Kuratorial Pameran EXI(S)T #1: Maps, Re-imagined yang berlangsung di Dia.Lo.Gue artspace, Kemang Selatan, pada 26 Mei – 05 Juni 2012.
Apabila seniman-seniman muda di Jakarta boleh dikategorikan berdasarkan ciri-ciri tertentu, maka kita akan menemukan kelompok yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: memiliki latar belakang pendidikan non-seni, dan membagi waktu mereka antara dunia seni dan dunia industri (terutama bidang kreatif) dimana mereka bekerja sebagai seorang profesional. Di Jakarta, posisi mereka dikondisikan oleh suatu situasi pendidikan tingkat perguruan tinggi yang unik, dimana karena sedikitnya program-program pendidikan khusus seni murni yang memadai (berbeda dari Jogjakarta dan Bandung, misalnya), ribuan calon mahasiswa pertahun terdorong untuk mendaftar di jurusan-jurusan seperti Desain Komunikasi Visual, Desain Grafis, dan sebagainya. Bagi mereka, jurusan-jurusan ini menjadi satu-satunya tempat dimana mereka dapat mengeksplorasi minat terhadap seni dalam wilayah pendidikan lanjut. Dengan segala peluang yang dibawanya, strategi pendidikan seperti ini mempunyai suatu keterbatasan penting: berbeda dengan program seni murni, jurusan-jurusan ini mempersiapkan mahasiswa secara khusus untuk menjadi agen di industri kreatif, dimana pengolahan kreativitas selalu berbenturan dengan faktor-faktor seperti keinginan klien dan pangsa pasar.
Kedua dunia ini – dunia seni dan dunia industri – memang sangat dekat kedudukannya dan tidak lagi memiliki batasan-batasan yang pasti: para seniman-seniman yang terlibat pada pameran ini adalah mereka yang merasakan betul bagaimana hubungan antara dua dunia ini terjalin. Tapi tak dapat dipungkiri bahwa posisi yang mereka tempati di dua dunia ini juga menghasilkan ketegangan-ketegangan tertentu. Apakah dalam dunia seni mereka lebih mempunyai kebebasan kreatif yang lebih luas? Apa benar bila waktu mereka tidak habis untuk mengerjakan proyek komersil, mereka akan tetap mempunyai kedisiplinan berkarya? Apakah cara kerja yang terbentuk dalam industri mempengaruhi tabiat dan kebiasaan mereka dalam membuat karya seni?
Ketegangan-ketegangan seperti ini membentuk identitas kultural seorang seniman yang berbeda dari apa yang bisa didapatkan di kota-kota lain yang telah menjadi pusat kehidupan seni di Indonesia. Di satu pihak, demokratisasi praktek seni menjadi semakin nyata: ternyata, karya seni tidak lagi harus dibuat oleh mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan seni murni. Meski ada kedisiplinan tertentu yang hanya bisa didapatkan melalui pendidikan formal, ini sudah tidak lagi menjadi suatu kemutlakan. Pendidikan seni bukan satu-satunya landasan pasti untuk sebuah proses artistik karena ada elemen-elemen lain seperti, misalnya, kreativitas dan orisinalitas yang dimiliki seorang seniman terlepas dari pendidikan formal.
Bekerja dengan mereka, saya merasa hal yang menonjol adalah bagaimana ketercimpungan para seniman-seniman ini didalam dunia industri juga membentuk sifat ‘kesenimanan’ yang spesifik: mitos-mitos tua tentang seniman sebagai seorang penyendiri, hanya bekerja berdasarkan suasana hati, yang tak mengenal batas waktu, telah diganti oleh kesadaran-kesadaran baru seperti pentingnya jaringan dan kerja sama, perhatian akan resepsi dari pemirsa terhadap karya, dan, untuk memastikan bahwa sebuah karya dapat dilihat oleh publik, ada pandangan bahwa seorang seniman sebaiknya menganggap bahwa proses pembuatan karya seharusnya mempunyai keterbatasan waktu daripada terus berjalan tanpa limitasi.
Ini semua kemudian menjadi latar belakang penyelenggaraan pameran ini. Saat ide untuk pameran ini pertama kali dicetuskan, sebagian besar dari seniman yang terlibat – dan juga kurator – tidak begitu mengenal satu sama lain. Berbeda dari pameran yang dibuat oleh sekelompok teman dalam suatu komunitas, kami mengalami tantangan awal untuk melewati kecanggungan yang pasti dialami ketika tigabelas orang yang tidak terlalu kenal memutuskan untuk bekerja bersama. Memang, pameran ini tidak bertujuan untuk menciptakan ‘kelompok’, ‘komunitas’, atau lebih jelek lagi, ‘kubu’. Berbeda dari itu, yang ingin diadakan adalah sebuah mimbar awal untuk mereka yang memiliki latar belakang atau keresahan serupa untuk kembali dan terus membuat karya seni, baik secara perorangan atau dalam bentuk kolaborasi, di kemudian hari. Penting bagi pameran ini bahwa seluruh seluk beluk proses yang membentuknya menjadi rangsangan untuk berkarya bukan hanya dalam artian ekspresi atau representasi, tapi juga eksperimentasi dan provokasi.
Maka, pameran ini tidak bisa dianggap sebagai hasil akhir dari rangkaian bincang-bincang dan diskusi secara langsung dengan berbagai pihak yang terlibat, mulai dari para senimannya sendiri, pemilik galeri, kurator, mentor, dan representatif dari media. Melainkan, lebih tepat bila dianggap sebagai salah satu buah dari suatu proses intensif; bagaimana tidak, mengingat begitu banyak bibit-bibit lain yang ditanam di saat bersamaan, yang buahnya hanya akan terlihat setelah jangka waktu yang panjang.
Semasa pembuatan pameran ini, saya mendapat saran – yang rasanya cukup bijaksana – untuk merumuskan apa yang kira-kira ingin dicapai dengan pameran ini. Ini kemudian membawa saya pada sederet pertanyaan lain, misalnya, seperti apa pameran yang ‘bagus’ itu? Apa cukup hanya memuat karya-karya yang ‘bagus’ saja, apapun artinya itu? Jika karya yang dipamerkan memang ada yang menanggap bagus, tapi tidak membangun pewacanaan melalui berbagai bentuk diskusi dan kerja sama yang lebih luas, apa kita masih menilainya dengan tinggi? Hal ini penting untuk dipertanyakan, karena menyangkut definisi tentang ‘guna’ sebuah pameran.
Terkait dengan ini, apa yang kita maksud saat kita menyebut ‘harga’ sebuah karya yang dipamerkan: bobot finansial atau intelektual? Apabila seluruh karya yang dipamerkan terjual, apa ini sudah bisa dianggap indikasi yang tepat untuk ‘harga’ karyanya? Sebaliknya, jika kita hanya mementingkan aspek cerdas tidaknya pameran tersebut, apa gunanya jika tidak bisa memastikan bahwa seniman yang terlibat akan punya dana untuk menutup biaya produksi karya di kemudian hari? Mengingat begitu banyaknya faktor yang dapat menjadi tolak ukur pencapaian sebuah pameran, maka disini saya mencoba mendefinisikan beberapa hal yang bisa menjadi patokan untuk pameran ini.
Selain latar belakang pendidikan formal non-seni dan profesi mereka dalam bidang kreatif, sebagian besar dari para seniman ini masih terbilang jarang pameran; bahkan, ada juga yang belum pernah sama sekali membuat karya seni. Mempertimbangkan kesamaan-kesamaan ini, maka mungkin keberlanjutan dan perkembangan dapat dikatakan sebagai patokan paling utama. Dalam artian, apabila seniman-seniman tersebut terus berkarya secara konsisten, dan mengembangkan potensi artistik mereka lewat berdialog secara kritis dengan dengan diri sendiri dan ruang sekitarnya.
