Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’

REKONSILIASI (SESUDAH PILKADA)

One who recognizes their own sin, has no sin.” —Sang Komunikator, Haibane Renmei, 2002

Kodrat manusia, memaafkan dan dimaafkan
Inilah sketsa-sketsa tentang rekonsiliasi. Diawali dengan sebuah film seri animasi klasik, Haibane Renmei, yang diluncurkan pada 2002. Yang bercerita mengenai karakter-karakter bersahaja, yang nyaris mendekati kemurnian (haibane = makhluk menyerupai malaikat), berlatar belakang kehidupan di kota kecil dengan segala sesuatunya yang serba usang. Serangkaian tamsil, dengan tema sentral kematian, kelahiran, dan kelahiran kembali, yang dibingkai dengan kisah-kisah permaafan yang merupakan sifat kodrati manusia (nature of forgiveness), juga pergumulan tentang peran mereka di dalam kehidupan, atau di dalam masyarakat.

Rakka, haibane yang baru lahir, terbangun di sebuah dunia asing dengan hanya ingatan satu-satunya mengenai mimpinya jatuh dari langit. Merasa sendirian, serta dilingkupi kegelisahan mengenai apa dan siapa dirinya, ia dirawat oleh Reki dan sesama haibane lainnya, yang sedang berupaya menemukan makna keberadaan mereka, serta berusaha menguak apa gerangan yang ada di luar dinding kota yang memenjarakan mereka selama ini.

Mereka tinggal bersama di sebuah Rumah Tua, sementara jauh di seberang, di bekas sebuah pabrik yang dinamakan Pabrik Terbengkalai atau Pabrik Tua, berdiam komunitas haibane lainnya. Di sini tinggal di antaranya, Hyoko dan Midori, teman dekat Reki di masa kecil. Di kota itu, kota Glie, para haibane hidup berdampingan bersama manusia, rukun dan harmonis. Manusia memberi pekerjaan kepada para haibane, dan membayarnya dengan segala kebutuhan hidup mereka.

1. Anak-anak haibane, dalam film seri animasi Haibane Renmei (2002) yang dibuat berdasarkan komik indie karya Yoshitoshi Abe.
Berkisah tentang apa artinya menjadi manusia, dengan seakan-akan membiarkan penontonnya memaknai episode-episodenya secara personal, dan menerapkan interpretasi masing-masing bagi dirinya sendiri.

Episode ke-12 film ini, Suzu no mi—sugikoshi no matsuri (Bel Kacang, Festival Akhir Tahun, Rekonsiliasi) mengisahkan para haibane pergi ke pusat kota untuk membeli bel kacang, bel yang terbuat dari biji kacang berlainan warna yang membawa serta maknanya masing-masing yang spesifik. Bel kacang ini dipakai sebagai penanda rekonsiliasi (perdamaian), juga sebagai penghargaan atau pernyataan terima kasih; yang merupakan tradisi ‘memberi apresiasi dan maaf-memaafkan’ dalam menyambut datangnya tahun baru pada Festival Akhir Tahun di kota Glie. Mengandung filosofi mengenai menempatkan segala sesuatu di belakang (masa lalu), dan membuka jalan bagi sesuatu yang baru (masa kini dan masa depan).

Reki memberikan satu bel kacang untuk Hyoko sepekan lebih awal, sebagai permohonan maafnya karena telah menyeret Hyoko ke masalah pribadinya. Ketika itu, Reki kecil mengajak Hyoko memanjat dinding pembatas kota—sesuatu yang sangat terlarang—dengan harapan bisa menemukan pengasuhnya yang baik hati, Kuramori, yang tiba-tiba menghilang. Hujan teramat deras telah menyebabkan Hyoko jatuh tergelincir dan hampir mati karena kehabisan darah. Sejak itu, Hyoko dan juga Midori, menjauhi Reki. Reki tertekan oleh rasa bersalah yang selalu menghantuinya.

Selama festival di malam hari itu, para haibane kecuali Reki yang sedang mengalami depresi, mengunjungi orang-orang yang telah berjasa bagi mereka, dan memberi mereka bel kacang sebagai tanda apresiasi. Rakka memberikannya kepada pemilik toko sandang yang selama ini mengurusi pakaiannya, dan bersama para haibane lainnya, kepada ibu asrama mereka.

Kemudian dengan bergegas Rakka mengantar Midori ke Rumah Tua untuk meminta Reki menengok ke arah kembang api kuning yang tengah diluncurkan oleh Hyoko dari arah Pabrik Tua. Kembang api ini merupakan tanda pemberian maaf Hyoko kepada Reki. Reki pun terbebaskan dari derita “dosa” yang selama ini melingkarinya. Demikian pula halnya Midori, kebenciannya kepada Reki atas kesalahannya terhadap Hyoko seperti terlampiaskan begitu saja. Sambil terisak, Rakka dipeluknya.

2. Samereh Alinejad, ibu Abdolah Hosseinzadeh (kanan) membantu melepas penutup mata dan tali yang menjerat leher Bilal Gheisari (tengah), yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh anaknya pada tahun 2007.
Sumber: New York Post, nypost.com.

Beroleh kedamaian dalam memaafkan

The murderer was crying, asking for forgiveness. I slapped him in the face. That slap helped to calm me down. Now that I’ve forgiven him, I feel relieved.” —Samereh Alinejad

Keindahan dalam maaf-memaafkan juga menjadi klimaks yang dramatis di Iran, sebuah negeri yang hingga tahun 1935 masih disebut Persia itu.

Royan, Iran Utara, 15 April 2014. Pembunuh anaknya itu berdiri di atas kursi di bawah tiang gantungan; tangannya diborgol, sementara tali jerat melingkar di lehernya. Ratusan orang di luar penjara menanti detik-detik menegangkan ketika sang ibu, Samereh Alinejad akan menggunakan haknya menendang kursi itu.

Namun setelah tujuh tahun mendambakan balas dendam, di saat takdir si pembunuh sepenuhnya berada di genggaman, Alinejad justru memaafkan Bilal Gheisari. Sebuah keputusan yang telah membuatnya menjadi pahlawan di kota kelahirannya, Royan, di tepi Laut Kaspia itu. Sejumlah spanduk digelar di jalan-jalan memuji belas kasih keluarganya. Dua minggu setelah adegan dramatis di tiang gantungan itu, para simpatisan masih berlalu lalang di depan rumahnya mengelukan dia dan suaminya.

Pada hari yang telah ditentukan itu, Alinejad berjalan pelan menuju tiang gantungan. Keluarga Gheisari berada di antara kerumunan penonton. Di balik penutup matanya, Gheisari terisak-isak. Untuk terakhir kalinya ia memohon pengampunan.

Forgive me, Aunt Maryam,” pintanya.

Alinejad mendekati Gheisari. Tanyanya dengan berang:

“Apakah kamu mengasihani kami? Apakah kamu telah berbelas kasih kepada anak kami?”

Yang disambungnya: “Kamu telah merenggut kebahagiaan kami. Mengapa kami harus berbelas kasihan kepadamu?”

Ia menatap Gheisari dengan gusar, lalu menamparnya.

Setelah itu, bersama suaminya ia melepas tali jerat di leher Gheisari (Gb. 2). Dengan langkahnya itu ia membatalkan hukuman mati Gheisari.

Beberapa orang dalam kerumunan bertepuk tangan. Lainnya terdiam karena terkejut tak menyangka.

Hukuman Gheisari kemudian diubah menjadi 12 tahun penjara, di mana separuhnya telah ia jalani.

Alinejad dan suaminya juga tidak berkenan menerima uang yang telah dikumpulkan oleh para dermawan atas nama Gheisari (blood money).[i] Mereka merekomendasikan penghibahannya ke badan-badan amal, serta bagi pengembangan sekolah-sekolah sepak bola di kotanya. Suami Alinejad, Abdolghani Hosseinzadeh adalah selebriti sepak bola yang mengajar anak-anak bermain sepak bola. Anaknya, juga pembunuh anaknya itu adalah muridnya.

Dalam suatu wawancara, Alinejad menggambarkan betapa leganya ia dengan keputusannya itu:

“Tamparan itu membuat saya merasa semua kemarahan yang menumpuk di hati saya selama bertahun-tahun seperti tiba-tiba tercurahkan. Saya merasa damai. Dan tak lagi berpikir tentang balas dendam.”

Tentram setelah maaf-memaafkan
Dalam skala antar ras, bagaimana manusia menjalani kodratnya untuk saling memaafkan tergambarkan dalam sekumpulan kisah mengharukan di Rwanda, Afrika Tengah. Beberapa di antaranya diceritakan kembali di sini.

Pada Mei 2014, melalui proyek esai fotonya yang bertema ‘Rwanda 20 Years’, Pieter Hugo, fotografer New York Times, mengisahkan proses rekonsiliasi yang berlangsung di Rwanda; sesuatu yang hampir tak mungkin diharapkan akan terjadi. Pada 1994, kedua etnik Rwanda, Hutu (ras mayoritas) dan Tutsi (ras minoritas) bertanggung jawab atas terjadinya genosida yang menelan korban jutaan nyawa warganya. Di salah satu foto ditampilkan warga kedua etnik yang bertentangan, Sinzikiramuka dan Karorero, berdiri berdampingan, melambangkan terjadinya permaafan di antara kedua suku, dan menggambarkan betapa kehidupan keduanya kini saling terjalin (Gb. 3).

3. Sinzikiramuka, yang merasa bersalah (kiri) dan Karorero, penyintas (korban yang selamat).
Sinzikiramuka: “Saya memohon maafnya karena saudaranya dibunuh di hadapan saya. Dia bertanya, mengapa saya mengaku bersalah, dan saya menjawab bahwa saya melakukannya sebagai seseorang yang menyaksikan kejahatan itu tapi tidak bisa menyelamatkan siapa pun. Itu merupakan perintah dari otoritas. Saya membiarkannya mengetahui siapa yang membunuhnya, dan pembunuhnya juga memohon ampunan darinya.”
Karorero: “Kadang-kadang pengadilan tidak memberikan jawaban yang memuaskan—banyak kasus yang tunduk pada cengkeraman korupsi. Tapi ketika maaf diberikan dengan tulus, semua pihak akan merasa puas. Ketika seseorang dalam keadaan marah, ia bisa kehilangan pikirannya. Tapi ketika saya memberikan ampunan, pikiran saya pun tenang.”
Sumber: New York Times, nytimes.com.

Di foto lainnya, seorang wanita menyandarkan tangannya di bahu orang yang membunuh ayah dan saudara-saudaranya (Gb. 4). Ada pula seorang wanita berpose bersama seorang pria yang tengah berbaring santai, orang yang menjarah propertinya, dan yang ayahnya telah membunuh suami dan anak-anaknya (Gb. 5). Pada sejumlah foto, jelas terlihat ada secercah kehangatan di antara mereka yang tadinya saling bermusuhan. Tiap foto mencerminkan permaafan yang diberikan kepada warga Hutu oleh warga Tutsi yang selamat dari kejahatannya.

4. Nyiramana (kanan), penyintas, bersama Karenzi, warga Hutu yang membunuh keluarganya.
Karenzi: “Hati nurani saya tidak tenang, tiap kali melihatnya saya merasa sangat malu. Setelah dilatih tentang persatuan dan rekonsiliasi, saya pergi ke rumahnya dan meminta ampunan. Saya menjabat tangannya. Sejak itu kita berhubungan baik.”
Nyiramana: “Dia membunuh ayah dan tiga saudara saya. Dia melakukannya bersama orang lain, tapi ia datang sendiri ke saya dan meminta pengampunan. Ia dan sekelompok pelaku lain yang pernah dipenjara membantu saya membangun rumah dengan atap tertutup. Saya takut kepadanya, tapi sekarang saya telah memaafkannya. Segala hal menjadi normal, dan saya merasa ceria “.
Sumber: New York Times, nytimes.com.

Tiap orang yang sepakat untuk difoto ini merupakan bagian dari upaya nasional menuju rekonsiliasi berkelanjutan, bekerja sama dengan AMI (Asosiasi Modeste et Innocent), sebuah organisasi nirlaba. Dalam program AMI, kelompok-kelompok kecil dari suku Hutu dan Tutsi melakukan konseling selama berbulan-bulan, yang berujung pada permintaan maaf resmi dari pelakunya. Jika pengampunan diberikan oleh pihak korban, maka pelaku bersama keluarga dan teman-temannya akan membawa sekeranjang persembahan (offerings), biasanya berupa makanan dan sorgum atau bir pisang. Acara kesepakatan itu ditutup dengan nyanyian dan tarian.

5. Nzabamwita, pelaku kejahatan (berbaring di belakang) bersama Kampundu, korban kejahatannya.
Nzabamwita: “Saya merusak dan menjarah propertinya. Saya menghabiskan waktu sembilan setengah tahun di penjara. Saya telah dididik untuk membedakan apa yang baik dan yang jahat sebelum dibebaskan. Ketika saya boleh pulang ke rumah, saya berpikir tentunya akan baik halnya untuk mendekati orang yang kepadanya saya pernah berbuat jahat, dan meminta maaf kepadanya. Saya mengatakan bahwa saya akan mendampinginya, dengan segala cara di masa penyelesaian ini. Ayah saya sendiri terlibat dalam pembunuhan anak-anaknya. Ketika saya menyelami bahwa orang tua saya telah berperilaku jahat, kepadanya saya memohonkan maaf pula.”
Kampundu: “Suami saya bersembunyi, orang-orang memburu dan membunuhnya pada hari Selasa. Pada Selasa berikutnya, mereka datang kembali dan membunuh kedua anak laki-laki saya. Saya berharap anak-anak perempuan saya akan selamat, tapi kemudian orang-orang itu membawa mereka ke desa suami saya dan membunuh mereka di sana serta melemparkan mayatnya ke dalam jamban. Saya tidak bisa mengangkatnya dari lubang itu. Saya berlutut dan berdoa bagi mereka, bersama adik laki-laki saya, dan menutupi jamban itu dengan kotoran. Alasan saya memberikan maaf karena saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah memperoleh kembali orang-orang yang saya cintai itu. Saya tidak bisa hidup sendiri dalam sepi—kalau saya sakit, siapa yang akan menunggui saya di sisi tempat tidur saya, dan jika saya dalam kesulitan serta membutuhkan pertolongan, siapa yang akan menyelamatkan saya? Karena itu, saya lebih suka memaafkan.”
Sumber: New York Times, nytimes.com.

Lewat foto-fotonya, Hugo ingin menyampaikan, bahwa di antara tiap pasangan dalam foto, yaitu antara korban dan pelaku kejahatan, terdapat tingkat hubungan yang bervariasi. Beberapa pasangan datang ke tempat pemotretan dan duduk bersama-sama dengan leluasa, mengobrol tentang gosip desa. Lainnya hanya bersedia difoto, tapi tidak mampu beranjak lebih jauh (move on). Menurut Hugo:

“Jelas ada derajat permaafan yang berbeda-beda.”

“Foto-foto ini secara akurat mengabadikan kedekatan atau pun kesenjangan di antara tiap pasangan.”

6. Sang Komunikator, orang tua bijak dalam film Haibane Renmei, dalam salah satu dialognya dengan Rakka.

Tidak ada yang bisa damai seorang diri

“Kita adalah daun-daun berbeda dari pohon yang sama, bintang-bintang berbeda dari langit yang sama.” —Thich Nhat Hanh

Dari berbagai vignet kehidupan di atas, tersisa sebuah pertanyaan: masih bisakah manusia, baik ia korban perlakuan buruk maupun pelaku kejahatan, yang bisa berdamai dengan dirinya sendiri? Reki, karakter utama dalam Haibane Renmei, merasa putus harapan dalam menemukan kedamaian, ia lalu menempatkan dirinya terisolasi dari orang lain. Ia yang terikat dengan kesalahannya (sin-bound) terperangkap dalam-dalam di jejaring depresi, kecemburuan, kebencian diri (self-hatred), dan tidak mampu berpaling ke orang lain untuk bisa memperoleh dukungan. Hanya karena campur tangan Rakka (diam-diam), akhirnya terbuka pintu maaf dari Hyoko, yang membebaskannya dari penderitaan berkepanjangan.

Dan seperti difatwakan oleh orang tua bijak dalam film itu, Sang Komunikator, mengenai bahwa ‘one cannot forgive oneself’, yang mengandung makna agar setiap orang merawat yang lainnya, sebab hanya orang lain yang akan memelihara kita. Konsep Lingkaran Dosa (Circle of Sin) menjelaskan bahwa sepanjang seseorang tidak mampu memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan yang dilakukannya, maka hanya seseorang yang dekat dengannya yang mesti membantunya.

Sejalan cahaya yang menerangi hati Kampundu, yang seluruh keluarganya habis dibantai oleh warga Hutu: “Alasan saya memberikan maaf, karena saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah memperoleh kembali orang-orang yang saya cintai itu. Saya tidak bisa hidup sendiri di dalam sepi—kalau saya sakit, siapa yang akan menunggui saya di sisi tempat tidur saya, dan jika saya dalam kesulitan serta membutuhkan pertolongan, siapa yang akan menyelamatkan saya? Karena itu, saya lebih suka memaafkan.”

Dalam dimensi spiritual, pesan R.A. Kartini (1879–1904) seratus tahun lalu:

“Kita sekalian bersaudara bukan karena kita seibu-sebapa kelahiran manusia, melainkan oleh karena kita anak seorang Bapak, anak Dia, yang bertahta di atas langit.”[1]

Tulisan terkait: Bersua Kartini di Agora (1) dan (2).

———
[i] Keluarga korban pembunuhan di Iran dan beberapa negara Muslim lainnya sering dihadapkan pada pilihan kata terakhir mengenai apakah si pembunuh dibiarkan tetap hidup atau dihukum mati. Konsep hukum Islam mencantumkan ‘qisas’ atau pasal mengenai ‘mata diganti mata’ yang memberi mereka peluang untuk mengawal jalannya eksekusi. Mereka juga mempunyai pilihan untuk memberi pengampunan, dengan imbalan pembayaran sebesar 35.000 dolar AS atau lebih (blood money). Membatalkan qisas dipandang sebagai tindakan amal dan kesempatan untuk menebus dosa seseorang. Dalam kasus pembunuhan di Iran, pilihan diserahkan kepada keluarga korban, bukan pemerintah.

———
[1] Sutrisno, Ny. Sulatin. Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Penerbit Djambatan, 1979, h, 18–19 [kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 6 November 1899]

———
Referensi

Yoshitoshi ABe. Haibane Renmei, 2002.

Adam Schreck & Amir Vahdat. Iran mother recalls act of mercy for son’s killer. Associated Press, bigstory.ap.org.

 

***

Tulisan lainnya di sini.

Quoted

If your creativity is not your passion, there won’t be passion in your creativity.
Be passionate… and never sell yourself cheap

Lans Brahmantyo