Buku, Paket, dan Etiket
Belakangan terbit beberapa buku tentang desain kemasan. Penerbitan buku-buku tersebut bisa menggambarkan kebutuhan desain kemasan dalam kehidupan saat ini. Bukan hal kebetulan jika di waktu yang bersamaan mulai muncul usaha pengiriman (paket). Di Yogyakarta pun demikian. Beberapa tempat pengiriman paket mulai hadir di beberapa wilayah. Setidaknya itu yang saya jumpai sewaktu mengendara dari rumah (Sonopakis, Wirobrajan) ke kampus (ISI Yogyakarta, Sewon).
Bukan kebetulan pula jika belakangan istilah “industri kreatif” kian akrab di berbagai ruang percakapan desain. Dari sini pun kita bisa membayangkan bahwa kemasan menjalankan fungsi keamanan barang yang dikemasnya. Namun, kemasan tidak sebatas itu. Kemasan juga menjalankan berbagai peran lain seperti penjualan, branding, dsb. Salah satu media yang hingga kini masih dapat kita jumpai, dan orang-orang kerap menyebutnya sebagai yaitu etiket. Media ini bisa ditempel langsung di sisi luar/depan kemasan, namun ada pula yang dilipat dan diberi karet, sebagai contoh etiket kemasan tempe “Aulia daun.”
Tempe
Tempe merupakan salah satu makanan yang cukup populer. Tempe bisa dimasak dan menjadi lauk nasi, bisa pula dicemil (gorengan), atau kuliner khas (mendoan). Ada juga keripik tempe, tempe oncom, dsb. Tulisan ini tidak membahas macam-macam tempe dalam konteks kuliner atau masak-memasak. Tempe “AULIA daun” merupakan tempe yang biasa digoreng dan disajikan sebagai lauk nasi. Saya mendapati tempe ini kira-kira setahun ke belakang, di sebuah warung yang menjual bahan memasak seperti sayuran, yang tidak jauh dari rumah saya di daerah Sonopakis, Yogyakarta.
Masing-masing dari kita mungkin punya pengalaman dengan tempe seperti yang dimaksud dalam tulisan ini, yaitu tempe mentah untuk dimasak. Sewaktu membeli tempe tersebut di warung, atau di mini market, kerap mendapati tempe yang dikemas menggunakan plastik, baik yang bermerek maupun tidak (terutama di warung). Kadang mendapati tempe yang dikemas menggunakan daun pisang dan kertas bekas dan kerap tanpa disertai merek. Daun pisangnya pun kadang mulai layu atau menguning. Tempe-tempe tersebut tidak disertai kapan ia matang, meski dari wujudnya maupun informasi dari penjual bisa kita peroleh kapan tempe baik untuk dikonsumsi (dimasak, disayur). Intinya tempe-tempe tersebut dikemas dan dijual tanpa disertai informasi waktu, dan perubahan rupa tempe (serta baunya) merupakan tanda kapan tempe mulai sangit dan lama-lama membusuk.
Etiket Tempe “Aulia Daun”
Tidak demikian dengan tempe “AULIA daun” yang dikemas menggunakan daun pisang dan disertai etiket berbahan kertas yang memuat informasi waktu hari untuk memasaknya. Jika lebih dari waktu tersebut disarankan masuk ke kulkas. Misalkan, jika saya membeli tempe “AULIA daun” dengan informasi “masaklah hari Selasa” artinya tempe tersebut saya beli hari sebelumnya (Senin), dan jika hingga Selasa sore tidak saya masak sebaiknya tempe disimpan di kulkas. Jika tempe saya masak di hari Senin hasilnya kurang baik karena tempe belum begitu jadi. Hadirnya kalimat “masaklah hari…” juga mengindikasikan informasi dan instruksi/petunjuk.
Saya pernah membeli tempe “AULIA daun” dan langsung saya masukkan ke kulkas hari itu juga. Hasilnya, tempe tidak jadi (tetap berwujud butiran kedelai). Namun saya juga kerap punya pengalaman membeli tempe bungkus kemasan pelastik atau kemasan daun seperti biasanya tapi kadang ragu kapan sebaiknya saya masak. Kalaupun saya simpan malah jadi sangit dan membusuk. Artinya, proses jadinya tempe merupakan satu hal yang dapat diinformasikan kepada pembeli, setidaknya pembeli seperti saya yang kurang titen (perhatian) dengan kondisi tempe (padahal sudah saya cium-cium memastikan tempe sangit atau tidak). Tapi begitulah kuliner, tempe yang sangit malah bisa jadi sayur (tempe busuk).
Kembali ke kemasan/ etiket “AULIA daun”. Saya apresiasi pada desain etiket tempe tersebut bukan pada soal desainnya yang sederhana namun dalam hal waktu ideal yang sebaiknya diketahui konsumen terkait kapan ia dimasak. Tempe ini dijual per-empat bungkusnya seharga tigaribu rupiah, dan saya rasa konsumen (setidaknya saya) terbantu karena merasa dilibatkan menjadi bagian dari proses tempe jadi dan siap dimasak. Dengan menggunakan kertas buram (kertas CD) dan teknik cetak sablon menjelaskan tempe “AULIA daun” memikirkan desain kemasan/etiketnya (saya rasa brand juga terpikirkan di situ).
Semula koleksi etiket tempe “AULIA daun” yang saya punya yaitu etiket tempe untuk dimasak di hari Senin, Selasa, dan hari Minggu. Kini saya memiliki etiket tempe “Aulia daun” semua hari, Senin hingga Minggu. Jadi saya memiliki tiga kode hari etiket tempe “AULIA daun” dan masing-masing hari dicetak dalam warna “yang sama” dan “berbeda”. Logo (dan logotype di dalamnya) dicetak warna biru (dan tulisan “AULIA daun” turut warna kertas). Warna tulisan etiket untuk hari Minggu yaitu biru, hari Senin, Rabu, dan Jumat yaitu hijau, dan Selasa, Kamis, serta Sabtu yaitu merah.
Teknik cetak yang digunakan mengindikasikan teknik sablon, dengan melihat tingkat presisi posisi cetakan yang tidak sama. Hal tersebut dapat kita lihat posisi/letak gambar daun pisang dengan tulisan “AULIA daun”. Pilihan menggunakan teknik sablon bisa menggambarkan skala ekonomi usaha tempe tersebut, namun bisa pula memang untuk alasan estetik. Alasan mana yang menggambarkan kedua hal tersebut perlu meninjau langsung ke pemilik usaha bersangkutan.
Keterlibatan dalam Proses
Daun pisang yang digunakan sebagai kemasan (primary packaging) pun dalam kondisi tidak kering. Kadang daun tersebut saya gunakan untuk alas tempe selepas tempe saya masak dan tiriskan (setidaknya cara ini bisa memudahkan untuk mencuci piring setelahnya, tidak begitu berminyak). Apakah produsen tempe tersebut memikirkan perilaku saya tersebut, bisa ya, bisa tidak. Namun yang menarik yaitu soal “konsumen terlibat dalam waktu-proses jadinya tempe”. Jika desain itu soal memecahkan masalah, saya rasa kemasan tempe “AULIA daun” berhasil memecahkan masalah yaitu mengetahui kapan waktu terbaik tempe dimasak. Namun desain juga soal gagasan ideal, yaitu melibatkan konsumen menjadi bagian dari proses mengonsumsi, dan bisa jadi daun sebagai bungkus pun terancang untuk pilihan kegunaan: alas tempe setelah dimasak, dan organik (terurai).
Salah satu hal yang cukup unik yaitu posisi penempatan logo yang tidak selalu sama persis, kadang pas di tengah di antara tulisan di bagian atas dan bawah. Kadang mepet atas. Saya rasa hal tersebut disebabkan oleh hal teknis (bisa jadi karena dikerjakan menggunakan sablon manual). Memang, terdapat beberapa konstanta yaitu jenis kertas-material, layout, jenis huruf, bidang-ukuran, dan ada variabel warna untuk hari. Saya rasa di sinilah letak keunikan desain etiket tempe hari-hari tersebut: harusnya begini (presisi), jadinya begini begitu (geser). Keunikan di sini bukan hal yang tidak terencanakan, namun justru karena ia terencanakan dan menjadi sedemikian rupa karena faktor teknis-estetis. Belakangan, cita rasa yang demikian sedang digandrungi. Barangkali hal tersebut menyampaikan bahwa cita rasa kerja manual sulit tergantikan, emoh sama persis satu sama lain. Kita kerap menyebutnya sebagai craft, atau kita bisa menyebutnya sebagai yang auratik, atau yang unik pun sudah memberi gambaran seperti yang dimaksud.
Desain dan Kisah
Desain etiket tempe “AULIA daun” menggunakan huruf (tipografi) dalam tingkat yang sederhana namun tidak mengurangi fungsinya sebagai media penyampai informasi, instruksi, estetik, dan identitas. Dalam kesederhanaan yang demikian desain etiket “AULIA daun” terasa cukup efektif dalam menjalankan peran-peran berkemasan tersebut.
Itulah kisah saya dengan kemasan-etiket tempe “AULIA daun”. Sederhana, inspiratif, brand-identitas, berwawasan lingkungan, atau untuk pembatas buku (beralih fungsi media). Dalam perjalanannya kini ukuran desain etiket “Aulia daun” mulai dikurangi hingga mendekati bentuk empat persegi panjang sama sisi, meski bagi saya masih unik dan bisa untuk pembatas buku, meski mengecil.
Koskow, Yogyakarta
Desember 2017
Catatan:
Selain memroduksi tempe ukuran kecil, “AULIA daun” juga memroduksi tempe mendoan, leboh tipis dan lebih lebar. Sama-sama menerapkan desain etiket hanya berbeda ukuran dan pemasangannya di kemasan primary.
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif