Bersetubuh dengan Dua Dunia (1)

“Di zaman spesialisasi ini orang bangga dapat mengerjakan satu hal dengan baik, tetapi jika semua itu saja yang mereka ketahui, sesungguhnya mereka telah melewatkan banyak hal lain yang ditawarkan oleh kehidupan ini.” —Dennis Flanagan (l. 1919)

Perselingkuhan yang damai
Ibu saya tutup usia pada 27 Maret 2014. Bersama paman saya, Halim Indrakusuma (l. 1928) [Lihat: Merawat Taman yang Bukan Tamannya], saya baru bisa berangkat ke Surabaya dua hari kemudian. Tapi karena ada kendala teknis, pesawat yang kami tumpangi dari Jakarta tertunda waktu keberangkatannya. Kami tiba di rumah duka, di mana jasad ibu disemayamkan, pada sekitar pukul 20.00 malam. Akibatnya, saya tidak beroleh kesempatan bertemu sejumlah teman masa kecil saya [semasa masih tinggal di Surabaya] yang datang melayat.

Tapi pada malam itu ada dua teman yang masih sabar menunggu kedatangan kami, Aucky Hinting dan Hary Yong Condro. Aucky teman sekolah saya semasa di SD dan SMP Petra, telah menjadi dokter spesialis bayi tabung yang terkemuka [satu di antara sedikit profesi sejenis di Indonesia, bahkan mungkin di dunia]. Sementara dengan Hary saya pernah seangkatan di SMA Petra, dan kemudian bersua kembali di Yogyakarta, saat sama-sama kuliah di STSRI Asri. Belakangan, Hary dikenal sebagai seniman fotografi. Kami bertiga segera terbenam dalam percakapan beraroma nostalgia.

Aucky tampak tak berubah, terlihat masih seperti empat puluh enam tahun yang lalu. Yang berubah dan “mempertemukan” kami kembali adalah minatnya pada dunia seni. Rupanya sejak beberapa tahun terakhir ini ia serius menekuni seni rupa.

Melalui telepon genggamnya, ia memperlihatkan beberapa karya ciptanya. Yang mengundang keingintahuan saya adalah ketertarikannya untuk menyetubuhi dua dunia sekaligus, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta dunia seni, yang berbeda daya tarik sensualnya itu. Bukan sekadar sebagai pemerhati [Aucky juga seorang kolektor lukisan dan memiliki pergaulan luas di kalangan pencinta seni] melainkan sebagai pelaku. Ia melukis, mematung, dan membuat karya instalasi.

Menarik, karena dalam kehidupan yang cenderung semakin terkotak-kotak dewasa ini—di mana spesialisasi dan super spesialisasi semakin diminati—ia justru menggauli dua bidang yang sangat berbeda karakternya itu sekaligus. Seakan-akan satu saja belum cukup banyak menuntut perhatiannya.

Bayi tabung adalah kegiatan sehari-harinya yang telah ia geluti sepanjang lebih dari tiga puluh tahun. Sejak lulus sebagai dokter pada tahun 1979, Aucky bekerja sebagai dosen di Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, mendalami Biologi Reproduksi dan Andrologi (Kesehatan Reproduksi Pria). Kesempatan untuk mendalami dan melakukan riset di bidang reproduksi manusia ia raih ketika beroleh bea siswa ke Amerika Serikat pada 1983–1984. Di sana ia berhasil meraih sertifikat keahlian di bidang Andrologi dan Biologi Reproduksi.

Beberapa saat sebelum kembali ke Indonesia, Aucky menghadiri sebuah seminar mengenai bayi tabung (In Vitro Fertilization). Ini menjadi titik awal timbulnya hasrat mempelajari bayi tabung, yang merupakan masa depan dunia kedokteran, khususnya di bidang reproduksi manusia. Seperti diketahui, bayi tabung pertama di dunia, Louise Brown berhasil dilahirkan di Inggris pada 1978.

Sepulangnya ke Indonesia pada 1984, sebagai dosen [ia kembali mengajar di almamaternya], Aucky ditugaskan mengikuti pendidikan Akta Mengajar V. Pada kuliah filsafat ilmu, ia memperoleh pengertian mengenai batasan dan uraian tentang seni, yang membekalinya dengan pemahaman mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan seni (art). Art dalam pengertiannya yang umum dan konvensional dipahaminya sebagai ekspresi dari kreativitas atau imajinasi yang menghasilkan karya seni yang bisa diapresiasi secara estetika dan emosional.

Kesempatan emas diraihnya pada 1986 ketika Aucky memperoleh bea siswa ke Belgia untuk belajar mengenai bayi tabung. Secara umum teknologi bayi tabung diistilahkan dengan Assisted Reproductive Technology (ART) yaitu semua prosedur pengobatan yang meliputi penanganan di luar tubuh (in vitro) dari sel sperma dan sel telur untuk menghasilkan kehamilan. Ia merasa beruntung karena belajar di sebuah institusi yang baru saja mengembangkan ART, sehingga beroleh keleluasaan untuk mengembangkan kreativitasnya.

Bersama timnya, pada akhir 1986 Aucky menghasilkan kehamilan pertama bagi pasiennya. Keberhasilan yang terus diikuti dengan sejumlah kehamilan dan kelahiran lainnya. Peristiwa ini dihayatinya sebagai Art yang terekspresikan pada ART melalui kreativitas dan imajinasi yang menghasilkan karya berupa kelahiran bayi yang diapresiasi secara nyata dan emosional oleh pasien, keluarga, dan tim dokter yang menanganinya [dari sinilah nantinya muncul gagasan untuk menamai pameran tunggalnya yang pertama (2011) dengan Art of the ART]. Aucky menyelesaikan studinya di Belgia pada 1989 setelah memperoleh gelar PhD in Reproductive Medicine (Ph.D. Sp. And.).

Merebut kembali kebebasannya
Hasrat mendalami seni mulai timbul saat di Montreal tahun 2000. Yaitu setelah membaca beberapa buku sejarah seni murni yang merupakan mata kuliah anaknya, serta mengunjungi pameran karya Édouard Vuillard (1868–1940) (Gb. 1) di Montreal Museum of Fine Arts. Maka sejak 2003, Aucky pun aktif mengunjungi pameran-pameran lukisan di Indonesia, mengoleksi karya seni, dan bergaul dengan para seniman, terutama yang tinggal di Surabaya, Yogyakarta, dan Bali.

1. Two Seamstresses in the Workroom, Edouard Vuillard, 1893, Scottish National Gallery of Modern Art
Dua penjahit perempuan yang tampak di lukisan ini bekerja untuk ibu Vuillard yang menjalankan bisnis pembuatan gaun dan korset. Selama beberapa tahun di awal 1890-an corak lukisan-lukisan Vuillard menjadi begitu bermotif sehingga cenderung mendekati pola abstraksi. Kemungkinan besar kontaknya setiap hari dengan materi-materi berpola pada karya ibunya itu telah memengaruhi gaya melukisnya yang dekoratif dan sangat rumit ini.

Merasa gagal mengoleksi lukisan-lukisan yang diinginkannya, pada kisaran 2007 Aucky mulai tertantang untuk bisa melukis sendiri. Ia menggambar alat-alat medis seperti mikroskop, inkubator, dan apa yang dilihatnya di bawah mikroskop, di dalam inkubator, serta imajimasi-imajinasi tentang hasil karya ART seperti kehamilan, janin, dan bayi.

Membuat sketsa-sketsanya tidak terlalu sulit baginya karena sehari-harinya ia mengajar menggunakan spidol pada white board. Dan menjelaskan proses kelahiran bayi tabung pada pasiennya dengan menggambar di atas kertas. Jelasnya:

“…[berbagai alat] dapat bekerja karena ada manusia di belakangnya, khususnya mata dan kepala (otak) yang melihat dan menganalisis apa yang dilihat sehingga bisa menghasilkan karya untuk keberhasilan ART. Sehingga saya selalu mengekspresikan alat-alat dan proses teknologi yang saya gunakan sebagai satu kesatuan dengan manusianya di balik alat itu untuk menghasilkan karya-karya sampai akhirnya menghasilkan apa yang diinginkan berupa embrio, janin, kehamilan, dan kelahiran bayi. Seakan-akan saya memanusiakan atau menyatukan dengan manusia alat-alat teknologi tersebut.”[1]

Dari kertas berlanjut ke kanvas, dan sejak 2008, lajunya dalam melukis sudah tak terhentikan lagi. Di sela-sela waktu yang sempit karena pekerjaannya sehari-hari, Aucky terus berkarya. Ia tak lalu berhenti pada karya lukis saja, tapi juga mengeksplorasi bentuk tiga dimensi (patung dan instalasi).

Sementara dunia iptek telah begitu terbelah dalam spesialisasi, menurut Aucky, dengan mengekspresikan diri melalui seninya, seorang ilmuwan bisa merebut kembali kebebasannya. Dengan cara demikian iptek juga menjadi terbuka untuk diapresiasi oleh masyarakat luas, tidak lagi terkurung di dalam sangkar emas atau menara gading.

2. Aucky Hinting

[Bersambung »]

 

***

Tulisan lainnya di sini.

Quoted

Some nature is better polluted by design and art

Henricus Linggawidjaja