Home > Read > News >
Bermain-main dengan Kematian ala Eric Widjaja

10734247_1008974602461782_8416761923074743444_nbw

Banyak orang sangat yakin bahwa dirinya cukup penasaran dengan bagaimana cara mereka mati. Bahkan beberapa pernah memimpikannya sendiri. Sementara yang lain mengaku masih menebak-nebak, sisanya justru nampak sama sekali tak peduli.
Takut? Sepertinya pasti.

Kecerdikan seorang Eric Widjaja adalah bagaimana dirinya menyugesti mereka yang hadir di Ruang 519 Universitas Ciputra Surabaya, Hari Jumat (24/10) yang lalu, untuk sejenak melupakan betapa mengerikannya kata kematian. Workshop bertajuk “The Greatest End: A Workshop about your—death” menjadi mediumnya.

Tentu yang mereka pelajari dan lakukan adalah bukan tentang bagaimana cara untuk tetap bisa prengas-prenges di sebuah upacara pemakaman seseorang. Bukan juga se-ekstrim bagaimana cara mengakali kematian. Sederhana saja, workshop ini adalah tentang merancang ucapan belasungkawa untuk hari kematian mereka sendiri.

P1060856

10660214_1008974782461764_5770969779959756101_n

“Hidup seorang desainer adalah hidup yang penuh dengan pertarungan; Pertarungan melawan kejelekan” – Massimo Vignelli

Seperti yang dikatakan Massimo, barangkali dari semangat itu lah terbesit di kepala Eric Widjaja untuk menyajikan workshop ini di gelaran Design It Yourself 2014: Mix2Make, setelah melihat betapa tampilan-tampilan papan duka yang ada saat ini sangat medioker. Typeface yang sama, layout yang sama, minim eksplorasi, dan yang akhirnya membuat sama sekali tak menarik secara visual.

Di depan kelas, Eric memulai workshopnya dengan presentasi singkat tentang latar belakangnya dan studio desain grafis yang ia dirikan di tahun 2005 silam, Thinking*Room. Para peserta pun sempat dibuat melongo saat Eric menunjukkan beberapa portfolio studionya. Salah satu yang paling eye-opening adalah karya berjudul “For The Love of God” sebuah poster tipografi dengan nilai craftsmanship yang sangat tinggi. Dirancang dari berbagai mata uang kertas dan koin beberapa negara seperti peso (Filipina), guarani (Paraguay), dolar US (Amerika),”For The Love of God” adalah sebuah imagery satir atas budaya manusia dengan kecintaan duniawinya.

Selanjutnya, Eric Widjaja menerangkan teknis workshop “The Greatest End” dengan terlebih dahulu menunjukkan beberapa tradisi upacara kematian di berbagai belahan dunia. Tak ketinggalan juga, ia menampilkan walkthrough pembuatan poster publikasi workshop itu sendiri. Diawali dari eksplorasi dengan beberapa sketsa sampai terpilihnya satu komposisi yang dirasa pas, layouting, pemilihan typeface dan tone warna, penambahan figur Eric Widjaja yang khas dengan kacamatanya, hingga tahap pengaplikasiannya di bidang portrait dengan mahkota-mahkota bunga yang dirancang sedemikian detilnya. Lagi-lagi para peserta membiarkan diri mereka sendiri larut dengan kekaguman.

Kedelapan peserta yang hadir kemudian dibagi menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan dua orang yang kemudian bekerja sama membuat ucapan belasungkawa untuk dan dari mereka sendiri. Pada dasarnya, setiap kelompok dibebaskan untuk bereksplorasi dengan bahan-bahan dan papan yang telah disediakan oleh panitia.

P1060872

P1060861

P1060863

P1060878

P1060877

P1060870

P1060868

10530894_1008975039128405_642449667571969819_n

560176_1008975525795023_368629807758035641_n

10514511_1008976699128239_4313766975624818748_n

Lima jam kemudian pertanyaan di atas terjawab. “Saya appreciate sekali ya dengan hasil teman-teman di sini. Padahal ngerjainnya cuman beberapa jam aja tapi oke-oke nih”, sanjung Eric yang kemudian disambut senyum malu-malu dari para peserta. Sebelumnya, keempat kelompok ini masing-masing menjelaskan soal konsep di balik karya yang telah mereka rancang. Karya berjudul “Selamat Jalan Fatima” adalah hasil dari chemistry dadakan dari dua orang yang awalnya belum saling kenal, Nur Fatimah Sa’diyah (Deskomvis Universitas Brawijaya) dan Adji Dharma Herdanto (Sciencewerk).

“Sebenernya ini melenceng dari ide awal sih. Kita maunya bikin blackletter ala New York Times, tapi bidang bunganya terlalu besar, tebal-tipisnya ngga bisa dapet. Jadi kita pake (typeface, red) yang standar”, jelas Adji.

P1060890

Selanjutnya, giliran Danis Sie (Sciencewerk) dan Yosephine Azalia Karina (Sciencewerk) yang bertutur perihal karya yang sudah mereka kerjakan, yakni “</DANIS>”. Karya ini merupakan perwujudan metafora dari akhir sebuah tag HTML dengan masa hidup Danis sebagai seorang web developer yang telah berakhir.

“Ini artinya ya sudah, selesai. Maksudnya ini (penutup tag, red) ya hubungannya dengan salah satu kerjaan saya, ngoding web,” terang Danis.

P1060892

Berikutnya adalah karya hasil kolaborasi dari Ronald (Universitas Kristen Petra) dan Edwin Fernando Tranggono (Universitas Ciputra) yang bertajuk Arrived Safely. “Kami umpamakan kematian sebagai perjalanan biasa, jadi ya semoga sampai di tujuan saja, di rumah Tuhan”, tutur Edwin menjelaskan konsepnya.

P1060894

Terakhir, Septian dan Audrey menjadi kelompok penutup yang bercerita tentang karya mereka, “Safe Trip”. “Judulnya Safe Trip, maksudnya ya saya sudah meninggal. Tidak apa-apa. Ini hanya sebuah perjalanan. Suatu saat pasti ketemu lagi”, ujar Septian.

P1060896

Di penghujung acara, Eric menjelaskan bahwa tujuan workshop yang ia sajikan memang tak lain untuk mengasah sensivitas visual masing-masing peserta yang memang merupakan mahasiswa dan praktisi desain grafis. “Workshop ini memang bertujuan untuk mengasah ketajaman eksplorasi temen-temen semua di sini, dari komposisi, layout, dan tipografi”, terang Eric. “Walaupun bisa juga untuk investasi di masa yang akan datang ya?”, lanjutnya bercanda.

Quoted

Ketik, pilih font, dan presentasikan sebagai ‘desain’… nggak salah tuh!?

Bambang Widodo