Home > Read > News >
Notulen Diskusi Pra Even Pameran Seni Visual 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei’

Jogja Gallery [JG], 2 Februari 2008, pukul 16.00 WIB – selesai

Narasumber:
DR. Baskara T Wardaya SJ
[Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik / PUSDEP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta]
DR. Sri Margana, S.S., M.Hum, M.Phil
[Staf pengajar Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta]

Moderator:
Mikke Susanto, S.Sn
[Kurator Jogja Gallery]

 


 

Pengantar

Untuk menjaring karya-karya seni terbaik, Jogja Gallery menyelenggarakan diskusi pra even kompetisi seni visual dalam rangka 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei*’. Diskusi ini bersifat terbuka untuk perupa mau pun mereka yang tertarik hubungan antara seni visual dengan sejarah Kebangkitan Nasional. Diskusi ini membahas pergolakan wacana dan polemik tentang Kebangkitan Nasional serta menguak dokumen-dokumen penting berupa foto-foto atau artefak-artefak lain yang terkait dengan hari Kebangkitan Nasional yang telah berusia 100 tahun ini.

Kompetisi ini sendiri diselenggarakan untuk turut memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional yang akan jatuh 20 Mei 2008. Melalui kompetisi ini, Jogja Gallery mengajak para perupa untuk ikut merespon isu kebangkitan nasional. Dimana dalam kurun waktu 100 tahun, kebangkitan nasional bagi kalangan muda Indonesia memiliki penyikapan yang beragam sesuai riuhnya globalisasi yang tak bisa disangkal turut memberi pengaruh pada pola pikir, penyikapan, gaya hidup bahkan kepribadian personal mau pun bangsa Indonesia sendiri. Hasil dari kompetisi seni visual terbuka ini akan dijaring karya-karya [dengan media bebas] yang akan dipamerkan di Jogja Gallery mulai tanggal 20 Mei – 8 Juni 2008. Kompetisi ini juga bertujuan untuk mendapatkan perupa-perupa berbakat dengan mengedepankan kualitas karya melalui penyikapan semangat kebangkitan nasional terkini!

Catatan: Baca juga Setelah 20 Mei* – Kompetisi Terbuka Jogja Gallery 2008

Mikke Susanto:

Diskusi ini diselenggarakan untuk mencari berbagai hal dengan tema yang dimaksud agar bisa diungkap dalam bentuk seni visual. Pentingnya even kali ini adalah peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini adalah yang ke-100, dan tidak akan pernah bisa terulang. Mungkin yang peringatan yang ke 200 nanti, cukup fenomenal, itu pun kalau memang masih ada nasionalisme. Sembari kita akan diskusi lebih lanjut tentang Kebangkitan Nasional, selaku pembuka, diskusi ini akan dipandu saya sendiri. Diskusi bersifat terbuka untuk umum, tidak harus perupa yang berminat mengikuti kompetisi dan non formal. Silakan merespon wacana mau pun teknis. Kurator dan manajemen Jogja Gallery [JG] akan menyiapkan diri untuk masalah-masalah teknis.

Memperkenalkan, Romo DR. Baskoro T Wardaya, direktur Pusdep, lebih konsentrasi ke sejarah pasca kemerdekaan secara formal ilmiah. Dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam diskusi ini harapannya lebih mengarah kepada kontekstualisasi even-even mau pun program-program yang terkait dengan persoalan politik mau pun sejarah kebangsaaan. Banyak teman-teman seniman yang ingin mendapat inspirasi dari sejarah bangsa. Pameran yang sifatnya terhadap penghormatan sesuatu, telah banyak dibuat oleh banyak galeri di Indonesia. Khusus pada even kali ini, saya lebih ingin mencermati tidak melulu pada penghormatan pada peristiwa, tapi lebih pada perosalan kebangsaaan karena seniman juga bagian dari masyrakat dan bangsa. Ada pijakan utama yaitu nasionalisme. Di sini lebih penting menjadi metafora atau titik kajian yang utama. Ketika kompetisi yang pernah diselenggarakan oleh JG dalam rangka 200 tahun Raden Saleh, dibahas melalui salah satu karya Raden Saleh. Tapi kali ini lebih dibahas lewat even Kebangkitan Nasional secara umum, dimana peristiwa ini sangat jauh lebih muda daripada Raden Saleh, berselang 100 tahun.

 

KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno:

Kegelisahan JG sudah lama kita pikirkan, ketika setahun sebelum Mei 2008 mulai muncul even ini. Kegelisahannya, ini kita mau memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, tapi apa yang terjadi pada bangsa ini? Apakah kita betul-betul sudah bangkit? Padahal kalau kita lihat, problem bangsa ini semakin banyak. Dirunut sejarah, kebangkitan nasional pertama, intinya dari Pangeran Diponegoro hingga munculnya Boedi Oetomo. Seperti Dr. Wahidin Soedirohoesodo keliling dengan sandal jepit memprovokasi tentang kebangkitan nasional. Kalau dipikir gila-gila semua para pendahulu kita. JG dan kita semua sepakat, kita bisa melakukan kebangkitan nasional melalui seni budaya. Sementara pamungkas itu adalah seni budaya. Hasil pendataan riil, yang tidak dilakukan pemerintah, komunitas, penggerak bahkan even seni budaya itu ada ratusan ribu seluruh Indonesia. Indonesia Visit Year tahun ini pun tidak muncul. Dari satu kotak, seni budaya ini, diharap lebih konsisten dengan kompetisi yang dimunculkan. Niat dari JG, kami sadar penuh bahwa mungkin tidak ada artinya, mungkin ada yang mencemooh, tapi kita tetap harus melakukan sesuatu. Terlalu berat ketika kita harus memikirkan kebangkitan nasional yang sesungguhnya. Tapi kita bisa melakukan banyak hal, melalui hal kecil ini. Jadi titip untuk para penulis dan para perupa ikutlah kompetisi ini dengan ‘jiwa’. Karena ‘jiwa’ Anda ada dalam karya ini di kesempatan yang langka, 100 tahun Kebangkitan Nasional kali ini. Kebetulan saya ikut terlibat dalam kepanitiaan yang melibatkan UGM, ketua Prof. Soetaryo. Namun kepanitiaan ini terkesan masih ceremonial. Karena membangun kebnagkitan nasional jaman dulu itu taruhannya nyawa pada masa itu. Sementara kita memperingati kesannya hanya ceremonial. Untuk itu kita harus serius. Mari kita buktikan kita punya aura dan daya yang lebih konkret dan lebih ‘berbahaya’ dan akan terpengaruh melalui pameran kali ini. Semua bisa merasakan kekuatan perjuangan dan kenyataan bahwa ‘perjuangan’ itu tidak habis-habisnya. Marilah kita sambut dengan baik. Pastilah kami banyak kekurangan dan keterbatasan, kami hanya punya niat baik untuk semuanya dalam mengisi satu item yang tidak pernah bisa diukur.

 

Mikke Susanto:

Saya meneruskan rangkaian peristiwa 100 tahun Kebangkitan Nasional. Bahwa akan ada bnayak rekan-rekan di seluruh Indonesia merespon even ini. Saya kira persoalan ini memang menjadi milik kita sendiri, alangkah baiknya, kita harus lebih baik. Dan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan peristiwa 10 tahun Reformasi ini tidak jelas arahnya. Satu pembicara yang belum saya perkenalkan adalah DR. Sri Margana, beliau baru saja lulus, 3 minggu lalu dari studi PSd di Leiden, Netherland. Beliau memang bekerja sebagai staf pengajar ilmu sejarah UGM. Apa opini mereka tentang Kebangkitan Nasional. Ada banyak buku dan selebaran, beberapa catatan dari situs internet yang mempertanyakan kembali tentang Kebangkitan Nasional. Mas Margana akan bicara tentang buku-buku tentang konteks sosial politik saat itu. Terutama tentang catatan Ki Hajar Dewantoro tentang Kebangkitan Nasional.

 

Sri Margana:

Selamat sore. Saya memimpikan bisa berkomunikasi dengan komunitas seni. Saya juga suka seni tapi tidak kesampaian, ingin merasa menjadi seniman juga. Saya diberi tugas sama Mas Mikke, ide awalnya adalah bahwa nanti ada peringatan Kebangkitan Nasional dan para perupa bisa mengungkapkan persepsi mereka dan bisa diberikan inspirasi melalui diskusi ini. Maka saya tidak akan cerita sejarah. Saya akan bicara mozaik-mozaiknya saja, yaitu hal-hal yang mungkin tidak bisa diketahui di pelajaran sekolah atau buku tentang Kebangkitan Nasional itu sendiri.

Boedi Oetomo [BO], sebetulnya ada banyak kontroversi yang menyertainya. Ada yg menggugat sangat keras sekali, bahwa BO tidak layak untuk menjadi tonggak kebangkitan nasional hanya karena anggotanya para priyayi Jawa, dan hanya kegiatan sekumpulan priyayi. Kapan sebenarnya Indonesia memperingati Kebangkitan Nasional? Tahun 1948. Yg mempunyai ide, kala itu adalah presiden Soekarno. Tahun 1948 itu adalah periode dimana Indonesia sedang berjuang memproklamasikan kemerdekaan. Kenapa punya ide itu dengan melihat BO, karena Indonesia sudah mulai terbelah-belah lagi, ada perjanjian Renville, Van Royen, yang membuat Indonesia semakin sempit. Maka Soekarno punya ide, mempunyai momen dan kekuatan untuk membangun kembali, semngat Indonesia untuk bersatu lagi. Waktu itu namanya bukan Kebangkitan Nasional, tapi kebangunan nasional. Maka berkumpullah organisasi-organisasi Islam, Kristen di Yogyakarta untuk menyepakati kebangunan nasional, dan diterima.

Ada kontroversi datang dari Hatta, tidak setuju. Jangan sampai Kebangunan Nasional menyaingi 17 Agustus. Jadi Indonesia seharusnya hanya punya ada satu hari nasional saja yaitu 17 Agustus saja. Kemudian Ki Hajar Dewantoro menanggapi, tahun 1950, dia juga menyinggung, termasuk peristiwa penyerahan kedaulatan itu tidak disamakan dengan 17 Agustus. Ki Hajar Dewantoro, punya pendapat bahwa Hatta benar tapi juga salah. Salahnya adalah alangkah miskinnya suatu bangsa hanya punya satu hari nasional saja. Kalau perlu kita mempunyai hari nasional sebanyak mungkin. Dan tidak harus, hari nasional tersebut harus menjadi hari libur atau tanggal merah. Makanya ada sebuah buku, banyak buku kontroversi yang muncul, saya baca ya mereka terlalu historis, kan motifnya terlalu akademis, kalau saya ungkapkan di sini bisa lebih kacau. Kemudian saya bongkar buku, di perpustakaan jurusan Sejarah UGM, ada dari Ki Suratman. Ini buku yang ditulis alm. Ki Hajar Dewantoro, mengapa kita memperingati Kebangunan Nasional tgl 20 Mei dan kenapa BO. Ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan 17 Agustus, apakah saat itu juga Indonesia merdeka? Kan enggak, masih ada Agresi Belanda dan seterusnya, masih sampai tahun 50 berperang dan berdiplomasi. Apakah rakyat terbebas dari kaum feodal kan juga tidak. Ketika BO dianggap kebangkitan nasional apakah juga semua orang bangkit.

Sebuah nation state itu perlu mitos-mitos untuk kelangsungan hidupnya, salah satunya dengan menciptakan hari-hari nasional. Yang penting kita mempunyai satu momen sebagai mitos nasional sebagai ideologi. Jadi bagi sejarawan, kontrovesi semacam ini biasa. Sejarah selalu subyektif dan tidak perlu diperdebatkan. Kalau melihat dari tingkah laku dan hal-hal yang secara nyata para tokoh-tokohnya, tidak diragukan sedikit pun, bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang luar biasa. Saya punya banyak cerita menurut Ki Hajar Dewantoro, 1908 – sampai Indonesia merdeka itu adalah masa Indonesia bangkit. Semua kontrovesi dalam buku itu adalah tokoh-tokohnya. Yang penting perilaku para tokoh-tokohnya ini yang penting ditiru. Misalnya Dr. Cipto Mangunkusumo, dia juga tokoh BO, dia seorang dokter, dokter jawa pertama yang diberi penghargaan oleh pemerintah Belanda, karena berhasil memberantas penyakit pes. Akhirnya dia mengembalikan penghargaan itu kepada Belanda, dan menaruhnya di pantat.

