Perjalanan Lasem (Bag. 2/2): Semangat Wiji Soeharto untuk Lasem

Wiji-Soeharto1

BATIK PADI BOELOE WIJI SOEHARTO | 26.2.11

Setelah singgah di dua kelenteng tua dan minum kopi di Warung Kopi Pak Gendut, kami memasuki Desa Babagan, sebuah kawasan pecinan tempat batik Lasem masih dikembangkan sebagai industri rumahan. Ada beberapa rumah yang menjadi sentra pembuatan batik dan siang yang disertai hujan itu kami singgah di rumah Wiji Soeharto (Sie Hoo Tjauw) pengusaha batik Lasem dengan merk “Padi Boeloe”. Dengan ramah Wiji menyapa dan mempersilakan kami melihat-lihat batik di rumah tuanya.

Gaya dan tuturnya yang bersahaja membuat suasana cepat menjadi hangat seiring kisah-kisahnya yang tak beraturan perihal batik Lasem dan perjalanan dirinya. Satu persatu koleksinya dari yang paling sederhana hingga yang paling langka dibeberkan sambil menerangkan warna dan motifnya.

Kisah pilunya mengalir datar tentang minimnya minat pengusaha geluti batik Lasem saat ini dan secara otomatis akibatkan menurunnya tenaga kerja yang terserap. Berbeda dengan kisahnya di tahun 1970-an saat-saat awal Wiji menjalankan bisnis batik warisan orang tuanya ini, ada 425 orang bekerja untuknya. Namun dari waktu ke waktu bisnis batik Lasem semakin lesu bahkan ia sempat menutup usahanya ini.

Wiji Suharto dengan semangat usia 60-annya ini mengaktifkan kembali bisnisnya dengan segala keterbatasan. Bahkan selain aktif mengikuti program-program pelatihan, beberapa motif batiknya telah dilengkapi sertifikat hak cipta. “Lasem Pasiran” dan “Lasem Lerek Lunglungan” adalah beberapa diantaranya.

Soal potensi Wiji Suharto punya kebanggaan, ia adalah seorang yang masih mewarisi resep racikan warna merah darah ayam yang menjadi andalan batik Lasem. Abang getih pitik, demikian warna merah ini diberi istilah, adalah warna merah khas yang tidak dimiliki oleh batik daerah lain. Konon, warna merah ini tercipta bukan hanya sebab formula pewarna saja tapi ada unsur dari air tanah di Lasem yang memiliki kandungan tertentu.

Beberapa pekerja terlihat masih menyertainya menyelesaikan proses akhir batik sebelum dijemur. Tumpukan kain yang telah digoresi malam membentuk berbagai motif bertumpuk-tumpuk di penjuru rumah sekaligus workshop-nya ini dengan tak beraturan. Semangat seorang Wiji, dengan banyak keterbatasan ini adalah paradoks bagi Lasem yang menyimpan sejarah batik yang melegenda di tanah air ini.

Wiji-Soeharto2

Wiji Soeharto tunjukkan batik Lasem produksinya.

Wiji-Soeharto3

Tanda pada batik Lasem produksi Wiji Soeharto

Wiji-Soeharto4

“Mencari pembatik yang mampu membatik motif dengan telaten sekarang ini sulit”, ujar Wiji.

Wiji-Soeharto5

Pola batik pada kertas sebagai acuan pembatik.

Wiji-Soeharto7

Agenda kunjungan ke rumah Wiji Soeharto.

Wiji-Soeharto8a

Wiji muda yang romantis.

Wiji-Soeharto8

Di rumah tua yang menjadi salah satu setting film Cau Bau Kan.

 

KISAH HEBAT BATIK LASEM

Alkisah dalam Carita Lasem yang menjadi pembuka Kakawin Babad Badrasanti ada petikan cerita mengenai Pangeran Badranala Kawin dengan Putri Cempa Namanya Bi Nang Ti (1410-1467). Bi Nang Ti adalah anak dari Bi Nang Un dan Na Li Ni. Bi Nang Un adalah salah seorang nahkoda kapal pasukan Cheng Ho yang akhirnya memutuskan untuk menetap di Lasem (Ekspedisi Cheng Ho ke-2, 1413). Putri Bi Nang Ti inilah yang berjasa mengajarkan teknik batik di Lasem yang dikenal hingga saat ini.

Narasi ini semakin memperkuat batik Lasem yang legendaris itu. Kekhasan batik Lasem identik dengan kultur Tionghoa yang diindikasikan dengan hadirnya warna-warna cerah seperti merah, biru, soga, hijau, pada tiap motif di lembar kainnya. Warna-warna ini diyakini pula sebagai pengaruh silang budaya yang terjadi di Lasem semenjak dahulu. Warna merah adalah pengaruh dari budaya Tionghoa. Warna biru pengaruh budaya Eropa, serta warna soga berasal dari pengaruh budaya Jawa. Demikian halnya dengan motif dalam batik Lasem banyak ditemui gambar burung hong, liong, ikan mas, ayam dan sebagainya. Lalu motif bunga seperti seruni, delima, bahkan motif simetris seperti swastika, bulan, awan, atau gunung yang berpadu dengan motif batik khas Pekalongan atau Solo

Salah satu yang merepresentasi legendarisnya batik Lasem adalah motif Batik Tiga Negeri. Batik Tiga Negeri mempunyai tiga warna khas yang memiliki keunikan dalam motif dan warna. Merah diproduksi di Lasem, Biru diproduksi di Pekalongan dan soga diproduksi di Solo. Soal nama batik Lasem Tiga Negeri dan cerita yang melatarinya ini referensi penting para praktisi branding bagaimana kultur dan sejarah masa lalu menciptakan penamaan sama kuatnya dengan kisah di baliknya.

 

HARAPAN UNTUK LASEM

Apa yang tengah dialami Wiji, tentunya dirasakan oleh mereka yang masih berjuang membawakan tradisi batik Lasem hingga saat ini. Namun keprihatinan adalah soal berapa lama semangat ini bertahan sampai akhirnya Lasem dan batiknya hanya sebuah kenangan.

Dalam manajemen destinasi, penanganan pembangunan sebuah kota dimulai dari pemetaan potensi yang dimilikinya serta masa lalu yang menjadi perjalanan kelahiran kota itu. Pola ini sangat membantu diantaranya untuk mudah mengenali kultur dan mindset masyarakatnya. Seterusnya, referensi ini dapat dipergunakan dalam mengelola potensi menjadi semangat dan harapan baru menggelorakan dinamika ekonomi kotanya.

Jika pemerintah daerah dan pemangku kepentingan tak bersatu dan segera sadari soal core values Lasem dengan kultur, batik dan sejarah masa lalunya, niscaya Lasem adalah lembar-lembar kenangan sebuah kejayaan.

 


Diolah dari bincang-bincang dengan Wiji Soeharto dengan dilengkapi data berbagai sumber: Tulisan Slamet Haryono, Lisa Suroso
Foto: Headline: Adam, Semarang + Ayip

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro