Ketika akhirnya perjalanan desain grafis Indonesia untuk pertama kalinya dihadirkan dalam format yang komprehensif melalui medium buku, tentunya bukan hanya penyusunan data yang menemui tantangan dalam proses penyajiannya. Tatkala narasi perjalanan desain grafis Indonesia harus bisa dihadirkan beriringan pula dengan perjalanan desain grafis dunia, penyajian data-data teks dan visual menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Hal ini yang sekiranya ditemui dalam perancangan desain buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (selanjutnya disebut DGIDPDGD). Buku DGIDPDGD merupakan sebuah proses kerja yang panjang, baik dalam pengumpulan catatan dan koleksi, pemindaian dan pematangan gambar, penyuntingan, termasuk proses perancangannya. Buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (Jilid 1) dirancang oleh Vincent Wong, setelah sebelumnya buku ini memiliki draft rancangan pertama yang dibuat oleh penulisnya, Hanny Kardinata. Dalam prosesnya, buku ini juga harus mengalami perubahan ukuran berulang-kali dengan dibantu oleh Charles Lee. Perombakan di sana-sini pun tak terelakkan, terutama terkait penyesuaian narasi teks dengan gambar peristiwa di Indonesia dan keberiringannya dengan peristiwa di dunia.
Lantas, seperti apa tantangan-tantangan yang dihadapi dalam perancangan grafis buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia? Strategi perancangan apa yang kemudian diambil untuk perancangan buku ini?
Dalam bedah buku yang berlangsung di Gedung Balai Pemuda Surabaya 15 Maret 2016 lalu, Vincent Wong membagikan proses perancangan buku rekam jejak desain grafis Indonesia yang pertama di tanah air ini.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam mendesain interior buku ini adalah sangat banyaknya elemen konten di setiap halaman: teks utama, gambar, deskripsi gambar, catatan kaki, hingga kutipan. Karenanya, area kanvas pun harus dapat “menampung” seluruh elemen-elemen tersebut.
Kompleksnya halaman-halaman ini, menurut Vincent, yang menuntut pemikiran matang bagi perancangan tata letak halamannya: agar masing-masingnya tidak kemudian menjadi terlalu kaku atau terlalu berantakan. Karenanya, pembagian area elemen di masing-masing halaman pun dapat diletakkan secara dinamis—dengan konfigurasi yang fleksibel: gambar bisa berada di bawah, atas, kiri, kanan, dst.
“Saya melihat buku rekam jejak ini sebagai sebuah awal, sebuah kanvas yang masih perlu terus diisi. Hal ini juga terkait dengan identitas desain grafis kita yang masih terus berkembang. Tidak ada satu elemen/gaya/visual yang dapat mewakili identitas kita. Berdasarkan pertimbangan ini, saya pikir sampul buku ini sangat berpotensi membuat pernyataan tersebut. Daripada terjebak terus menerus mencari identitas, lebih baik coba terus berkarya dan biarkan identitas itu terdefinisi sendiri.”
Penggunaan buku DGIDPDGD yang akan menjadi referensi pustaka jangka panjang juga menjadi pertimbangannya dalam pemilihan olah visual sampul agar tidak lekang oleh waktu.
Ada sejumlah pertanyaan yang kemudian menjadi langkah pertama keputusan-keputusan perancangan yang diambil Vincent. “To design is to always take questions,” ujarnya. Proses ini dianggap penting karena agar ketika sudah mulai mendesain, apa yang ia lakukan dapat lebih efisien dan tidak bolak-balik.
(***)
Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia
Catatan, Koleksi, dan Arsip Hanny Kardinata (DGI Press, 2016).
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life