Perjalanan Kembali (1)

“Saya telah menemukan terminologi yang tepat, yaitu yin dan yang untuk menguraikan ketimpangan yang terjadi. Budaya Barat terlampau bersifat maskulin (yang) dan telah mengabaikan pasangan pelengkapnya yang feminin (yin). […] Pertumbuhan yang sepihak ini telah mencapai lampu kuning berupa krisis sosial, ekologi dan moral. Karenanya dengan meminjam istilah Cina, dapat dikatakan bahwa unsur yang telah mencapai klimaksnya dan kembali ke arah yin. Dua puluh tahun belakangan ini telah melahirkan serangkaian gerakan yang pola dasarnya menuju ke arah sebaliknya. Orang mulai menyadari pentingnya pelestarian lingkungan (ekologi), semakin menguatkan kepercayaan kepada spiritualitas” —Fritjof Capra, Kearifan Tak Biasa (2002)[1] 

Harapan yang kandas
Jakarta, 4 April 2015. Gerimis kecil sore itu menghantar sejumlah pekerja desain bertolak ke Coworkinc.—sebuah ruang berbagi-kerja bagi wirausahawan muda kreatif, yang berlokasi di Kemang, Jakarta—untuk menghadiri pembukaan pameran Designers’ Response: Jakarta City. Pameran yang diselenggarakan oleh Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) Chapter Jakarta ini menghadirkan karya poster sepuluh desainer grafis Jakarta yang dianggap memiliki pengaruh. Masing-masing desainer diminta menanggapi tema pameran: What designers can do for Jakarta through design, atau bagaimana desain bisa berdampak bagi Jakarta.

Dinamika kota Jakarta dengan berbagai persoalannya langsung menyergap dan hadir nyata, menyongsong kedatangan saya di lokasi pameran yang ternyata berada di lantai 3 sebuah toko sepatu. Tak terelakkan, kehadiran sebuah pameran desain di tempat ini jadi terkesan dipaksakan. Keterbatasan ruang yang tersedia pun jadi persoalan. Karena setelah berlangsungnya sebuah sesi pertemuan di salah satu ruang, para pengunjung masih harus menunggu proses pengalihan fungsi ruang pertemuan itu menjadi “art space”. Tahapan yang memacu kreativitas penyelenggaranya ini setidaknya membutuhkan waktu sekitar satu jam agar tuntutan penyelenggaraan pameran terpenuhi. Selain ketakhadiran ruang pamer yang sepatutnya, lahan parkir di toko ini juga kurang memadai untuk bisa menampung pengunjung sebuah acara pembukaan pameran. Semestinya dapat diperkirakan sebelumnya bahwa jumlah kendaraan yang diparkir akan melampaui kondisi normal sehari-harinya.

Sebagai salah satu peserta, saya mencoba merespons masalah pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta yang semakin tak terkendali. Kondisi ini menjadi ‘akar’ dari berbagai masalah sosial yang terjadi di Jakarta, seperti kemacetan, banjir, penumpukan sampah, kurangnya ruang hijau, tingginya angka kriminalitas, biaya hidup yang mahal; berbagai hal yang mengarah pada indikasi telah terjadinya suatu kehidupan yang ‘out of balance’. Akumulasi dari berbagai problem itu pada gilirannya tentu bisa menyebabkan terjadinya tekanan atau gangguan emosional (stress) dan penderitaan (distress). Berkolaborasi dengan desainer muda Pradnya Paramita, saya menyajikan konsep tersebut dalam bentuk poster sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh ADGI Jakarta (Gb. 1).

1. Jakarta Clock, Hanny Kardinata dan Pradnya Paramita (Tim DGI), 2015. Klik untuk melihat seutuhnya.

Tapi desain poster itu sebenarnya hanyalah bentuk abstraksi dari solusi nyata yang ingin saya tawarkan, yang bentuk konkretnya berupa Jakarta Clock. Realisasi dari konsep Jakarta Clock ini saya bayangkan demikian: sejumlah jam digital berukuran sangat besar diletakkan di beberapa lokasi strategis di Jakarta. Selain berfungsi sebagai penunjuk waktu biasa, pada badan jam itu ditambahkan data yang menggambarkan perkembangan mutakhir jumlah penduduk Jakarta. Data ini berubah terus seiring berjalannya waktu (ada kelahiran, ada kematian, ada pendatang baru, ada yang pindah keluar Jakarta, dst.). Juga ditampilkan angka-angka yang menunjukkan rasio (perbandingan) antara jumlah peduduk dengan ruang yang tersedia, disandingkan dengan rasio idealnya. Informasi ini didigitalisasi, terhubung dengan kantor Dinas Pemda terkait, yang melakukan pembaruan (updating) setiap saat (otomatis). Diharapkan, data yang bisa dipantau perubahannya setiap hari oleh warga Jakarta itu akan ada dampak psikologisnya, terutama bagi pendatang yang mempunyai rencana menetap di Jakarta, atau yang ingin membawa sanak keluarga dan kerabatnya pindah ke Jakarta.

Mana kala ada waktu lebih, saya sebenarnya ingin merancang satu poster lagi dengan konsep ‘konter-Jakarta’ atau ‘konter-urbanisasi’, yang menawarkan kehidupan di kota pedesaan (rural town) bersama nilai-nilai yang pada umumnya masih melekat seperti nilai-nilai kesahajaan, kepolosan, ketulusan, kebaikan, kebersamaan, keterusterangan, cita-cita sederhana, saling membantu, saling menjaga, dsb. Tapi bisa jadi poster ini akan merupakan negasi dari harapan desainer Eric Widjaja terhadap Jakarta (yang ternyata berakhir kandas) sebagaimana tergambar pada posternya yang berjudul Harap–Parah (Gb. 2–3).

2–3. Harap-Parah, Eric Widjaja, 2015.
Poster dengan dua sisi ini (depan-belakang) menggambarkan harapan-harapan yang berakhir kandas. Klik untuk melihat seutuhnya.

Tempo lebih lambat

“Suatu sore, saya menemui beberapa petani di daerah yang berbeda beda. Ada sebuah keluhan yang sama terhadap nasib mereka. Harga pupuk yang tinggi, hasil panen yang murah! Ketidakberdayaan mereka berujung dengan tingkat ketertarikan yang rendah di sektor pertanian oleh anak cucu mereka dan berakhir dengan berpindah tangannya lahan pertanian ke pemilik modal yang kelak akan menancapkan bangunan beton di bekas lahan subur mereka. Sektor pertanian yang penting menjadi sebuah kejijikan bagi sebagian orang. Padahal sektor ini adalah tulang punggung bagi pemenuhan kebutuhan pokok umat manusia. Petanilah yang merupakan pekerja riil. Kita semua yg lain hanya sebagai penikmat. Seandainya distribusi hasil pembangunan merata, tidak perlu kita berbondong-berbondong meninggalkan ladang. Seandainya kebijakan berpihak, tidak ada petani yang miskin.” —Ardian Purwoseputro, Diary Ardian (2015)

Walau bukan merupakan tema utamanya, gambaran ideal kehidupan sehari-hari di pedesaan tercermin pada film animasi Wolf Children (2012) karya sutradara Jepang, Mamoru Hosoda (l. 1967). Sinema puitis ini mengikuti perjalanan Hana, seorang wanita yang jatuh hati pada manusia-serigala dan melahirkan dua anak yang setengah-manusia setengah-serigala. Betapa pun pandainya Hana menutupi, keganjilan fisik dan peri laku kedua anaknya tetap saja mengundang berbagai kekacauan. Setelah kematian tragis kekasihnya, Hana mencari perlindungan di sebuah pedesaan di mana ia mencoba membangun kehidupan baru bagi dirinya dan anak-anaknya. Film yang menggambarkan kehidupan keluarga-keluarga bersahaja, yang diperkuat dengan gaya animasi sederhana dan bersih ini seperti berniat mengabarkan bahwa keharmonisan hidup di desa adalah sesuatu yang nyata, bukan impian.

Tentu ada masa-masa adaptasi yang harus dilalui oleh Hana terlebih dulu. Saat uang peninggalan suaminya hampir habis, ia mulai berpikir untuk bercocok tanam sendiri. Berbagai kesulitan pun menyertainya, karena ternyata belajar dari buku saja tidaklah cukup. Beruntung ada tetangga yang bersedia mengajarinya. Hana belajar hal baru setiap harinya. Seperti: “Tak ada pupuk. Pakai daun kering saja.” atau “Jangan diberi air. Biarkan saja.” Perlahan-lahan ladangnya pun membuahkan hasil. Di depan foto suaminya, ia bercurah hati: “Kami pindah kemari untuk menghindari pandangan orang, tapi kami menjadi akrab dengan penduduk desa. Awalnya memang sulit, tapi kami akan mengatasinya.” (Gb. 4)

4. Sebuah adegan dalam film Wolf Children (2012), Mamoru Hosoda (1967).
Kisah tentang seorang ibu yang baik hatinya dan sangat mencintai anak-anaknya walau fisik mereka berbeda (separuh-manusia separuh-serigala). Hana menggambarkan karakter seorang ibu yang kuat, berani, dan bersedia melakukan apa pun demi kehidupan yang lebih baik bagi kedua anaknya, Yuki dan Ame.

Bangsa Jepang memang banyak sekali melahirkan karya film, terutama animasi, yang berlatarbelakang kehidupan di pedesaan. Menggambarkan masyarakat pedusunan yang dekat dengan alam sekitarnya, atau dengan kebiasaan-kebiasaannya yang dirasa ganjil bagi orang kota. Beberapa di antaranya menonjolkan kontras antara gaya hidup di kota dan di desa, memperlihatkan bagaimana warga pendatang berusaha keras beradaptasi dengan tempo yang lebih lambat di desa.

Misalnya pada karya-karya animasi yang diproduksi oleh Studio Ghibli (1985), yang terkemuka melalui kedua pendirinya, Hayao Miyazaki (l. 1941), dan Isao Takahata (l. 1935). Keduanya memiliki kepedulian serupa terhadap lingkungan hidup, nilai-nilai tradisi pedesaan, dan spirit animisme yang terkandung di dalam cerita-cerita rakyat Jepang. Walau belakangan Studio Ghibli mengadopsi teknologi baru (komputer grafis), karya-karyanya tetap menunjukkan komitmen mereka untuk (sebagian besar) tetap digambar menggunakan teknik tradisional, yaitu dengan tangan (hand-drawn technique).

———
[1] Capra, Fritjof. 2002. Kearifan Tak Biasa: Percakapan dengan Orang-orang Luar Biasa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

***

[Bersambung »]

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan