Abstainnya saya pada beberapa minggu belakangan ini bukan berarti tak terjadi apa-apa.
Seperti yang sebagian dari kalian pernah alami: bekerja dan berpergian dari satu negara ke negara lainnya—bahkan pada masa semodern sekarang ini—tetap harus dihadapkan pada resiko politis dan birokratis. Setelah pemerintah Amerika Serikat membuat saya angkat kaki untuk jangka waktu yang tak ditentukan terkait perpanjangan visa seniman saya, saya masuk penjara (secara harafiah!) di Jerman dan tak diizinkan untuk bekerja maupun memperoleh penghasilan secara legal. Selama penundaan perpanjangan visa yang terasa seperti seumur hidup itu, saya juga tak diizinkan untuk pulang menemui kawan-kawan maupun menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya.
Sepanjang masa itulah, saya melihat betapa beruntungnya kita yang menyadari bahwa untuk bekerja dan menerimakan diri dalam bidang kreatif di masyarakat berarti harus tiada henti memperjuangkan sebuah penerimaan, penghargaan, dan ruang untuk berkarya dan mewujudkan gagasan. Namun lebih dari itu, saya jadi sadar bahwa hal yang paling krusial adalah untuk mempertahankan semangat perjuangan untuk berkreasi dan mempercayai diri sendiri sepenuhnya—mempercayai mimpi dan karya kita sendiri—apapun kondisinya. Intitusi apapun, baik itu pemerintahan dan birokrasi lainnya, tak boleh menghancurkan rasa percaya diri dan semangat itu. Rintangan semacam ini adalah bagian dari perjalanan; sebuah proses perjalanan. Dengan berhasil melampauinya, kita dapat mencapai satu titik di mana kita dapat bertahan secara stabil dalam keberkaryaan kita.
Kini saya telah kembali ke New York dan terpanggil untuk memperkenalkan kawan-kawan seniman muda nan unik yang telah menjadi inspirasi saya semenjak menetap di sini. Saya akan memulainya dengan seorang fotografer fesyen sekaligus seniman: Eric White. Fotografer fesyen underground yang tengah naik daun di New York ini merupakan sosok di balik Nicecleanwhite Photography, New York.
Masyarakat yang pada umumnya menganggap fotografi sebagai pekerjaan mudah akan dibuat terpukau oleh hasil potret Eric White yang selalu disertai sentuhan dan struktur magis yang memiliki daya pikat emosionalnya sendiri. Bukan tidak mungkin bahwa tanpa disadari, kita sebenarnya pernah terinspirasi oleh potret-potretnya yang tampil di beragam situs inspirasi fesyen terkini. Karya-karyanya telah tampil di Interview Magazine US, Sohn Magazine, Flaunt Magazine, Models.com, dan masih banyak lagi.
Eric White lahir dan dibesarkan di daerah pedesaan di bagian utara negara bagian New York oleh seorang ibu berkebangsaan Armenia dan ayah seorang Perancis. Selama bertumbuh, Eric selalu mengira bahwa dirinya tak jauh berbeda dari orang Amerika pada umumnya. Namun pada kenyataannya, ia dipenuhi dengan sensivitas dan sensualitas yang dapat kita tangkap dari hasil-hasil jepretannya. Tahun-tahun berselang, Eric terus berkembang dengan menghasilkan begitu banyak foto yang menawan.
Dengan melihat karya-karya yang ia kerjakan, saya dipenuhi rasa ingin tahu akan pandangan serta latar belakang perjalanannya hingga dapat menjadi seorang profesional ternama dalam bidang yang ditekuninya ini. Beruntung, saya berkesempatan untuk berbincang dengan Eric White di studionya yang berlokasi di SoHo, New York.
Tutur kata dan pandangannya begitu lugas. Dari sana dapat kita lihat betapa ia telah berinteraksi dengan begitu banyak ragam manusia dari berbagai belahan dunia. Sebuah pendekatan emosional yang memperdalam setiap hasil jepretannya.
Bagaimana pertemuan pertama Anda dengan fotografi?
Perkenalan saya dengan fotografi dimulai ketika saya masih anak-anak. Nenek membawa saya ke sebuah toko dan berkata bahwa saya boleh membawa pulang satu kamera dari sana. Saya memilih sebuah kamera plastik kecil lalu mulai mengambil gambar. Rasanya begitu menyenangkan. Saya dibuat lebih peka pada lingkungan sekitar yang sebelumnya tak dapat saya pahami karena kendala bahasa.
Begitu melihat betapa terpikatnya saya pada si kamera, suatu hari nenek saya menyelipkan 10 gulung film dalam sebuah keranjang di rumah dan berujar, “Sesudah kamu menghabiskan gulungan film ini, nenek akan menyetakkannya untukmu.” Nenek saya cukup terkejut ketika pada akhir pekan, seluruh gulungan film itu sudah siap untuk dibawa ke lab.
Di mana Anda tumbuh dan lingkungan seperti apa yang mempengaruhi pandangan kreatif Anda terutama dalam fotografi? Apakah ada orang yang secara istimewa telah mempengaruhi atau menginspirasi Anda?
Saya lahir dan tumbuh besar di daerah pedesaan di utara negara bagian New York dari seorang ibu berkebangsaan Armenia dan ayah seorang Perancis. Selama bertumbuh, saya selalu mengira bahwa saya biasa-biasa saja—“The American Experience” pada umumnya. Tapi ternyata, justru hidup saya lebih mirip prekuel “My Big Fat Greek Wedding”. Keluarga saya tergolong besar, anggotanya banyak; mereka berisik, namun saya tak akan pernah menukar mereka dengan apapun di dunia ini.
Sebagai anak yang tumbuh di daerah pedesaan, saya ditantang untuk dapat menciptakan kesenangan sendiri. Tidak ada yang namanya “godaan kota besar” yang menyibukkan saya kala itu. Saya senang mengembara ke dalam hutan yang ada di belakang rumah dan dengan tenang mengamati dunia yang menaungi saya. Karenanya, saya percaya bahwa jika kita telah memiliki cara pandang yang artistik, dari mana pun kita berasal, akan selalu ada dorongan kebutuhan untuk mengekspresikan seni itu sendiri.
Negara apa saja yang pernah Anda kunjungi? Bagaimana interaksi Anda dengan beragam kebudayaan itu mempengaruhi Anda dalam berkarya?
Tujuan pertama yang muncul di kepala saya waktu itu adalah Ethiopia. Selama kurang lebih 2 bulan, saya menjelajahi kota-kota kecil di sana dan mengambil banyak potret di berbagai klinik HIV. Sungguh sebuah rangkaian pemotretan paling spontan dan mentah—namun paling humanis—yang pernah saya lakukan. Tempat semacam itu mendorong kita untuk keluar dari zona nyaman, baik secara fisik maupun non-fisik yang mendorong suatu kreativitas yang magis.
Saya berada dalam kondisi yang begitu tanpa persiapan. Meski demikian, bukan berarti saya menikmati kesengsaraan. Sebagian besar karya saya penuh dengan kontrol dan kekangan demi presisi. Karenanya, mejadi suatu momen yang begitu indah ketika seluruh keteraturan itu dibenturkan.
Dari mana saja biasanya Anda memperoleh inspirasi?
Saya amat menikmati riset. Internet tentunya dapat mendukung hal itu. Namun bagi saya, mencari inspirasi melalui riset berarti berpetualang dan menyaksikan banyak-banyak hal. Saya telah menyadari bahwa referensi yang paling inspiratif justru berasal dari orang-orang yang saya temui di jalan. Saya merekayasa karakter orang-orang saya lihat itu: memberi mereka nama dan menjadikan mereka bagian dari renungan fiksional saya. Bagaimana rambut seseorang melambai atau bayang-bayang gedung memantul di wajah seseorang selalu menjelma obsesi bagi saya sampai saya mampu menginterpretasikan memori tersebut dalam sebuah karya fotografi.
Seiring derasnya arus teknologi saat ini, pertukaran lintas-budaya semakin mudah berlangsung. Menurut Anda, seberapa pentingkah pertukaran gagasan dari beragam latar budaya itu? Apakah Anda memiliki pengalaman yang dapat Anda bagi mengenai hal tersebut?
Pada dasarnya, teknologi telah menjadikan seluruh bagian dari dunia ini layaknya tetangga sebelah rumah. Kelompok-kelompok yang tadinya minor kini dapat membagi gagasan dan menciptakan hal-hal yang jauh lebih besar. Meski demikian, dapat dikatakan bahwa kita semua memiliki tetangga yang bobrok. Sekarang ini, semua orang bisa menyebut dirinya seorang fotografer dan memenuhi laman muka media sosial kita dengan foto-foto bayi mereka yang mungkin sebenarnya tidak ingin kita lihat.
Karenanya, bagi saya, yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana tetap selektif dalam menyaring hal-hal semacam itu. Teknologi tidaklah mengerikan, hanya saja teknologi membuat saya merasa terus-menerus mengenggam kotoran di tangan saya.
Bisakah Anda membagi pada kami proyek-proyek Anda ke depan?
Saya baru saja menjadi co-founder dari sebuah studio kolektif bernama The 9 Bleecker. Kami membangun ruang kreatif untuk mendorong kembali pentingnya proyek-proyek personal. Sudah terlampau banyak orang terlalu berfokus pada penghasilan, tapi abai untuk berkreasi. Selalulah cermat pada hal-hal yang di luar rutinitas!
Selain itu, saya juga akan melakukan pemotretan backstage untuk FLAUNT Magazine di New York Fashion Week; penuh dengan kerepotan, tapi tentu saja amat setimpal dengan hasilnya!
Adakah hal-hal yang ingin Anda capai atau ubah melalui seni dan desain?
Ada sebuah pernyataan dari Georgia O’Keeffee yang saya rasa relevan untuk menjawab:
“Ketika kita memetik sekuntum bunga lalu mengamatinya, itulah dunia kita. Saya ingin memberikan dunia itu pada orang lain juga. Setiap orang telah begitu tergesa-gesa. Mereka tak punya waktu untuk sekedar memandangi sekuntum bunga. Saya ingin mereka memandangnya, terlepas mereka mau atau tidak.”
Menjadi harapan saya untuk ‘menghadang’ orang dengan cara yang sama melalui foto-foto saya. Saya ingin menghentikan mereka dan membiarkan mereka memandangi foto saya lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya sendiri.
Apa yang membuat Anda beranggapan bahwa New York adalah kota yang ideal untuk mewujudkan harapan itu? Pernahkah terlintas di pikiran Anda untuk meninggalkan kota ini dan tinggal di negara lain suatu waktu?
Untuk sekarang ini, saya cinta New York. New York memiliki debaran dan percaya diri nan mantap akan dirinya sendiri. New York adalah seorang gadis yang bertindak tanpa menunggu permisi. Ia takkan hirau pada jawaban “Tidak” atau “Jangan”. Watak tanpa penyesalan demikianlah yang membuat saya begitu mengagumi kota ini.
Dengan nafas yang sama, saya senang berpergian. Menyelami atmosfer baru sangat vital bagi saya untuk belajar. Jika saat tersebut dapat saya rekam dengan kamera saya, tentu akan menjadi pengalaman yang tak akan saya lupakan.
Prinsip Anda dalam hidup, cinta, dan pekerjaan?
Jangan berkompromi. Jangan pernah.
https://www.youtube.com/watch?v=IGYwf7e_cr8&w=570&rel=0&showinfo=0
Eve Vogelein
Instagram
Jika Anda memiliki pertanyaan, silakan ajukan melalui email pribadi saya di atelier@gracefulfallings.com, karena kebetulan saya sedang bermasalah dalam mengakses akun DGI saya dari Amerika Serikat.
Penuh cinta dari New York,
Eve
“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”