“Tahun 2002 hingga 2005 adalah puncak pertumbuhan desain komunikasi visual di Indonesia, baik secara pendidikan maupun profesi. Kita terlalu cepat menelan info-info dari luar negeri yang merangsang tanpa mencernanya terlebih dahulu. Bukan kesalahan dari insan-insan desainer grafis, kesalahan bersumber dari institusi penyelenggara pendidikan desain komunikasi visual, terutama kelemahan dalam platform, pikiran yang kurang terbuka terhadap perihal yang begitu banyak terkait dengan pendidikan desain komunikasi visual.
Saya mencoba menganalisa semenjak puncak pertumbuhan desain komunikasi visual kemudian terjadi saturasi, karena orientasi yang keliru. Kita harus jujur bahwa desain komunikasi visual bukan akar budaya Indonesia, namun kita cenderung tidak mau belajar lebih dalam lagi ke negara-negara Eropa seperti Swiss, Perancis, hingga Eropa Timur.” — Yongky Safanayong.
Desain komunikasi visual sebagai produk keilmuan impor, bagaimana meletakkan jati diri bangsa dalam disiplin tersebut?
Saya akui bahwa saya adalah produk orde lama. Dalam hal ideologi, saya sangat mengagumi Bung Karno dalam konteks nation building dan character building. Saya berbicara dalam koridor bahwa saya tidak anti Barat, tetapi saya sadar bahwa begitu banyak potensi-potensi yang dapat diangkat untuk mengkaji kembali semua yang terkait dengan desain komunikasi visual. Saya tidak berkeberatan jika pendidikan itu sebuah industri. Kalau boleh diistilahkan sebagai noble industry sebab bukan semata mengejar profit, tetapi untuk cita-cita bangsa. Jika tidak, semua ini hanyalah di batas permukaan.
Dunia sedang mengalami masalah besar. Krisis global. Cobalah kita pelajari tentang paradigma dan konsepsi yang salah, bukan berarti tentang kematian advertising, branding, atau marketing. Kita harus memeriksa kembali melalui data-data. Kita punya sesuatu yang dapat dikemas dengan kekinian. Apa itu? Banyak sekali. Bukan hanya seni budaya, bukan hanya geografi, tetapi pikiran; filosofi kita.
Jika saja kita bersatu membangun kekuatan, ini dapat menjadi sebuah momentum untuk kita kaji ulang. Kita siasati lagi hal-hal yang kemarin mungkin keliru: mungkin kita terlalu sombong. Semua harus serba konseptual dan diarahkan. Kata ‘arahkan’ harus dihapus. Bangsa kita ini bangsa kreatif. Harus membuka kerangka berpikir atas pilihannya sendiri, punya identitas yang independen, dan inovatif. Pendidikan desain komunikasi visual tidak mengarah ke sana, apalagi pendidikan kreatif. Bagaimana mungkin sekolah dapat menjadi motivator sekaligus fasilitator jika para siswa pola berpikirnya lebih besar dari keilmuan gurunya?
Di manakah ruang jati diri bangsa dalam konteks kekinian?
Saya mengambil filosofi Hindu tentang integritas, yang mana bangsa ini juga memilikinya. Apa yang kita pikir harus selaras dengan bicaranya, apa yang kita ucap selaras dengan perbuatan. Kemudian interaksi dengan sesama, lingkungan, dan Sang Pencipta. Itu budaya kita; budaya Indonesia yang komunal: makan, berkumpul, dan tawuran.
Pendidikan yang ditawarkan di Indonesia berorientasi rasional. Saya pikir kita punya rasional dan emosi, tetapi ada satu lagi: kita memiliki insting atau intuisi. Budaya Timur kuat di situ, tetapi jangan kebablasan. Konkritnya, desain bukan matematis namun persepsi visual; memiliki nilai intrinsik dalam sebuah karya yang terkait dengan alam, budaya, sejarah, geografi, dan pendahulu-pendahulu kita.
Secara makro, bahwa kita didikte oleh pemerintah serba sentralistik dan formalistik. Ini kendala utama. Seperti dulu ada ujian negara, sekarang ada akreditasi nasional. Untuk apa? Kenapa institusi itu tidak berkembang sendiri, biar mereka punya warna sendiri? Biarlah mereka tentukan kurikulum dan silabus sendiri. Biarkan mereka menggali kekuatan yang ada. Tetapi, kita juga enggan mencari. Kita menjalankan yang sudah ada saja, padahal di balik itu ada banyak sekali. Kita hanya berdasarkan referensi, berdasarkan pikiran-pikiran orang, bersandar pada kebenaran-kebenaran yang absolut, selalu filsafati, kita tidak pernah belajar yang kodrati yang sebenarnya ini kekuatan lokal yang tidak dimiliki oleh Barat. Kita harus mengkondisikan dengan kekuatan kita, karena kita punya sesuatu. Walau banyak ironi, untuk itu harus diubah pola pikirnya semenjak pendidikan berawal dari rumah.
Pengetahuan yang bersifat kodrati, maksudnya?
Kita sekolah mencari ilmu pengetahuan, mencari kebenaran. Kebenaran yang paling hakiki itu filsafat. Nah, kita bangga dengan kata filsafat yang dianggap segalanya. Belajar dari sejarah. Apakah mutlak kebenaran Plato, Socrates, Friedrich Nietzche, Jacques Derrida, Michel Foucault? Itu relatif. Itu kebenaran yang ada berdasarkan indera—seeing is believing—tapi itu bisa juga bohong. Ada lagi kebenaran berdasarkan firasat: bisa salah bisa juga benar, relatif. Inilah yang paling benar: kodrati. Sadarlah bahwa kita ini siapa?
Namun, bila kita memasukkan semua inspirasi ini dari alam, contohnya pelangi itu tujuh warna, kita tidak bisa mengubah. Nah, itu indah. Indah itu bukan satu warna. Kodrati dengan feneomena alam, yang Tuhan berkahi dari hidup kita.
Bagaimana pandangan tentang metoda belajar desain komunikasi visual saat ini?
Ada satu wawasan yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita. Bukan secara teoritis, tetapi berikan contoh. Oleh karenanya, perlu belajar sejarah. Siapa itu Milton Glaser, Kharim Rhasid, Zaha Hadid dan lain sebagainya. Hal ini sesuatu yang inspiratif bagi siswa. Anak sekarang perlu bukti, bukan hanya wacana, omong, atau teori. Saya mengajar mata kuliah Apresiasi Desain. Selesai mengajar siswa bertanya, karya bapak mana? Syukur, saya punya dan mereka bertambah respek kepada saya. Guru bukan hanya ngomong. Itu penting. Jadi, kalau kita ngomong tanpa karya, mereka hilang respek. Murid perlu panutan.
Jangan kebal kritik. Kritik harus konstruktif. Jangan berkembang jadi deskruktif. Akhirnya berbuat hal negatif dibudayakan, seperti plagiarisme, mencuri, dan menyontek. Budaya kritik konstruktif adalah budaya barat yang harus diambil, dengan catatan menjadi pertanggungjawaban guna memperbaiki kesalahan itu. Dalam proses kreatif harus melalui kesalahan. Kegagalan itu wajar. Dengan itulah manusa membuat eksperimentasi, terobosan, dan konsep baru.
Apa sejatinya peran seorang desainer komunikasi visual?
Punya tanggung sosial, bukan hanya melayani sekelompok masyarakat. Ada suatu latar belakang ekonomi kita yang tidak selaras. Saya coba gambarkan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari kelompok intelektual, petani, politikus, atau dari kelompok pegawai, office boy, hingga satpam. Nah, kita ada di posisi mana? Karya kita buat siapa? Buat yang di atas? Secara moral belum tentu baik untuk yang di bawah.
Jangan takut bahwa kita punya tanggung jawab sosial politik dalam memberi info melalui publikasi yang baik dan tepat. Polandia dengan poster hebat sudah menjadi budaya. Di Jepang, artis-artis poster lebih independen. Tidak mungkin bila tidak didukung secara mikro dan makro, seperti contoh tata kota. Desainer grafis punya potensi untuk terlibat dalam masalah-masalah budaya, politik, sosial dan lingkungan hidup. Dimulailah. Di mana peran kita? Pemahaman masyarakat masih dalam permukaan. Pertanyaan seperti umumnya: yang bikin iklan ya? Atau yang bikin logo ya?
Siapa tokoh bangsa yang Mas Yongky kagumi?
Sutan Takdir Alisyahbana. Ia mengajarkan kita bahwa kita ini sebagai manusia moderen harus sadar, bukan hanya secara sebutan namun cara berpikirnya. Jangan cuma mengritik tetapi juga mau dikritik. Kita harus terus belajar. Itulah ciri manusia modern.
Kemudian Soedjatmoko. Ia Muslim yang intelek. Budaya dan pengetahuan ia satukan. Tak seorang di republik ini seperti dia. Tidak heran bila ia diangkat menjadi rektor universitas PBB dan juga sebagai think-tank-nya Repelita. Mereka adalah tokoh-tokoh yang jujur dan memberikan keilmuan untuk bangsa.
Terakhir, apa makna ‘gagasan besar’ menurut Mas Yongky?
Tuhan kasih anugerah besar kepada saya: menjadi pengajar. Saya sebagai insan budaya, kebaikan buat saya dan orang banyak. Kita diciptakan. Saat kita pulang kita bisa setorkan: “ini kerjaan saya”.
Wawancara oleh Danton Sihombing pada 3 Maret 2012.
“Terima kasih banyak Mas Yongky, semoga damai dalam peristirahatan yang kekal”, Danton Sihombing, 11 Maret 2015.
“Cheating the system is very gratifying”