[Bagian pertama dari dua tulisan]
“When you call yourself an Indian or a Muslim or a Christian or a European, or anything else, you are being violent. Do you see why it is violent? Because you are separating yourself from the rest of mankind. When you separate yourself by belief, by nationality, by tradition, it breeds violence. So a man who is seeking to understand violence does not belong to any country, to any religion, to any political party or partial system; he is concerned with the total understanding of mankind.” —Jiddu Krishnamurti (1895–1986), Freedom from the Known (1969), Chapter 6
Kota Iskandariyah, Mesir, 8 Maret 415 M. Mereka merajamnya dengan brutal dan keji, hingga tewas. Tanpa proses peradilan.
Hypatia (350/370–415 M), perempuan pemikir terbesar di masanya itu, tewas mengenaskan sebagai martir atas sikapnya yang non-konformis pada keyakinannya (filsafat). Pengawal terakhir Perpustakaan Iskandariyah[i] itu tengah di puncak temuannya di bidang astronomi ketika di negerinya bergejolak berbagai pertentangan paham (cara pandang). Ia terhanyut dalam pusaran konflik antara filsafat [dan sains] dengan agama, antara agama-agama itu sendiri, serta antara kekuasaan legal [dari penguasa administratif] dengan yang real [dari penguasa ideologis]; dibalut kontradiksi kelas sosial-ekonomi yang berkecamuk di Iskandariyah.
Simbol kebebasan berpikir
Film Agora (2009) yang dibesut oleh sutradara Alejandro Amenábar (l. 1972) diawali dengan adegan kekisruhan yang terjadi di sebuah agora di Iskandariyah. Di ruang publik terbuka, tempat bermusyawarah bagi masyarakat Yunani Kuno—yang juga tempat bernegosiasi (sebagai pasar)—itu, terjadi perdebatan sengit antara pemeluk agama lama Yunani-Roma-Mesir (pemuja dewa-dewi) dengan pemeluk Kristen tentang persoalan ketuhanan. Kejadian itu berbuntut pada pembumihangusan Perpustakaan Iskandariyah oleh massa parabalani (anggota persaudaraan Kristen).
Hypatia, putri matematikawan besar Theon, pada saat itu telah mengambil alih posisi terhormat ayahnya di Akademi Iskandariyah dan mengajar di sana selama bertahun-tahun. Lebih daripada pemikir-pemikir lainnya—sejak Plotinus (204–70 SM), Bapak Neo-Platonisme—ia telah mengembangkan sekolah bagi para pemikir itu hingga ke puncaknya. Kuliah-kuliahnya sangat populer dan menarik perhatian mereka yang memandang Neo-Platonisme sebagai pesan spiritual yang universal, filosofi termulia, dan sebagai agama yang menyatukan semua agama. Itulah janji emas Neo-Platonisme, dan Hypatia adalah nabinya. Ia, dalam film itu, dicitrakan sebagai simbol kebebasan berpikir. Di era di mana perempuan memiliki hanya sedikit pilihan dan diperlakukan sekadar sebagai barang, Hypatia bergerak bebas di lingkungan yang didominasi oleh pria (budaya patriarki).
Sebagai penerus ajaran Neo-Platonisme, yang merupakan sintesis dari semua aliran filsafat hingga saat itu, pandangannya mengenai agama-agama dinyatakannya demikian:
“Agama-agama formal dan dogmatis itu semuanya keliru, tak semestinya diterima begitu saja sebagai sudah final oleh mereka yang tahu menghargai dirinya.”
Dalam salah satu sesi pengajaran ilmu astronomi di kelasnya terjadi perdebatan antara kedua murid Hypatia, Orestes dan Synesius. Ketika keduanya mulai menyinggung persoalan agama masing-masing, Hypatia menengahi.
Hypatia: Synesius, apa aturan pertama Euclid (Euklides, Bapak Geometri —penulis)?
Synesius: Mengapa bertanya begitu?
Hypatia: Jawab saja.
Synesius: Jika dua benda sama dengan benda ketiga, maka semuanya berarti sama.
Hypatia: Bagus. Sekarang bukankah kalian berdua sama bagiku?
Synesius: Ya.
Hypatia: Dan kau Orestes?
Orestes: Ya.
Hypatia: Aku sejujurnya berkata ini untuk semua orang di ruangan ini. Banyak hal yang menyatukan ketimbang yang menceraikan kita. Jadi, apa pun yang terjadi di luar, kita adalah saudara. Kita adalah saudara.
[Seperti diketahui, di luar sana, di agora, tengah berkecamuk pertentangan antara penganut pemikiran Yunani Kuno dengan pemeluk pemikiran dan filsafat kekristenan.]
Begitulah kisah Hypatia, yang hidup dalam cengkeraman dogma-dogma agama di masanya. Sebuah rekam kelam sejarah yang diceritakan berulang kali dan terus-menerus dalam sejumlah literatur, film, serta dipentaskan di teater-teater berabad-abad sesudahnya.
Tapi, apakah orang bisa belajar dari sejarah? Jawaban Ong Hok Ham (1933–2007), sejarawan dan cendekiawan itu: “Sayang, rupanya tidak. Sebab kalau kita dapat belajar dari sejarah, maka kita semua akan lebih bahagia dan sentosa.”[ii]
———
[i] Perpustakaan Iskandariyah atau Perpustakaan Alexandria didirikan pada awal abad ke-3 SM di Mesir. Konon, perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14 Perpustakaan Sorbonne [yang dikabarkan memiliki koleksi terbesar di zamannya] hanya memiliki 1.700 buku. Koleksinya meliputi berbagai subjek ilmiah termasuk asal usul kehidupan dan tempat manusia di Alam Semesta. Para cendekiawan yang bekerja di Iskandariyah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang geometri, trigonometri, astronomi, serta bahasa, kesusastraan dan kedokteran. Menurut kisah turun-temurun, di tempat inilah ke-72 cendekiawan Yahudi menerjemahkan kitab-kitab bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani, dan menghasilkan Septuaginta (Perjanjian Lama Yunani) yang termasyhur itu. Sewaktu bangsa Arab menaklukkan Mesir pada tahun 640, Perpustakaan Iskandariyah sudah tidak ada.
Tokoh-tokoh ilmuwan yang tumbuh dan berkembang bersama Perpustakaan Iskandariyah di antaranya adalah Archimedes (matematikawan), Aristarchus (astronom), Kalimakhus (pujangga dan pustakawan), Claudius Ptolemaeus (astronom), Eratosthenes (pakar ensiklopedia dan pustakawan), Euklides (matematikawan), dan Galen (dokter).
Pentingnya Perpustakaan Iskandariyah tersirat pada karya Carl Sagan, Cosmos: A Personal Voyage, di mana bagian awal dan akhir serial televisi [yang sangat populer pada era 1980–1990-an] ini ia membawa penontonnya kembali ke kota kuno itu sambil mengisahkan sejarahnya.
Di episode pertamanya, The Shores Of The Cosmic Ocean, Sagan memperkenalkan perpustakaan ini dan menyatakan bahwa jika “bisa melakukan perjalanan waktu kembali, ini adalah tempat yang akan dikunjunginya”. Alasannya:
“But why have I brought you across two thousand years to the Library of Alexandria, because this was when and where we humans first collected seriously and systematically the knowledge of the world.”
Di episode terakhirnya, Who Speaks for Earth?, Sagan mengisahkan kehancuran perpustakaan dan pembunuhan keji pustakawannya yang terkemuka, Hypatia, yang dikenal pula sebagai ‘one of the earliest mothers of mathematics’.
[ii] Ketika menonton film Agora di awal Maret 2017—di mana kota Jakarta sedang dalam masa pemilihan gubernurnya, sebuah proses paling genting yang pernah terjadi dalam sejarah lantaran salah seorang calonnya beragama Kristen dan beretnis Indo-Tionghoa—penulis diingatkan kembali pada kekerasan dan kerusuhan yang terus berulang terjadi di Indonesia atas nama suku, agama, ras, dan golongan.
***
Untuk membaca tulisan lainnya sila klik di sini.
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life