Yang Ditabur, yang Dituai (2)

[Sambungan dari Yang Ditabur, yang Dituai (1). Bagian kedua dari tiga bagian]

“Kebesaran sebuah bangsa dan perkembangan moralitasnya bisa dinilai dari bagaimana hewan diperlakukan.” —Mohandas K. Gandhi (1869–1948)

Kekerasan kita kembali kepada kita

Pale Blue Dot atau planet Bumi, rumah kita bersama ini [Lihat: Bersua Kartini di Agora (2)], telah mengalami berbagai peristiwa besar yang mengguncang dan meninggalkan penderitaan menyayat hati. Kekerasan tak berkesudahan terjadi di mana-mana terhadap sesama manusia dan makhluk hidup lainnya, yang telah memicu terjadinya mala petaka yang lebih besar lagi. Maka tergantung pada niat manusia itu sendiri, ingin mengakhiri, atau melanjutkannya.

Telah dibuktikan oleh Madan Mohan Bajaj, ilmuwan dari Departemen Fisika dan Astrofisika, Universitas Delhi [pada Yang Ditabur, yang Dituai (1)] bahwasanya industri peternakanlah yang paling bertanggungjawab atas terjadinya berbagai bencana alam di Ibu Pertiwi (Mother Earth). Salah satunya disebabkan oleh terakumulasinya energi negatif sangat ekstrem yang dibangkitkan oleh pembunuhan hewan secara massal.

Industri peternakan dewasa ini telah memperlakukan hewan dengan sangat kejam, mereka dibiarkan hidup berdesakan di dalam kandang yang sesak, dipaksa menelan bermacam-macam obat, diperah dengan kasar memakai mesin sampai tidak mampu berdiri, untuk kemudian dibantai.

Tidak semua orang tahu tentang hal-hal mengerikan pada hewan-hewan peternakan pabrikan.

Pada industri telur misalnya, jika diketahui bahwa anak-anak ayam itu jantan, mereka akan dilemparkan ke mesin penggiling, hidup-hidup, untuk diolah menjadi makanan anjing, atau sesuatu yang lain.

Guru spiritual Ching Hai (l. 1950), penerima berbagai penghargaan perdamaian dunia, dalam sebuah wawancara menceritakan apa yang pernah disaksikannya di sebuah acara televisi:

“Saya melihat seekor anak ayam kecil, dia berkeliaran di pinggir ban berjalan yang sedang membawanya ke mesin penggiling. Ia mengembara dengan begitu polos, mencari ibunya, Ya Tuhan! Saya menangis.”[ii]

Ching Hai memperingatkan bahwa kejahatan moral ini telah mencapai proporsi global, karena tindakan kekerasan kita akan kembali kepada kita dalam bentuk bencana alam:

“Apa yang engkau tabur, itulah yang engkau tuai. Inilah ajaran universal yang ditemukan dalam seluruh kitab suci agung dunia.”[1]

Pada 21 Februari 2017, Yayasan PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) mempublikasikan temuan mereka yang menggambarkan metode penyiksaan dan pembunuhan mengerikan yang rutin dijalankan di sebuah peternakan ayam di India. Dokumentasinya bisa disaksikan di sini.

Sumber terbesar emisi gas rumah kaca

The more I learn about people, the more I like my dog.” —Mark Twain (1835–1910)

Namun, apakah dosa industri peternakan cukup hanya sampai di situ? Selain sebagai pemeran utama atas terjadinya bencana alam, produksi daging juga memegang porsi (salah satu) terbesar atas timbulnya kerusakan sistemik ekologi Bumi.

Sebuah laporan yang dipublikasi oleh Worldwatch Institute menunjukkan bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca[iii] terbesar, dan bertanggung jawab atas ‘paling sedikit’ 51% terjadinya pemanasan global (setara dengan 32.567 juta ton karbon-dioksida), lebih banyak daripada gabungan seluruh sektor transportasi dunia (total emisi dari pesawat terbang, kereta api, mobil, motor, dan lain-lain).[2] Kemungkinan besar persentasenya bahkan lebih besar dari itu. Ching Hai misalnya, berdasarkan pengamatannya, mengklaim kontribusi industri peternakan sedikitnya mencapai 80%![1]

Karena memasok biji-bijian dan air dalam jumlah besar sebagai pangan hewan ternak, lalu membunuh dan mengolahnya, mengangkut serta menyimpannya, merupakan rangkaian proses produksi yang membutuhkan energi amat besar. Serentak bersama itu, terjadi perambahan hutan-hutan (sebagai penyerap gas rumah kaca) demi tersedianya hamparan padang rumput dan lahan pertanian untuk pangan ternak. Dan akhirnya, ternak itu sendiri beserta segenap buangannya merilis lebih banyak lagi gas rumah kaca ke atmosfer.

Karbon-dioksida (CO2), metana, dan nitro-oksida merupakan gas-gas rumah kaca yang sangat “perkasa”, mereka berkontribusi paling besar atas terjadinya perubahan iklim.

Pembakaran bahan bakar fosil (seperti minyak dan bensin) melepaskan karbon-dioksida. Karena diperlukan bahan bakar fosil 11 kali lebih banyak guna menghasilkan satu kalori protein hewani daripada untuk menghasilkan satu kalori protein biji-bijian, maka karbon-dioksida yang dilepaskan juga jauh lebih besar. Para peneliti mengakui bahwa protein yang dihasilkan dari sumber nabati lebih ‘climate efficient’ daripada yang berasal dari sumber hewani.[3]

Miliaran ayam, kalkun, babi, dan sapi yang hidup bersesakan di peternakan-peternakan di Amerika Serikat, setiap tahunnya menghasilkan sejumlah besar metana, baik saat mencerna makanannya maupun dari berhektar-hektar septik tank yang penuh dengan kotorannya. Environmental Protection Agency AS menunjukkan bahwa peternakan secara global menjadi sumber terbesar emisi metana, dan bahwa metana 25 kali lebih efektif daripada karbon-dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer Bumi.[3] Metana juga merupakan gas yang berusia pendek. Gas ini akan meninggalkan atmosfer lebih cepat daripada CO2, hanya dalam satu dasawarsa, dibanding CO2 yang butuh waktu ribuan tahun. Oleh karenanya, menghilangkan metana dengan meniadakan peternakan adalah cara tercepat untuk mendinginkan Bumi manusia.

2. Sebuah peternakan besar di luar kota York, Inggris. Sumber: Viva! (viva.org.uk).

Nitro-oksida bahkan 300 kali lebih besar potensinya dalam menghasilkan gas rumah kaca dibandingkan CO2. PBB memperkirakan daging, telur, dan industri susu, menyumbang 65% emisi nitro-oksida dunia.[3]

Kekejaman manusia menjagal hewan bahkan melampaui kandang-kandang mereka yang sempit, jauh melampaui rumah jagalnya. Bukan hanya mengenai hewan-hewan yang disiksa selama hidup mereka yang singkat dan dibunuh tanpa belas kasih, tapi juga tentang hewan-hewan liar yang mati karena limpasan pupuk kimia, atau mati lemas karena kekurangan oksigen, yang disebabkan oleh gaya hidup manusia yang ceroboh. Atau yang disakiti dan mati sebagai hewan percobaan dalam program pengujian kimiawi di laboratorium-laboratorium. Atau pun yang diburu untuk dikuliti atau dilucuti bulunya demi sepotong gengsi.

Pada 7 Juni, harian Washington Post menerbitkan sebuah statistik berdasarkan laporan Wildlife Services, badan pemerintah AS yang mengklaim diri bertanggungjawab atas ‘leadership and expertise to resolve wildlife conflicts to allow people and wildlife to coexist.’ Kenyataannya, pada 2013 saja, agen-agen Wildlife Services telah membunuh lebih dari 4,4 juta hewan, termasuk di dalamnya 75.326 coyote (anjing hutan), 866 bobcats (sejenis kucing), 528 berang-berang sungai, 3.700 rubah, 12.186 anjing padang rumput, 973 elang ekor merah, 419 beruang hitam, dan setidaknya tiga elang emas. Jumlah ini merupakan peningkatan hampir 25% atau 3,4 juta lebih yang tewas dibanding data 2012, di mana sekitar setengahnya adalah spesies pribumi.[4]

Statistik itu hanya menggambarkan perburuan satwa liar di Amerika saja, dan hanya dalam setahun.

Di dalam bukunya Dari Krisis menjadi Damai, Ching Hai membagikan beberapa bukti terkini tentang dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dan hewan, yang bisa dibaca pada Bab 2: Tanda Peringatan untuk Membangunkan Umat Manusia.

Keragaman yang menjamin ketahanan

“Kalau saja rumah pemotongan hewan memiliki dinding kaca, kita semua akan menjadi vegetarian.” —Paul McCartney (l. 1942)

Dalam salah satu ceramahnya, fisikawan dan pemikir Fritjof Capra (l. 1939) mengingatkan kembali mengenai asas keterhubungan sesama makhluk hidup, yang menjadi dasar kehidupan di dalam ekosistem Bumi:

In the coming decades, the survival of humanity will depend on our ecological literacy—our ability to understand the basic principles of ecology and to live accordingly. This means that ecoliteracy must become a critical skill for politicians, business leaders, and professionals in all spheres, and should be the most important part of education at all levels—from primary and secondary schools to colleges, universities, and the continuing education and training of professionals.

Dan mengajarkan sejak dini pemahaman mendalam mengenai ekoliterasi kepada anak dan anak didik kita, bahwa sampah yang berasal dari satu spesies adalah makanan bagi spesies lainnya; bahwa segala hal bersiklus terus-menerus melalui jejaring kehidupan; bahwa energi yang menggerakkan siklus ekologi mengalir dari matahari; bahwa ‘keragamanlah yang menjamin ketahanan’; dan bahwa kehidupan, yang dimulai lebih dari tiga miliar tahun yang lalu, tidak mengambil alih Bumi melalui pertempuran tetapi dengan bekerjasama.

“Tak ada organisme apa pun yang bisa hidup dalam isolasi.”

“Hewan tergantung pada fotosintesis tanaman untuk kebutuhan energi mereka; tanaman tergantung pada karbon-dioksida yang dihasilkan oleh hewan, dan pada nitrogen yang secara tetap diproduksi oleh bakteri di akar-akarnya; bersama-sama, tanaman, hewan, dan mikroorganisme mengatur seluruh biosfer serta memelihara kondisi yang kondusif untuk kehidupan.”[5]

Dari Alam Semesta kita belajar bahwa kelestarian Bumi bukan kepunyaan orang per orang, melainkan milik seluruh jaringan keterhubungan. Maka cara mempertahankan kehidupan adalah dengan ‘membangun dan memelihara keragaman’.

Baca juga: Tarian Alam Semesta (1), (2), (3), (4), dan (5).

Bekerja sama memadamkan Bumi yang sedang terbakar
Ching Hai, yang dihormati sebagai Maha Guru oleh murid-muridnya itu, menyampaikan impiannya sebagai berikut: “Saya berharap agar seluruh dunia menjadi damai. Saya berharap agar seluruh pembunuhan akan berakhir. Saya berharap agar semua anak-anak dapat berjalan dalam kedamaian dan harmoni. Saya berharap agar seluruh negara saling berjabat tangan, saling melindungi, dan saling membantu. Saya berharap agar Bumi kita yang indah ini tidak akan dihancurkan. Perlu miliaran tahun untuk membuat planet ini dan Bumi ini sangat indah, sangat mengagumkan. Saya berharap agar Bumi ini akan terus ada, dalam kedamaian, keindahan, dan kasih.”

“Planet kita adalah sebuah rumah yang sedang terbakar. Jika kita tidak bekerja sama dengan semangat bersatu untuk memadamkan api itu, kita tidak akan memiliki rumah lagi.” —Ching Hai, Dari Krisis menjadi Damai, Kata Pengantar, 2010.

———
[ii] Anak ayam di penetasan komersial di seluruh dunia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu ibu mereka, mengalami dekapan cinta, atau merasakan hangatnya sinar matahari. Tak lama setelah lahir, anak ayam jantan dan betina dipisahkan berdasarkan gendernya. Untuk memastikannya, para pekerja menekan paksa organ genitalia mereka yang sensitif. Industri telur akan mengeliminasi anak ayam jantan karena mereka tidak bisa bertelur, atau jika dianggap tidak mungkin menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.

[iii] Efek rumah kaca (greenhouse-gas emissions) terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon-dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Meningkatnya konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh banyaknya pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melebihi kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.

Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbon-dioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbon-dioksida); serta pembakaran material organik (seperti tumbuh-tumbuhan).

Karbon-dioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbon-dioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.

Sumber: Wikipedia

———
[1] Hai, Maha Guru Ching. Dari Krisis menjadi Damai, Bab 1: Solusi Vegan untuk Menyelamatkan Dunia, 2010.

[2] Worldwatch Institute, http://www.worldwatch.org

[3] People for the Ethical Treatment of Animals (PETA), http://www.peta.org

[4] Merrick , Robert. Stop slaughtering millions of wild animals, change.org.

[5] Capra, Fritjof. The New Facts of Life, disampaikan pada seminar dengan tema Linking Food, Health, and the Environment yang diselenggarakan oleh Center for Ecoliteracy and Teachers College Columbia University, 2008.

***

[Bersambung »]

Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman