Buku “Shalat, Shalawat, Doa” (proses pembuatannya)
(This photo was taken by Rechy A Rachim).

(This photo was taken by Rechy A Rachim).


Graphic Designer: Tjahjono Abdi & Mendiola Budi Wiryawan for Mindglow Design.
2001.


WASIAT TERAKHIR

Malam sewaktu bukunya mulai naik cetak, Agus Wirahadikusumah terlihat begitu senang. Dia membuka pintu rumahnya dan mengatakan, “Kalau buku saya jadi, akan bagus sekali.” Ia menunjukkan dummy buku kepada istrinya, Tri Rachmaningsih. “Tugas keluarga yang mensiarkan,” katanya. Seakan-akan itu suatu wasiat.

Dummy yang dibawa Agus itu masih berhalaman kosong, hanya sudah bersampul. Pola-pola ukiran mushaf menghiasi bidang tengah sampul depannya. Bercorak flora, bentuk simetris, dominan hijau, serta garis tepi bersepuh emas. Ia membungkus judul buku Shalat, Shalawat, Doa yang dilukis kaligrafi oleh Baiquni M. Yasin. Nama “Agus Wirahadikusumah” juga diukir dalam bentuk kaligrafi. Terletak di bagian bawah sampul dan dibikin mencekung seolah-olah tengadah. Judul buku berhuruf Latin ditempatkan di bagian atas dari ukiran itu. Semua itu berwarna emas.

Warna dasar sampul, Crimson Harvard, sejenis warna merah tapi agak marun, warna kebanggaan Universitas Harvard, kota Cambridge, dekat Boston. Agus sendiri yang mengusulkan warna tersebut. Kelak, ketika buku ini terbit, ada juga logo mungil John F. Kennedy School of Government, Harvard, pada lembar halaman pengantar. Ia tertera di sudut kiri atas, bersanding kalimat pembuka di bawah tulisan Arab basmalah. Agus pula yang meminta logo Harvard ini dicantumkan. Lengkap dengan kata “Ve-ri-tas” (Latin, artinya “Kebenaran”).

Bukan tanpa alasan Agus memilih warna dan logo Harvard. Lulusan akademi militer Angkatan Darat di Magelang tahun 1973 ini, sempat mengenyam lingkungan sekolah Harvard. Ia mengambil pendidikan dinas Master of Public Administration untuk bidang Public Policy and Management. Ia lulus 4 Juni 1992 dan amat bangga bisa menjadi bagian dari alumni sekolah tersebut. Kelak, pendidikan Harvard ini sangat mempengaruhi jalan pemikirannya.

Selepas Orde Baru ambruk, diiringi tuntutan reformasi militer, Agus termasuk tentara reformis yang mencolok dan mendukung Dwifungsi ABRI dihapus segera. Dwifungsi kata lain dari peran ganda militer, sebuah doktrin yang mengisyaratkan tentara tak cuma bertugas di bidang pertahanaan tapi juga memegang kendali kekuasaan politik dan sosial. Konsep ini diambil dari “Jalan Tengah Tentara” yang dicetuskan Abdul Harris Nasution pada November 1958. Dampaknya, hampir semua gubernur, bupati, walikota, kepala dinas hingga lurah, banyak diisi oleh tentara. Usia Dwifungsi militer setua rezim Orde Baru.

Agus juga menyasar bisnis-bisnis tentara yang berserak dari Aceh sampai Papua. Sejak menjabat Asisten Perencanaan Umum Panglima TNI pada 1999, ia mendesak bisnis tentara diserahkan secepatnya ke tangan pemerintahan sipil. Presiden Abdurrahman Wahid menyebut Agus sebagai “sosok militer pemikir yang baik dan berkualitas” ketika mempromosikannya sebagai panglima Kostrad.

Namun, jabatan baru yang disandangnya itu cuma berumur pendek. Ia diangkat 29 Maret 2000 dan dicopot pada 1 Agustus. Itulah jabatan terakhir dari perwira bintang tiga ini.

Pamannya sendiri dari pihak ayah, Umar Wirahadikusumah pernah menduduki pos serupa 1965-1967, selain Wakil Presiden jaman Soeharto, 1983-1988. Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah panglima Kostrad kedua setelah Soeharto.

Menariknya, selepas pemberhentiannya, Agus mengambil sikap lebih ke dalam. Introspektif. Ia merenangi pedalaman jiwanya. Memasuki kehidupan yang agamawi. Ia menyebut ini kesunyian. Sebuah fase baru yang melahirkan buku doa itu. Buku panduan ibadah.

Tri Rachmaningsih bersama kedua anaknya, Yunan Mahastra Satria dan Dyah Gustinar Savitri, mendorong suami dan bapak mereka belajar mengaji. Selama ini, kata Tri, “Bapak kurang (dekat) dengan agama.”

Di rumahnya, komplek Angkatan Darat Bulak Rantai, Jakarta Timur, Agus mulai belajar mengaji. Instruktur didatangkan. Tiga kali seminggu selama dua bulan. Bertolak dari hitungan nol, Agus belajar baca al Quran dengan metode An-Nuur. Metode ini dikembangkan Ustadz Desembriar Rosyadi.

Pada bulan Ramadhan di ujung tahun itu, Agus berangkat umrah untuk kali kedua bersama istrinya dan Yunan. Tri bercerita, di sana suaminya berjanji kalau pulang “… akan buat buku panduan ibadah untuk orang awam seperti saya.” Di sana juga Agus percaya tindakannya sewaktu masih aktif adalah benar. Jiwanya tambah mantap. Bebas.

Ketika sudah pulang, ia pun mulai menyusun janjinya.

Banyak kolega, terutama kyai dan ustadz, yang membantunya memberikan buku-buku agama. Dari sini ia susun rangkaian petunjuk shalat, doa-doa, shalawat, disertai beberapa surat al Quran serta bimbingan ibadah umrah dan haji. Ia menuliskan itu dengan perangkat Microsoft Word versi Arab.

Ia mengurung diri dalam kamar kerja. Tak mau menerima telepon dari siapa pun. Rokok selalu mengepul. Bisa menghabiskan tiga bungkus dalam sehari. Saat pintu dibuka, asap tembakau memekati udara ruangan. Mesin penyedot dan pendingin udara menyala. Dua-duanya seperti medan magnet, saling menghisap dan membekukan.

Tri bercerita suaminya hidup kurang sehat ketika menyusun buku doanya, “Siang jadi malam, malam jadi siang.”

Di sela-sela menyusun bukunya ini, Agus juga membangun mushala di lantai atas rumahnya. Mushala ini menjadi tempatnya belajar sebagai imam.

Agus mulai kenal Erwin Indarto, direktur PT Jayakarta Agung Offset, lewat Michael Gandareta. Pembicaraan tentang cetakan bukunya mengalir dari perkenalan ini. Nama Michael tercantum selaku pembantu pelaksana pada lembar kredit buku. Namun perannya menyurut belakangan dan giliran Mendiola Budi Wiryawan yang banyak tampil.

Mendiola asisten Arief Tjahjono Abdi, direktur artistik Mindglow Design, yang menangani pengerjaan desain buku tersebut. Tim Mindglow untuk buku ini selain keduanya, juga ada Nandi dan Sutiyadi. Tjahjono sendiri dalam perawatan medis nyeri empedu ketika proyek buku ini berjalan.

Tjahjono desainer ciamik lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta. Mendiola sendiri lulusan sekolah desain Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Ia juga instruktur desain di Universitas Bina Nusantara. Ia beberapa kali ke rumah Agus untuk mengambil naskah buku itu. Mendiola banyak berhubungan dengan Agus tapi tetap konsultasi dengan Tjahjono.

Mendiola bercerita, Tjahjono menggambar pola hiasan mushaf buku ini di tempat tidurnya dalam keadaan sakit. “Orangnya teliti sekali,” katanya. Tjahjono menggambar ornamen-ornamen dengan pensil di atas sebidang kertas. Tugas Mendiola mengalihkannya ke dalam layar komputer.

Hiasan mushaf bermotif itu dibikin untuk mengisi halaman buku tersebut. Hiasan itu membingkai rangkaian tulisan Latin maupun Arab. Tiap memasuki bagian maupun sub-bagian baru hiasannya selalu berganti. Sekurangnya ada 15 jenis kombinasi hiasan dalam buku setebal 440 halaman ini. Tiap hiasan mengandung lima macam warna.

Ini butuh sikap telaten, tentunya. Erwin Indarto sepenuhnya bertanggungjawab bila terjadi kesalahan cetak. Terkadang mesti sabar juga menekuri deretan huruf Arab yang menggantungkan kelisanan tanda huruf panjang dan pendek.

Baiquni M. Yasin mengatakan pada saya setiap 100 lembar harus diperiksa oleh operator. Baiquni termasuk anggota tim mushaf Jayakarta. Ia bisa sampai tiga kali dalam seminggu datang ke rumah Agus. Hampir selama empat bulan ia menjadi teman diskusi Agus dalam pengerjaan buku ini. Agus dan Baiquni menjadi akrab.

Sekitar Maret 2001, salinan draft kasar tulisan buku ini mulai diperiksa dan dikoreksi oleh tim lajnah pentashih mushaf al Quran dari Departemen Agama. Agus membawa hasil koreksian itu ke rumahnya sambil tertawa cekikikan.

Istrinya tanya, kenapa? Agus memegang draft tersebut, “Saya dapat nilai satu! Dari atas ke bawah salah semua tulisannya!”

“Saya masih ingat gaya dia ketawa,” cerita istrinya pada saya. “Satu, Ma! Di raport!”

Koreksian akhir buku tim lajnah dibikin di Hotel Ibis, Slipi. Namun, dua hari berturut-turut sebelum naik cetak, Agus sempat menengok “buah rohaninya.”

Selasa siang itu, 28 Agustus 2001, Agus datang ke sana. Ada Baiquni, Erwin, dan Mendiola. Mereka makan siang di Hotel Quality, samping Jayakarta. Saat itu, cerita Erwin pada saya, Agus sempat berkata, “Moga-moga buku ini kita sebarkan ke seluruh Nusantara.”

Esok sorenya, Agus datang lagi. Ia bertemu Mendiola yang sedang mengganti foto Agus di sampul belakang. Foto awalnya, Agus tengah merokok, dianggap kurang baik. Agus mengajak makan tapi Mendiola menolak. Mendiola ingin cepat menuntaskan pekerjaannya.

Tanggal 29 Agustus, sekitar pukul 9 malam, Agus sendiri tiba di rumah. Dia teriak-teriak bukunya bakal bagus. Sejam kemudian ia mulai beranjak tidur. Agus dan istrinya masih sempat bercanda soal doa istighfar.

“Kamu kalau baca istighfar seperti apa?” tanya Agus.

“Astaghfirullahal”adzim,” jawab istrinya, main-main.

“Eeeh…, ada yang panjang.”

“Kaya apa?”

Agus lantas membacakannya tapi istrinya menyahut terlalu panjang. Akhirnya Agus menjawab ada yang lebih pendek seraya mengucapkan, “Astaghfirullahal”adzim alladzi Laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyum waa atubu ilahi …”

“Ya udah, yang itu deh aku mau,” cerita Tri.

Keduanya pun membaca doa tersebut. Bersama-sama. Terlelap.

Sekitar pukur 1.30 dini hari Tri terjaga. Agus tak ada di sampingnya. Ia tahu suaminya tengah shalat tahajud. Tri tidur lagi dan dibangunkan Agus sekitar pukul 5 pagi.

“Hei! Bangun, bangun, bangun!” Subuh, subuh!” katanya, lagi. Tri masih diam di kasur. Hawa kamar terasa lelap. Masih mengantuk. Suaminya menuju mushala dan ketika datang lagi ke kamar, sekitar pukul 5.30, Tri sudah bangun. Tri ke kamar mandi dalam kamar tidur itu, hendak mengganti piyama. Agus tidur kembali sampai menunggu waktu shalat dhuha.

Namun, dalam waktu yang cepat, Tri mendengar suara orang sesak nafas.

Penasaran, ia membuka pintu kamar mandi lalu melihat suaminya susah bernafas. Telentang di tempat tidur. Tersengal.

Khek … khek … khek …. Suara itu pelan. Seperti menyangkut. Seakan mengeram dalam tenggorokan.

“Hei, jangan main-main kamu.” Tri mengira Agus bercanda. “Jangan nakut-nakutin.”

Mendadak Tri tersergap perasaan curiga. Khawatir. Panik. Ia mengambil tabung oksigen yang biasa dipakai meredam jantungnya yang lemah. Dipasang ke hidung suaminya sambil berteriak. Gaduh.

Tri bergegas mencari dokter di sekitar rumah. Namun tak ketemu. Ia balik lagi menuju kamarnya. Bu Iyem, pembantu keluarga ini, sudah di dalam kamar. Juga yang lain. Supir. Ajudan. Satpam rumah. Nafas Agus pendek-pendek. Dadanya naik-turun. Mereka membopong Agus ke mobil.

Giyadi, supir Agus, cepat melarikannya menuju rumah sakit Pertamina Kebayoran Baru. Agus tak bisa diselamatkan.

Meski beragam media menulis kematian Agus pada pukul 6.19, dengan bumbu meninggal yang tidak wajar, Tri yakin suaminya meninggal saat masih di rumah. Ia sangat percaya ini setelah mencari tahu 40 hari kemudian. Bu Iyem mengingat, saat Tri mencari dokter ke luar, “Nafas Bapak sudah panjang.” Maut itu sudah lengkap. Meregang. Nafas penghabisan.

Itu Kamis pagi, 30 Agustus 2001.

Yunan malam itu tidur di Panglima Polim, rumah orangtua ibunya. Vivi bermil-mil jauhnya, tengah studi magister di George Washington University. Mendiola mendengar kabar duka dari berita pagi di televisi. Dia segera menghubungi keluarga Agus dan mengontak Erwin. Mereka datang ke rumah duka. Ikut mengantarkan jenazah ke “rumah terbarunya.”

Empatpuluh hari kemudian, buku yang disusun almarhum selama hampir tujuh bulan pun lahir.

Hingga kini, buku doa karya Agus Wirahadikusumah sudah mulai masuk cetakan keduabelas. Mendiola ingat sekali perkataan almarhum, “Buku ini jadi amanah saya, harus terus dicetak sampai anak-cucu.”

Sumber: Buku profil perusahaan (company profile) Percetakan “Jayakarta Agung Offset”, 2007, halaman 6-11.

Quoted

If your creativity is not your passion, there won’t be passion in your creativity.
Be passionate… and never sell yourself cheap

Lans Brahmantyo