Home > Read > News >
Diskusi: Priyanto Sunarto dan Seni Rupa Indonesia 1970-an

PriS-Diskusi

 

Priyanto Sunarto dan Seni Rupa Indonesia 1970-an
Jumat, 5 Agustus 2016
15.00 – 18.00 WIB
Bale Handap Selasar Sunaryo Art Space
Jalan Bukit Pakar Timur No. 100, bandung

Pembicara
Aminudin TH Siregar (Sejarawan seni rupa)
Bambang Bujono (Penulis seni rupa)
Jim Supangkat (Kurator seni rupa)

Moderator
Chabib Duta Hapsoro

 


 

Melengkapi rangkaian kegiatan tribut untuk Priyanto Sunarto yang diselenggarakan oleh Desain Grafis Indonesia dan Selasar Sunaryo Art Space, diskusi seni rupa bertajuk “Priyanto Sunarto dan Seni Rupa Indonesia 1970-an” akan digelar pada 5 Agustus 2016 mendatang. Diskusi ini dimaksudkan untuk memperbincangkan inisiasi-inisiasi dan rintisan-rintisan Priyanto Sunarto dalam seni rupa Indonesia yang belum banyak tercatat dan terpublikasikan. Karenanya, diskusi ini akan diisi oleh para pembicara seperti Aminudin TH Siregar (sejarawan seni rupa), Bambang Bujono (penulis seni rupa), dan Jim Supangkat (kurator seni rupa), dengan dipandu oleh Chabib Duta Hapsoro.

Masuk ke jurusan Seni Grafis, pada awalnya Priyanto Sunarto justru hendak menjadi seniman, meskipun kurikulum Seni Grafis juga mewadahi penciptaan karya-karya grafis terapan seperti pembuatan kalender, poster, dan lain-lain. Setelah A.D. Pirous mendirikan Studio Desain Grafis di ITB pada 1971, Priyanto mengarahkan karya tugas akhirnya sebagai karya desain. Ia mengilustrasikan tiga buah karya sastra yakni Sajak ‘O’ karya Sutardji Calzoum Bachri, Tiga Cerpen karya Danarto, dan novel ‘Animal Farm’ karya George Orwell. Melalui karya-karya ini kita melihat kepekaan khusus Priyanto Sunarto dalam menggambar dan mengembangkan bahasa visual menggambar. Karya-karya rancangan Priyanto juga menekankan goresan-goresan tangan yang khas.

Terkhusus pada pada buku Kumpulan Sajak ‘O’ (Sutardji Chalzoum Bachri), karya ini menampilkan sebuah rancangan buku puisi dengan genre puisi konkret, yang tampil sebagai bentuk puisi baru pada tahun 1970-an. Genre puisi ini, terutama pada karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, kata-kata dalam tiap baitnya hadir sebagai mantra. Maka dari itu, puisi ini tidak sepenuhnya menggunakan bahasa sebagai media untuk menampilkan makna-makna atau representasi tertentu. Di dalam puisi konkret, bait-bait puisinya secara konkret membentuk lambang atau benda sebagai ungkapan ekspresi penyairnya. Kita dapat melihat kepekaan Priyanto Sunarto yang mendekatkan perancangan puisi konkret dengan disiplin ilmu desain grafis.

Bukan kebetulan juga bahwa kekonkretan juga menjadi bahasa ungkap baru dalam seni rupa Indonesia saat itu. Pada tulisan yang berjudul ‘Perspektip Baru dalam Seni Rupa Indonesia’ (1975), kritikus seni rupa Sanento Yuliman menyatakan, “Para seniman dari Persagi hingga seni abstrak, betapapun anekanya corak hubungan dengan dunia sekeliling, betapapun macam-macamnya isi pengalaman yang diungkapkan, satu hal yang mereka lakukan: benda-benda, emosi, gagasan dari pengalaman konkret itu harus mereka jelmakan menjadi sebuah dunia rupa, sebuah syair rupa, di mana segala sesuatu—poci dan sapuan cat, perahu dancat tebal yang retak atau terkelupas, torso manusia dan serat kayu—meninggalkan kebendaannya, kekonkretannya, dan menjelma ke dalam dunia imajinasi atau “irreal” atau sebutlah dengan nama lain.”

Yang perlu digarisbawahi melalui pernyataan tersebut adalah bagaimana pengalaman keseharian seniman yang konkret akhirnya “tersaring” melalui kepekaan-kepekaan artistik tertentu milik seniman sehingga menciptakan ragam keluaran seperti lukisan, patung, grafis dan lain-lain. Yuliman merujuk kepada karya-karya para seniman eksponen Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) yang mewakili cara pandang baru seni rupa Indonesia pada bagaimana medium dan material ditampilkan dalam sebuah karya seni rupa: menghadirkan yang konkret tanpa tersaring dan terkucil di dalam batasan medium seni rupa. Buku puisi ini memperlihatkan sosok Priyanto Sunarto sebagai seniman muda yang menginisiasi dan menghidupi semangat jaman saat itu.

Setelah buku puisi tersebut, kekaryaan Priyanto Sunarto makin berkembang, yang makin keluar dari prinsip modernisme-formalisme yang menjadi arus besar seni rupa Bandung saat itu. Kita dapat memeriksa keikutsertaannya pada beberapa pameran kelompok Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Kecenderungan kekonkretan pada karya-karya Priyanto Sunarto juga hadir dengan secara khas, yakni bersifat sehari-hari, remeh temeh, jenaka, diadopsinya ragam hias tradisi Indonesia, mengadaptasi maraknya budaya cetak dan media dengan menerapkan reproduksi foto-foto dalam karya-karya cetak saringnya serta diadaptasinya prinsip-prinsip perancangan/desain. Karya-karya Priyanto Sunarto juga memperlihatkan ketertarikan pada seni konseptual, sebuah pendekatan seni rupa yang mungkin masih jarang dipahami oleh publik seni rupa Indonesia saat itu, bahkan hingga saat ini.

Karenanya, diskusi ini diselenggarakan untuk membicarakan kembali peran penting Priyanto Sunarto dalam kancah seni rupa Indonesia, terkhusus dalam konteks dinamika seni rupa era 1970-an.

 


 

Kegiatan terbuka untuk umum dan gratis.
Narahubung: ellena@dgi.or.id / ekas@dgi.or.id

 

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Desain Grafis Indonesia dan Selasar Sunaryo Art Space dengan didukung oleh Paperina Dwijaya, Detego Studio, Cronos Indigo, IPPDIG, ADGI Bandung, AIDIA, Tempo Inti Media, Sarasvati, InfoDKV, Masterpiece Magazine, JakartaBeat, Whiteboard Journal, Majalah Cobra, Kreavi, dan Acara Event.

 

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro