Global Nomaden (Bag. 2/4)

MINGGU KEEMPAT, MARET 2011 (DITULIS DARI DEN HAAG)

Saran membaca:
Tulisan dibawah ini akan lebih nyaman dibaca sambil mendengarkan musik dari link ini.

Makhluk itu mengelilingiku dua kali, lalu kibasan ekornya menyentuh halus lututku, kubisikkan kalimat dengan frekwensi rendah yang biasa mampu menenangkan kegelisahannya. Kata-kata itu tidak tuntas terucap karena tenggorakanku tercekat seperti dijerat tali plastik. Kubiarkan bulu-bulu lembutnya rontok menempel beberapa helai di lengan jaketku. Setengah putaran kemudian dia berlari menjauh, panggilanku tak lagi mempan merayu agar bisa lebih lama mengelusnya.

Koper terakhir kumasukkan ke dalam mobil namun binatang berkaki empat itu tidak juga muncul untuk menempelkan hidungnya ke celanaku seperti biasa. Dia tidak mau melihat wajah murung tuannya atau tidak sanggup menghadapi kesendirian dalam waktu yang lama?

Blessy-the-dog-foto1

Pertama kali kutemukan dia hanyalah seekor anjing liar yang dipungut dari jalanan namun usaha untuk mendapatkannya lebih sulit daripada mendapatkan klien korporat murah hati idaman perusahaan. Selama 3 bulan aku berusaha keras menjalin kepercayaan dengan makhluk liar yang telah mengalami banyak trauma dalam hidupnya karena berulangkali lolos dari usaha pembunuhan. Aku menyebutnya Blessy – Anjing yang diberkati.

 

Soekarno Hatta International Airport 

Pengeras suara itu memanggil semua penumpang untuk segera memasuki kabin pesawat. Tak kuhiraukan himbauan untuk mematikan ponsel, aku ingin menyapa dan mengabari beberapa orang terdekat yang mendadak terlintas dan perlu tahu rencanaku ini. Tanganku bergetar, gagal mengetik pesan di papan QWERTY, entah terlalu berat menjinjing koper atau ujung jariku sudah tidak lagi mampu menampung luapan kata yang muncul serentak dari kepala. Mataku tertuju pada garis hitam yang bergerak perlahan, baru kali ini aku memperhatikan jarum detik berjalan tanpa memejamkan mata. Konsep waktu adalah inti dari berjalannya kehidupan.

Tuntas satu menit kusaksikan jarum kembali ke titik yang sama, benda bulat itu tetap saja berada di pergelangan tanganku, tidak terjadi apa-apa dalam diriku. Namun di belahan dunia lain secara bersamaan terdapat serangkaian kejadian; juru masak mencicipi sup kental lalu menambahkan taburan garam, desainer panik karena hasil cetaknya salah potong, suami istri memutuskan untuk bercerai, turis tersesat di tempat terasing, tabrakan beruntun di jalan tol, anak kecil menangis karena balonnya terlepas ke udara, perempuan muda berteriak saat bercermin melihat potongan rambut terbarunya yang buruk, pintu rumah yang lupa dikunci, alarm mobil rusak yang terus-menerus berbunyi, keluarga bahagia melihat kelahiran anaknya. Mustahil menghentikan jarum jam yang baru kubeli sehari yang lalu. Aku memilih untuk menguasai waktu secara semu, kutarik tombol pemutarnya agar jam berhenti seperti yang kuhendaki. Stop!

Apa daya sepuluh menit kemudian rangkaian mesin besi bergemuruh keras dan kulihat bumi semakin mengecil. Langit malam Jakarta membuat jutaan lampu di bawahnya bagaikan dead pixel yang terlihat indah di monitor LCD. Aku merasa berada di atas pesawat kertas raksasa yang membawaku menyeberangi benua, bentangan sayapnya dipenuhi semangat dari orang-orang yang mendukung dan melepas kepergianku.

 

MINGGU PERTAMA, APRIL 2011

Dubai

Roda pesawat berdecit kencang, badannya yang kaku sedikit mengayun ke kanan. Kulihat ke bawah hamparan padang pasir maha luas membentang mengingatkanku pada kisah heroik yang sering kubaca waktu kecil di perpustakaan keliling tentang para ksatria suci pembawa panji-panji ilahi. Mereka rela mengucurkan tetesan darah, bahkan nyawanya demi ideologi di bumi ini. Pejuang tersebut mengenakan baju panjang berwarna putih berkibar tertiup angin membelah badai padang pasir, memacu kuda perkasa setinggi tiang bendera, terlihat gagah menggenggam pedang kebesaran seakan siap menebas segala angkara di dunia.

Bau avtur bercampur suhu dingin pertama kali menyentuh wajahku. Udara lebih sejuk dari yang kubayangkan. Seorang petugas menegurku keras karena mengambil foto di kawasan bandara. Mataku melihat banyak hal asing, merasa terkejut dengan apa yang kusaksikan. ‘Ksatria’ berbaju putih itu tetap ada dimana-mana, namun kini mereka menunggang kendaraan yang super mewah dan tangannya menggenggam iPad. Kemampuan memainkan pedangnya hanya terbukti pada saat memainkan Fruit Ninja. Panji-panji kebesaran brand global benar-benar menghiasi ke mana pun mata memandang.

Kulihat orang mulai berdatangan dari berbagai ras dan bangsa, kulit putih dengan gaya hip-hop lengkap dengan rambut rasta, hingga kulit hitam memakai baju warna putih dengan rambut super lurus. Dubai telah menjadi kekuatan ekonomi baru di Timur Tengah, bagaikan Mak Erot mereka mengubah apa saja demi menciptakan sejarah baru.

dubai-foto2

Kota di semenanjung Arab yang dulu tandus, gersang dan berada dalam konflik wilayah mendadak menjadi negara kaya sejak ditemukannya cadangan minyak yang diperkirakan akan habis dalam beberapa tahun terakhir ini. (foto diambil dari internet)

Saat ini, Dubai melakukan perubahan radikal; manuver bisnis investasi untuk menarik pihak asing menanamkan uangnya disana. Untuk pasokan air bersih mereka mengubah air laut menjadi tawar. Membangun mega proyek pulau buatan berbentuk pohon palem lengkap dengan hunian super mewah untuk para sosialita yang dimiliki para pengisi sampul majalah ekonomi dan gosip dunia. Tidak tahan dengan panas gurun diciptakanlah arena bermain musim salju buatan. Akuarium raksasa lengkap dengan makhluk laut eksotis dari berbagai benua. Hotel berbintang tujuh yang membelah langit menjadi pengakuan bahwa mereka telah mencapai supremasi tertinggi. Iri rasanya hati melihat bangsaku yang pada tahun 800 Masehi mampu membangun mahakarya Borobudur tapi kini membangun monorail saja sudah 10 tahun belum terwujud.

 

Dubai – Amsterdam

Pramugari dengan bulu mata lentik lengkap dengan kostum ‘jilbab’ aneh mondar-mandir menawarkan pilihan dari jus buah hingga minuman beralkohol, aku memilih teh panas, uap hangatnya membantu membasahi rongga hidungku yang perih karena keringnya udara di dalam pesawat.

Perjalanan ini mulai terasa menjemukan. Mengantuk tapi tak bisa tidur, terjaga tapi sangat melelahkan. Mungkin karena aku makhluk yang selalu berada di darat, ketika kaki terlalu lama tidak menginjak tanah, tubuh merasa tidak terkoneksi dengan kutub-kutub bumi. Sekarang aku berada di angkasa dan lebih baik sekalian saja membayangkan tanpa satu orangpun di sekitarku, menghapus pesawat yang mengangkutku, tinggal hanyalah aku dan kursi yang melesat sendirian di angkasa. Dapat kukendalikan kemana saja sesuai keinginanku; melihat kejayaan Ottoman di Turki, trauma perang saudara di Serbia, bangkai mesin pemusnah masal di negara-negara pecahan Uni Soviet. Kursiku terbang rendah mendekati bumi yang dingin. Barisan kincir angin penggerak turbin semakin tampak membesar terus berputar perlahan bagai lambaian tangan menyambut kedatanganku.

 

Amsterdam

Suhu udara kurasakan berbeda dari yang kualami sehari sebelumnya, terasa dingin menusuk ke dalam kulit. Aroma kopi dan tepung roti menghangatkan hidung yang membeku, kulihat sosok tersenyum menyambut di pintu gerbang, seorang teman lama dengan berlari menghampiri menyodorkan rangkaian bunga tulip yang masih kuncup di tangannya. Aku menyebutnya ‘Puppy Girl’ karena dia sangat baik kepada siapa saja, terkadang terlalu baik.

Selangkah kakiku sekarang menginjak benua Eropa, hembusan angin semakin keras menerbangkan bulu-bulu halus yang menempel pada jaketku. Setengah melompat aku berusaha menangkapnya. Hup! Berhasil! Satu helai berada dalam genggaman. Lalu kulipat telapak tanganku berbentuk setengah mengepal hingga menyerupai alat tiup. Sekuat tenaga kuhembuskan udara dari rongga paru-paru kedalam terompet tanganku. Bunyinya nyaring sekali mengisi ruang-ruang kegelisahanku. Aku percaya pasti Blessy ‘mendengar’ dengan jelas suaranya.

Tujuan berikutnya adalah Den Haag.

 

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo