Kepanjangan Tangan Kaum Pemilik Modal
Coca-cola tidak hanya diteguk orang Amerika. Anak-anak di kota kecil di sini, bisa juga mencicipi rasanya. Bisnis kini sudah melewati batas bangsa dan tanah air. Itu dimungkinkan oleh, antara lain, iklan.
Kalau dulu, orang menjual dagangannya lebih mendasarkan pada mutu. Namun kemudian, untuk lebih menjangkau masyarakat banyak, dibuatlah gambar disertai tulisan yang menarik. Itulah awal dari bentuk rancang gambar, yang memperhitungkan segi artistik, sasaran pembeli, dan jenis barangnya.
Bagaimana suatu produk bisa dilempar ke pasar, dan kapital bisa kembali, merupakan bagian yang penting dari arus ekonomi baru. Dari sinilah timbul hubungan antara barang, pasar, dan modal. Pada abad ini, rancangan memasarkan barang menjadi kebutuhan utama, demi berlangsungnya sebuah sistem nilai. Dan rupanya, seni mendapat porsi yang cukup besar dalam merambah dunia yang penuh mimpi dan khayal tersebut.
Pekan ini, 9 hingga 15 Februari 1988, di Pasar Seni Ancol, Jakarta, diselenggarakan Pameran Grafis Jepang-lndonesia. Kerjasama antara Ikatan Perancang Grafis Indonesia dan Japan Graphic Designers Association.
Jepang sebagai raksasa ekonomi dan Indonesia yang kebanjiran produk mereka, merupakan suatu hubungan yang menarik dalam melihat masalah rancang grafis. Merk mobil seperti Daihatsu, Mitsubishi, dan Toyota, menguasai pasar poster iklan kita. Dengan tulisan besar, warna mencolok, logo perusahaan serta nama pabrik, gambar itu lebih banyak ingin bercakap-cakap kepada pembeli daripada melakukan sebuah pendekatan “image”. Sebuah contoh iklan yang sangat verbal.
Berbeda dengan bentuk iklan JVC, Sony, atau National dari perancang Jepang. Mereka lebih mempermainkan abstraksi produk. Industri telekomunikasi digambarkan sebagai menembus ruang dan waktu, menyambut generasi angkasa luar. Citra gambar itu lebih bisa berbicara banyak pada kita, sementara tulisan produk bersangkutan seakan terselip saja. Begitu pula yang tampak dalam poster iklan minuman Suntory beer dan Whisky Royal. Citralah yang dijual, bukan kata-kata verbal.
Ada penawaran produk kecantikan, ada poster seni pertunjukan, film, pameran dan festival, ada mode, ada penerangan planologi kota, ada telekomunikasi, kebudayaan, dan perdamaian. Semuanya jenis poster dalam ukuran besar dengan keluasan penggunaan berbagai teknik. Di pihak lain, para perancang tuan rumah menampilkan, antara lain, hasil rancang kalender, kulit buku, kartu, brosur, iklan sandiwara, musik dan pameran, dan editorial design yang banyak bertebaran di majalah kaum hawa, serta packaging.
Di pihak lain, sektor kebudayaan menempati ciri khasnya sendiri. Wanita Jepang digambarkan berwajah melankolik, berkimono dengan garis mata kecil, bibir mungil dan sanggul yang mengesankan mahkota. Hal itu hampir selalu menjadi paduan yang harmonis, sekalipun hanya berupa bidang geometris atau garis. Juga, penggunaan simbol tumbuhan seperti bunga teratai, sakura serta daun tampak menonjol. Sentuhan Jepang itu amat terasa. Begitu pula yang tampak dalam ungkapan poster seninya.
Namun, pada tema yang mengarah ke masa depan, muncul mantap dengan teknologi komputer. Misalnya pada poster telekomunikasi maupun World Design Expo ’89. Yang tampak mencolok adalah peran garis dan titik, yang menghasilkan bentuk yang sangat khas teknologi canggih itu. Terlihat jelas seperti dalam Monalisa dalam 37.180 kata, hurufnya Jepang, gambarnya gadis abad klasik Eropa. Tidak ada yang aneh, tetapi membangkitkan perasaan lain.
Demikian pula yang tergarap dalam permainan bidang geometris. Kumpulan jaring macam rumah laba-laba, bisa memberikan citra abad angkasa luar. Sebaliknya, juga hal sehari-hari seperti penataan kota, perbaikan jalan kampung atau suasana alam mendapat pula porsi untuk dikampanyekan.
Jadi, pandangan artis Negeri Matahari Terbit terhadap sekitar, adalah biasa saja. Kekuatan itu terletak pada ide, teknik, dan dukungan kultur yang menghidupi alam sekitarnya. Dengan demikian, kita bisa memperbandingkan tingkat perjalanan para perancang kita.
Budaya rancang grafis di sini, agaknya belum banyak diminati sebagai kebutuhan dan baru dikenal selama akhir dasa warsa ini. Selain itu, kultur dan pandangan kita terhadap olahan seni massa ini, barangkali melewati pertumbuhan yang lain dari Jepang. Teknologi cipta dan cetak pun masih jauh dari jangkauan.
Artinya, kita ini hanya sebagai pemakai, bukan pencipta produk maupun teknologinya. Sementara itu, pihak pemesan lebih banyak menentukan selera daripada para artis sendiri. Akhirnya memang “kekuasaan” homo ekonomikus yang masih tetap unggul.
Gagasan yang mula awal dipikirkan kalangan seniman di Jerman, dalam kelompok Bauhaus itu, memang dalam abad ini telah sanggup menempati posisi kuat sebagai salah satu bentuk ungkapan seni yang melibatkan banyak keterampilan. Maka, seni massa ini memang bukan sepenuhnya pekerjaan satu orang seperti halnya membuat lukisan atau mematung, melainkan mengikuti sebuah tatanan kerja secara bertahap-tahap.
Baru di sinilah kita bisa mengerti sebuah mekanisme penciptaan yang tidak sepenuhnya sendirian. Tapi, yang mengikuti perkembangan dan pertumbuhan industri dan pasar, sampai pada bagaimana menangkap mimpi calon sasaran, atau sebaliknya melemparkan mimpi kepada masyarakat. Itulah memang uniknya. Seni massa tersebut tak ada basa-basi seperti lazimnya seni sebelumnya. Yang ini sangat praktis, terus terang, dan langsung pada sasaran. Sekalipun, hasil seni yang menyangkut kekuasaan kaum pemilik modal ini, dianggap seni kodian.
Tapi, rupa-rupa seni ini memang ada dan dibutuhkan. Hanya saja memang cara kita memandang dunia masa depan, tidaklah segairah memandang gadis cantik dan pria gagah dalam iklan kita.
Sumber: Mingguan Berita “Editor” No. 26 Thn. I, 20 Februari 1988, hal. 42-43.
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif