Buku Visible Soul: Rose di Kanvas Pak Djon
This photo was taken by Rechy A Rachim

This photo was taken by Rechy A Rachim

 


 

Published by: Museum Sudjojono & Canna Gallery.
Chairperson: Rose Pandanwangi Sudjojono, Suprajitno Sutomo.
Vice Chairwoman: A Pandanwangi Sudjojono.
Project Managers: Maya Sudjojono, Inge Santoso.
Administrators and Treasury: Djuang Sudjojono, Wicky S Sjamsul Bahri Sutomo, Anita Anggraini, R Roberto.
Author: Amir Sidharta.
Editor: Michelle Chin.
Translators and Proof-readers: Sunarsih La Rangka, Elisio Font Raket, Omi Intan Naomi.
Design by: Nilam P Moeliono & Kristi Dhanardaya Widjaja for PAPERPROJEK.
Photography by: Koes Karnadi, Kurniawan Wigena, Iswanto Soerjanto.
Printing by: PT Jayakarta Agung Offset.

2006

 


 

Buku Visible Soul: ROSE DI KANVAS PAK DJON

Pipi Rose berlinang air mata di depan makam Pak Djon. “Mas Djon, akhirnya buku ini terbit. Dan, yang membuat buku ini bukan saya sendiri, tapi bersama anak-anak kita, betul-betul dengan segenap hati dan tenaga yang ada pada mereka.”

Museum S Sudjojono “Sanggar Pandanwangi” 1997.
“Pak Sudjojono ada buku biografinya?”
“Lah itulah pak, kita sebetulnya malu dari keluarga belum bisa mewujudkan itu.”
“Saya yang malu karena saya sebagai pengusaha, harusnya bisa menyumbangkan sesuatu.”

James Riady ditemui Maya, anak Sudjojono dan Ibu Rose, saat mengunjungi museum di Pasar Minggu.

Saat pameran lukisan seorang seniman muda, Rose sekeluarga bertemu lagi dengan James Riady. Dia memperkenalkan mereka kepada Amir Sidharta, kurator Museum Universitas Pelita Harapan. “Pelukis muda kok sudah keluarin buku. Kalau Affandi wajar ya,” kata Rose. Kenapa Pak Djon tak punya buku?

Mei 1998, Jakarta membara oleh amuk massa. Banyak gedung hangus dibakar. Ide keluarga Rose membuat buku lukisan Sudjojono tertunda.

Kabarnya telah sampai ke Singapura. Rose bersama Pandan Sudjojono terbang ke Singapura dengan seorang fotografer, Koes Karnadi. “Tadinya belum dianggap serius. Dengan kedatangan kami, mereka betul-betul yakin bahwa ini proyek serius,” kata Rose. Sekitar 25 karya Pak Djon diambil gambarnya.

Kolektor KB Tan membantu pengumpulan karya-karya Pak Djon di Singapura. Pemotretan lukisan pool pada satu tempat. Koes Karnadi memotret, Rose dan Pandan, dibantu oleh kurator Siont Tedja, memilih lukisannya.

Singapura bagian dari ratusan lukisan. Kolektor Yogya, Semarang, Surabaya, dan Bali menambah deretan panjang bagi tim seleksi: Rose, Pandan, Maya dan Team Profesional. Seleksi yang sangat ketat. Lukisan yang dipertanyakan dan diragukan oleh seorang anggota tim bakal tidak lolos.

“Semenjak bapak meninggal banyak beredar lukisan palsu,” kata Maya.

“Kita babak belur,” kata Pandan. So far lukisan-lukisan (di buku) asli.

Sekitar 300 lukisan masuk, termasuk puluhan sketsa, patung dan relief yang dibuat dari 1936 sampai 1986. Buku Visible Soul, “Jiwa yang Tampak” terbit setebal 424 halaman. Awalnya dirancang 250 halaman. Mendekati deadline, para kolektor berbondong-bondong memasukkan koleksinya. Dukungan datang dari sahabat keluarga S. Sudjojono W. Wefers Bettink, Belanda, Bank central Asia (BCA), Art Retreat a Private Museum – Singapore juga dari berbagai perusahaan media, Canna Gallery dan institusi seperti Istana Negara, Galeri Nasional dan Museum Seni Rupa.

Beratnya mencapai empat kilogram. Dicetak 2000 eksemplar full color, terbagi dua – separoh softcover dan hardcover. “Waduh bagasi cuma boleh 20 kilogram. Saya bawa dua buku sudah delapan kilogram. Jadi apa sisanya buat barang sendiri ha… ha…..” Rose terbang bersama Visible Soul ke negeri kincir angin.

Gerak Baru, 1985, di atas kanvas dengan cat minyak menjadi gambar sampul depan. Tulisan S. Sudjojono berasal dari kanvas lukisan terletak di bagian bawah dengan warna keemasan. “Kita minta difoto dari belakang kanvas, sehingga bercak-bercaknya terlihat. Saya mau tanda tangan yang asli,” kata Nilam. Judul dipakai tipografi yang tegas dan elegan, tidak terlalu feminin.

Nilam P Moeliono, Book “Visible Soul, S Sudjojono”. 2006 (b)

Gerak Baru, 1965, cat minyak di atas kanvas, 110 x 139 cm

Sekitar akhir Maret 2006, Erwin Indarto dari PT Jayakarta Agung Offset terima naskah dari desainer. Keluarga dan kurator dilibatkan mengontrol warna dari proof di percetakan. “Warna bisa lari, kurang kemerahan, kekuningan. Ada lukisan yang warnanya buram. Kalau warna nggak dapat, ya diganti. Lukisan itu sensitif,” kata Erwin.

“Dari desainer, penulis, tim seleksi, terus Ibu, saya, Pandan. Semuanya berlapis-lapis untuk mendekati warna paling sempurna. Itu bener-bener sampai jam 3 pagi. Kirim lagi, besok datang lagi,” kata Maya.

Pada 1990-an banyak bermunculan penerbit-penerbit buku yang mengorbitkan pelukis-pelukis muda. Menurut Amir Sidharta, penerbit-penerbit itu pesanan, mencari proyek buku lukisan yang bisa mereka terbitkan dan menguntungkan. “Buku ini kita tangani sendiri, sudah pengalaman dan terlaksana,” kata Amir.

“Kehidupan Pak Djon tahun 30-an, 40-an itu tidak diketahui. Bahkan, masalah lukisan
Di Balik Kelamboe Terboeka itu misterius, tidak ada yang tahu tepatnya apa. Harus kita cari dari beberapa narasumber untuk tahu yang sebenarnya.”

“Lukisan Di Balik Kelamboe Terboeka adalah karya terbaiknya. Tema dan ekspresi tak ada yang mendahuluinya di dunia seni Indonesia,” tulis Claire Holt dalam Art in Indonesia: Continuities and Change (1967), dalam versi Indonesia berjudul Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (2000).

Di Balik Kelamboe Terbuka, 1939, cat minyak di atas kanvas, 89 x 60 cm

Amir Sidharta tertarik Sudjojono sebagai tokoh besar dalam sejarah senirupa modern Indonesia. Ia rajin mengumpulkan data-data soal Sudjojono. Sekitar 10 tahun, Amir meriset. Informasi yang semula samar-samar dan diketahui dari mendengar saja, menjadi jelas benarnya. “Lukisan Pak Djon setelah 1945 tidak pernah selesai.”

Amir membongkar arsip-arsip, kliping koran dan tulisannya. Ia pernah mendapatkan arsip dari Perancis dan Belanda. Ia juga memeriksa kalender-kalender yang dimiliki Pak Djon. Pada tahun 1970-an sampai 1980-an Pak Djon banyak menulis di balik kalender.

“Di balik kalender tebal dia menulis tentang lukisan-lukisannya, kegelisahannya, dan kadang puisi,” kata Amir.

“Setiap sketsa ada cerita. Saya ingin mengenalkan dia dengan kebiasaannya. Tidak hanya hasil akhirnya bagus tapi proses dia sampai akhir perjalanan dia,” kata Nilam Moeliono dari PT Alegria Arti Kreatif, sebuah perusahaan konsultan desain di Jakarta, yang menangani Visible Soul.

Nilam mencari sketsa-sketsa di Museum Sudjojono. Sebagian besar lukisan Sudjojono diletakkan sketsa yang berukuran kecil di tepi bawah atau atas. Juga dengan foto-foto keluarga, yang warnanya dibuat hitam dan putih agar tak mencolok. “Ini bukti otentik dari konsep-konsep dia berpikir,” kata Nilam.

“Sebelum meninggal dia lukis untuk istrinya, keluarganya. Lukisannya banyak, sayang kalau tidak ditampilkan semua.” Lukisan itu ia letakkan di bagian Family dan Portraits.

Rose Main Piano, 1963. Di atas kanvas dengan cat minyak, berukuran 100 x 81 centimeter terletak di halaman 6 setelah Self Potrait (Sudjojono) 1975, menuju ke halaman daftar isi. Selanjutnya Lagu setelah 26 tahun, 1985, ukuran 102 x 90 centimeter bersanding dengan halaman kutipan syair karya Ludwig von Beethoven, I Love You. Sebuah lagu favorit dari Pak Djon.

As you love me so I love you
In fair or stormy weather
We share our lives each day anew
And face our care together
We saw our burdens’ weight decrease
With every dawning morrow
You brought my aching heart surcease
My tears assuaged your sorrow
And thus may God who reigns above
And hears my heart confessing
Protect you dear with all his love
And grant us both his blessing

“Bunga-bunga mekar di pangkuan isteri yang kucintai,” tergores dengan cat putih di Lagu Setelah 26 Tahun.

Lagu Setelah 26 Tahun berusia satu tahun. Pak Djon meninggalkan Rose selamanya. Rose, penyanyi seriosa klasik bersuara meso sopran itu bernyanyi untuk Pak Djon yang terakhir kali. Ketika peti ditutup, satu lagu kesayangan Pak Djon, Ave Maria, ia nyanyikan mengiring Pak Djon ke alam kedamaian.

Self Portrait, 1975, cat minyak di atas kanvas, 100 x 50 cm

Rose Main Piano, 1963, cat minyak di atas kanvas, 100 x 81 cm

Lagu Setelah 26 Tahun, 1985, cat minyak di atas kanvas, 102 x 90 cm

Galeri Nasional Jakarta, 4-7 Mei 2006 lukisan-lukisan Sudjojono dipamerkan. Buku Visible Soul, dilaunching oleh Museum S Sudjojono dan Galeri Canna, Jakarta. Acaranya meriah, dihadiri kalangan seniman dan pencinta seni. Meutia Hatta dan Megawati dari keluarga Soekarno dan Muhammad Hatta, kawan dekat Pak Djon, turut hadir. Acaranya berlangsung sukses.

“Mas Djon, saya sudah memenuhi satu janji saya kepadamu.”

Visible Soul beredar. Pada usia 78, Rose menjadikan dirinya saksi sejarah pioner seni rupa modern Indonesia, Sudjojono. Batu pertama telah selesai dibangun. Rose ziarah ke makam Pak Djon di Cibubur, Bogor, melaporkan satu pekerjaannya telah usai.

 


Sumber: Buku profil perusahaan (company profile) Percetakan “Jayakarta Agung Offset”, 2007, halaman 12-17.

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman