Sebuah Percakapan: Orasi Budaya Sultan Hamengkubuwono X
“Multi Identitas”, artist unknown. Source: javafred

“Multi Identitas”, artist unknown. Source: javafred


Hembusan isu perlunya wawasan budaya untuk memahami persoalan identitas keIndonesiaan, terasa hingga ke Bintaro Plaza-Jakarta, ketika secara kebetulan 1 Januari yang lalu saya bertemu kawan lama saya FX Harsono (perupa, pengajar mata kuliah Estetika, DKV UPH) yang baru saja kembali dari Yogyakarta menyaksikan Biennale Jogja IX. Dalam sebuah percakapan kecil yang terjadi di tengah hiruk pikuknya suasana belanja siang itu, FX Harsono menekankan pentingnya pemahaman nilai-nilai budaya dalam pendidikan dkv. Hal ini dikatakannya sebagai tambahan, menanggapi tulisan Arief Adityawan di situs DGI mengenai perlunya wawasan kesenirupaan dalam pendidikan dkv (baca: “Beberapa Permasalahan dalam Perkembangan Pendidikan Tinggi DKV di Indonesia”).

Dalam konteks ini, saya merasa perlu menyampaikan orasi budaya Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan Pameran Biennale Jogja IX 2007 berikut ini, yang diberinya judul “Sebuah Percakapan”. Biennale Jogja IX berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum dan Sangkring Art Space, 28 Desember 2007-28 Januari 2008, mengusung tema besar: “Neo-Nation”.

Selamat membaca.
Hanny Kardinata

 


 

SEBUAH PERCAKAPAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua,

Para Hadirin dan Seniman yang saya hormati,

MUNGKIN ada Panitia yang serta-merta bertanya, meski cuma membatin: “Lho kok judulnya Sebuah Percakapan?” Kan yang diminta Panitia adalah Orasi Budaya! Benar memang! Sebelumnya Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dyan Anggraini, melalui suratnya meminta saya untuk membuka secara resmi Biennale Jogya Ke-9 Tahun 2007. Tetapi tiba-tiba siang ini, yang sudah diterakan dalam run-down acara pembukaan – layaknya sebuah rezim yang harus dipatuhi – saya diminta untuk memberikan Orasi Budaya.

Apa boleh buat, setelah membaca sekilas Pengantar yang disampaikan oleh Garin dan Heru – yang kebetulan ber-‘marga’ sama, Nugroho – saya memutuskan untuk bersikap netral – bukan sambutan atau orasi, tetapi sebatas sebuah percakapan. Maksud saya agar kedatangan saya tidak menjadi semacam rezim baru bagi kehidupan kesenian. Memang kosakata rezim itu bertebaran di kata pengantar keduanya, seakan sosok yang menarik untuk dikritisi.

Tentang sosok rezim itu sendiri, dengan cerdik Heru mengkritisi pendapat Garin. Ini kutipannya: “Kalau mas Garin melihat ada rezim-anti rezim, barangkali ia pun juga menjadi rezim untuk merumuskan neo-nation. Jangan dikira seniman bukan sebuah rezim, ia bisa menentukan rezim baik-buruk, estetik-tidak estetik, dan sebagainya”. Sedangkan tentang kelndonesian yang sama-sama dicari wujudnya yang baru itu, Garin, menurut versi Heru, mencoba merumuskan neo-nation sebagai masyarakat yang kreatif-progresif. Sementara Heru menutup dengan ungkapan bernada tanya: “Mungkinkah neo-nation ini berbasis dan menjadi sumber ekspresi seni?”.

Para Hadirin dan Seniman yang saya hormati,

DALAM mencoba mengamati bingkai kuratorial “Neo-Nation”, yang meluas mengglobal, seakan menafikan nation-state dengan konsep borderless world-nya Kenichi Ohmae, dan cenderung menjadi sebuah titik noktah global village dengan budaya-globalnya, saya ingin membandingkan dengan konsep kebalikannya, “neo-tribal”, yang berkecenderungan ke arah etno-nasionalisme yang sempit.

Masyarakat Indonesia masa kini, sesungguhnya bukan lagi konstruksi pluralisme tradisional (suku, agama, ras), tetapi konstruksi neo-pluralisme. Unsur gender, profesi, dan sub-kultur ikut “mendemassifikasi” bangunan masyarakat. Artinya, struktur kemajemukan masyarakat saat ini tidak lagi bersifat massa tetapi menjadi semakin spesifik terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil atau neo-tribal. Dengan demikian kepentingan mereka pun menjadi semakin beragam terfragmentasi.

Fenomena kemajemukan masyarakat neo-tribal tersebut secara otomatis menuntut kebebasan dan ruang publik yang semakin luas pula. Banyaknya kelompok-kelompok keagamaan, kelompok kepentingan dan diferensiasi kelas sosial-ekonomi dan profesi, seperti halnya kelompok seniman, menuntut aturan main yang berbeda dengan masa sebelumnya: suatu aturan yang menjunjung hak azasi manusia, bahwa setiap warga negara bebas untuk mengemukakan pendapat, berkumpul, dan memilih pemimpinnya secara langsung.

Dengan demikian, harmoni masyarakat dijaga dalam ruang kebebasan yang bertanggungjawab sesuai dengan hukum positif yang berlaku (nir intimidasi dan kekerasan). Dalam ranah kesenian, misalnya, hal itu tercermin dari kebebasan kelompok seniman untuk secara bebas-merdeka berekspresi, bahkan wujudnya bisa untuk mengkritik penguasa. Selain itu, mereka juga bisa mendirikan partai politik, dengan platform apa saja, misalnya untuk menyejahterakan kelompok seniman sendiri.

Mencermati relasi antara kemajemukan bangsa dan kebebasan khususnya menyangkut sumbangsih kemajemukan pada akselerasi konsolidasi demokrasi, secara jujur harus diakui bahwa keberagaman bangsa Indonesia tersebut belum memberikan konstribusi berarti. Bahkan sebaliknya, keberagaman yang ada justru cenderung menyempit, mengkristal dalam kelompok masing-masing dan dimaknai sebatas prinsip bahwa orang lain tidaklah lebih baik dari aku (Calarprice, 1996).

Fenomena itu mempertegas pendapat Geertz (1996) tentang sulitnya melukiskan anatomi Indonesia karena begitu kompleksnya unsur yang bersenyawa; ia serba multi, multietnis dan juga multi mental.

Jika dalam situasi seperti ini pertimbangan moral dan intelektual minim dipergunakan, maka demokrasi bisa mengandung sisi gelap, seperti terorisme, genocide dan ethnic cleansing (Ross, 2004; Mann, 2005).

Lebih dari itu, rajutan historis dan ideologis dari pluralisme Indonesia tersebut tidak sepenuhnya tumbuh konstan dan sempurna, sehingga kepribadian kelndonesiaan bangsa yang terbentuk pun tidak sepenuhnya utuh. Meminjam istilah Max Lane (2007), Indonesia adalah bangsa yang belum selesai. Sehingga politik identitas dalam format identitas suku (ethnic identity), daerah (regional identity) dan agama (religious identity) mudah menguat karena sebab apa pun.

Akibatnya, seperti yang tampil saat ini, bangsa Indonesia masih terkotak-kotak sehingga identitas kelndonesiaannya menjadi melemah. Hal itu bisa dilihat dari menguatnya identitas suku, asal daerah (putera daerah) dan agama dalam kompetisi pemilihan kepala daerah. Bahkan tuntutan pemekaran daerah pun seringkali dipicu oleh menguatnya politik identitas tersebut.

Neo pluralisme politik identitas yang secara alamiah hidup di dalam masyarakat, jika tidak berhasil “diberdayakan” menjadi modal sosial, maka kemajemukan bangsa dan kebebasan bukan saja tidak memberikan kontribusi apa pun bagi pendewasaan kelndonesiaan, tetapi juga dapat mengancam stabilitas dan eksistensi Republik. Artinya, kesatuan Indonesia bisa terbelah dalam kepingan-kepingan politik identitas apa pun bentuknya.

Agar hal tersebut tidak terjadi; sebaliknya, agar keragaman bangsa dan kebebasan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi konsolidasi kelndonesiaan, maka Mimpi Bersama Bangsa harus diciptakan. Ia dapat menjadi magnit bagi menyatunya energi-energi yang melingkar secara sempit di seputar politik identitas dan keberagaman neo-tribal.

Para Hadirin dan Seniman yang saya hormati,

MENARIK untuk mengelaborasi tentang pudarnya semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Dalam hal ini, menarik untuk mengetengahkan pengalaman Bambang Sulastomo ketika bersama keluarganya tinggal di Amerika Serikat. Antara lain, ia menceritakan bahwa anaknya yang bungsu sempat memperoleh pendidikan Taman Kanak-Kanak (pre-school) di sana. Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak TK itu menghadap ke sebuah bendera AS, yang dipasang di atas papan tulis. Anak-anak itu menyanyikan lagu sebagai berikut:

“Flag of America red, white and blue Flag of America a salute we give to you”

Ketika anak-anak itu mengucapkan kalimat “Flag of America, red, white and blue”, mereka meletakkan tangan kanannya di dada sebelah kiri. Sedangkan ketika mengucapkan “A salute we give to you” tangan kanannya berubah memberi hormat pada bendera AS itu. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa lagu kebangsaan AS selalu dinyanyikan pada setiap pertandingan olahraga. Tidak dengan musik, tetapi oleh seorang penyanyi, yang dengan khidmad dan khusuk mengucapkan kata-kata yang termaktub dalam lagu kebangsaan itu. Kedua hal itu, rasanya hanya sekali-kali saja kita dengar di Indonesia. Itulah sebuah proses membentuk nation and character building sejak dini, sejak Taman Kanak-Kanak. Lagu kebangsaan dinyanyikan, tidak hanya melalui musiknya, sehingga lebih meresap ke hati anak-anak.

Dari contoh kecil pada pendidikan tingkat TK itu saja, tampak bahwa semangat nasionalisme setiap bangsa itu tetap harus dijaga dan dipelihara. Artinya, pendapat Kenichi Ohmae dalam ‘Borderless World’ yang menyatakan hapusnya negara-bangsa justru terbukti sebaliknya. Dari berbagai temuan empirik, terbukti telah meruntuhkan teori bahwa nasionalisme sebagai ideologi telah berakhir, sebagaimana dikatakan oleh Daniel Bell dalam “The End of Ideology”. Demikian juga, tesis Francis Fukuyama dalam “The End of History and the Last Man” (1992), bahwa nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan dalam sejarah dunia, juga tidak terbukti.

Globalisasi sendiri pun, sesungguhnya adalah perluasan semangat nasionalisme-ekspansionisme negara-negara maju. Lewat soft-campaign yang terarah, mereka memperkenalkannya lewat jargon “desa global”, “budaya global”, “dunia tanpa batas”, dan hilangnya “negara-bangsa”, agar penetrasi politik, ekonomi dan budaya Barat masuk ke negara-negara berkembang dengan aman dan malah nyaman dirasakan oleh penduduknya. Ternyata setiap negara maju pun tetap membina jiwa nasionalisme bangsanya agar tidak luntur.

Para Hadirin dan Seniman yang saya hormati,

SAYA sependapat dengan apa yang dituangkan dalam Bingkai Kuratorial, bahwa dalam globalisasi, kebudayaan dan identitas bersifat trans lokal. Dalam kaitan itu, menarik untuk mencoba memetik hikmah dari buku Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Judul aslinya Culture Matter: How Values Shapes Human Progress (2000) yang disunting oleh Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington. Dalam buku sebagai hasil simposium Harvard Academy for International and Area Studies itu (1999), tampak keragaman logika berpikir para peserta dalam memahami gejala budaya yang dipandang sebagai determinan terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara berkembang bekas jajahan.

Semua peserta menukik pada fakta, bahwa negara berkembang, termasuk Indonesia, sesungguhnya sudah lama terbebas dari penindasan kolonial. Namun hingga kini bangsa-bangsa itu tetap saja bergulat dengan kemiskinan. Sebaliknya, ada pula yang sama-sama mengalami penjajahan, namun mampu keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan, serta menjadi “Macan Asia”, seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Malaysia.

Simposium Harvard delapan tahun lalu itu seakan menggugah kesadaran kita, betapa pentingnya memahami nilai-nilai budaya sebagai energi sosial yang mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat. Beberapa negara berkembang ada yang berhasil, karena nilai budayanya secara kokoh membentuk kinerja politik, ekonomi, dan sosial bangsanya. Dengan demikian, menurut kelompok Harvard itu, bukan kolonialisme atau model bantuan ekonomi negara-negara maju yang melahirkan ketergantungan negara-negara berkembang.

David Landes, misalnya, menegaskan dalam The Wealth and Property of Nations (Hampir Semua Perbedaan Berasal dari Budaya), ketergantungan merupakan implikasi adanya inferioritas, ketika suatu negara tidak bisa mengendalikan nasibnya dan hanya melakukan apa yang didiktekan oleh negara lain. Itulah sebabnya, mengapa negara maju mampu mengeksploitasi dengan superioritasnya untuk mengeruk hasil negara-negara berkembang. Kemudian, Landes berargumen: “kesalahan siapa ini, dan di mana semangat wirausaha domestik dari negara-negara ini?”, seakan ingin lepas tangan terhadap kuatnya cengkeraman eksploitasi negara-negara maju selama ini melalui berbagai cara.

Pendekatan budaya dalam memahami suatu gejala sosial, politik, dan ekonomi, yang dikemukakan Huntington dalam pengantar buku itu, berawal dari tulisan Lawrence E. Harrison yang berjudul Underdevelopment is a State of Mind–The Latin American Case. Harrison beranggapan budaya adalah faktor penghambat pembangunan di Amerika Latin, yang kemudian menuai badai protes dari kalangan intelektual dan pakar ekonomi Amerika Latin. Namun, di antara ahli budayanya sendiri ada yang mengakui ketajaman analisis Harrison.

Dalam buku tersebut Carlos Alberto Montaner mengemukakan: “kentalnya perilaku budaya elite di Amerika Latin, seperti komisi, suap, korupsi dan kroniisme”. Pandangan Harrison sesungguhnya mewakili aliran modernisasi klasik di AS menekankan “budaya tradisional” (yang negatif) sebagai faktor penghambat modernisasi di negara-negara berkembang. Dalam pandangan Harrison reformasi lewat perubahan budaya statis ke budaya progresif di negara-negara berkembang mutlak diperlukan.

Harrison juga mengutip pandangan penulis Peru, Mario Vergasllosa, yang menyatakan bahwa “reformasi ekonomi, pendidikan, dan pengadilan di Amerika Latin tidak berhasil, karena tidak menyentuh perubahan adat-istiadat, cita-cita, kompleksitas kebiasaan, sistem pengetahuan dan seterusnya. Di sana memang memiliki pemerintahan yang demokratis, tetapi lembaga, refleksi dan mentalitasnya sangat jauh dari sifat demokratis itu”.

Tradisi berpikir dalam memahami dinamika perubahan atau modernisasi itu berakar pada warisan berpikir evolusi. Teori evolusi telah menjelaskan proses peralihan budaya suatu masyarakat dari tatanan tradisional ke modern di dunia Barat masa lalu. Selanjutnya, melalui pengalaman panjang, mereka menunjukkan arah yang harus ditempuh negara-negara berkembang dalam proses perubahan budaya melalui program-program pembangunan.

Program-program tersebut diharapkan memacu perubahan dalam pengertian mengadopsi nilai-nilai Barat yang bermutu. Namun pengalaman menunjukkan, segala inisiatif negara-negara maju untuk memacu perkembangan di negara-negara berkembang lewat pasar bebas temyata gagal mendorong pertumbuhan demokrasi dan peningkatan kualitas hidup. Akhirnya disimpulkan: Ada yang salah dengan pendekatan yang mengabaikan nilai-nilai budaya lokal yang merupakan acuan masyarakat dalam kegiatan pembangunan.

Selanjutnya, mereka menengok kembali sukses Jepang ketika mencari solusi analoginya dengan etika Protestan-nya Max Weber, di mana Jepang mampu memberikan energi segar yang muncul dari kekuatan budayanya sendiri. Bellah (1957) menyatakan, agama Tokugawa telah memberikan inspirasi atas sistem nilai pokok yang diperlukan Jepang untuk bergerak menuju kapitalisme modern. Demikian pula Morishama (1982), mengemukakan keberhasilan Jepang terjadi sebagai akibat dari ciri-ciri konfusianisme yang mengajarkan umatnya loyal, nasionalis, dan kolektivitas sosial, tanpa harus mengadopsi nilai-nilai liberalisme, internasionalisme, dan individualisme Barat.

Faktanya Jepang berhasil sukses mengambil alih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, industri dan teknologi Barat. Selanjutnya, inspirasi itu menjalar ke Hong Kong. Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia yang menjadikan mereka “Macan Asia”, yang kini diadopsi oleh India dan Cina yang sedang tumbuh menjadi raksasa ekonomi Asia.

Model pendekatan budaya yang dianut Jepang lazim disebut aliran neo evolusi. Nilai budaya dipandang bukan sebagai penghambat, namun pendorong pembangunan. Revitalisasi atau reaktualisasi pendekatan budaya dalam memahami perubahan untuk kemajuan umat manusia saat ini tetap relevan dalam membedah fenomena kemiskinan dan ketidakadilan sosial di negara-negara berkembang.

 

Para Hadirin dan Seniman yang saya hormati,

DALAM hal proses membangsa ini menarik untuk mengangkat fenomena Malaysia yang mutakhir. Kini, Malaysia terobsesi menjadi negara Federasi Malaysia Di-Raja, untuk mewujudkan cita-cita membangun kegemilangan tamadun Melayu, guna memberi pencerahan dan menyatukan puak-puak Melayu di seluruh dunia. Kalau dulu para pendiri bangsa mengobsesikan Indonesia Merdeka dengan berbagai kebesarannya saat mempersiapkan kemerdekaan, justru Malaysia terobsesi untuk menemukan jatidirinya sebagai bangsa yang besar guna menunjang keberadaannya masa kini yang penuh keberhasilan di berbagai bidang melebihi prestasi Indonesia.

Terlepas setuju atau tidak, kini Malaysia sedang membangun identitas dan memperkuat solidaritas sebagai bangsa Melayu-Malaysia yang unggul. Malaysia berupaya mengadopsi dan mengadaptasi banyak warisan budaya India, China, Melayu, bahkan dari Jawa, seperti batik, tari kuda lumping dan reog, juga wayang kulit. Tentang Reog Ponorogo, misalnya, seharusnya ini menggugah kesadaran kita untuk lebih mencintai budaya sendiri ketimbang budaya impor. Bukankah dalam kegiatan massal kita seringkali menampilkan kesenian barongsai dan liang-liong asal China? Kalau pun pernah, jarang sekali kita melihat, Reog Ponorogo dipergelarkan pada event-event massal.

Kita marah ketika Malaysia memenangkan klaim atas Pulau Sipadan Ligitan, tetapi kita tidak bereaksi apa pun ketika beberapa pulau kita tenggelam karena pasirnya dikeruk habis untuk reklamasi pantai Singapura. Jika demikian, apakah sikap ini merupakan implikasi dari penyakit inferior bangsa kita yang mudah tersinggung dan marah justru untuk menutupi kelemahan, sebagaimana konstatasi Landes di depan?

Jika kembali pada fenomena Malaysia, dengan penguatan jatidirinya itu, Malaysia ingin menegaskan bahwa bangsanya benar-benar representasi dari “the Truly Asia”, dengan merekayasa masa lalunya agar menjadi gemilang untuk menunjang masa kininya yang mempesona oleh kemajuan-kemajuan di berbagai bidang. Padahal di masa silam, bukankah kerajaan Melaka tunduk pada Sriwijaya dan Majapahit?

Oleh sebab itu, kita sendiri jangan kalah oleh Malaysia dalam mengembangkan semangat kebangsaan, dengan menjadikan pluralisme perekatnya, sebagai ketahanan bangsa yang ampuh dalam menghadapi pergulatan globalisasi. Kita juga harus menjaga dan memelihara, serta merevitalisasi dan mengembangkan khasanah pusaka budaya kita yang memang amat kaya ini. Jangan sampai terjadi bangsa lain yang mengaku memiliki warisan budaya-budaya Nusantara, hanya karena mereka yang mampu mengembangkannya ke tingkat dunia.

Dalam hal ini kita masih bisa bersyukur, karena memiliki ideologi Pancasila dan bahasa Indonesia yang berfungsi ganda, baik sebagai identitas nasional maupun pengikat solidaritas dalam memperkokoh semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

 

Para Hadirin dan Seniman yang saya hormati,

KONSTATASI Harrison tentang perlunya mengubah budaya statis ke progresif, yang juga dikemukakan oleh Garin Nugroho di depan, seakan mengingatkan kita akan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana saat Polemik Kebudayaan tahun 1930-an, ketika para pendiri bangsa ingin mencari wujud kebudayaan Indonesia Merdeka. Meski sinyalemen itu sudah hampir 80 tahun lalu, tampaknya bangsa ini belum tergerak untuk menangkap pesan Sutan Takdir itu.

Menurutnya, secara garis besar kebudayaan bersifat progresif dan ekspresif, di mana sifat progresif perlu dikembangkan guna mengisi Kebudayaan Nasional Indonesia yang modern dan maju, agar mampu mengejar kemajuan bangsa-bangsa lain di bidang iptek dan ekonomi. Orientasi progresif itu diperlukan, untuk membalik kelemahan sistem pengetahuan dan ekonomi dalam Kebudayaan Daerah yang bersifat ekspresif.

Kebanggaan akan keberhasilan nenek-moyang membangun Borobudur di masa lampau, misalnya, tidak dengan sendirinya menghadirkan wawasan kreatif agung tentang arsitektur dan teknologi bangunan canggih di masa kini. Bangsa yang pernah menghasilkan Borobudur, mungkin dapat menciptakan borobudur-borobudur baru, selama bangsa itu bersedia membuka diri terhadap kemajuan iptek.

Maka, Dinamika Kebudayaan yang berinteraksi dengan kelndonesiaan, diharapkan mampu merangsang tumbuhnya semangat Nasionalisme Baru yang tidak inferior-chauvinistik. Ke dalam dimaknai sebagai semangat memerangi segala bentuk kemiskinan, keterbelakangan, korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya, serta penghargaan atas demokrasi dan HAM, sehingga mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Nasionalisme Baru itu hanya bisa dicapai melalui dinamika budaya dalam wujud transformasi budaya, dengan mampu menyaring dan mengadaptasi budaya iptek global yang bermutu, seraya mengukuhkan jatidiri bangsa yang berbasis pada kebhinnekaan sebagai akar budaya sendiri.

Tetapi saya tetap berharap, bahwa apa yang saya paparkan ini bukanlah pendapat sebuah rezim yang harus diamini, tetapi hendaknya diterima dengan sejumlah kritik yang cerdas guna memperluas materi Pameran Biennale Jogja Ke-9 Tahun 2007 ini, sekaligus memperkaya keragaman wawasan tentang Neo Nation yang menjadi tema pameran ini.

 

Yogyakarta, 28 Desember 2007

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta,
Hamengku Buwono X

Quoted

Make your interactions with people transformational, not just transactional.

Eve Vogelein