Apresiasi ialah bentuk ungkapan yang cukup tinggi dalam menghargai jerih dan payah suatu usaha. Bentuk keapresiasian dapat beragam baik berupa pesan dan kesan, kritik membangun, atau bahkan sampai materil. Akan tetapi pada akhirnya wujud nyata dari apresiasi itu pula sering disepelekan, dalam hal ini apresiasi terhadap sebuah badan pengarsipan. Badan pengarsipan ialah tempat dimana rekam jejak suatu masa bisa di telik kembali dengan tujuan yang cukup jelas yaitu untuk menelaah masa yang akan datang.
Yayasan Dokumentasi HB Jassin yang mempunyai dokumen-dokumen sastra terlengkap di Indonesia tampaknya tidak terlampaui oleh zaman tapi tetap saja daya tariknya kurang begitu ‘eksis’ dan ‘seksi’ dikalangan masyarakat sekitar. Padahal dengan kehadirannya sebagai Pusat Dokumentasi Sastra terlengkap di Indonesia ini dapat memposisikan dirinya sebagai ruang arsip penandah zaman yang bisa menjadi daya tarik tersendiri atau bahkan bisa menjadi tempat berkumpulnya masyarakat untuk bertukar pikiran dalam mengkonstrukiskan atau mengupayakan apa yang terjadi saat dulu-sekarang-esok.
Sejauh ini sebagian besar masyarakat yang mengolah arsip Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin hanyalah orang-orang yang berkecimpung dalam bidang [terkait] sastra (sastrawan, guru bahasa, mahasiswa sastra, dll) arsip-arsip tersebut diolah ke arah medium data riset, skripsi, artikel, dan lain-lain. Kegiatan seperti ini belum dapat mengangkat tempat tersebut ke posisi yang populer, ia juga tidak berdaya tarik untuk profesi-profesi lainnya. Pengunjung yang sangat sedikit mengakibatkan pengelolaan harian yang tidak terdukung karena dianggap bukan sebuah kebutuhan yang urgent. Ini menjadi sebuah polemik karena PDS HB Jassin memiliki peranan penting bagi masyarakat dan budaya sastra, akan tapi bidang kearsipan selalu dipandang sebelah mata. Hingga hadir sebuah rumor, akibat tidak terurusnya PDS HB Jassin pernah ada tawaran dibeli oleh negeri tetangga.
Apresiasi terhadap pengarsipan mencakup kegiatan penyimpanan pustaka, pemeliharaan dan membacanya. Yang menjadi permasalahan rendahnya apresiasi terhadap arsip ialah rendahnya literasi di Indonesia. Dan, juga dari terjadinya peningkatan dan percepatan dalam mengakses teknologi informasi dan komunikasi, dan sedikit terkait bahan-bahan bacaan yang awalnya cetak kini teralihkan ke format digital.
Fungsi utama menelaah arsip adalah mencari kebenaran dari sebuah makna, hal ini akan mempengaruhi penentuan sikap kita ditengah arus informasi global yang menerjang, dan terkait itu mulai hadirnya opini tak berkonstruksi dan tak rasional, terutama dari berita hoax, artikel permukaan, dan statement dangkal.
Pemikiran desain sebagai solusi
Dengan mengadaptasi metode Design Thinking dari Tim Brown (CEO IDEO.Org) Sastra Lintas Rupa lahir sebagai sebuah platform kerja kreatif yang mengajak kembali masyarakat untuk mengolah arsip, khususnya PDS HB Jassin dengan cara yang ‘kekinian’ dan bersiasat. Penerapannya tidak lagi dengan cara ‘menghasut’ atau semacamnya yang kompleks dan sudah tidak relevan, seperti misalnya mencari-cari sendiri arsip, lalu meminta membacanya satu-persatu baru kemudian meresponnya. Penggunaan metode yang dikonstruksikan oleh Sastra Lintas Rupa nyatanya lebih mudah diterima, karena lebih sederhana dengan adanya kemudahan, yaitu disediakannya ‘percepatan’ dalam mengakses dan memroses informasi. Sistem yang dirancang adalah dengan menerjemahkan arsip-arsip PDS HB Jassin kedalam medium visual. Jika selama ini kegiatan mengakses arsip itu sendiri berada di luar kajian, maka platform ini menjanjikan medium di luar kebiasaan. Hal ini diterapkan agar menyajikan alternatif pengalaman/cara baru untuk menikmati arsip sebagai ‘wahana.’
Sastra Lintas Rupa juga menawarkan alternatif untuk solusi pencarian dana PDS HB Jassin yang berdikari lewat penjualan buku, dan merchandise. Setidaknya lewat gerakan ini PDS HB Jassin memiliki solusi pencarian dana yang mandiri dan tidak bersikap pasrah dengan kondisi dana.
Media publikasi menjadi elemen penting untuk menunjang keberlangsungan suatu pergerakan, termasuk PDS HB Jassin. Media publikasi yang selama ini tidak terdengar dari vakumnya kegiatan di PDS HB Jassin menjadi kendala yang berat dan dapat berakibat fatal bagi keberlangsungannya. Sastra Lintas Rupa mencoba menghidupkan kembali media publikasi PDS HB Jassin lewat media sosial yang dirancang secara modern dengan harapan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Dalam praktiknya Sastra Lintas Rupa mengajak masyarakat untuk ‘berkarya bersama,’ proses intepretasi visual puisi melalui aset arsip ke dalam medium visual setidaknya digarap oleh 6 orang (5 kontributor, 1 fasilitator). Proses intepretasi dirangkum dalam ke dalam sistem lokakarya melibatkan masyarakat luas yang dipilih melalui proses seleksi dari submisi terbuka.
Pemilihan tokoh sastra pada program Sastra Lintas Rupa mengacu pada angkatan perjalanan sejarah sastra Indonesia yang dalam program ini dimulai dari angkatan 1945 yang diwakili oleh Chairil Anwar. Setelah ini program akan dilanjutkan ke angkatan sastra berikutnya, yaitu ’50, ’66, ’80, dan seterusnya.
Program Sastra Lintas Rupa selanjutnya bernama Frasa, ialah eksperimen eksplorasi visual dan narasi arsip PDS HB Jassin. Kata Frasa dipilih sebagai nama karena dianggap dapat mempertemukan rasa dan sastra, yang kemudian hasil dari lokakaryanya akan dipublikasikan sebagai majalah independen (zine).
Lokakarya Frasa edisi pertama akan bertemakan ‘Kuliner Indonesia.’ Peserta lokakarya akan mengolah narasi yang berkenaan dengan kuliner dan resep yang sudah terlebih dahulu dikurasi, kemudian peserta akan mengintepretasikannya lewat eksplorasi visual dengan memanfaatkan materi arsip dari PDS HB Jassin.
Peran desainer grafis adalah merancang solusi yang memerlukan konstruksi ide-ide. Profesi desainer adalah profesi yang bermuka dua, ia bisa berfungsi mulia namun bisa juga mematikan karena ia persuasif. Desainer dapat mendorong perubahan perilaku dalam masyarakat, dalam hal ini mengubah perilaku menjadi yang lebih baik lewat produksi kebutuhan visual masyarakat sehari-hari, dan lewat gerakan ini, Sastra Lintas Rupa hendaknya turut membimbing pemahaman agar fungsi dan peranan desainer agar lebih peka dan terbuka terhadap masalah pengarsipan. Paradigma ini terkait dengan budaya bangsa, dan jika masyarakat kreatif menanggapi dan berpartisipasi dalam gerakan ini maka ada secercah harapan bahwa profesi desainer sebagai pencari solusi dapat lebih dihargai.
Catatan Redaksi: Artikel ini kami muat dalam rangka memperkenalkan gerakan dan laboratori kreatif visioner ini, sekaligus untuk mengabarkan bahwa Mobile Museum DGI bekerjasama dengan Sastra Lintas Rupa akan menyelenggarakan lokakarya F RASA, 7 Mei mendatang. Nantikan informasi lengkapnya hari-hari mendatang.
Berikut ini video-video liputan kegiatan Sastra Lintas Rupa yang diselenggarakan Oktober 2016.
Makin banyak manfaat, makin sedikit dampak, makin baiklah desain itu