37 Tahun Matari Menyinari Periklanan di Indonesia

“Museum Iklan Indonesia – Dibuka Hanya untuk 1 hari” demikian tulisan pada halaman depan brosur itu. Pada sebuah poster tertulis: ”Belum jadi sarjana kalau belum lihat…” Demikian pula pada berbagai stasiun radio tersebar kabar adanya “Museum sehari” ini. Apa yang disebut sebagai “museum iklan indonesia” ini sesungguhnya adalah sebuah pameran tentang perkembangan biro periklanan Matari dalam rangka 37 tahun usia biro yang dibangun oleh almarhum Ken Sudarto (1942-2005) ini.

Ken Sudarto wafat pada tanggal 5 November 2005 namun sesuai dengan keinginannya, Matari terus hidup beyond a man’s life. Matari adalah sebuah biro iklan nasional yang tidak berafiliasi dengan biro iklan asing manapun, dan terus berkembang hingga kini di usianya yang ke 37 tahun ini. Pameran perkembangan Matari ini diadakan di sebuah hotel berlokasi tepat diseberang Puri Matari. Dalam rangkaian pameran ini terdapat peluncuran buku “Rumah Iklan – Upaya Matari Menjadikan Periklanan Indonesia Tuan Rumah di Negeri Sendiri” karangan Bondan Winarno, sahabat Ken yang kini terkenal dengan istilah “mak nyus” nya dalam acara kuliner di TV.

Materi pameran di acara ini terdiri dari Iklan, foto-foto, dan berbagai peralatan tua yang pernah mendukung proses kerja Matari dalam membuat iklan. Bahkan di salah satu pojok terdapat happening art yang melibatkan dua orang bergaya tahun 70an. Kedua orang ini diumpamakan sebagai dua personil kreatif yang sedang sibuk membuat iklan di sebuah pojok studio Matari. Iklan-iklan yang ditampilkan dibagi dalam empat dekade: Dekade pertama adalah tahun 70an, Dekade kedua adalah tahun 80an, Dekade ketiga adalah tahun 90an. Hingga Dekade keempat adalah tahun 2000an. Melihat iklan-iklan lawas dari Matari memang merupakan sebuah nostalgia menarik. Termasuk juga iklan-iklan layanan masyarakat (ILM) dari Matari yang pantas dikenang. Misalnya saja “Renungan Bagi Orang Tua” yang menghebohkan. Iklan yang berisi puisi Kahlil Gibran yang terkenal ini dicurigai oleh pemerintah Orde baru sebagai iklan yang menganjurkan suksesi. Bahkan desain ILM Kahlil Gibran ini sempat dimuat di sebuah buku pleidoi pembelaan aktivis mahasiswa ITB angkatan ’78. Sayangnya, menurut Julius Pour ( Kompas, Minggu 6 April 2008 ) terdapat beberapa kekeliruan penulisan, ketika Bondan Winarno menyebutkan bahwa puisi Kahlil Gibran ini diterjemahkan oleh “….seorang isteri tokoh G30S/PKI”. Kesalahan itu karena menurut Pour pertama, sang ibu tersebut ketika menerjemahkan belum menikah dengan “sang tokoh G30S/PKI”. Kedua, sang tokoh (Soebandrio), tidak terbukti terlibat G30S/PKI.

Selain itu juga terdapat ILM tentang lingkungan hidup yang dirancang oleh Tjahjono Abdi (bersama Ken dan Wisaksono Noeradi) yang sangat menarik dan sempat menyabet penghargaan CLIO Award 1981. Iklan tersebut sangat menarik karena selain sangat komunikatif, langsung dapat dipahami dengan jelas, juga secara grafis tampil sangat menarik.

Ken Sudarto melalui Matari terkenal sebagai biro periklanan yang sangat peduli masalah sosial yang terjadi di negeri ini. Bahkan menurut Bondan Winarno (lihat: Resensi Buku: “Rumah Iklan”), idealisme Ken Sudarto ini kadang “membakar jarinya” sendiri, mengingat program-program idealisme ini tentunya tidak memberi keuntungan materi secara langsung. Kegiatan yang bersifat probono ini tentunya menjadi sebuah ciri khas menonjol yang patut dibanggakan oleh para insan Matari. Kegiatan probono memang tersirat dalam Panca Citra Matari Advertising, sejenis “Pancasila”nya insan Matari. Tidak banyak perusahaan periklanan yang memiliki idealisme seperti Matari. Bahkan Matari adalah satu-satunya biro iklan di Indonesia yang memiliki penerbitan majalah periklanan dan kehumasan yang berwibawa dan dijual secara terbuka. Majalah Cakram menunjukkan kepedulian Ken untuk memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat luas tentang profesi periklanan.

Kelemahan pameran iklan Matari ini pertama, dalam tiap iklan yang dipamerkan tidak lengkap menyebutkan siapa-siapa saja tokoh (Creative Director, Art Director, dan sebagainya) yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut. Kedua, display pameran cenderung monoton dan menjemukan. Misalnya cara penyajian foto-foto perkembangan Matari yang seakan adalah sebuah pameran pembangunan jaman Orde Baru. Display yang monoton menyebabkan pengunjung tidak dapat merasakan heroisme seorang Ken Sudarto dalam membangun Matari, maupun membangun profesi periklanan Indonesia. Bagaimana seorang Ken Sudarto berjuang dari sebuah bekas garasi kecil di bilangan Cideng, hingga mampu membangun dua bangunan megah sebagai gedung kantor milik Matari. Atau mungkin pengunjung pameran akan disuguhi penekanan-penekanan pada iklan tertentu yang dijadikan fokus perhatian karena dianggap mencerminkan cara berkomunikasi yang “khas Indonesia” sebagai positioning Matari. Ketiga, penamaan “Museum Iklan Indonesia” tampak menjadi berlebih bila dibandingkan dengan kenyataan materi pameran. Mungkin lebih tepat “Museum Iklan Matari”.

Namun beberapa kelemahan tersebut diatas, tetap saja tidak mampu mengurangi arti penting peringatan ulang tahun ke-37 dari sebuah biro iklan lokal dan nasionalis yang sukses ini. Boleh dikatakan bahwa acara pameran hasil karya sebuah biro iklan, dan terbuka untuk umum, adalah sebuah hal yang unik, penting, dan baru pertama kali diadakan. Pameran ini menunjukkan upaya dokumentasi Matari yang cukup baik. Selamat, semoga Matari akan terus maju meneruskan cita-cita Ken Sudarto, sejalan dengan kemajuan dunia periklanan Indonesia.

museum-iklan-11
museum-iklan-31

Foto-foto oleh Randy Chrisandy dan Edo Tirtadarma.

Foto-foto oleh Randy Chrisandy dan Edo Tirtadarma.

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro