[Sambungan dari: Perjalanan Kembali (3). Bagian terakhir dari empat bagian]
“Masa depan adalah masa lalu yang berulang dan muncul dalam rupa yang baru. Masa depan era industri adalah era pra-industri dalam wujud baru. Memahami hal seperti itu penting bagi Indonesia yang memiliki ribuan desa, karena masa depan itu sesungguhnya ada sangat dekat dengan kita. Namun kita sekarang ini sudah membelakanginya. Ingin meninggalkannya demi meraih masa depan—yang bentuknya seperti masyarakat industri sekarang ini. Semestinya kita hanya perlu membalikkan badan, serta menggali dan mengembangkan potensi di dekat kita, terutama komunitas desa-desa. Dengan cara seperti itu, kita akan tiba di masa depan jauh lebih cepat daripada negara-negara industri yang sebenarnya juga sedang menuju ke sana. […] Hal yang paling vital adalah adanya fasilitas pendidikan kontekstual. Fasilitas dan aktivitas tersebut adalah jantungnya komunitas.”—Singgih Susilo Kartono
Tidak bahagia
Gerakan ‘kembali ke desa’ sebenarnya telah berlangsung lebih awal di banyak negara. Sifatnya universal, dan sejauh ini sejalan dengan apa yang dipercayai oleh masyarakat Cina, bahwa apabila sesuatu berkembang ke kondisi ekstrimnya, pasti akan berputar balik ke arah sebaliknya.
Di Australia misalnya, sementara orang-orang muda berusia 20-an berduyun-duyun ke kota mencari pekerjaan, sebuah laporan dari Regional Australia Institute (RAI) pada 2014 menunjukkan bahwa setelah beberapa tahun mereka akan berbondong-bondong kembali ke daerah asalnya. Hal itu mereka lakukan terutama agar kehidupan yang lebih baik bisa dijangkau, tersedia lebih banyak waktu bersama keluarga, dan demi nilai-nilai baik yang dipahami masih kuat melekat pada masyarakat pedesaan. Pada catatan RAI, sepanjang 2010–2011 saja ada 135 ribu orang meninggalkan ibu kota negara-negara bagian di Australia untuk kembali ke daerah regionalnya masing-masing:
“It’s been a steady flow over the last five years, so it’s not brand new… it’s just ramped up.”[5]
Sama saja halnya dengan proses konter-urbanisasi yang tengah berlangsung di Kanada, khususnya di Toronto. Hanya saja pola yang terjadi di sini umumnya mengikuti dua tahapan, awalnya perpindahan dari kota ke daerah pinggirannya, dan kemudian perpindahan lagi dari daerah pinggiran kota ke pedesaan. Dan yang melakukannya adalah kaum berpunya (affluent). Para eks-urbanis ini bukan mereka yang miskin, melainkan mereka yang berusaha mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya. Mereka memiliki penghasilan di atas rata-rata, dan tingkat pendidikan yang lebih baik daripada mereka yang tinggal di kota.[6]
Serupa juga dengan yang berlangsung di Cina; ketika kaum miskin di pedesaan pindah ke kota, kaum kaya urban justru kembali ke desa. Menurut Bloomberg Business pada laporannya tahun 2013, mereka mengalami tekanan oleh pekerjaannya di kota, dan mencari alternatif kehidupan yang temponya lebih lambat.
Diilustrasikannya kisah seorang warga Cina, Bei Yi yang pada 2007 melakukan sebuah hal yang dianggap gila oleh banyak orang. Ia berhenti dari pekerjaannya yang berupah tinggi sebagai manajer sebuah perusahaan kaca, menjual mobil serta apartemennya, dan meninggalkan Shanghai, salah satu kota yang paling didambakan di Cina. Destinasinya adalah kota tua Lijiang, terletak jauh di pedalaman Barat Daya propinsi Yunan yang miskin, yang pada masa lalu menjadi tempat pembuangan bagi mereka yang bertentangan dengan Kaisar. Keluarga dan teman-temannya yang keheranan bertanya kepadanya: “Bagaimana mungkin kamu yang berasal dari kota yang demikian hidup dan penting ini bisa pindah ke daerah pegunungan yang jauh dari kehidupan?”
“Mereka tak mengerti” kenang Bei, yang di kemudian hari mengelola sebuah pesanggrahan di Lijiang, sebuah kota dengan banyak lorong-lorong tua dan sungai yang deras airnya. “Dalam beberapa hal, hidup saya di Shanghai cukup baik. Tapi saya sama sekali tidak bahagia.”
Lijiang, rumah bagi minoritas Naxi yang memiliki sistem aksara tersendiri berkarakter piktografis, terletak di lereng Jade Dragon Snow Mountain dengan ketinggian 5.596 meter dan terkenal karena langitnya yang biru sepanjang tahun. Perkiraan Pan Hongyi, Wakil Direktur Travel Research Institute, Lijiang Normal Technical College: “Dari sekitar 20.000 penduduk Lijiang, 95% di antaranya adalah eks-urbanis, berubah banyak dari keadaannya yang hampir-hampir tak berpenghuni 15 tahun yang lalu. Kebanyakan dari mereka tadinya datang hanya untuk berkunjung, tapi akhirnya mereka menetap di sana.”
Survei tahun 2012 oleh Regus (RGU:LN) cabang Luxemburg yang menyewakan ruang perkantoran dan ruang konferensi di seluruh dunia menyimpulkan bahwa 75% pekerja Cina merasa beban mental mereka bertambah terus, merupakan persentase terbesar dari keseluruhan survei yang diadakan di 80 negara. Sementara survei yang diadakan oleh Pew Research Center pada tahun yang sama menunjukkan hanya 59% warga Cina yang puas dengan “kehidupan abad ke-21”, turun dari 71% pada survei empat tahun sebelumnya. Masalah keamanan pangan menduduki tempat teratas keprihatinan mereka, berikutnya masalah-masalah seperti kemacetan lalu lintas, kriminalitas, dan polusi.[7]
“People get to used too convenience. They think convenience is better. They throw out what’s truly good.” —Akira Kurosawa, Dreams (1990)
Kehidupan di pedesaan dan masalah lingkungan hidup divisualkan oleh Akira Kurosawa (1910–1998) melalui filmnya yang berjudul Dreams (1990), menggambarkan bagaimana manusia menghancurkan alam atas nama “kemajuan”. Film dengan konsep Realisme Magis ini ditulisnya sendiri berdasarkan mimpi-mimpi yang dialaminya berulang kali. Film ini tidak memiliki narasi tunggal, tetapi agak episodik mengikuti petualangan seorang “pengganti Kurosawa” [sering dikenali mengenakan topi yang merupakan cap (trademark) Kurosawa] melalui delapan segmen, atau “mimpi”, yang berbeda. Dreams mengeksplorasi kesia-siaan perang, bahaya reaktor nuklir, dan terutama mengenai perlunya umat manusia menyelaraskan dirinya dengan alam.
Yang ingin saya bagikan di sini adalah segmennya yang kedelapan, yang berjudul Village of the Watermills, di mana dalam keheningan atmosferiknya kita diajaknya merenungkan kembali apa prioritas kita dalam kehidupan dewasa ini.
Seorang pemuda mendapatkan dirinya sedang menapaki sebuah desa nan damai sentosa, yang dialiri sungai kecil jernih dan deras airnya. Ia kemudian bertemu dengan seorang laki-laki tua bijak yang sedang memperbaiki roda putar pembangkit-energi (watermill) (Gb. 14) yang rusak. Si penatua bercerita bahwa di masa lampau orang-orang desa ini memutuskan meninggalkan kotanya yang kotor akibat teknologi modern (polusi) untuk kembali ke kehidupan yang lebih bersih dan sehat (tanpa teknologi modern). Mereka mengupayakan sendiri keberlanjutan kehidupannya dengan melangsungkan gaya hidup alami. Desa ini tidak mengkonsumsi listrik. Penduduknya menggunakan minyak biji rami dan lentera di malam hari. Sawah mereka dibudidayakan menggunakan kuda dan sapi, bukan traktor. Dan untuk bahan bakar, mereka memakai kotoran sapi dan kayu bakar (dari ranting pohon yang patah). Dengan tinggal di desa ini mereka telah memilih kesehatan (fisik dan spiritual) daripada kenyamanan hidup.
“We try to live the man used to. That’s the natural way of life. People today have forgotten they’re really just a part of nature. Yet, they destroy the nature on which our lives depend. They always think they can make something better. Especially scientist. They may be smart, but most don’t understand the heart of nature. They only invent things that in the end make people unhappy. Yet they’re so proud of their inventions. What’s worse, most people are too. They view them as they were miracles. They worship them. They don’t know it, but they’re losing nature. The’re don’t see that they’re going to perish. The most important thing for human beings are clean air and clean water… and the trees and grass that produce them. Everything is being dirtied, polluted forever. Dirty air, dirty water… dirtying the hearts of men.”
Pemuda itu terkejut mendengarnya tapi tergugah dengan gagasan tersebut. Hal lain yang menarik, tidak ada yang meninggal sebelum waktunya. Semua orang hidup hingga usia sembilan puluhan. Pak tua itu sendiri telah berumur seratus tiga tahun. Pada bagian akhir, diperlihatkan jalannya sebuah prosesi pemakaman bagi seorang perempuan tua. Alih-alih mengiringinya dengan isak tangis, seluruh warga desa merayakannya dengan penuh suka cita, melukiskan akhir yang pantas bagi sebuah perjalanan hidup yang telah dilalui dengan baik. Adegan ditutup dengan nukilan musik yang melankolis dan menggugah hati, In the Village yang merupakan bagian dari Caucasian Sketches, Suite No. 1 (1894, 1896) karya komposer Rusia, Mikhail Ippolitov-Ivanov (1859–1935).
“We search for something not knowing what it is. We search for happiness and fulfillment. But we search in the outer world not realizing that we find these things by looking within.” —Slow Movement
Namun, guna mengikuti prinsip-prinsip Slow Movement [Lihat Slow Design pada Nada dalam Tautan Bidang-Bidang (2)], ada juga orang-orang yang memilih tidak pindah dari kota yang tengah mereka diami. Mereka tetap tinggal, tapi secara dramatis memperlambat diri dan mengubah gaya hidup mereka. Mereka beranggapan tetap bisa melakukan perlambatan atau perubahan besar, sekali pun tetap berada di lingkungan atau posisi mereka saat ini. Agar bisa terhubung ke kehidupan, ‘bukan keadaan sekitar yang diubah, tapi diri sendiri’.
“Terhubung ke kehidupan berarti terhubung dengan tiap aspeknya: dengan diri kita sendiri, tubuh dan pikiran kita; dengan spiritualitas; dengan jalan hidup; dan dengan irama alam yang menuntun hidup kita. Kalau banyak di antara kita yang tak terhubung, itu karena kita mencarinya di luar, tidak menyadari bahwa kita bisa memperolehnya dengan mencarinya di dalam. Pada saat kita melihat ke dalam, kita akan menyadari bahwa diri kita lengkap dan hidup kita sempurna. Kita tak lagi mesti berjuang menapaki jenjang jabatan dalam pekerjaan, atau meningkatkan status sosial kita. Kita akan melihat diri kita sebagai bagian dari keseluruhan yang sangat kompleks—saling tergantung atas segala hal.”[8]
Gerakan Slow City (atau Cittaslow) yang dimulai di Greve, sebuah kota kecil di wilayah Chianti, Tuscany, Italia Utara pada 1999, mendapat respons sensasional dari penduduk kotanya yang termotivasi untuk segera mengubah irama keseharian mereka. Tapi pengertian ‘slow’ di sini tidak serta merta merupakan kebalikan dari ‘fast’. Kata ini juga menyiratkan keterhubungan dengan alam, sikap respek terhadap lingkungan, dan bagaimana orang meluangkan waktu untuk menghargai hal-hal seperti perubahan musim, guna membuat hidup sedikit lebih mudah, serta menyediakan waktu untuk merenung.
Pengertian dari slow life diutarakan di dalam manifesto Cittaslow (jaringan internasionalnya Slow City), yang berarti bebas berjalan-jalan kemana saja, tak berbuat apa-apa atau bahkan hanya melamun, mendengarkan saja, puas dengan menunggu saja, merenung, dan mempraktikkan “cara hidup analog”. Yang artinya menolak segala sesuatu yang lebih cepat, atau gaya hidup yang sangat kompetitif dari dunia digital modern. Tujuannya di antaranya adalah untuk membangun kehidupan yang lebih baik di lingkungan urban, meningkatkan kualitas hidup, menolak homogenisasi dan globalisasi kota di seluruh dunia, mempromosikan keragaman budaya dan keunikan kota masing-masing, memberikan inspirasi mengenai gaya hidup sehat, dsb.
Untuk bisa digolongkan sebagai Slow City (Kota Lamban), sebuah kota perlu memiliki beberapa karakteristik tertentu. Tidak cukup sekadar melambat saja. Beberapa di antaranya, penduduknya tidak lebih dari 50.000 orang; warganya memiliki keahlian khusus atau spesialisasi yang dilangsungkan dengan cara-cara lama, tidak menggunakan mesin, dan warisan tradisionalnya harus terawat baik. Kota seharusnya tidak memiliki toko makanan cepat saji atau toko diskon besar, dan kuliner lokal asli harus tersedia. Hingga 2009, hanya 111 kota di 16 negara yang memenuhi standar itu, menunjukkan tidak mudahnya sebuah kota memiliki predikat sebagai Slow City.
Jauh sebelumnya, filsuf dan ekonom E.F. Schumacher (1911–1977) dalam buku terakhir yang ditulisnya, A Guide for the Perplexed (1977) telah menyinggung mengenai kesadaran atas berbagai krisis kehidupan kemanusiaan dengan saran bahwa pemulihan harus datang ‘dari dalam diri manusia’:
“Beberapa orang tidak lagi marah kalau diberitahu bahwa pemulihan harus datang dari dalam. Sangkaan bahwa segala sesuatu adalah “politik” dan bahwa pengaturan kembali “sistem” secara radikal akan memadai untuk menyelamatkan peradaban, tak lagi dianut dengan fanatisme yang sama seperti duapuluh lima tahun lampau, di mana-mana di dunia modern sekarang terdapat percobaan-percobaan gaya hidup baru dan kesederhanaan secara sukarela; kesombongan ilmu-ilmu materialistik telah berkurang, dan bahkan adakalanya orang telah bertenggang hati bila nama Tuhan disebut di dalam pergaulan yang sopan. Harus diakui bahwa beberapa di antara perubahan pikiran ini pada mulanya tidak berasal dari wawasan rohani, melainkan dari kecemasan materialistik yang ditimbulkan oleh krisis lingkungan, krisis bahan bakar, ancaman akan krisis bahan makanan dan petunjuk-petunjuk akan datangnya krisis kesehatan.” […]
“Serempak dengan itu, kepercayaan kepada kemahakuasaan manusia, kini telah menipis. Bahkan jika semua masalah “baru” dapat dipecahkan dengan rumus-rumus teknologi, keadaan yang sia-sia, kekalutan dan kebejatan akan tetap. Keadaan itu telah ada sebelum krisis-krisis yang ada sekarang menjadi gawat dan ia tak akan pergi dengan sendirinya. Semakin banyak orang yang mulai menyadari “percobaan modern” telah gagal. Percobaan itu mendapatkan rangsangannya mula-mula dari apa yang saya sebut revolusi ala Descartes, yang dengan logikanya memisahkan manusia dari Tingkat-Tingkat yang Lebih Tinggi, yang dapat mempertahankan keinsaniannya. Manusia menutup gerbang-gerbang Surga terhadap dirinya sendiri dan mencoba dengan daya kerja dan kecerdikan yang besar sekali, mengurung diri mereka di bumi. Kini ia mulai mengetahui bahwa bumi hanyalah tempat persinggahan sementara, sehingga suatu penolakan untuk mencapai Surga berarti tak sengaja turun ke Neraka.”[9]
Kesia-siaan yang bodoh
“Ketika manusia telah mencampuri Tao,
Langit menjadi suram,
Bumi terkuras,
Keseimbangan menjadi remuk,
Ciptaan menjadi musnah.” —Tao Te Ching 39
Ada sebuah film yang secara spektakuler merekam proses ketakseimbangan yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia. Pada 1982, bekerjasama dengan komposer Philip Glass (l. 1937) dan sinematografer Ron Fricke, sutradara Godfrey Reggio (l. 1940) melahirkan sebuah film dokumenter eksperimental berjudul Koyaanisqatsi: Life out of Balance. Film apokaliptik ini menonjolkan kontras antara keheningan alam versus kekisruhan kehidupan perkotaan dan teknologi modern; dibesut dengan teknik slow motion (gerakan-lamban) dan time-lapse (penyusunan serangkaian gambar menjadi klip video) yang memanjakan mata. Sebuah puisi visual tanpa dialog atau narasi, suasananya dibangun semata oleh gambar dan musik secara berdampingan.
“Koyaanisqatsi berupaya mengungkap keindahan dari suatu keburukan. Kita terbiasa melihat dunia kita, gaya hidup kita, sebagai indah karena tidak ada pembandingnya. Bila seseorang hidup di dunia ini, di dunia teknologi tinggi yang mendunia ini, yang dapat dilihat oleh semua orang adalah sebuah lapisan komoditas yang melapisi komoditas lainnya. Di dunia kita ini, yang “orisinal” itu adalah proliferasi dari apa yang telah dibakukan. Salinan adalah salinan dari salinan. Sepertinya tak ada jalan lain untuk melihat apa yang berada di luarnya, melihat bahwa kita telah mengemas diri kita di dalam lingkungan yang artifisial, yang sungguh-sungguh telah menggantikan yang orisinal, yaitu alam itu sendiri. Kita tak lagi hidup bersama alam; kita hidup di atasnya, jauh darinya. Alam telah menjadi sumber daya untuk menjaga agar alam buatan atau alam baru itu hidup.”[10]
Sebagaimana halnya dengan Dreams, pesan yang ingin diteruskan melalui film ini sangat jelas: umat manusia sedang dalam proses menghancurkan bumi, seluruh kemajuan yang dicapainya adalah suatu ‘kesia-siaan yang bodoh’ belaka.
When airwaves swing.
Distant voices sing.
Here is the West German Broadcasting Station with the news.
Fifty nuclear power stations will be built in the West German Republic.
In the next ten years.
Each one can supply a city of millions with power.[i]
[i] Lirik ini diambil dari sebuah karya musik Kraftwerk yang berjudul Airwaves. Kraftwerk (Ingg.: Power Station) adalah sebuah band elektronik Jerman yang dibentuk pada 1970 di Düsseldorf. Karakteristik suaranya: irama yang repetitif, melodi yang mudah diingat, mengikuti harmonisasi Klasik Barat, dengan instrumentasi elektronik yang minimalistik. Lirik-liriknya yang sederhana dilagukan melalui vocoder atau dihasilkan melalui program komputer. Tema karya-karyanya berhubungan dengan teknologi modern dan kehidupan kalangan urban di Eropa pasca Perang Dunia: berkendara di Autobahn, melakukan perjalanan dengan kereta api, memakai komputer, dsb. Lirik-liriknya sangat minimal, tapi mengungkapi baik perhelatan maupun kewaspadaan terhadap dunia modern, mengekspresikan paradoksal dalam kehidupan perkotaan modern: kuatnya rasa keterasingan yang hidup berdampingan dengan suka cita kehidupan modern.[11]
———
[5] Younger Australians flocking back to the countryside. 2014. Guardian Australia, http://www.theguardian.com/world/2014/jan/22/younger-australians-flocking-back-to-the-countryside, diakses 19 Juli 2015.
[6] Walker, Gerald. Urbanites Creating New Ruralities: Reflections on Social Action and Struggle in the Greater Toronto Area.
[7] Roberts, Dexter. 2013. Stressed Chinese Leave Cities, Head for the Countryside. Bloomberg Business, http://www.bloomberg.com/bw/articles/2013-05-02/stressed-chinese-leave-cities-head-for-the-countryside#p1, diakses 19 Juli 2015.
[8] Making the connection to life. Slow Movement, http://www.slowmovement.com/life.php, diakses 20 Juli 2015.
[9] Schumacher, E.F. 1981. Keluar dari Kemelut: Sebuah Peta Pemikiran Baru [A Guide for the Perplexed (1977)]. Jakarta: LP3ES.
[10] Koyaanisqatsi, http://www.koyaanisqatsi.com/films/koyaanisqatsi.php, diakses 28 Juli 2015.
[11] Kraftwerk-Das Model, http://germannn.tumblr.com/post/72540053586/willkommen-in-germany-kraftwerk-das-model, diakses 29 Juli 2015.yakin bahwa ‘desa adalah masa depan’.
***
Untuk membaca tulisan-tulisan lainnya, sila klik: Hanny Kardinata.
When you do what you like, you won’t get sick of it too long, if ever.