Ada tokoh lain, Sosro Kartono, beliau adalah kakaknya Raden Ajeng Kartini, waktu itu dia diundang ke Brussel, untuk memberikan pidato, dia memberikan kritik kepada pemerintah kolonial Belanda, bahwa penjajah sengaja membodohkan rakyat. Kemudian pidatonya itu dimuat di sebuah koran, kemudian profesornya membaca. Kemudian dia bilang kalo promotornya Sosro Kartono masih Snouke Gorgoye, dia tidak pernah menjadikannya professor. Tapi Sosro Kartono adalah orang yang hebat, waktu itu dia juga mendapatkan tawaran, apabila ingin menyudahi disertasinya, maka hutang-hutang dia akan dianggap lunas. Kemudian, dia menjawab, bahwa hutang dia itu adalah satu-satunya kekayaannya, maka kalau diambil sama saja mengambil kekayaannya. Dan masih ada banyak cerita. Apakah sebetulnya yang mendasari semangat kebangkitan nasional. Dr. Ismangun, aktif di Perhimpunan Indonesia, waktu itu dia mau menjalani ujian menjadi doktor. Tapi Ismangun tidak boleh dikasih kursi, dia dikasih tikar. Ada Ali Sastroamijyo, dia ditahan di Belanda, karena dia aktif karena dianggap menghasut untuk membangkitkan semangat kemerdekaan.

Ali Sastro waktu dia dipenjara dia seharusnya harus ujian menjadi sarjana hukum, oleh polisi diambil dari tahanan dan menjalani ujian, dia dicecer habis-habisan untuk kelihatan bodoh, tapi akhirnya dia lulus. Jangan hanya menilai sesuatu dari apa yang nampak di kertas, tapi kita juga harus mempelajari tokoh-tokohnya. Saya punya koleksi-koleksi foto. Ini hanya sekadar memberi impresi, rakyat kita seperti apa, supaya bisa memahami lebih jauh. Kenapa BO awalnya bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Ketika tokoh-tokoh kita sedang berpikir tentang nation state saat itu. Saya ingin memberikan konteks sosial, budaya potret masyarakat saat itu, seberapa kemajuan dan tingkat kehidupan masyarakat saat itu. Ada festival rakyat seperti memanah dan balap kuda, dalam periode kolonial saat itu. Keadaan seperti ini sebenarnya juga masih bisa kita temukan sampai sekarang. Kemudian apa sih kegiatan para doktor, STOVIA saat itu? Ada image tentang sebuah penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Kepala desa bertugas mengumpulkan penduduknya untuk diberi penyuluhan kesehatan. Ada penyuluhan juga dengan layar tancap. Jadi dokter-dokter waktu itu sudah membuat langkah-langkah nyata.

Lewat proses ini persoalan nasionalisme juga bisa disampaikan. Jadi peran dokter memang berpengaruh saat itu, karena pemerintah kolonial bermasalah dengan masalah kesehatan supaya wabah-wabah penyakit itu tidak menjadi masalah dan menular ke para kolonial. Ada image tokoh -tokoh jaman Belanda, Alimin dan Muso. Tiga Serangkai yg mempengaruhi PI menjadi sangat radikal di Belanda. Banyak tokoh-tokoh STOVIA yang bisa melanjutkan studinya di Belanda. Ada cerita tentang Goenawan Mangoenkoesmo, waktu itu dia diundang organisasi untuk memberikan pidato, tapi diprotes karena tidak radikal dan tidak pernah bertemu dengan tokoh-tokoh Belanda, sampai pada acara itu dia mau berkelahi karena dikritik.

 

Mikke Susanto:

Salah satu cara menjaring karya adalah dimensinya yang ilustratif, tidak mesti karya mempunyai konteks sosial saat ini. Jadi dimensi kebudayaan juga punya pengaruh besar terhadap pemikiran di masyarakat saat itu. Selanjutnya disambung oleh Romo Baskoro tentang bagaimana kontekstualisasi sejarah ini pada masa sekarang.

 

Baskara T Wardaya:

Saya kira dengan mendengarkan presentasi dari Mas Margana sudah jelas, saya menambahkan beberapa hal saja, siapa tahu bisa menjadi tambahan masukan, sehingga memberikan inspirasi visual. Mengapa sih kita perlu belajar sejarah? Mengapa kita perlu berurusan dengan sejarah? Mungkin bikin ngantuk atau membosankan, tergantung dari cara pengajaran. Sejarah itu menjadi penting, setidaknya sejarah adalah hal yang membedakan kita di dunia ini. Sejarah yang membedakan manusia dengan benda atau binatang. Hanya manusia yang tahu sejarahnya, maka itu menjadi esensi kemanusiaan kita. Saya kira menjadi turun derajat kita sebagai manusia, apabila kita tidak mengetahui esensi kemanusiaan kita. Oleh karena itu apa pun profesi kita, kesejarahanlah yang menyatukan kita sebagai mahluk yang bernama manusia. Apa sebenarnya sejarah itu? Sejarah dipahami dalam 3 hal, sejarah sebagai peristiwa masa lalu, sesuatu yang terjadi di masa lalu itu kita sebut sebagai sejarah. Sejarah juga bisa sebagai cabang ilmu yang merekonstruksi, menerangkan masa lalu. Sejarah juga bisa disebut sebagai sebuah wacana, entah itu sosial mau pun politik. Nah ini dimensi menarik dari sejarah.

Selama ini BO merupakan titik tolak sebagai kebangkitan nasional. Meski ada kontroversi, dimana ada pendapat bahwa Syarikat Islam yang seharusnya berhak untuk itu. Beberapa waktu lalu, Anda mungkin pernah mendengar mengenai dibakarnya buku-buku sejarah. Ada pertempuran wacana di situ. Semasa pemerintahan Orde Baru, sejarah menjadi selektif dan menjadi medan pertempuran wacana, yaitu wacana sosial politik. Nah tadi kita banyak ngomong apa yang disebut nasionalisme. Apa itu nasionalisme? Ada banyak definisi, tapi pengertian umum adalah sebuah pemahaman atau wacana politik yang menerangkan sebuah entitas politik tidak lain ditentukan oleh suku, agama atau garis keluarga [keturunan], tetapi oleh sebuah identitas sosial besama. Nah biasanya muncul atas masa lalu bersama atau ingatan kolektif, maka ada rasa kesatuan dan atau bangsa sehingga ada nasionalisme. Kalau feodalisme itu ditentukan oleh garis keturunan. Sebuah bangsa, ada identitas bersama yang diciptakan, yang bisa disebut sebagai imaging communities, ada sebuah reka bayang kita sebagai bangsa. Semasa pemerintahan colonial Belanda, pengertian mereka bahwa yang namanya Jawa, Dayak, Aceh itu bangsa. Ya pengertian bangsa memang sebenarnya itu. Mulai abad 20 ada pengertian yang melebihi sebuah itu, bahwa Indonesia sebagai bangsa, dan yang lainnya suku. Kalau dibalik, suatu bangsa bisa dipertahankan kalau bisa mempertahankan ingatan kolektif itu. Dalam hal ini, ada ikatan disana. Maka menjadi penting, apa pun profesi kita, kalau masih ingin mempunyai Indonesia, maka kita pelihara ingatan kolektif itu.

Di dalam konteks itulah lahir ide mengenai kebangunan nasional atau Boedi Utomo. Pada waktu tahun ’48, kita mau diserang oleh Belanda, di samping itu ada pertentangan antara tentara pemerintah dan tentara kiri, bangsa ini hampir terpecah-pecah, dan membutuh sesuatu yang menyatukan. Ini salah satu cara untuk mengikat kita sebagai sebuah bangsa. Sebenarnya satu atau dua hal yang bisa kita tambahkan, dr. Wahidin Soedirohoesodo, di Mlati Sleman, ada yang mengatakan dia mendapat pengaruh dari A. Rifai, dia prihatin sejak runtuhnya Hinduisme, Jawa mengalami kemunduran. Yang dulunya bisa membangun Borobudur dan Prambanan yang begitu megah, saat ini mengalami kemunduran. Dia prihatin, seperti masalah pendidikan. Bagaimana rakyat bisa mendapatkan pendidikan modern. Namun seorang Wahidin Soedirohoesodo tidak memiliki uang waktu itu. Kemudian ia ketemu dengan bupati, bahkan dia rela hingga menunggu 10 jam, baru bisa bertemu dengan bupati. Dia memprovokasi lebih dari satu bupati, akan perlunya memberikan beassiwa pendidikan. Bupati-bupati tersebut setuju. Maka Wahidin mengutarakan niatnya akan kebutuhan dukungan dana. Tapi bupati-bupati itu banyak yang menolak ketika harus memberi uang. Akhirnya sampailah dia ke Batavia dan bertemu dengan anak-anak muda. Hingga muncullah sebuah niatan yang berbudi dan bertujuan mulia, maka jadilah gerakan Boedi Oetama [BO]. Hingga ada kongres pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta.

Pada satu sisi memang agak problematis, karena ada kelas dibawah priyayi tapi diatas kelas menengah. Ada perdebatan ketika agenda pertemuan di Yogyakarta kala itu. Pertama, adalah kelompok yang wawasannya agak sempit. BO kala itu tidak hanya berurusan dengan orang Jawa tapi juga Belanda, tidak hanya mengurusi bidang pendidikan melulu tetapi juga politik. Sehingga BO tidak murni urusan Jawa. Kemudian ada kontroversi karenanya dan hal itu lumrah, sehingga membuat sejarah itu dinamis. Yang penting bagi kita, ada dan perlunya ingat kolektif itu sebagai identitas sosial dan politis bagi kita. Apa yang bisa kita sumbangkan? Adalah dengan belajar sejarah, dengan melihat foto-foto tadi, di situ kemanusiaan kita ada. Dengan belajar sejarah, kita menggaris bawahi keberadaan kita sebagai manusia.

 

Sigit [Forum]:

Kata kebangkitan bagi saya sangat seksi. Artinya di sini orang bisa bangkit itu biasanya karena ada yang mengelus-elus dan membisiki. Dari sekian foto yang tadi ditampilkan, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Nah, sebenarnya ada yang perempuan tidak? Saya pernah bertanya kepada keluarga dari dr. Wahidin. Istri dr. Wahidin itu keturunan Jerman Perancis, jadi memang none Eropa. Dr. Soetomo itu juga istrinya orang Eropa, katanya perawan. Dr. Wahidin juga mewarisi masalah Retno Dumilah, yang artinya seperti kurang lebih adalah air mani. Yang itu juga warisan dari cendekiawan Belanda. Kemudian pertanyaan saya, ini ada hubungan apa antara intelektual Belanda dengan kita waktu itu? Apa hubungan none Eropa dengan tokoh-tokoh kita? Saya mengharapkan ada cerita mengenai itu. Terima kasih.

 

Mikke Susanto:

Dr.Cipto dianggap orang yang paling tua untuk memberi nasehat. Bisa ‘ereksi’ karena distimulus oleh bacaan, bukan karena sentuhan, karena lebih banyak bersentuhan dengan buku.

 

Baskara T Wardaya:

Ada hal yg membuat kita menjadi sebuah bangsa. Pertama, secara internal, karena kesamaan penderitaan di jajah oleh Belanda. Nasionalisme selalu ada faktor internal, misal para pelajar STOVIA ada dalam posisi yang tanggung. Secara eksternal, pada tahun 1901, Belanda memiliki ratu baru, Wilhelmina dengan menerapkan politik etis. Penjajahan Belanda yang terlalu kejam terhadap Indonesia kala itu, dengan politik etis berupaya mengurangi kekejaman itu dengan memberikan edukasi, irigasi, imigrasi. Ini adalah keahlian menangkap momentum. Hal ini dimata seniman itu menjadi sesuatu yang menarik. Kepekaan dan keahlian itu kita harus punya, dimana dimiliki oleh anak-anak STOVIA . Dan dalam sejarah, perubahan itu kebanyakan diawali oleh anak-anak muda, umur 20-an ini.

 

Forum:

Lebih detail apa sih peran Sastro Kartono atau konsep dia tentang konsep nasionalisme? Setelah dia ke Indonesia lagi, kemudian menetap di Bandung. Dalam sejarah tidak pernah disebut-sebut tentang peran dia. Mengutip dalam pidatonya dia, yang juga sangat keras sekali pada Belanda, dia mengatakan bahwa dia akan menjadi musuh bagi siapa saja. Saya ingin tahu lebih detail tentang konsep dia tentang nasionalisme dan Indonesia.

 

Margana:

Sasro Kartono ke Belanda pada awalnya, sebenarnya membawa misi kesenian yaitu memperkenalkan wayang. Dia juga mengenalnya konsep wayang dalam sebuah buku. Dia sangat dekat dengan Abendanon yang sangat terbuka. Saat itu Abendanon adalah Menteri Kebudayan, dia juga memberi inspirasi masyarakat untuk mendirikan sebuah organisasi. Tahun 1893-an, akhir abad 19, masih jauh dari BO waktu itu, tapi sikap dia waktu itu yang sangat menginspirasi mahasiswa adalah ketika dia diperlakukan tidak layak professor-profesor Leiden yang sangat kolot itu. Dia menguasai 13 bahasa, dia satu-satunya orang Indonesia pertama yang menjadi wartawan, dia punya gaji yang snagat tinggi sebagai orang pribumi. Konsep-konsep nasionalisme dia kalau dirunut-runut tidak ada, karena filsafatnya yang ‘kantong bolong’. Yaitu rejeki itu jangan disimpan di kantong sendiri, biarkan kantong bolong, dibagikan rejeki itu kepada yang lain. Dia juga dianggap tokoh klenik. Oleh Soekarno dia dikagumi dari aspek spiritualnya. Makanya Soekarno dalam pandangan-pandangannya lebih njawani dan sinkretisme, Sastro Kartono lebih dihargai karena ke-jawaan-nya itu, sikap-sikap religius dia, bukan dari paham-paham kebangsaaannya. Sosok Kartono sebagai sosok nasional terutama saat di Eropa.

 

Forum:

Dia sempat dituduh sebagai komunis? Apakah ada sikap politis dia untuk hal ini ketika dia kembali ke Indonesia?

 

Sri Margana:

Dia tidak berbuat apa-apa dalam hidupnya. Dia inward looking, kontemplasi, dia dituduh macam-macam tetapi dia tidak pernah merespon.

 

Mikke Susanto:

Ada satu hal yang menarik akan pilihan kita terhadap selera mau pun gaya hidup dari para tokohnya. Sekarang dimensinya menjadi kuat sekali, buat Belanda atau Eropa, hal itu lebih universal, lebih lebar dimensinya. Pikiran untuk tetap menjadi Jawa atau Indonesia mungkin akan menjadi menarik dalam khasanah waktu itu.

 

Rahma [Forum]:

Di awal dikatakan kalau kebangkitan nasional dicetuskan Soekarno, itu 3 tahun sesudah proklamasi. Yang masih menggantung, Soekarno sendiri lebih condong ke pemikiran kiri, komunis. Apa dari statement narasumber tadi dikatakan, tentang bagaimana menciptakan hari nasional. Apakah Soekarno waktu itu, murni membangkitkan nation state atau ada faktor politik untuk mencari pengakuan dari negara luar? Ada faktor politik lain yang melatarbelakangi pencetusan hari itu?

 

Sri Margana:

Perhatian Soekarno waktu itu atas usul kebangkitan nasional adalah karena dia melihat masih adanya bahaya mengancam atas kedaulatan Indonesia saat itu. Tahun ‘48 itu agresi Belanda akan datang, demikian pula dengan perjanjian Roem Royen justru membuat Indonesia menjadi terbelah-belah. Dan dia melihat sebagian tokoh-tokoh nasional waktu itu juga terbelah pemikiran tentang Indonesai yang merdeka. Maka kita perlu sebuah mitos nasional yang bisa menjadi kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Orang sudah merdeka kok masih merundingkan tentang kedaulatan. Jadi jawabannya adalah murni karena Soekarno prihatin atas kedaulatan kebangsaaan Indonesia.

 

Choirodin [Forum]:

Seperti tadi sudah dijelaskan, saya ingin mengaitkan langsung dari spirit yang diambil, dimana ketika kemerdekaan ada ancaman sehingga muncul sebuah statement kebangunan nasional. Apa yang diharapkan dari even ini, kompetisi atau pameran seni visual itu sendiri? Konsep budaya itu minimal bisa berpartisipasi dalam momen tersebut. Karena untuk konteks saat ini menurut pengamatan saya sendiri, seakan-akan juga sama halnya dengan kejadian saat itu, cuman beda konsep, dimana nasionalisme juga diambang kehancuran. Tidak sebatas territorial, lebih dari masalah identitas kebangsaaan, atau kebanggaan menjadi Indonesia.

 

Mikke Susanto:

Selaku kurator, pada awalnya keinginan untuk membuat even ini muncul sesungguhnya dari berlalunya 10 tahun Reformasi. Ini harus kita rayakan bersama, menjadi satu momentum, mengipaskan kembali sensibilitas kita semua, untuk memunculkan satu gerakan budaya. Membangkitan lagi persoalan kita saat ini. Tujuannya bukan persoalan kemerdekaan lagi, ada banyak hal yang muncul yang menjadikan kita kriris. Seperti hak royalti, hak kita sebagai kebudayaan atas itu yang diambil. Terkait dengan tujuan pameran ini, bahwa kita ingin memperingati, tidak berhenti di situ, peringatan ini harus melahirkan satu statement, bahwa kita masyarakat seni di Yogyakarta, mampu memberi satu jalan untuk menggugah persoalan-persoalan itu, menggambarkan persoalan di tengah masyarakat kita ini. Apakah ini masih sensitif bahwa ini masih masalah atau bukan? Apakah kita masih punya ingatan kolektif ini? Saya gembira banyak berita bahwa kompetisi ini banyak direspon oleh para perupa di berbagai kota. Memang karena keterbatasan ruang sehingga harus menyeleksi. Beberapa hal mengenai sebuah karya masuk selseksi atau tidak, bisa dilihat kriterianya dalam brosur yang manajemen JG distribusikan. Persoalan lain adalah para tokoh, penghargaan kita terhadap imajinasi para tokoh ini untuk membentuk masyarakat bersama, meski agak membingungkan ketika bahwa ada Belanda maka kita ada. Persoalan wacana, itu akan menjadi polemik lagi, karya-karya Anda akan sangat mungkin didebat oleh publik. Persoalan kontekstualisasi masyarakat sekarang. Jadi itu hal-hal yang ingin saya tangkap.

 

Baskara T Wardaya:

Saya ingin bicara seusatu yang mungkin tidak berkait langsung dengan kegiatan. Mengapa sejarah itu penting, saya guru sejarah, jadi harus promosi. Yang menurut saya yang agak lemah, dan akibatnya 2 minggu terakhir, cara berpikir logis kita itu agak lemah dan itu dibombadir dari luar, sehingga kurang kritis. Kita lagi ribut soal pahlawan, apakah alm. Soeharto layak disebut pahlawan dan sebagainya. Sementara definisi pahlawan itu adalah yang berjuang melawan Belanda. Misalnya Diponegoro, padahal dia hanya berjuang untuk Tegalrejo misalnya. Bahwa saat itu belum ada yang namanya Indonesia [ada Indonesia setelah tahun 1908 dan seterusnya]. Sebenarnya ada anak-anak muda yang berjuang, namanya 26 di Jawa, 27 di Sumatra, mereka berjuang untuk Indonesia. Sayangnya mereka PKI, sehingga tidak diakui. Nah bagaimana selektifnya kita akan hal itu. Maka definisi pahlawan perlu dipertanyakan lagi. Kita semua terpukau oleh media massa itu dan marilah kita berpikir ulang akan itu. Saya kira sejarah membuat kita berpikir misalnya tentang hal itu, sehingga kita menjadi bangsa yang kritis. Tugas kita bersama untuk kembali ke sana, situasi kita agak berbeda tapi mirip.

 

Sri Margana:

Ini menjawab kegelisahan tentang kehilangan identitas ke-Indonesia-an itu, kita semua merasa kehilangan kebanggaan ke-Indonesia-an itu. Apa yang diharapkan saya kira adalah sampai sekarang semangatnya itu yang masih dibutuhkan. Makanya kita harus selalu terus membangun kebangunan itu, didengung-dengungkan terus, supaya menjadi semangat. Membangun visi itu harus punya perspektif ke belakang, punya pengalaman sejarah yang kuat. Masyarakat kita sendiri punya apriori dalam sejarah. Tidak ada yang bisa dijadikan panutan. Maka tugas seniman-seniman mengambil alih fungsi itu dengan sense of art itu melalui karya-karya mereka, sehingga publik menjadi lebih mudah menerima, daripada membaca teks sejarah yang membuat ngantuk.

 

Mikke Susanto:

Diskusi ini hanya satu penggal, irisan kecil dari cerita kebangkitan nasional. Satu hal kecil ini bisa menjadi banyak hal untuk ke depan. Harapan saya sebagai kurator dan manajemen JG, kesenian jaman sekarang itu bebas, tidak ada kungkungan sebagai penggiat seni dari penguasa dan dari mana pun. Bagaimana menelurkan persoalan bangsa ini menjadi lebih menggigit, saya kira di situ pentingnya kaitan antara displin ilmu untuk bisa berkait terus di Jogja Gallery. Kalau waktu itu di tahun ‘70-an, ada poros Malioboro, Gampingan dan Bulaksumur, intens dikerjakan. Di tahun ‘80-an akhir, ‘benang’ itu sudah mulai putus. Jogja Gallery diupayakan sebagai media baru supaya kawasan utara dan selatan menjadi satu melalui keberadaan Jogja Gallery. Kesimpulan akhir berkaryalah yang bagus supaya masuk seleksi. Tidak ada batasan apa pun soal teknis, bias membuat statement baru tentang apa itu seni jaman sekarang. Dan opini Anda tentang kebangkitan nasional akan terus diharapkan.

Selesai.

 



*) judul diambil dari tulisan Goenawan Mohamad dari Nirwan A. Arsuka (editor), Kata, Waktu, Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001, Jakarta, Pusat Data & Analisa TEMPO, 2001.

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo