dimuatnya adpertensi tentang adanya pengkaburan merk yang mirip; apalagi kalau kedua-duanya belum mempunyai nomor deponir (gedeponeerd, terdaftar, registered).

Dengan sering adanya adpertensi yang bernada pengaduan itu, maka biro-biro reklame dan adpertensi dibebani pekerjaan lagi, ialah jasa penyiapan dan pengurusan pendaftaran merk dagang pada “Kantor Pendaftaran Merk Dagang” yang terletak di Jalan Pool 10 (dulu), (sebelah Barat Istana Negara-Jakarta).

 

BAHASA

Bahasa yang masih mewarnai kehidupan masyarakat maupun bidang reklame dan adpertensi adalah bahasa bekas penjajah terlama: Belanda. Kata-kata seperti: RECLAME/REKLAME (iklan), AVERTENTIE/ADVERTENSI (iklan di surat kabar/Press Ad), RESTAURANT, BARBIER (Pencukur rambut), TEHUUR (disewakan), TE KOOP (dijual), TANTE, dan lain sebagainya, masih kita jumpai baik secara terucapkan maupun tertulis di mass media. Dalam bentuk secara visual pengaruh “Hollandsch denken en Hollandsch inzicht” (berfikir dan berpandangan ala Belanda) terealisir misalnya dalam adpertensi sebuah RESTAURANT atau HOTEL, di mana selalu tergambar seorang yang berpakaian jas dan celana panjang putih, memakai peci dan… tidak lupa, sebuah serbet yang tersampir di pundak kirinya dalam posisi siap menerima instruksi dari Tuan Belanda! –

Atau visualisasi alam kebudayean Barat lainnya, seperti penggunaan tokoh-tokoh dari Cartoonist Walt Disney dengan Micky Mouse, Donald Duck, Cinderella, Putri Salju dan lain sebagainya, atau adpertensi keluarga tentang kelahiran bayi dengan gambaran seekor burung bangau terbang dengan membawa bayi.

 

PENGGUNAAN SLOGAN

Penggunaannya pada bidang reklame maupun adpertensi pada 3 zaman itu masih belum banyak, disebabkan jenis produk masih relatif sedikit, terutama pada zaman 2 dan 3, di mana produk baru praktis tidak ada karena situasi dan kondisi pada masa itu kurang memungkinkan. Di antara produk-produk yang ada terutama produk lama yang telah dikenal masyarakat dari zaman 1, yang menggunakan slogannya antara lain dari:
a. Sabun mandi LUX: “9 dari 10 bintang film memakai sabun mandi LUX”
b. Margarine BLUE BAND: “Giman selalu berhasil”
c. Sabun mandi LIFEBUOY: “Awas B.O.” (di Indonesia)
Sabun mandi REXONA: “Behoed U voor B.O.” (di Eropa)
B.O. = Body Odeur (Bau Badan)

Demikian pula penggunaan tokoh-tokoh terkenal baik yang nyata maupun fiktif seperti :
d. Salah satu Bintang Film Barat untuk sabun LUX
e. Si kembar DIONNE dari Canada untuk sabun PALMOLIVE
f. Tokoh GIMAN untuk Margarine BLUE BAND
g. Kera Raksasa KING KONG
h. Salah satu tokoh dari WALT DISNEY
i. Tokoh FLASH GORDON yang spektakuler, dan lain sebagainya

 

MERK TERKENAL IDENTIK NAMA BENDA

Mungkin dikarenakan sedikitnya barang produk yang sejenis, maka di antara produk yang ada dan yang dipandang paling baik kualitasnya, menyebabkan masyarakat cenderung untuk memandang dan menganggap produk dengan merk yang melekat pada produk itu sebagai NAMA BARANG. Contoh nyata dalam kehidupan masa itu:
a. ODOL untuk pasta gigi (tandpasta)
b. ASPIRIN untuk obat influenza
c. KININE pil untuk penyakit MALARIA; harganya sangat murah dan mudah didapat
d. VIETSIN untuk bumbu masak
e. SILET (King C GILLETTE) untuk pisau cukur
f. BRASSO bahan untuk mengkilapkan barang-barang dari logam
g. KODAK untuk alat memotret (foto-toestel)

Kadang-kadang diasosiasikan pada gambar yang terdapat pada merk barang, seperti:
h. Tjap MATA untuk barang-barang dari logam seperti pisau, gunting, penmes, pisau cukur dengan tangkai dan lain sebagainya
i. Wol tjap KAMBING pengertian untuk jenis textiel dari wol buatan Engeland (Inggris)

 

PENGGUNAAN HURUF DAN GAMBAR DALAM ADPERTENSI

Hampir semua media cetak dalam tiga zaman itu menggunakan teknik cetak tinggi (hoogdruk), kecuali cetakan untuk benda-benda cetakan yang spesifik mempunyai bobot nilai tersendiri, seperti kertas-kertas berharga, uang kertas, perangko, dan lain sebagainya. Penerbitan yang dikeluarkan oleh fihak Penguasa (Pemerintah), terutama di Zaman Pendudukan Jepang, satu-satunya majalah bulanan yang paling bagus cetakannya (pada waktu itu) adalah majalah “DJAWA BAROE”. DJAWA BAROE adalah suatu majalah berwarna dengan cetakan teknik “cetak dalam” (diepdruk) yang berisi propaganda DAI NIPPON dalam usaha mereka untuk merangkul rakyat Indonesia.

Pemakaian huruf-huruf khususnya untuk harian berukuran paling kecil 5 punt untuk berita dan 6 punt untuk teks di adpertensi, sedangkan untuk kalimat utama (kopregel, headline) dan lain sebagainya, lebih besar sampai mencapai beberapa kali cicero/agustijn sesuai ukuran handzet (zet tangan) yang tersedia dalam percetakan.

Jenis huruf yang dipakai dalam adpertensi pada umumnya bentuk kapital “sanserif” (huruf tanpa sepatu) untuk kop dari keluarga “ANTIEKE” atau “GROTESKE”, termasuk FUTURA, NOBEL, KABEL, sedangkan dari bentuk “serif” banyak dipakai “GARAMONT”, “MEDIAEVAL”, “BODONI”. Penggunaan huruf yang lebih gemuk dari keluarga “COOPER”, “ATLAS” dan untuk khusus kapital dari “FIGARO” (Karel Sartory, 1947).

Apabila dibutuhkan huruf berukuran lebih kecil atau lebih besar dari yang tersedia dalam box percetakan, maka perlu ditempuh jalan dengan teknik “clichering” (dibuat cliche terlebih dahulu); dan ini memerlukan tambahan biaya dan waktu.

Untuk hiasan pinggir dan sudut (rand-en hoekversiering) diperlukan seorang zetter (tukang penyusun huruf) yang kreatif guna membuat adpertensi di penerbitannya menjadi menarik dan akan menyenangkan pemasang atau biro adpertensi. Dalam keperluan yang sangat mendadak di mana tidak mungkin membuatkan huruf, kata ataupun suatu nama dengan huruf yang besar dan terbuat dari bahan zinco, maka jalan keluarnya ialah dibuat dari bahan kayu sawo kecik atau jati. Ini sering dilaksanakan di KORRA cabang Yogyakarta yang penulis pimpin, agar kebutuhannya terpenuhi. Untuk itu penulis mempunyai seorang ahli “woodcutter” dalam biro, di mana ahli itu tidak hanya pandai menangani kayu saja, tetapi juga bahan seperti logam dan tanduk/gading. Khususnya yang berkaitan dengan bahan tanduk, yang pada Zaman Pendudukan Jepang, banyak orang Indonesia yang latah meniru kebiasaan serdadu-serdadu dan bangsa Jepang yang selalu membawa cap/stempel pribadinya berbentuk seperti tabung lipstick dengan berisi tinta merah di dalamnya. Tiap surat apapun sifat surat itu, selalu dibubuhi dengan cap pribadi, menunjukkan akan keabsahan atau autentiknya lembaran itu.