Kemudian, berkarya juga harus dimengerti dalam artian karya seni, yang tetap tidak bisa disamaratakan dengan karya industri. Karena, meskipun industri tersebut bertumpu pada paradigma kreativitas, bukankah keresahan-keresahan yang dirasakan oleh para seniman di pameran ini – tentang waktu, uang, dan sebagainya – adalah bukti bahwa masih ada batasan (meskipun begitu tipis sehingga nyaris tak terlihat) antara dunia seni dan industri? Pendek kata, dua hal yang dapat diharapkan dari proses yang dilewati pameran ini adalah keberlanjutan dan perkembangan. Tentunya tidak ada jaminan bahwa semua hal-hal ini akan tercapai, dan ‘buah-buah’ tersebut hanya akan dapat dipetik dalam jangka waktu yang tidak dekat.
PEMETAAN, DIBAYANGKAN KEMBALI
Untuk pameran kali ini, dipilih tema yang bertujuan menggali bagaimana tiap seniman menegosiasi posisi mereka dalam berbagai peta keseharian yang mereka hidupi; misalnya, sehubungan dengan apa yang telah diurai diatas, peta dunia seni dan dunia industri. Dalam artian harafiah, pemetaan adalah upaya untuk menggambarkan sebuah area dan hubungan antara elemen-elemen spasial yang termasuk didalamnya seperti wilayah, arah, jalan, kontur lanskap, dan sebagainya. Dalam pameran ini, pemetaan dimengerti dalam artian imajiner dimana para seniman diajak untuk membayangkan letak kedudukan mereka dalam peta-peta yang berbeda, dan berbagai aspek yang mengkondisikannya.
Secara umum, para seniman disini memulai proses berkarya dengan memikirkan bermacam negosiasi yang mereka lalui untuk berada dalam posisi mereka dalam peta-peta tersebut, yang meski berkaitan erat tapi juga tetap bersitegang. Tanpa diduga, ini kemudian membawa mereka ke pembongkaran persoalan-persoalan seperti latar belakang etnis, kepadatan ruang kota, perkawinan dan keluarga, peran suara dalam kehidupan sehari-sehari, dan politik industri kreatif.
Dalam foto seri berjudul Unfamiliar Roots – Walking Banana, Stephanie Yaya Sungkharisma membungkus dirinya dengan kulit pisang. Kulit pisang menggambarkan sebuah istilah yang dia temukan di sebuah koran berbahasa Inggris saat berlibur ke Shanghai: ‘banana men’, yang mengacu pada orang-orang keturunan Cina yang telah lahir dan menetap di negara Barat (terutama Amerika). Karena budaya Barat – yang mempunyai stereotip kulit putih – telah mendarah daging kepadanya, mereka dianggap seperti pisang: berdaging putih, berkulit kuning. Ini menjelaskan bahwa persoalan utama yang ingin Yaya pahami menyangkut identitas kultural. Sebagai keturunan Cina yang lahir dan besar di Jakarta, bagaimana dia harus memposisikan dirinya di sebuah peta identitas yang terdiri dari dua kebudayaan yang berbeda? Bagi Yaya, pertanyaan “siapa saya” selalu menimbulkan kejanggalan, di mana dua kebudayaan yang seharusnya menjadi ‘rumah’ justru terasa asing.
Ini dirasakan betul saat dia berlibur ke Shanghai seperti yang disebut diatas: secara fisik dia memang dapat dengan mudah melebur di sana, tapi pada saat bersamaan dia adalah turis yang tidak mengenal bahasa dan kebudayaan lokal tempat itu. Rasa bahwa dia tak sepenuhnya memiliki tempat yang pasti di dua dunia kebudayaan ini digambarkan oleh tubuh yang terpenggal-penggal. Meski tak pada tempatnya, bagian-bagian tubuh ini masih merupakan kesatuan anatomi tubuh yang semestinya: tidak ada bagian yang hilang atau diulang. Ini mengingatkan bahwa identitas seseorang tidak selalu harus terdiri dari bagian-bagian yang ‘pas’, tapi juga pecahan-pecahan ambigu yang membuat mereka unik. Karya Yaya disini menunjukkan pengertian yang matang akan ‘konsep’ sebagai lebih dari sekedar penjelasan atas karya, tapi sebuah situs pergulatan buah pikiran dan permasalahan yang seorang seniman coba pecahkan lewat karyanya.
Angela Judiyanto memetakan dirinya berdasarkan teritori yang diklasifikasi menurut perubahan kadar suka dan tidak suka terhadap bermacam-macam hal. Kemudian, kondisi yang mempengaruhi perubahan tersebut juga diuraikan menjadi sebuah ‘catatan lapangan’ tentang dirinya sendiri: dari segi ini, karya Angela dapat dilihat sebagai semacam praktek etnografis. Berbagai sampel yang didapatkan dari ‘penelitian lapangan’ ditaruh di dalam toples, untuk didata dan dianalisa lebih lanjut.
Di sini Angela terus mengasah gaya ilustrasi yang dimilikinya, kali ini dengan media cat akrilik diatas kertas mika. Ilustrasi-ilustrasi tersebut diletakkan di dalam toples yang berbeda-beda ukuran, dan tersedia label yang menjelaskan mengapa dia memilih objek yang digambarkan. Misalnya di gambar tentang lukisan Mark Rothko, Angela menjelaskan bagaimana dia pertama kali menjumpai karya-karya Rothko semasa kuliah, dan mulai terpikat karena baginya lapisan demi lapisan warna yang dihasilkan Rothko banyak berbicara tentang perasaan dan emosi. Di toples terbesar, Angela membuat ilustrasi tentang pameran ini: dengan menggunakan toples berukuran ini, dia menjelaskan bahwa tidak hanya dia menyukai bagaimana orang-orang yang terlibat mempunyai semangat yang sama, dia juga merasa puas dengan karyanya untuk pameran ini karena berbeda dari apa yang pernah dibuat sebelumnya. Karena ilustrasi-ilustrasi dalam toples ini berukuran kecil, maka pemirsa harus melihat mereka dari jarak dekat; maka, terbentuk hubungan yang intim antara karya dengan pemirsa, yang sedang meneliti dan mencermati gambar-gambar itu.
Apabila Yaya dan Angela menjelajah peta pribadi mereka, G.H.O.S.T. – dalam karya Infantial Substance – membicarakan bagaimana sebuah peta baru dibentuk ketika kedua orang – dengan keistimewaan pribadi masing-masing – memasuki dunia pernikahan. Salah satu hal yang menonjol bagi Agra dan Yesy adalah bagaimana sebuah pernikahan dapat menjalin temali kebudayaan dari dua orang yang berbeda: instalasi tekstil ini adalah wujud akulturasi yang kompleks antara mereka berdua, dimana segala perbedaan latar belakang mereka melebur menjadi sebuah identitas baru. Ini terpampang jelas baik dari pemilihan materi, komposisi bentuk, dan berbagai analogi visual yang ada pada karya ini.
Agra bekerja sebagai seorang desainer grafis dan Yesy adalah lulusan dari program Kriya Tekstil.
Pada karya ini mereka menggunakan kain ulos (Yesy adalah keturunan Batak) yang sudah jadi, yang digantung menyerupai tirai kanopi untuk menggambarkan suasana prosesi upacara pernikahan yang baru mereka lewati. Kain tersebut telah dibordir dengan bentuk-bentuk yang bersifat simbolik – salah satunya adalah wahyu temurun dibagian depan kain. Disini, wahyu temurun bukan hanya representasi kultur Jawa milik Agra. Karena warnanya diubah dari tradisional coklat ke pink tua dan dibordir di atas ulos, maka pentabrakan ini menjadi representasi atas identitas mereka berdua sebagai pasangan. Di ujung kain digantung sebuah beskap yang terlihat masih dalam proses penyelesaian, sebagaimana perjalanan mereka sebagai pasangan juga masih jauh dari selesai. Bentuk-bentuk grafis terlihat dari lingkaran cahaya dengan biasan sinar dan Hati Kudus yang ada di atas-belakang dan pada dada beskap, yang dapat dilihat sebagai simbol penghimpunan dan kesakralan sebuah pernikahan. Atmosfir keagungan juga terbangun dari pemasangan karya ini, di mana karya ini disangga dari langit-langit ruang galeri sehingga terlihat mengambang di udara.
Pada karya-karya mereka, Natasha Tontey dan Dibyokusumo Hadipamenang mengangkat tema pemetaan dalam bingkai aspek politik dari industri kreatif dimana mereka bekerja: Tontey sebagai tim kreatif sebuah rumah desain, sedangkan Dibyo adalah produser freelance yang banyak mengerjakan video untuk tujuan komersil. Di karya berjudul Rhyme Stew, Tontey bercerita tentang ketidakseimbangan antara keinginan untuk membuat karya seni dan tanggung jawab yang dipikul dalam dunia industri. Tontey merasa bahwa hubungan antara dua dunia ini sangat mudah menjadi berat sebelah, dan ketimpangan itu sering kali diiringi dengan perasaan hilangnya harapan dan mimpi. Angan-angan yang tadinya menyemangati luluh lebur. Secara keseluruhan, karya ini dapat dilihat sebagai ekspresi akan rasa tenggelam dalam segala beban tanggung jawab di tempat kerja, yang membatasi ruang gerak.
Tontey melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap media yang telah digunakan pada karya sebelumnya, yaitu bahan-bahan temuan yang diproduksi secara masal dan terbuat dari plastik. Tontey menemukan bahwa boneka-boneka yang tersedia, yang gosong saat dibakar, tidak dapat memberikan bentuk dan warna lelehan yang diinginkannya. Maka, dia harus mencetak boneka-boneka baru dari silikon dan lilin berdasarkan boneka-boneka yang dimilikinya. Boneka-boneka ini kemudian ditempelkan diatas meja yang dibuat dari besi, sebelum diguyur oleh resin dan dicat dengan warna kulit artifisial yang sering digunakan pada boneka-boneka buatan pabrik ini. Hampir semua tubuh boneka dimutilasi, dipecah untuk lalu disambungkan kembali tidak pada tempatnya: di permukaan lelehan berbagai potongan wajah, kepala, tangan, mata, semua disebar secara acak. Karya yang dihasilkan dapat didudukkan dalam tradisi Surealisme, di mana jukstaposisi antara aspek kekanak-kanakan dan absurditas menghasilkan sifat kepuitisan yang aneh mencekam.
Dengan karya video berjudul CommoDoty, Dibyo menghadirkan sebuah satir akan dunia seni yang kian menjadi industri, dimana semua kepentingan mengacu pada komodifikasi dan pencarian kapital. Tema utama dari video ini adalah percaturan berbagai sistem – termasuk praktek industri kreatif dan kesenian – yang dianggap telah meraja lela secara global. Video ini seakan menekankan bagaimana seseorang yang menghidupi keduanya dituntut untuk merancang strategi bertindak secara lihai. Bagi Dibyo, peta kehidupan seni dan peta kehidupan industri ini sebenarnya berada dalam dunia yang sama, di mana langkah yang diambil di satu sisi akan mempunyai timbal balik dari sisi yang lain.
Menurut Dibyo, runtuhnya batas antara dunia seni dan dunia industri terlihat jelas pada bagaimana karya seni sudah menjadi komoditas belaka. Komodifikasi dunia seni dalam beberapa adegan dianalogikan dengan dot merah. Dot merah itu seakan selalu hadir dan terus mengikuti, sebagaimana keinginan untuk mengakumulasi kapital terus menghantui gerak gerik dan perilaku warga di kota-kota besar. Namun kenyataan industrialisasi seni ini tidak harus membangkitkan pesimisme. Ketika dua dunia ini tidak lagi dianggap begitu bertolak-belakang, maka seseorang akan mampu menghadapi segala perbedaan yang ada (cara kerja, idealisme, dan sebagainya) secara positif. Karena menurut Dibyo, di peta ini tidak lagi ada kawan dan lawan; semua terikat pada jaringan yang sama, dan semua yang terlibat mempunyai kesempatan yang sama untuk menanggapi berbagai kenyataannya secara optimis.
Upaya pemetaan adalah upaya untuk menggambarkan pengalaman spasial yang spesifik. Pada beberapa karya di pameran ini, pengalaman spasial yang secara khusus ditonjolkan adalah pengalaman ruang urban. Karya Caves – kolaborasi antara Mahesa dan Niken – yang berjudul Sara Bara Club, merekonstruksi pengalaman dari kota-kota yang pernah mereka tinggali, yang sekarang telah mengendap dalam berbagai ingatan dan terus mempengaruhi kebiasaan dan tingkah laku mereka sehari-hari. Ruang kota mempunyai asosiasi khusus yaitu tumpang tindihnya berbagai elemen fisik (warna, tekstur, pencahayaan, ukuran, dlsb) dan non-fisik (teknologi digital, keragaman etnis, permasalahan gender, kesenjangan sosial-ekonomi, dst) di dalam suatu ruang yang kian padat. Instalasi ini merangkum suasana desak-desakan ini ke dalam sebuah bangunan sebesar 2,7 x 2,3 x 1,7 meter.
Di dalamnya, kontras tinggi yang mendefinisikan kota (terutama, menurut mereka, Jakarta) disimulasikan oleh lapis demi lapis sobekan dan potongan kertas berbagai jenis dan warna. Di sebagian besar, kertas-kertas tadi terisi karya-karya mereka sebelumnya, yaitu kumpulan bermacam ilustrasi yang pernah mereka buat; kertas-kertas berisi ilustrasi ini adalah semacam arsip yang merekam perkembangan artistik Mahesa dan Niken. Tekstur ruang yang dihasilkan oleh warna-warna plastik dan neon, ditambah dengan pengalaman audio-visual dari video, membawa pengalaman ruang kota – dimana kita seakan selalu dibombardir oleh berbagai stimulus – kedalam ruang buatan ini. Saat kita berada di dalamnya, apakah kita bisa mengatakan dengan jujur bahwa kita sama sekali tidak teringatkan atas hingar-bingar kota-kota besar?
Ketergantungan kita akan apa yang kita lihat sering membuat kita lupa bahwa berbagai stimulus ini juga dicerna oleh indra lain. Instalasi suara yang dibuat oleh Jonathan Kusuma – seorang musisi dan desainer grafis – mengingatkan kita bahwa pemetaan adalah suatu pengalaman yang menggunakan seluruh tubuh. Saat kita mengatakan ‘pengalaman tubuh’, indra yang menjadi dominan adalah ‘mata’: ini adalah ‘okularsentrisme’ yang kerap menjajah pengalaman kita akan ruang sekitar. Dengan memanipulasi ruang meeting galeri lewat suara, Jonathan mengajak kita untuk lebih memperhatikan suara-suara dari ruang keseharian yang kita huni. Di sini, dia menggunakan bel-bel yang sering kita dengar saat memasuki toko-toko kelontong atau mini mart. Dengan menggunakan kumpulan bel yang sama, karya ini berbicara tentang sebuah fenomena yang relatif baru di Jakarta, yaitu menjamurnya mini mart. Secara sengaja dipilih suara bel yang sama, untuk menekankan betapa seragamnya semua mini mart tersebut. Penempatan bel-bel tersebut diatur menurut skema komposisi yang telah dirancang sebelumnya: sebagai hasil, penonton mendapatkan tidak hanya suatu pengalaman khusus tentang suara dari ruang keseharian, tapi juga pengalaman musikal dari interaksi mereka.
Ada kesamaan ide baik di karya cetak dan karya suara Jonathan, yaitu bagaimana seseorang, dalam posisi apapun, tak henti menjalin hubungan dengan benda, hal atau orang lain. Pada karya ilustrasi digital, ini terlihat jelas dari garis-garis yang menghubungkan bulatan. Pada karya-karya ini, ide tentang hubungan dielaborasi dengan tiga cara. Pertama, bagaimana hubungan terdiri dari apa yang bisa dan tidak bisa kita lihat; kedua, hubungan sebagai cabang yang berakar dari satu titik posisi, dengan arah yang berbeda; ketiga, bagaimana satu titik posisi menghasilkan cabang-cabang yang mempunyai hubungan antara satu sama lain. Saya sendiri merasa bahwa ketiga hal ini adalah representasi visual yang akurat akan berbagai hubungan yang saya miliki dengan lingkungan sekitar saya.
Ide tentang ‘peta’ dan ‘pengalaman kota’ juga dibahas oleh Andyani Dewi. Pada karya foto serinya, Dewi memotret maket yang sebelumnya disusun dari bermacam benda-benda temuan. Pencitraan kekanak-kanakan yang digunakannya disini terinspirasi oleh pengalamannya sebagai seorang ibu muda: mulai dari meninggalkan kebiasaan hidupnya yang lama, membentuk rutinitas baru yang dilatari rasa tanggung jawab terhadap anak, menegosiasi berbagai tantangan untuk mendapatkan posisi yang nyaman dalam mengasuh, bekerja dan berkarya. Menurutnya, suatu hasil yang unik dan tak terduga dari proses ini adalah bagaimana proses ini membantunya mengolah sudut pandangnya sebagai seorang seniman: kemampuan untuk lebih menghargai hal-hal yang terlihat sederhana dan remeh-temeh, dengan memahami bahwa mereka sudah memiliki kompleksitas yang siap dijelajah dan digali.
Kita dapat melihat dengan jelas bagaimana foto-foto ini adalah representasi akan berbagai permasalahan kota: kemacetan yang ganas, timbunan sampah tak terurus, banjir musiman. Tapi, persoalan kota yang dibicarakan di tiap foto diberi ‘puntiran’ yang jenaka. Andaikan kita dapat semudah itu pindah ke awan, seperti yang dilakukan oleh si koala saat dia muak dengan kotanya. Dan bayangkan betapa absurdnya kota kita, apabila macet yang menjebak ternyata disebabkan oleh panda dan beruang yang sedang kasmaran. Ide awal tentang membayangkan pemetaan membawa Dewi untuk membayangkan ruang sekitarnya; meskipun foto-foto ini terlihat kekanak-kanakkan, mereka tetap menjadi representasi visual yang kuat akan kenyataan kota yang dihidupinya.
Berbeda dengan karya-karya yang telah saya sebut diatas, Ika Putranto dan Isha Henning secara spesifik membahas tentang bagian dari konsep peta itu sendiri: Ika tentang ide ‘perbatasan’, dan Isha tentang ide ‘navigasi’. Ika mengawali proses berpikirnya dengan membuat analogi bahwa sebuah karya adalah peta yang terdiri dari daerah-daerah khusus: khayalan, ingatan, keinginan, kecemasan, dan seterusnya. Kemudian Ika mempertanyakan sifat batas yang memisahkan tiap daerah, dan mendapatkan bahwa satu ide yang menonjol adalah bagaimana perbatasan tidak selalu bersifat kekal dan permanen. Melainkan, ada batas-batas yang mudah diterobos dan ditembus. Batas tidak selamanya mengkukung, tapi bisa jadi sesuatu yang harus dilewati untuk mengalami perubahan.
Objek-objek binatang yang dipilihnya disini (yang terbuat dari kayu) adalah representasi visual dari tradisi fabel dimana binatang diumpamakan untuk menggambarkan sifat manusia. Untuk menggambarkan gagasan tentang ‘batas’ tadi, Ika menggunakan sebuah kerangka yang dibangun dari kaca. Pada komposisi ini, tiap binatang seakan menembus helai demi helai kaca, dan perubahan yang terjadi pada mereka terlihat pada ilustrasinya. Dari satu sudut pandang binatang-binatang terlihat relatif normal karena semua telah dilukis dalam gaya yang sama, tapi lain halnya ketika kita berubah posisi dan melihat pencampuran teknik melukis pada potongan bagian tubuh mereka. Ini juga menggambarkan ketertarikan Ika akan kompleksitas persepsi, dimana pengertian seseorang ternyata dapat berubah menurut perubahan posisi dan sudut pandang mereka. Skala karya ini juga membantu membangun suasana yang humoris dan ganjil secara simultan: berukuran 2,7 x 1,5 x 2 m, barisan flamingo, burung dodo, burung unta, kijang dan kelinci yang ada disini nyaris mengkerdilkan pemirsanya.
Untuk eksekusi videonya yang berjudul The Vessel, Isha berangkat dari Tetris, sebuah jenis video-game yang besar di tahun 80an dimana pemain harus memetakan ‘ubin-ubin’ yang diberikan untuk menang. Isha memilih Tetris dengan alasan nostalgia. Baginya, nostalgia mempunyai peran yang kuat dalam membentuk pola pikir dan identitas seseorang: berbeda dari artian harafiah nostalgia yaitu ‘kerinduan akan rumah’ nostalgia disini dapat dimengerti sebagai sebuah kerinduan pada suatu hal yang tidak semudah itu didefinisikan.
Semua peta memuat arahan tentang jalan dan tujuan: upaya untuk merencanakan arahan ini dapat kita anggap sebagai definisi kasar akan navigasi. Ini adalah ide yang mendasari karya Isha disini, dan disini digunakan analogi dua jenis transportasi yang berbeda: pesawat ruang angkasa dan kapal layar. Pada awal video, kita melihat sebuah pesawat ruang angkasa dalam bentuk permainan Tetris tadi membongkar bagian tubuhnya; setelah copot satu persatu, ‘ubin-ubin’ tadi merakit kembali dirinya menjadi sebuah kapal layar. Ini terjadi beriringan dengan meruaknya setting pemandangan dari bagian samping layar, sehingga akhirnya kapal tersebut seakan sedang menjelajahi berbagai lanskap yang berbeda. Disini, arah yang ditempuh oleh perahu layar adalah representasi dari berbagai ‘navigasi’ pribadi Isha saat ini. Dimana sebuah pesawat ruang angkasa terlihat begitu canggih namun berjarak dari kenyataan, melalui kapal layar yang sederhana, yang bergerak lebih pelan, Isha merasa lebih dekat dengan keadaan sekitarnya dan dengan demikian lebih menghargai petualangan yang dialaminya.
Kesebelas karya disini, melalui cara mereka sendiri-sendiri, bersama-sama menggali suatu tema besar untuk mendapatkan perspektif baru akan hal-hal yang mungkin sudah begitu sering ditemui sehingga nyaris terlupakan begitu saja. Saya mendapatkan bahwa karya-karya yang ada disini adalah wujud konkrit dari bagaimana segala tahap yang membentuk suatu proses berkarya – mulai dari eksperimentasi awal yang melahirkan bibit ide, interaksi dengan orang lain dan ruang sekitar, eksplorasi lebih lanjut terhadap gagasan dan media, eksekusi, dan bermacam hambatan yang ditemui didalamnya – tidak kalah penting dari hasil akhir yang didapatkan; bahkan, bukan tidak mungkin bahwa proses inilah yang memupuk kekuatan sebuah karya.
Saya harap saya berbicara untuk setidaknya sebagian besar orang yang terlibat disini dalam menyatakan bahwa dengan memastikan adanya proses panjang – dan terkadang sulit – yang meliputi diskusi, dialog, debat dan tukar pikir secara kritis dari berbagai pihak, maka kita bergerak menuju pewacanaan secara nyata. Saya rasa keberlanjutan – bagi masing-masing seniman dan juga kegiatan pameran ini secara keseluruhan – adalah salah satu tes terbesar yang harus dihadapi. Setelah keberlanjutan, ujian lain yang harus dilewati adalah kegigihan: bagaimana seseorang dapat terus mendorong dirinya sendiri dalam berkarya dengan tujuan melampaui patokan-patokan lama, adalah tantangan yang tidak bisa dianggap enteng. Kiranya saya tidak sendirian dalam berpendapat bahwa tujuan-tujuan ini tidak bisa diraih secara instan; ibaratnya, pameran ini adalah sebuah bibit yang harus dipelihara dan terus diolah untuk benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan.
“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”