Home > Read > News >
Liputan: Lokakarya I Rerancang Identitas Visual AQUA Lestari

AL1-01

Setelah melalui proses seleksi, 19 pendaftar terpilih memulai rangkaian program Rerancang Identitas Visual AQUA Lestari pada Sabtu, 10 Januari 2015. Diselenggarakan oleh DGI (Desain Grafis Indonesia) dan AQUA yang bekerja sama dengan ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia), lokakarya ini menawarkan metode baru di tengah ‘budaya’ sayembara perancangan identitas visual yang kerap diselenggarakan oleh korporasi maupun lembaga pemerintahan di Indonesia.

Rerancang Identitas Visual AQUA Lestari menghadirkan kembali proses dialog dan diskusi sebagai elemen mendasar dalam perancangan identitas visual yang selama ini alpa. Dengan pembekalan dari para fasilitator, peserta diharapkan dapat menghasilkan identitas visual AQUA Lestari yang optimal dengan menghidupkan kembali proses perancangan yang layak dan menyeluruh.

AL1-02

AL1-03

Bertempat di Omah Ndelik, Jagakarsa, lokakarya tahap I dibuka dengan sambutan dari Bureau Chief DGI, Ismiaji Cahyono, dan Sonny Sukada selaku Direktur Sustainable Development Danone AQUA. Pada lokakarya tahap I tersebut, para peserta memperoleh pendalaman materi mengenai AQUA Lestari beserta program keberlanjutan yang diusungnya. Mulai tengah hari, lokakarya diisi dengan pendalaman mengenai perancangan identitas oleh Cecil Mariani, Eka Sofyan Rizal, dan Danton Sihombing.

 

I SEEM TO BE A VERB
“Desain berarti menyampaikan kebenaran dengan hasil [perancangan] terbaik.”
Cecil Mariani

AL1-04

Memulai sesinya dengan pernyataan yang menjadi judul buku karya Buckminster Fuller, “I Seem To Be A Verb”, Cecil Mariani mengajak para peserta untuk melakukan pendekatan terhadap perancangan identitas visual dengan pembacaan struktur bahasa dan makna dalam eksplorasi kreatif.

‘I Seem To Be A Verb’, meski tak pernah secara praktis dijadikan branding oleh Buckminster Fuller sendiri, telah melekat menjadi identitas dirinya. Fuller yang melihat dirinya sebagai sebuah kata kerja–manifesto yang terelaborasi dan tertuang dalam bukunya tersebut–memberikan celah bagi pendekatan yang berbeda dalam perancangan identitas. Berangkat dari sana, peserta diajak untuk menyelami kembali pemahaman mengenai syntax (struktur bahasa), sistem bahasa, serta semantics (pemaknaan).

Identitas, dalam perancangannya, sepatutnya dilihat sebagai ‘Subyek’–organisme yang aktif. Ia bergerak, berbuat, mencipta. Nama menjadi salah satu elemen yang paling kentara dari struktur bahasa yang terkandung dalam brand. Cecil memaparkan beragam contoh penggunaan jenis-jenis kata pada berbagai jenis brand, seperti penggunaan kata benda yang kerap dijumpai pada produk (Apple, Google), kata kerja pada brand yang mengandung unsur aktivasi sosial (Change.org), kata sifat pada jasa, hingga kata keterangan (adverbia) yang kini marak digunakan pada pelbagai aplikasi (Bitly, Feedly, Lively, dsb.) Nama-nama pada brand tersebut akan mengalami proses evolusi seiring bertumbuhnya citra di antara audiensnya. Google, sebagai contoh, mengalami evolusi dari kata benda (‘goggles’), menjadi kata kerja (‘googling’), kata sifat, hingga ia menjadi sebuah cerita; brand sebagai subyek yang aktif.

AL1-05

Dalam upaya menampilkan brand sebagai subyek yang hidup, sistem bahasa memiliki peranan penting di dalamnya. Sistem bahasa dalam pengaplikasian identitas yang sintaktik membantu dalam upaya membangun citra menjadi sebuah cerita. Sistem bahasa dalam perancangan identitas MIT Media Lab, identitas City of Melbourne, dan Visit Nordkyn diangkat menjadi studi kasus bagi para peserta untuk memahami struktur bahasa yang dimaksud.

Mengadaptasi dari buku Jonah Sachs, Winning the Story Wars, Cecil Mariani selanjutnya menjabarkan 3 hal pokok terkait pemaknaan dalam identitas visual, yakni: kemampuan untuk merangkum cerita ke dalam simbol-simbol (Symbolic Thinking), pemberian nilai pada cerita (Story, Explanation, and Meaning), serta penerapaan pola perilaku (Ritual).

Di akhir sesi, Cecil memberikan tiga pandangan yang perlu diperhatikan bagi desainer dalam perancangan identitas. Yang utama ialah: tell the truth. Baginya, desain berarti menyampaikan kebenaran dengan hasil [perancangan] terbaik. Praktik desain sebagai pembujukan terhadap kebohongan adalah praktik lama. Hal ini terkait dengan poin kedua, forget the consumers, citizens are the audience. Brand berbicara bukan lagi pada konsumen, melainkan pada masyarakat madani yang memiliki pemikiran. Karenanya, brand harus bisa berbicara dengan bahasa yang tepat pada audiensnya. Ia berbicara pada orang-orang yang hebat, bukan orang-orang bodoh yang tidak bisa memilih. Talk to a hero, not a child.

 

DESAIN IDENTITAS VISUAL: BEBERAPA PERTIMBANGAN
“Identitas visual semestinya bukan perekam apa yang ada di masa lalu hingga sekarang. Ia semestinya mewadahi apa yang sekarang hingga ke depan. Identitas visual adalah proyeksi. Ia dipenuhi dengan visi.”
Eka Sofyan Rizal

AL1-06

Apa itu identitas? Ia berarti identik; persis dengan diri sendiri. Dengan menjadi persis dengan diri sendiri berarti suatu entitas dapat dibedakan dari yang lainnya. Perancangan tentang identitas berarti mengembangkan unsur-unsur identitas (tampilan, tindakan, omongan, lingkungan, dan lainnya) hingga mampu membedakan suatu entitas tatkala ia disandingkan bersama yang lainnya.

Dengan gaya pemaparannya yang kasual, Eka Sofyan Rizal mengajak para peserta untuk menyelami kembali identitas ke dalam beberapa pertimbangan tentangnya. Wujud identitas, salah satunya. Harus tetap atau berubahkah sebuah logo? Sebagaimana manusia, identitas visual akan selalu berjalan beriringan dengan lingkungan yang melingkupinya. Berjalannya waktu, berkembangnya zaman, dan berubahnya pola dan tingkah laku konsumen akan menuntut identitas untuk juga terus mengalami kemajuan, yang salah satunya dimanifestasikan dalam perubahan logo. Karenanya, perancangan suatu identitas–yang tak berhenti hanya sampai pada perancangan logo–semestinya juga dibarengi dengan prediksi jangka waktu berlakunya identitas tersebut. Hal ini, karenanya, menjawab pertimbangan tentang apa yang dikandung di dalam identitas: merekam atau memproyeksikankah ia? Perancangan identitas visual kehilangan hakikatnya ketika ia berbicara hanya apa yang ada di masa lalu hingga masa sekarang.

AL1-07

Peserta juga diajak untuk memulai perancangan dengan ‘penyimpangan’. “Mendesain itu jangan pakai otak,” kelakar Eka Sofyan. Menurutnya, proses pencarian ide sebagai tahap awal perancangan harus dapat dibedakan dari upaya penilaian ide. Pembuatan ide yang diikuti dengan upaya mengabadikan penyimpangan (trial and error) dalam prosesnya akan menghasilkan ide kreatif yang akan memberikan nilai pada bentuk. Nilai tersebut, salah satunya, dibangun dari tahapan yang disebut Eka Sofyan sebagai tahap ‘Membuat Manipulasi’. Solusi, ujarnya, adalah masalah yang di-recycle. Membuat manipulasi berarti menciptakan sudut pandang lain yang baru terhadap suatu wujud.

Pada para peserta, Eka Sofyan menekankan kembali bahwa brand tidak dapat didesain, sebab ia berada di dalam kepala audiensnya. Identitaslah yang dapat dirancang hingga berkesesuaian dengan konteks audiensnya. Hal ini, dengan demikian, merangkum desain sebagai sebuah program untuk mewujudkan ide menjadi suatu obyek guna tercapainya maksud dari keberadaan obyek tersebut. Karenanya, desain identitas visual tak berhenti hanya pada studi simbol (logo) saja. Studi identitas visual berarti juga turut memuat upaya penciptaan jati diri, pembentukan identitas, serta penerapan visual yang beriringan dengan konsekuensi nilai-nilai yang akan muncul mengikutinya.

 

AL1-08

FINDING THE BRAND’S X FACTOR
“If you focus too much on the obvious, you will miss the x-traordinary.”
Danton Sihombing

AL1-09

Danton Sihombing menutup rangkaian sesi pendalaman materi pada lokakarya I Rerancang Identitas Visual AQUA Lestari. Para peserta diajak untuk mendalami hakikat branding dengan melatih sensivitas diri. Pengamatan branding tak bisa hanya pada aspek desainnya, melainkan juga aspek bisnis yang melingkupinya. Mempelajari pola tingkah laku manusia (human behavior) salah satunya.

Baginya, alam bawah sadar (sub-conscious) merupakan sumber daya terbaik dari sebuah brand. Ia membentuk kebiasaan, pola, dan respon refleks manusia. Stimulan sensor eksternal yang ditangkap oleh panca indera akan dirasionalisasi oleh manusia dan melalui filter mental hingga mengendap dalam alam bawah sadar yang menentukan reaksinya. Dengan pengamatan demikian, sensivitas juga dapat dikembangkan dengan mempelajari aspek bisnis dari kecenderungan pola manusia. “If you are not a brand,” kutip Danton atas Philip Kotler, “You are a commodity.”

 

Lokakarya ini ditutup oleh Zinnia Sompie, selaku ketua Asosiasi Desainer Grafis Indonesia, yang menyampaikan kembali semangat kebaruan yang diusung dalam program Rerancang Identitas Visual AQUA Lestari. Kompetisi dengan metode ini, harapnya, dapat berkontribusi dalam membangun industri dan memberi martabat pada profesi desainer grafis.

 

AL1-10

AL1-11

AL1-12

AL1-13

AL1-14

AL1-15

AL1-17

AL1-18

AL1-19

AL1-20

AL1-21

AL1-22

AL1-23

AL1-24

AL1-25

AL1-26

AL1-27

AL1-28

AL1-29

 
Peserta Rerancang Identitas Visual AQUA Lestari kini memulai proses perancangannya yang akan dibawa ke lokakarya tahap II pada Sabtu, 17 Januari 2015. Nantikan kelanjutannya.***

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro