Oleh: Hanny Kardinata
[Sambungan dari: Train-set yang Apa Adanya (1). Bagian terakhir dari dua bagian]
Memberi opini
Sebelum menjadi jurusan tersendiri, kurikulum desain dan seni di Studio Grafis ITB masih menyatu, mahasiswa tidak hanya membuat printmaking saja tapi juga kalender, poster, kaligrafi. Pada tahun 1973 tiba-tiba diputuskan bahwa Tugas Akhir (TA) mahasiswa bisa seni murni, bisa desain. Waktu itu Pri mengambil desain, tapi ia memilih merancang buku sastra yang dianggapnya masih ada seninya. Salah satu karya TA-nya berupa buku Kumpulan Sajak “O” karya Sutardji Calzoum Bachri yang dicetak terbatas dengan teknik cetak saring (153 eks.). Buku ini pada 2007 dicetak ulang secara terbatas guna kebutuhan merayakan hari lahir ke-66 penyair itu dalam acara Pekan Presiden Penyair, 14–19 Juli 2007 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saya sempat dikiriminya satu eksemplar (Gb. 3–5).
Di samping kesibukannya mengajar, Pri tekun berkarya di desain grafis, seni grafis, kartun, juga gambar (bebas). Sebagai kartunis, ia menikmati kewajibannya mengisi rubrik Opini tiap hari Senin di majalah Tempo, juga di beberapa media massa lainnya seperti Detektif dan Romantika, Forum Keadilan, TempoInteraktif, dan Kontan. Priyanto memiliki tokoh rekaan yang khas, lelaki kurus berambut tegak yang dinamainya Sartempe. Corak kartunnya sangat Indonesia (Gb. 6–7). Salah seorang rekan kerjanya di majalah Tempo, yang tiap hari Rabu rapat bersamanya dalam Rapat Opini [untuk menentukan opini apa saja yang akan ditulis majalah Tempo pekan depan], mencatat demikian:
“Jika foto lebih bisa berbicara dari seribu kata, saya kira hal sama terjadi pada kartun-kartun karya Mas Pri. Dalam detik yang sama sebuah karya kartunnya bisa menampilkan hal yang menyedihkan, ironis, sekaligus kegelian. Kartunnya di Tempo, menurut saya, tidak sekadar menempel—sesuatu yang lepas—tapi justru bagian dari berita—tulisan—yang ada di Tempo itu sendiri. Kartunnya tak hanya “melaporkan”, memberi kesaksian, tapi juga dengan tegas memberi opini, sikap. Karena itu pula kartun-kartunnya adalah “catatan” perjalanan bangsa ini. Terutama era Orde Baru dan hiruk pikuk pasca reformasi.”[2]
Pendapat mengenai karakter karyanya yang sangat Indonesia juga disampaikan oleh Goenawan Mohamad (l. 1941) dalam seminar ‘Politik Gambar Dua Empu’, 7 Desember 2013 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki. Ditambahkannya pula bahwa:
“Karakter-karakter yang digambarkan terkesan jorok dan berantakan. Ya! Negara kita memang jorok dan berantakan.” [3]
Sebagai desainer grafis, karyanya mewujud dalam beragam media, mulai dari animasi, buku, logo, tipografi, kaligrafi, perangko, kalender, kemasan, hingga desain luar ruang dan sistem penanda (sign systems). Salah satu pengakuan atas karya desain grafisnya diperoleh dari Italia. Empat halaman penuh biografi dan karya Priyanto—bersama Ignatius Hermawan Tanzil—dipublikasi di Progetto Grafico 9 (Gb. 8–9), majalah desain grafis internasional yang diterbitkan oleh organisasi desainer grafisnya Italia, AIAP (Associazione Italiana Design Della Communicazione Visiva) [sejak didirikan pada 2003, dan diarahkan oleh Alberto Lecaldano (l. 1946) hingga 2011, Progetto Grafico menjadi referensi utama mengenai budaya desain komunikasi visual di Italia] . Kiprahnya dalam berkarya, baik sebagai kartunis atau pun desainer grafis, telah banyak membuahkan penghargaan bagi Priyanto.
Di saat senggangnya di rumah, ia senang menggambar bebas, di kertas atau pun di kanvas (Gb. 10). Energi kreatifnya tersalurkan pada proyek-proyek seninya yang acap kali ditingkahi dengan “kenakalan”nya. Beberapa di antaranya: proyek Hak Azasi Pasir (Gb. 12, poster Peta Bumi Indonesia Baru (Gb. 12). Priyanto pernah mengikuti pameran ‘Konsep’, yang dicetuskan bersama seniman-seniman Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI), sebuah gerakan pembaruan yang menuntut redefinisi di bidang seni rupa-. Ini terjadi di Balai Budaya, Jakarta pada 1976. Dan berlanjut pada 1987, dalam ‘Seni Rupa Baru Proyek 1: Pasaraya Dunia Fantasi’ di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Karena berpijak sekaligus di dunia seni rupa murni dan terapan itulah maka saya pernah memintanya menjadi moderator, menengahi bincang-bincang “panas” Hot Ice Tea (HIT) #2: ‘Art vs. Design’ yang diselenggarakan oleh majalah Versus pada tanggal 8 November 2008 di Newseum Café, Jakarta.
Menjadi orang bebas
Pada 24 September 2003 saya menginisiasi sebuah grup diskusi (milis) di Yahoo!Group dengan nama Sejarah Desain Grafis di Indonesia (SDGI). Tujuannya mengumpulkan catatan-catatan dari para anggotanya mengenai jejak perjalanan desain grafis di Indonesia. Selain saya, anggota-anggota awalnya adalah Priyanto dan Henricus Kusbiantoro (l. 1973). Sejumlah topik menjadi materi diskusi bersama di milis ini, seperti ketika mempersiapkan daftar pertanyaan sebagai bahan wawancara dengan Bob Noorda (1927–2010), desainer grafis Belanda yang pada akhir 1940-an merancang poster untuk kebutuhan militer Belanda di Indonesia; menelusuri karya cipta desainer grafis Indonesia angkatan ’70 dst.; mengoreksi tesis Lucia C. Sumarijanto yang mengangkat isu identitas budaya dan desain grafis di Indonesia: In Search of a Style (2003); atau pun sekadar mencocokkan ingatan masing-masing mengenai peristiwa-peristiwa di masa lampau. Diskusi-diskusi yang terjadi di milis ini menjadi yang terpanjang yang pernah berlangsung antara saya dengan Pri secara daring. Selebihnya, karena jarak yang memisahkan kami, kami lebih banyak berkomunikasi melalui layanan pesan singkat (sms).
Kemudian, dalam rangka merealisasi gagasan untuk mulai menyusun sejarah desain grafis Indonesia, saya memutuskan untuk membuat blog yang saya luncurkan pada tanggal 13 Maret 2007 dengan nama Desain Grafis Indonesia (DGI). Secara bertahap saya mengetik ulang artikel-artikel dari guntingan koran atau majalah yang saya koleksi sejak 1970-an dan memublikasikannya di blog DGI. Demikian juga halnya dengan karya-karya visual yang saya simpan selama ini. Seingat saya, Pri—kemudian juga Henricus—adalah orang-orang pertama yang dengan penuh semangat mengirimkan sejumlah tulisan dan karya visualnya (grafis, kartun) untuk diarsipkan.
Pri yang ringan tangannya juga tak enggan berkontribusi menyediakan waktunya bagi DGI. Belum pernah ada permintaan bantuan saya yang tak dipenuhinya. Sejak berdirinya DGI, terbitnya majalah Versus pada 2008, hingga diselenggarakannya ajang penghargaan Indonesian Graphic Design Award (IGDA) pada 2009–2010, saya telah melibatkannya dengan berbagai kerepotan. Daftarnya bisa panjang, mulai dari menulis artikel, menjadi pembicara, menseleksi karya, memimpin penjurian, dan seterusnya. Semuanya dilakukannya dengan tulus dan senang hati, dan tentu saja secara suka-rela; kalkulasi jarak Bandung–Jakarta seperti tak pernah singgah di benaknya, walau tentu tidak selalu mudah dijalani oleh orang seusianya.
Salah satu pesan singkatnya saat DGI telah berkembang sebagai sebuah situs pengarsipan:
“Kalau aku sudah pensiun, aku bantu kamu Han.”
Dan ketika saatnya tiba, pada tanggal 10 Mei 2012 ia pun mengabari:
“Han, ini hari terakhirku berbakti… aku jadi orang bebas,”
Maka ketika DGI sedang menata kembali struktur kepengurusannya pada 2013, saya pun meminta kesediaannya menjadi salah seorang penasihat. Hal itu serta merta disepakatinya, tanpa pikir panjang, walau ia pasti menyadari bahwa hari-hari pensiunnya bakal kembali terisi dengan berbagai aktivitas, dari satu rapat ke rapat lainnya. Bahkan acara bincang-bincang DGI di FGDexpo 2013 di JCC, Jakarta tetap dihadirinya, walau dengan kondisi kesehatan yang kurang baik. Demikian juga halnya saat DGI menyelenggarakan talk show pada ulang tahunnya yang ketujuh di Dia.Lo.Gue Artspace sebagaimana yang saya kisahkan di depan. Isterinya, Euis yang amat setia mendampinginya kemana saja, sempat berbisik: “Han, Pri sedang tidak sehat, tapi dia memaksa ke Jakarta”.
Itulah Pri, yang senantiasa bersemangat “remaja”, ia tak pernah memperlihatkan kondisi fisiknya yang sebenarnya. Bahkan hingga dua atau tiga bulan sebelum kepergiannya, ia masih setia menghadiri Rapat Opini setiap Rabu itu. Walau sudah ditopang oleh tongkat dan dengan langkah yang tertatih-tatih, ia masih menjalani ritualnya bolak-balik naik kereta api Bandung–Jakarta. Ia sempat menyebut dirinya sendiri sebagai train-set [bukan jet-set].
Kesahajaan sebagai pencapaian tertinggi
“Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan.” —Pramoedya Ananta Toer (1925–2006), Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
Pri yang sejak kecil senang menggambar itu pernah bercita-cita jadi supir truk, demi “supaya bisa jalan-jalan kemana saja yang jauh, bebas”. Ketika ada yang bertanya mengenai apa cita-citanya yang belum tercapai sejauh ini, Pri hanya menjawab santai: “Tidak tahu.” Ia hanya mempunyai keinginan bisa membereskan kamar kerja dan perpustakaannya yang berantakan. “Perlu waktu dua minggu di rumah khusus berberes, dan itu tidak mungkin.” Sebagai pekerja lepas, ia merasa harus siap disuruh apa saja dan kemana saja. Obsesi terbesarnya ingin bisa santai mengerjakan apa yang disuka; menggambar, bermusik, atau apa saja. “Tiduran di pinggir sawah sambil makan singkong bakar termasuk kenikmatan juga.” Ada satu keinginannya yang belum bisa saya penuhi hingga kepergiannya: ia ingin suatu kali bisa mengobrol bersama di Bintaro [saya memang pernah menjanjikan untuk suatu saat kalau ada pertemuan DGI akan mengadakannya di Talaga Sampireun, Bintaro]. Di saungnya yang eksotis, obrolan memang bisa mengalir panjang sembari rebahan; bukan di pinggir sawah, tapi di tepi telaga yang dihiasi dengan ikan koi beragam warna.
Demikian pula halnya ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bermaksud memberikan Anugerah Kebudayaan 2014 kategori Anugerah Seni kepadanya atas dedikasinya selama ini. Ketika menerima berita itu, ia berujar spontan: “Saya kaget dan merasa tersanjung dapat Anugerah Seni. Saya ini orang biasa saja.” Meskipun telah sakit-sakitan dan harus duduk di kursi roda, Priyanto bermaksud pergi ke Jakarta untuk menerima penghargaan itu. Niat itu tak kesampaian, ia keburu berpulang.
———
[2] Baskoro, Lestantya R. Kartunis Tempo Meninggal. Catatan Baskoro, https://wordpress.com/read/post/id/2842912/797, diakses 10 November 2015.
[3] Liputan | Politik Gambar Dua Empu. Desain Grafis Indonesia, http://dgi-indonesia.com/liputan-politik-gambar-dua-empu/, diakses 14 November 2015.
***
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif