Merajut Keterhubungan

A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality.” —John Lennon (1940–1980)

Segala sesuatu di sekeliling kita adalah tentang energi. Fisika nuklir menyatakan bahwa Alam Semesta tak mengandung materi setitik pun, bahkan di bagian terkecil atom yang paling kecil sekali pun. Apa yang kita lihat dengar, atau sentuh, bahkan Bumi tempat kita tinggal ini, hanyalah bangunan pola-pola energi yang diatur oleh prinsip-prinsip harmonisasi. Jika salah satu saja prinsip keselarasannya tiada, atau bertentangan dengan pola keseluruhannya, Alam Semesta tidak memiliki landasan untuk eksis, dan karenanya tidak akan ada.

Fisikawan Nassim Haramein pun ketika mengisahkan perjalanan eksplorasinya dalam film dokumenter The Connected Universe (2016), menghantarkannya dengan pemahaman bahwa pada tingkat kuantum ada aliran energi, atau kekuatan yang dinamis dan energik, yang menghubungkan setiap proton dengan setiap proton lainnya di Alam Semesta. Aliran energi ini tak hanya mengada pada tingkat kosmik, namun juga di dalam diri kita masing-masing, dan menghubungkan kita semua. Kita semua digerakkan dan terhubung oleh energi yang sama (Haramein, 2016).

Pada saat berbagai media dan pemimpin dunia menyoroti tajam perbedaan (politik, agama, kebangsaan, kelas sosial), film yang disutradarai oleh Malcolm Carter ini mengingatkan kita pada kesamaan kita. Bahwa perbedaan kita sedemikian kecilnya hingga tak ada artinya jika dibandingkan dengan persamaannya yang hakiki.

Manusia dan sebutir nasi sekilas tak terlihat seperti bersaudara sepupu. Namun kita berbagi seperempat gen kita dengan tanaman halus itu. Gen yang kita bagi pada beras atau badak atau koral adalah tanda-tanda paling mencolok dari apa yang kita warisi bersama. Semua hewan, tumbuhan, dan jamur berbagi leluhur yang hidup sekitar 1,6 miliar tahun yang lalu (National Geographic, 2017).

Para ilmuwan dan filsuf telah merenungi gagasan mengenai interkoneksi di antara segala sesuatu di Alam Semesta ini selama berabad-abad. Matematikawan Edward Lorenz (1917–2008) dalam teorinya mengenai butterfly effect, menjelaskan bagaimana suatu kejadian di salah satu bagian dunia akan menimbulkan reaksi di belahan dunia yang lain (Barr, 2017).

Fisikawan Fritjof Capra menulis, matinya kupu-kupu di Singapura berpengaruh terhadap iklim di Amerika, sementara antropolog sosial Gregory Bateson (1904–1980) menegaskan adanya jejaring keterhubungan di antara kita. Thich Nhat Hanh mengajarkan, kita adalah daun-daun berbeda dari pohon yang sama, bintang-bintang berbeda dari langit yang sama. Daniel Goleman menyebutnya Ecological Intelligence (Prama, 2011).

Tiap insan terkoneksi melalui aliran energi, dengan menghubungkan energi di dalam dirinya dengan orang lain. Kita misalnya, terhubung dengan kerabat di tempat jauh melalui doa dan harapan. Mendoakannya sama artinya dengan mengirimkan energi (kasih) baginya. Tak seorang pun dapat mengenal dirinya, kecantikannya, harga dirinya, sampai itu semua dipantulkan kembali kepadanya melalui cermin keterhubungannya dengan orang lain.

Telah diketahui bahwa sumber energi terpenting kita adalah cahaya. Cahaya satu-satunya energi yang bisa kita lihat, dan kita melihatnya dalam bentuk warna. Seluruh spektrum warna berasal dari cahaya. Sinar matahari, yang berisi semua panjang-gelombang, terdiri dari seluruh spektrum elektromagnetik di mana keberadaan kita di planet ini bergantung. Cahaya mengalir melalui mata kita dan memicu produksi hormon, yang memengaruhi keseluruhan sistem biokimia kita. Sistem biokimia ini kemudian memengaruhi keberadaan kita. Saat bertatap muka, mata memancarkan energi diri, kata-kata pun tak lagi berarti.

Kita juga tahu bahwa setiap warna yang ditemukan dalam spektrum cahaya memiliki panjang-gelombang dan frekuensinya sendiri, yang menghasilkan energi spesifik. Secara khusus, setiap orang memilih warna tertentu untuk menghubungkan dirinya dengan orang lain, sebagai cara mengungkapkan sandi pribadinya. Setiap warna memengaruhi kita secara emosional, fisik, dan mental secara berbeda. Merah membangkitkan dorongan hati dan vitalitas, jingga mencerminkan sukacita dan antusiasme, kuning memancarkan kepercayaan diri dan intelektualitas, hijau membawa harapan dan kedamaian, biru menenangkan, nila memperkuat intuisi dan imajinasi, sementara ungu meningkatkan kreativitas. Selain itu, putih menyorongkan keteguhan hati, dan hitam membantu melepas stres.

Sumber gambar: The Connected Universe.

Parag Khanna, peneliti serta penulis buku Connectography: Mapping the Future of Global Civilization (2016) memaparkan bahwa “Kinilah saatnya membayangkan kembali bagaimana kehidupan di Bumi ini ditata. Kita sedang melaju ke masa depan yang tak lagi ditentukan oleh negara-negara melainkan oleh konektivitas. Umat manusia kini memiliki ungkapan baru, yaitu ‘konektivitas adalah takdir’, dengan demikian hanya mereka yang terhubung yang akan menang.”

Menang bukan dalam konkurensi yang cenderung destruktif—kita sudah terlalu penat dengan tradisi berkompetisi, yang bahkan telah ditanamkan sejak belia—melainkan dengan membangun kerja sama yang konstruktif, mengikuti prinsip harmonisasi energi yang menjadi kodratnya.

Kita berkiblat pada alam perihal antar-keterhubungannya yang menawan. Mengenai jerih payah pepohonan yang bersama komponen alam lainnya mendayaupayakan udara yang vital bagi kehidupan; kupu-kupu (atau lebah) yang memperoleh nektar dari bunga sebagai makanannya, di saat bunga terbantu proses penyerbukannya; atau tumbuh-tumbuhan yang menerima pasokan nitrogen dari bakteri yang hidup dengan mencari makan di akarnya.

Sementara itu di sekitar kita ada begitu banyak orang, juga ide-ide luar biasa, yang menanti agar bisa terhubung dengan kita. Keterhubungan yang bisa jadi akan membawa kita ke berbagai kemungkinan dan peluang yang tak ada batasnya.

Jadi, mengapa tak bergegas menyapanya?

You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one. I hope someday you’ll join us. And the world will live as one.” ―John Lennon, Imagine (1988)

 

Hanny Kardinata
merespons tema FGDexpo 2017: Connectivity

***

———

Referensi

Rolf A. F. Witzsche. Without Love the Universe Would Not Exist. lovescapenovels.rolf-witzsche.com.

Nassim Haramein. 2016. The Connected Universe.

Genes Are Us. And Them. 2017. National Geographic, ngm.nationalgeographic.com

Gede Prama. 2011, Kedamaian dan Keterhubungan. Blog Detik, gedeprama.blogdetik.com.

Wally Barr. 2017. Mindfulness, Now and Zen: The sceptics guide to Ultimate Reality. Diakses secara online di Google Books, books.google.co.id.

Colour Energy For Body and Soul. 20014. Colour Energy, colourenergy.com.

 

 

Quoted

Makin banyak manfaat, makin sedikit dampak, makin baiklah desain itu

Arief Adityawan S.