Indonesia punya banyak desainer bertalenta, namun birokrasi, agenda politik, ego, dan bermacam hal lainnya membuat talenta-talenta itu harus menemui jalan buntu.
Sebagai negara bangsa yang terus menua dengan segudang permasalahan yang ada, Indonesia sekiranya menghadapi juga kejenuhan yang sama menjelang perayaan hari jadinya. Tahun ini, tujuh puluh tahun usia yang segera digenapi. Sudahkah (atau bahkan, masih perlukah) ulang tahun ini benar menjadi perayaaan bersama?
Di penghujung kuartal pertama 2015, berita pagi di sebuah saluran televisi nasional menayangkan ajakan serentak dalam rangka menuju ulang tahun negara. Logo resmi HUT RI ke-70 diluncurkan bersamaan dengan ‘mandat’ yang mengikutinya, “Ayo kerja!” Beberapa minggu belakangan ini, logo itu telah mulai rutin menyapa kita di ruang-ruang publik. Harapannya, ulang tahun Indonesia dan semangat yang diusung lewat simbol yang diluncurkan pagi itu tak hanya hidup sebagai sekadar momentum 17-an, namun juga menjadi nafas bagi setiap warganya.
‘Partisipasi publik’ mungkin klise kedengarannya, namun sekiranya, langkah itu pula yang diambil Nigel Sielegar, seorang desainer grafis Indonesia yang kini berkarya di New York City. Ketika tengah berlibur di tanah air pada akhir 2014, Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) melalui Zinnia Sompie selaku Ketua Pusat mengajak Nigel untuk turut serta dalam sebuah proyek perancangan. Logo 70 Tahun Indonesia Merdeka pun digarapnya.
Namun, sebagaimana partisipasi publik dinilainya sebagai itikad baik yang rentan terantuk batas-batas politik, rancangannya juga harus menghadapi problem sama. “Melihat ke belakang untuk maju ke depan” yang diusungnya tak sempat untuk secara resmi digunakan oleh negara. Meski demikian, semangat itu dapat sepatutnya turut kita usung pula menjelang usia 70 tahun ini. Melalui rancangannya, Nigel mengajak kita untuk melihat negara bangsa ini yang melangkah dari masa lampau hingga sekarang dan ke mana ia hendak melangkah.
Hari kemerdekaan, baginya, menjadi hari yang penting bagi segenap warga negara, meski di setiap tahunnya perayaan itu bagi sebagian orang hanya menjelma rutinitas upacara belaka. Meresponnya sebagai desainer grafis, Nigel menilik kembali pada visual grafis yang pernah muncul di Indonesia. “Jika kita melihat kembali pada artefak-artefak yang muncul sepanjang jaman kolonial Jepang dan Belanda, karya-karya grafis itu memiliki tipografi yang menakjubkan dan rancangan yang mengagumkan. Sayangnya, itu semua lenyap. Karenanya, kami pun mencari kembali visual-visual grafis itu dan mencoba untuk menerjemahkannya menjadi sebuah paduan bahasa visual yang dapat merepresentasikan Indonesia secara grafis.”
Dengan mengolah kembali artefak grafis terdahulu sebagai pijakannya untuk mendesain hingga menghasilkan format rancangan yang lebih kontemporer, Nigel menawarkan sebuah gagasan bagi warga negara bangsa ini untuk dapat melihat ke belakang untuk dapat melangkah ke depan. Bukankah dalam perjalanannya, republik ini memang masih menumpuk banyak pekerjaan rumah yang belum selesai dan belum dapat termaafkan?
Bicara tentang konteks Nigel mengaku, “Saya ingin menampilkan harapan. Seklise kedengarannya, itulah yang menjadi tujuan saya. Saya ingin menampilkan sesuatu yang dapat publik lihat dari Indonesia yang “baru” melalui melihat kembali juga ke belakang.”
Baginya, menjadi sebuah hal yang memalukan melihat bagaimana Indonesia begitu berkelimpahan dalam hal warisan seninya, namun miskin dalam pemeliharan dan apresiasi.
“Kita terbiasa untuk melihat apa yang negara-negara lain lakukan. Kita mencari-cari apa yang sedang trendi di skena desain dunia lalu bersusah payah untuk menjadi mirip dengan semua tren itu. Sepanjang waktu kita lebih sering lupa untuk melihat kembali ke ‘dalam’ Indonesia: melihat kembali warisan seni budaya yang kita punya dan memandangnya sama (jika tidak lebih) penting dengan tren yang ada di luar sana.”
Rancangan ini juga menjadi salah satu jalan yang ditempuh Nigel untuk dapat menampilkan apa yang desainer bisa lakukan bagi Indonesia ketika seringkali rancangan yang resmi digunakan oleh lembaga pemerintahan lebih sering mengikutsertakan kepentingan-kepentingan politis tertentu hingga menampilkan kualitas yang tak begitu memuaskan. “Tidakkah sekali-kali Indonesia berhak untuk menggunakan grafis yang kuat dan digarap dengan baik? Indonesia punya banyak desainer bertalenta, namun birokrasi, agenda politik, ego, dan bermacam hal lainnya membuat talenta-talenta itu harus menemui jalan buntu.”
Logo 70 Tahun Indonesia Merdeka yang ia rancang ini juga mempertegas kembali hakikat sejarah yang lekat pada masing-masing orang baik dalam konteksnya sebagai individu warga negara maupun sebagai bagian dari masyarakat komunal yang lebih besar. “Kamu tidak bisa menghapus sejarahmu sendiri,” ujarnya, “Menjadi seseorang yang pernah tinggal di Indonesia lalu menetap di negara lain membuat saya dapat melihat Indonesia dari dalam dan luar sekaligus.” Dengan menyadari hal itu, cita-cita besar untuk melangkah maju dengan berani melihat ke belakang mestinya dapat menjadi semangat setiap orang pula.
Karenanya, sejak proyek perancangan ini dimulai, Nigel telah menegaskan pada tiap pihak yang terlibat bahwa logo ini bukan untuk menegaskan kontribusi individualnya untuk Indonesia. Logo ini dimaksudkan untuk menjadi milik segenap komunitas desain yang ada di Indonesia. Logo ini milik semua orang dan siapa saja boleh menggunakannya.
“Jika kita bicara mengenai harapan, harapan saya sederhana: tanda ini dapat dirangkul dan digunakan oleh siapa saja yang dengan bangga menjadi bagian darinya.”
Logo rancangan Nigel ini dapat digunakan oleh siapa saja, baik sebagai avatar, foto profil, maupun berbagai keperluan desain lainnya untuk Indonesia. Silakan unduh di sini: http://corse.nyc/download/70_IDN.zip.
“Cheating the system is very gratifying”