Tentang gambar di harian dan majalah pada umumnya memakai lijn, raster cliche atau kombinasi dari lijn dan raster. Gambar-gambar produk yang diadpertensikan masih banyak yang menggunakan teknik “digambar” secara “lijn”, yang nantinya akan menjadi “lijn-cliche”. Hanya sebagian kecil yang menggunakan “raster cliche” dikarenakan faktor teknis, seperti: kalau digambar, penggambarannya sendiri adalah masalah, setelah tercetak belum tentu terang/jelas atau bersih disebabkan rasternya terhadap jenis kertas, tinta cetaknya sendiri, dan lain sebagainya. Teknik lain untuk mendapatkan gradasi bidang, tetapi jenis clichenya tetap jenis “lijn”, ialah dengan teknik “arsiran”, titik (dots), “scraper board” atau “skretchboard”, atau menggunakan aplikasi dengan “film”, yang bisa dibeli di toko alat-alat tulis menulis dan perusahaan cliche. Kurang seringnya pemakaian cliche dengan raster untuk adpertensi, disebabkan pada masa itu masalah “FOTO” (film dan alat potretnya) masih langka dan dianggap “lux” sekali. Oleh karena pemakaian “lijn-cliche” lebih banyak dari pada dengan “raster”, padahal bahan baku 1embaran zincum baik yang 2 maupun 3 mm tebalnya merupakan komoditi import, maka penulis sering mendatangi percetakan-percetakan baik di Yogyakarta sendiri maupun di luar (Magelang, Solo, Semarang) untuk membeli cliche-ciiche, “raster” bekas secara kiloan. Setelah cliche bekas itu dilepas dari kayunya, bagian belakang yang tidak ada rasternya (gambarnya) digosok dengan ampelas besi sampai rata dan dengan cara demikian maka biro telah mempunyai persediaan “stock” bahan untuk cliche.

Apabila suatu adpertensi dengan gambar (cliche) yang harus dimuat pada beberapa harian, di kota-kota besar di Indonesia, maka cara yang dipakai adalah dengan membuatkan di percetakan beberapa “matrijs”, hasil afdruk dari cliche zinco sebagai induknya.

Karena “matrijs” ini ringan (terbuat dari karton bercampur bahan asbes, sehingga tidak mudah terbakar), lagi murah ongkos “afdruk”nya, maka penyampaiannya ke harian lebih praktis dengan cukup memasukkan “matrijs” tersebut ke dalam amplop surat biasa. Sesampainya di harian yang dituju, maka “matrijs” itu dituangi cairan timah hitam (lood) yang kemudian menghasilkan cliche persis seperti cliche induknya, hanya sekarang “cliche stype” ini jauh lebih berat. Sekiranya adpertensinya sudah tidak akan dimuat lagi, maka “cliche stype” ini dilebur kembali.

Adanya perusahaan-perusahaan pembuatan cliche secara sederhana itu merupakan partnership yang baik bagi penerbit dan biro iklan, meskipun bagi perusahaan cliche sendiri cukup merepotkan untuk bisa mendapatkan bahan-bahan kimianya, zincumnya dan berusaha keras untuk menemukan cara-cara pelaksanaan yang lebih praktis, mengingat semua serba sulit didapat.

Adpertensi dengan dasar warna hitam dan huruf putih (kertasnya), merupakan suatu hal yang “istimewa”; bukan karena menyangkut segi “strategi optis” dalam reklame, tetapi lebih ditekankan pada segi “teknis pelaksanaan, sarana dan beaya”, mengingat situasi dan kondisi pada waktu itu. Lebih-lebih apabila ukurannya relatif besar. Maju dan tidaknya suatu harian atau majalah, tercermin dari halaman-halaman adpertensinya. Pada penerbitan-penerbitan yang pada halaman-halaman adpertensinya terdapat bidang-bidang segi panjang bertepi garis dan di dalamnya tercetak kata “VACANT” (kosong), mencerminkan betapa gersangnya lahan adpertensi pada penerbitan itu.

 

KEDUDUKAN BIRO-BIRO

Pada masa itu ada 3 macam Biro, ialah pertama: BIRO REKLAME (Reclame Bureau) yang merencanakan, melaksanakan pembuatan media dan sampai pula melaksanakan pemasangannya. Kedua: BIRO ADPERTENSI (Advertentie Bureau) yang merupakan rekan kerja bagi Penerbit-penerbit dalam usaha turut memasukkan adpertensi-adpertensi di dalam penerbitannya dengan mendapatkan komisi yang besarnya disesuaikan dengan “bobot” usaha jasa itu sendiri.
Ketiga: BIRO REKLAME dan ADPERTENSI (Reclame dan Advertentie Bureau) yang di dalam aktivitas kerjanya merupakan gabungan dari dua BIRO tersebut terdahulu.

Di zaman 2 dan 3, seingat penulis, ada beberapa nama BIRO, seperti di:

JAKARTA:
1. “KORRA”, singkatan dari Kantor Oeroesan Rumah, Reklame dan Adpertensi beralamat di Jalan Molenvliet Barat 7 (lantai I); sebelah selatan jalan Alaydrus, di bawah pimpinan R.M. SOEJADI HADIKOESOEMO, tempat di mana penulis untuk pertama kali bekerja dalam dunia reklame dan adpertensi tahun 1943-1944.
2. “IRAB”, bergerak hanya dalam bidang adpertensi dan beralamat di jalan Sawah Besar.
3. “TANDJOENG”, bergerak dalam bidang adpertensi.
4. “UNILEVER”, mengurusi reklame dan adpertensi produk-produk yang menjadi tanggung jawabnya sebagai perusahaan dagang yang besar dan sebagai “grossier” untuk Indonesia. Perancang-perancang reklamenya di bawah pimpinan Art Director B. HURKIE, seorang Belanda.

BANDUNG:
“BOEDI KSATRIA” bergerak dalam bidang reklame dan terutama adpertensi.

SEMARANG:
1. Studio Reklame “SRI MOERTONO”, di bawah pimpinan Sri Moertono (alm) dan mengutamakan pembuatan poster besar perjuangan Republik Indonesia beralamat di Jalan Bodjong, muka gedung BPM (Pertamina).
2. “KORRA” cabang dari Jakarta, pimpinan dirangkap oleh pimpinan Jakarta. Beralamat di: Jalan Djoernatan (dekat Gereja Blendoek) kompleks Perusahaan/Kongsi Dagang/Bank.

YOGYAKARTA:
l. “KORRA” cabang Jakarta; dibuka tahun 1944 di bawah pimpinan penulis sendiri, beralamat di Jalan Gondolayu No. 14, telp. 275 (lantai 1), sekarang: Jalan Jendral Soedirman. Bergerak dalam bidang reklame dan adpertensi dengan 13 orang terdiri dari staf dan karyawan.
2. “CARARA” bergerak di bidang reklame dan adpertensi di bawah pimpinan Pak BROTO dengan perancang grafisnya: KENTARDJO. Beralamat di sudut Jalan Perwakilan (sekarang) sebelah Barat.

BIRO ADPERTENSI sebagai suatu usaha jasa dan partner penerbit, mendapatkan “KOMISI” sebagai imbalan. Besar kecilnya komisi berkisar antara 10 sampai dengan 20%. Bagi biro yang dipandang dan dianggap “bonafide” oleh penerbit baik dari segi “correct dan perfect”nya cara bekerja, terutama yang menyangkut moral dan tanggung jawab finansial Biro bersangkutan, mendapatkan penuh 20%.

Pembayaran jumlah adpertensi yang dimuat dalam jangka waktu satu bulan, pelunasannya dilaksanakan pada setiap tanggal 5 bulan berikutnya setelah dipotong komisinya. Bahaya yang selalu mengancam dalam usaha jasa ini terletak pada kecermatan cara bekerjanya, terutama yang menyangkut “isi” adpertensi. Kasus “kesalahan” penulisan isi merupakan “momok”.

Di samping biro sebagai pelaksana jasa COLPORTAGE, maka surat Kabar/majalah dan biro mempunyai colporteurnya masing-masing; bedanya: yang pertama orangnya sebagai colporteur lepas, tidak digaji oleh mass media, tetapi mendapatkan kartu identitas SEBAGAI COLPORTEUR. Sedangkan yang kedua, merupakan karyawan dari biro yang tugasnya terutama sebagai COLPORTEUR dan digaji tetap oleh biro.

Perusahaan, Produsen, Lembaga/Kantor, Perorangan dan lain sebagainya, sebagai “pemasang langsung” ke surat kabar/majalah, seingat penulis tidak mendapatkan komisi dari Penerbit; dan mengenai beaya pemasangannya harus langsung dibayar sete1ah dimuat. Oleh karena itu mereka lebih suka menyerahkan hal ini kepada biro saja; lebih efisien. Seeara tidak langsung “policy” penerbit ini memberikan kesempatan lapangan kerja bagi mereka yang berprofesi dan meningkatkannya demi manfaat bagi kedua belah fihak.

Untuk setiap adpertensi yang dimuat melalui suatu biro, oleh penerbit diberi kode Inisial sesuai nama bironya, seperti: K untuk KORRA, dilengkapi nomor urut adpertensi; I untuk IRAB; T untuk TANDJOENG, dan seterusnya. Demikian pula pada setiap ILUSTRASI atau GAMBAR dalam adpertensi, diberi kode nama bironya sebagai hak cipta biro.

 

MEDIA REKLAME

Terutama di zaman 2 dan 3, di mana keadaan bidang perdagangan dan usaha produksi menjadi tidak bergairah dikarenakan kehidupan masih diliputi suasana perang, menyebabkan lesunya penggunaan media reklame oleh para produsen dan pengusaha.

Kalau ada umumnya terbatas hanya pada media seperti:

a. PAPAN REKLAME (Reclame Borden) yang berintikan nama, visualisasi produknya dan sedikit pesan. Berukuran lembaran seng dan dipasang di kedua belah tepi jembatan yang menghubungkan Jalan Molenvliet Barat dengan Molenvliet Timur Jakarta (sekarang: Jalan Gadjah Mada dan Hayam Wuruk). Ukuran yang lebih kecil dipasang di TRAM LISTRIK Jakarta pada semua lijn (jalur) di bagian luar gerbongnya; sedangkan di dalam dipasang poster cetakan. Kalau ada yang berukuran lebih besar dan lebih baik mutu bahannya, maka itu adalah Papan Propaganda dari Pemerintah sebagai Penguasa.

b. PAPAN NAMA (Naambord), pada umumnya dibuat agak bersifat permanen, tetapi hanya bisa dibaca/dilihat pada siang hari, mengingat pada malam hari suasana diluar rumah harus gelap sesuai instruksi/perintah fihak penguasa agar tidak kecolongan oleh pesawat tempur musuh untuk menjatuhkan bomnya. Suasana ini terasa pada Zaman Pendudukan Jepang dan Zaman Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia, terutama di daerah “REPUBLIK”.

c. POSTER “out-door” maupun “in-door” dengan teknik cetak tinggi di atas kertas pada umumnya berukuran folio atau lebih besar sedikit mengingat sukarnya mendapatkan bahan-bahannya (kertas, tinta cetak, clichenya, warna dan sebagainya) sedangkan perizinan (sensop) merupakan kendala yang terasa sangat mengganjal.

d. PLAKAAT sebagai benda tempel umumnya ada yang tercetak, tetapi banyak pula yang dengan sistim “schablon” (bukan screenprint) yang tradisionil dengan menggunakan pola dan alat semprot untuk mewarnainya. Sebagian isi plakaat ada yang ditulis tangan atau digambar, terbuat dari kertas sederhana dan kadang-kadang kertas merang, bersifat agak insidentil misalnya untuk publikasi suatu pertunjukan sandiwara (contoh: Pertunjukan Panggung “MISS T]ITJIH”, “MISS RIBUT”, “DARDANELLA” (Jakarta); Sandiwara “BINTANG SOERABAYA”, BINTANG TIMUR”, atau KElOPRAK dan DAGELAN MATARAM (Yogyakarta).

e. SPANDOEK (Banner):
Tidak banyak dipergunakan untuk mempromosikan produk/jasa, tetapi banyak untuk keperluan Propaganda Politik, seperti akan adanya rapat raksasa, pernyataan dukungan ini/itu, ajakan-ajakan yang menggebu-gebu dan agitatif. Ini umum berlaku terutama di daerah “REPUBLIK”. Terbuat dari bagor ber”kwalitas” halus, sedang atau kasar dengan cat minyak kalengan produk dalam negeri yang setelah dicatkan catnya tidak mau kering dan warnanya seperti darah. Kalau ada yang terbuat dari bahan kain “blatjo”, “mreki” atau mori kasar, setelah spandoeknya pagi terpasang rapih, untuk target selama 3 hari atau lebih, maka malamnya barang itu sudah lenyap secara misterius. Mungkin sudah “menjelma” menjadi beberapa potong celana pendek. Lumayan!

f. PEMBUNGKUS (Packaging):
Tentang pembungkus di zaman 2 dan 3 keadaannya sangat “zielig” (memelas) kata orang Tempo Doeloe. Pada umumnya bahannya dari kertas karton kasar, kertas HVS, kertas merang untuk barang ukuran kecil, sedang untuk barang-barang yang dipandang agak “LUX”, masih ditambahkan dengan lapisan kertas cellophaan (kertas kaca). Bahan lainnya: gelas, kaleng, kayu triplex. Cetakan pada pembungkus umumnya teknik cetak tinggi, termasuk hanya di-CAP (di-STEMPEL) satu per satu dengan tangan. Kalau ada yang berwarna, maka pada umumnya cetakannya “mringis”, atau meleset. Fungsi pembungkus di sini hanya sebagai pembungkus dalam arti yang sebenarnya, tanpa dilandasi strategi psychologis terhadap isi yang ada di dalamnya. Ini disebabkan situasi dan kondisi waktu itu yang serba sulit dan susah.

g. ETALASE (Pajangan, Window Display)
Untuk kota Jakarta dan Bandung masih dapat disebut lumayan, tetapi apa yang terdapat di daerah “REPUBLIK” menurut penulis, sangat jauh berbeda. Di kota perjuangan Yogyakarta terdapat banyak etalase yang berbentuk seperti “gudang”, karena hampir semua barang yang tersedia di dalam toko itu, dipajang dalam etalasenya. Akibatnya ruang sempit itu menjadi penuh sesak. Bahan dekorasinya sangat minim; untuk memberikan warna yang atraktif dipergunakan “Kertas CREPE” (Kertas Klobot) yang sangat sukar mendapatkannya. Tidak perlu memikirkan jenis lampunya, karena malam hari praktis tidak berfungsi dan bahkan bagian ini ditutup dan hanya pintu masuk/keluar yang dibuka.

h. LICHTBAK (Neon-sign):
Praktis tidak berfungsi, karena larangan fihak penguasa akan bahaya serangan udara malam hari oleh pesawat musuh dan penghematan stroom listrik. Media ini berbentuk kotak pipih, berkerangka besi atau kayu dan berdinding kaca, di mana di dalamnya terpasang lampu T.L. (Tube Lamp), atau lampu “boog lamp” (bulb, plentong), sedangkan dasar dari pada bidang tulisan/gambar pada umumnya gelap pekat. Bentuk huruf-huruf yang terlihat memberikan kesan huruf neon (silindris), oleh karena itu secara umum masyarakat menamakan “Reklame NEON”.

i. SLIDE di Gedung Bioskop:
Masih cukup banyak pengusaha yang memanfaatkan medium ini, karena beberapa hal: relatif murah, secara visual lebih memfokus, suasana pengamatan lebih menyenangkan dan relax, frequensi pemunculannya lebih besar. Dibuat dengan sistim “plaat kering” (film berukuran 6 x 6 cm – hitam/putih) dan “plaat basah” (salah satu tahapan proses pembuatan negatif kaca dalam zincografie). Pewarnaan dilakukan secara “manual” dengan “KODAK Transparant Water Colour” berbentuk lembaran berwarna. Biro dan Produsen masing-masing mendapat karcis masuk gratis dari pengusaha Bioskop selama jangka waktu pemasangan.

j. MEDIA LAIN seperti:
DEALERHELP hanya terdapat pada toko-toko tertentu seperti Apotik, Toko Kacamata, Toko alat-alat olah raga dan sebagainya.

MERCHANDIZER agak jarang, kalau ada di toko alat-alat tulis dan kantor.

VITRINE, di toko “Klontong” yang agak besar khususnya di bagian Parfumurien/cosmetics.

STICKER, belum model dan belum ada kertas khususnya.

TAS, belum banyak dilakukan, hanya oleh toko-toko besar dan terkenal saja.

PAMFLET (Selebaran)
Digunakan oleh Pengusaha Bioskop, Sandiwara, Organisasi Politik; agak jarang untuk tujuan pemasaran produk.

POSTRECLAME (Direct Mail Adv.)
Dilakukan oleh perusahaan besar, lengkap dengan sample produknya untuk dicoba. Ada yang hanya berisikan informasi lengkap tentang produk yang sedang dikampanyekan. Sumber alamatnya mereka ambil dari “Buku Alamat, Buku Alamat Dagang, Buku Telepon dan informasi langsung dari kenalan.

FOLDER:
Agak jarang ada, karena faktor bahan, teknis dan biaya.

MOBILE DESIGN (Reklame Gantung):
Belum menjadi mode.

INLEGGER (Sisipan dalam penerbitan):
Sering ada juga yang mempergunakan sebagai “kejutan” pada pembacanya; terutama ditrapkan pada harian. Kertasnya berwarna.

Bentuk SAYEMBARA:
Ada yang dengan cara menebak, menjawab beberapa pertanyaan, menguji ketrampilan masing-masing peserta dengan mewarnai suatu gambar pemandangan dan dikirim kembali ke toko atau pabriknya (Sabun mandi LUX). Tiap minggu pemenangnya diumumkan melalui adpertensi di mass media.

SANDWICH MAN:
Meskipun dunia usaha di daerah “REPUBLIK” sangat lesu, namun di kota Yogyakarta penulis sempat menjumpai beberapa kali bentuk reklame ini; ialah seorang berjalan dari perempatan Tugu sampai Kantor Pos Besar melalui Malioboro dengan bagian depan dan belakang orang tersebut digantungi papan bertuliskan “pesan” dari suatu publikasi produk/jasa tertentu. Untuk kamuflase, pelakunya memakai topi, berkacamata hitam, jenggot dan kumis palsu; atau menggunakan topeng sebagai kamuflase total.

Media lain yang tidak kalah uniknya adalah BENDE (gong dalam bentuk kecil). Dipergunakan sebagai “pemberitahuan” akan adanya PELELANGAN barang-barang, atau PERTUNJUKAN yang akan datang.

Sebagai KOMUNIKATOR nya adalah si pemukul bende itu sendiri, sedang pada SANDWICHMAN orangnya diam seribu bahasa.

SPONSORSHIP
Belum banyak dilakukan; bila ada, masih dalam batas-batas yang tidak mencolok sekali.

Itulah antara lain media yang pernah muncul dalam pengamatan penulis selama masa itu.

BAHAN DAN PERALATAN:

Setelah pendudukan Jepang di Indonesia, maka bahan-bahan pada umumnya dan bahan yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk pembuatan media reklame pada khususnya stocknya makin lama makin menipis dan akibatnya cara untuk mendapatkannya dengan cara “kucing-kucingan” dan “tutup mulut”. Lembaran seng, besi, kuningan, tembaga, asbest, eterniet bisa didapat dengan “bisik-bisik” dan harga tinggi, sedangkan lembaran alumunium dianggap bahan “lux” dan langka.

Bahan dari kayu, seperti: TRIPLEX, MULTIPLEX, HARD dan SOFTBOARD, KACA, sama saja sukar mendapatkannya.

CAT MINYAK (kaleng) dan CAT TEMBOK (dalam bentuk bubuk) yang dianggap terbaik adalah dari pabrik cat P.A. REGNAULT dan mendapatkan sebutan masyarakat sebagai CAT “PAR”, yang di Zaman Revolusi Kemerdekaan Indonesia setelah pabriknya dinasionalisasi menjadi “PATNA”. Cat dengan merk lain yang bersifat umum adalah Tjap “KLOMPEN”.

Cat minyak dan cat air, untuk menggambar didominir oleh merk: “TALENS”, “GIMBORN”, “PELIKAAN”, “REMBRANDT” (produk asing), sedangkan dari dalam negeri untuk tinta cetak dari “TJEMANI”.

Jenis KERTAS terbatas sekali jenisnya.

Untuk jenis kertas gambar yang dianggap baik adalah merk “De BIJLTJES” (Kapak), baik dalam bentuk lembaran maupun gulungan.

Jenis lain adalah kertas: PADALARANG, MANILA, KALKIR, CREPE, CELLOPHAAN, KRAFT, BOTERHAM, GRENJENG, PILOS atau MINYAK, PAYUNG, MARMER dan MARMER POLOS, LINNEN, KUNSTDRUK, AQUAREL dan lain-lain.

Sebagai bahan untuk kerangka ataupun tiang papan reklame yang besar-besar, masih banyak yang mempergunakan KAYU JATI, kadang-kadang saja ada yang dengan lonjoran besi siku bentuk V atau U.

Dari apa yang pernah penulis lihat dan alami selama masa itu dan kemudian dibandingkan dengan suasana serta keadaan yang ada sekarang, mendorong pada diri penulis untuk memilih judul tulisan ini sebagai suatu bahan perbandingan dan pemikiran guna memacu pada perkembangan bidang reklame dan adpertensi (periklanan) di Indonesia yang kaya ini, khususnya bagi mereka-mereka yang merasa terpanggil dalam bidang profesinya untuk menjadi insan INDONESIA yang PROFESIONAL.

Semoga.

 


DAFTAR PUSTAKA:

1. W.H. van BAARLE en F.E. HOLLANDER. RECLAMEKUNDE. Leiden: H.E. Steinfert Kroese’s Uitgevers-Mij N.V. 1946
2. KAREL SARTORY. STRATEGIE DER RECLAME. Baarn: Uitgeverij Schuyt N.V. 1947
3. GEORG SCHEDER. PERIHAL CETAK MENCETAK. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1976
4. C.H. SANDAGE, Ph.D. ADVERTISING Theory and Practice. Chicago: Richard D. Irwin, Inc. 1945
5. RUSSEL LAKER. ANATOMY OF LETTERING. London and New York: The Studio Publications. 1946
6. ANDREW LOOMIS. CREATIVE ILLUSTRATION. New York: The Viking Press. 1947
7. H.K. NIXON. PINCIPLES OF ADYERTISING. New York: 1937

Sumber: Buku ”Simposium Disain Grafis” Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia- Yogyakarta, dalam rangka Purna Bakti drs. R. Soetopo sebagai tenaga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, yang diselenggarakan pada tanggal 4 April 1989.

Quoted

Make your interactions with people transformational, not just transactional.

Eve Vogelein