Kegelisahan tulisan ini berawal dari argumentasi tentang penggunaan huruf. Argumentasi tersebut yakni alasan penggunaan huruf pada sign di jalanan, tepatnya sign system. Sign tersebut bisa sign buatan lembaga pemerintah atau buatan warga, biasanya warga setempat.
Alasan
Sering saya dapati alasan bahwa jenis huruf yang tepat untuk sign system yakni huruf tanpa kait (sans serif).(1) Alasan itu pun masih ditambahi misal membandingkan huruf tanpa kait dengan huruf berkait (serif). Huruf berkait dirasa berkesan klasik, kaitnya pun menghambat keterbacaan kata-kata pada sign system. Ada pula alasan yang menjelaskan bahwa huruf tanpa kait tidak memberi kesan apa-apa, semacam netral.
Berbagai alasan tadi bisa kita terima, dan cukup masuk akal. Namun saya merasa masih belum mendapati jawaban yang mendasar. Waktu pun berlalu, huruf-huruf pada sign system terabaikan di benak saya. Hingga di suatu waktu huruf-huruf tersebut kembali menggugat benak.
Bertanya pada Bentuk
Sewaktu mengkaji tipografi pada media cetak dan digital (multiple pages), saya kembali menyimak bagimana huruf memerankan diri. Bahwa untuk teks yang panjang huruf berkait lebih nyaman. Kait antar huruf menghubungkan (saya menyebutnya dengan mengayunkan) pandangan kita dari huruf ke huruf, kata ke kata hingga akhir. Sebaliknya, huruf tanpa kait juga acap diperankan misalkan untuk huruf judul karena berbagai alasan seperti membuat kontras perbedaan huruf baca dengan huruf judul, selingkung gaya, dsb.
Sebagai pembelajar desain grafis pun kita mengenal adanya prinsip-prinsip huruf (media cetak) yakni keterbacaan, keterjelasan, dan kemudahan untuk diidentifikasi bentuknya. Prinsip ini melekat untuk semua jenis huruf, berkait maupun tanpa kait. Lantas, jika prinsip ini melekat pada semua jenis huruf, mengapa huruf berkait dinilai kurang tepat diterapkan pada media sign system terutama di jalanan atau ruang publik? Tentu, ada aspek lain yang menyebabkan huruf tanpa kait acap diterapkan pada media sign system.
Ukuran Sebagai Kiasan
Saya coba kembali menyimak bentuk huruf berkait dan tanpa kait. Perbedaannya tidak saja dalam hal yang satu memiliki kait, satunya lagi tanpa kait. Itu sudah cukup jelas. Toh berkait atau tanpa kait keduanya memikul prinsip huruf yang sama.
Perbedaan huruf berkait dengan tanpa kait terdapat pada garis pembangun huruf, atau stroke. Umumnya, pada huruf berkait garis menurun lebih tebal diri garis menaik, garis mendatar lebih tipis dari garis menurun. Sebaliknya, pada huruf tanpa kait umumnya garis menaik, menurun, serta mendatar memiliki ketebalan garis hampir atau bahkan sama. Keragaman ukuran stroke tersebut menyebabkan huruf berkait terkesan lebih dinamis. Sebaliknya stroke yang sama, atau konsisten ukurannya pada huruf tanpa kait mengesankan sisi yang lebih kaku, cenderung tegas.
Pun jika huruf berkait diterapkan pada sign system, pesan-pesan yang disampaikannya tetap terbaca. Jika dirasa kurang dalam aspek kecepatan keterbacaannya, masih dapat direka melalui pengaturan jarak, ukuran, dan sebagainya. Tapi bukan ini yang saya maksudkan sebagai jawaban mengapa huruf tanpa kait sering diterapkan pada media sign system.
Alasan pemilihan dan penerapan huruf tanpa kait pada media sign system saya rasa terletak pada konsistensi ukuran stroke. Ditinjau dari sisi medium bisa kita katakanlah pesan-pesan dalam sign system yakni pesan-pesan yang ditujukan bagi siapa saja. Tidak ada perbedaan ketertujuan bagi si k, si i, si t, si a, dsb. Ini juga mengingatkan saya pada sebuah buku yang sebenarnya secara implisit menjelaskan hal tersebut, kira-kira demikian: “Jika kita tersesat di sebuah kota, dan tak ada seseorang pun di sana, bertanyalah kita pada sign.”(2)
Sistem Pendukung
Sign system, dengan atribut huruf tanpa kait, tak saja berkomunikasi kepada siapa saja, termasuk kepada yang tersesat, tetapi ia juga harus tegas dan dapat dipercaya. Saya rasa itu (satu dari sekian) alasan mengapa huruf tanpa kait sering memerankan diri sebagai penyampai pesan di berbagai sign system ruang kota, sebuah tempat yang memiliki krisis kepercayaan antar warganya. Jika hendak belajar tentang trust, kita dapat berkaca pada prinsip huruf di sign system: tegas, tidak menyesatkan, berlaku sama bagi setiap orang, handal di berbagai cuaca. Saya rasa di sini keberadaan estetika tipografi pada sign system. Konsistensi ketebalan stroke itulah sebagai, katakanlah, kiasan pada ketegasan, sama bagi siapa saja, termasuk dengan material sign, konsistensi gambar, dsb. Pertanyaannya, bolehkan kita memeragakan huruf berkait pada sign system? Saya jawab, “Boleh,” selama hasilnya meyakinkan, dapat dipercaya, tegas dan selaras tujuan.
Jawaban yang diberikan dalam tulisan ini pun boleh jadi bukan jawaban baru. Saya saja yang hingga kini merasa belum mendapati jawaban yang cukup melegakan. Namun, dari perbincangan di atas bisa kita unduh tetang peran desain dalam dunia sosial, bahwa desain mampu menjalankan diri sebagai support system bagi kehidupan sosial.(3) Bagaimana jika sign system tidak mencerminkan ketegasan, atau tidak meyakinkan? Saya rasa kita jadi ragu pada pesan-pesan tersebut, atau berpeluang menjadi psudeo sign.
Desain merupakan wahana bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat, dan komunikasi itu tentang trust. Trust inilah yang membutuhkan sistem yang senantiasa mendukungnya agar bangunan sosial tetap utuh di antara sekian keragaman dan perbedaan dalam hidup sehari-hari. Desain mampu/telah menjalankan diri sebagai satu dari sekian media dalam sistem pendukung tersebut. (Koskow, November-Desember 2020)
Catatan:
Ketik, pilih font, dan presentasikan sebagai ‘desain’… nggak salah tuh!?